“Astagfirullah….”
Deg!
Hati Nada berdenyut nyeri ketika melihat layar ponselnya.
Terlihat sebuah foto yang memperlihatkan Dirga sedang berada di meja makan, lengkap dengan lauk pauk yang tersaji di atas meja. Dengan jelas Nada juga melihat jika meja makan itu adalah meja makan di rumah yang sebelumnya ia dan Dirga tinggali.
Sebuah pesan di bawah foto itulah yang membuat tangan Nada bergetar.
[Aku baru saja masak untuk suami kita, Nad. Dia terlihat semangat makan masakan aku. Heheee ….]
Tanpa bertanya siapa yang mengiriminya pesan pun, Nada tahu kalau itu adalah Delisha. Kenapa wanita itu terus mengusiknya? Bukankah dia sudah bahagia menikah dengan Dirga?
Sambil menahan air matanya, a lantas menyentuh titik 3 di pojok atas dan langsung menekan tulisan blokir.
“Siapa, Nak?” tanya Dian.
“Orang gak penting, Mi. Udah ayo, pulang,” ucap Nada seraya tersenyum.
***
Sementara itu, di lain tempat, beberapa hari yang lalu.
"Assalamualaikum," salam Dirga begitu masuk ke rumahnya.
"Wa'alaikumsalam."
Dahi Dirga mengernyit saat melihat justru sang ibu yang menjawab salamnya. "Loh, Mah? Kok Mama di sini?"
Tidak biasanya mamanya datang ke sini tanpa pemberitahuan. Terlebih, Nada tidak terlihat menemaninya di sini. Dirga celingukan, mencari keberadaan sang istri.
"Mama kecewa sama kamu!” ucap Marwah tiba-tiba, membuat Dirga menoleh dengan cepat.
“Mama udah gagal mendidik kamu! Mama menyekolahkan kamu di Universitas yang kental agama itu biar kamu paham, Dirga!" ucap Marwah sarkas kemudian.
"Maksud Mama apa?" tanya Dirga tak mengerti.
"Mama udah tau semuanya dari Nada!”
Dirga menelan saliva saat menyadari apa yang sang ibu maksud. Tangannya gemetar.
“Nada itu istri yang baik Dirga! Bukan cuma baik dia juga sholeha, pengertian, ramah! Apa yang kurang dari dia, huh?" lanjut Marwah.
Melihat sang ibu yang seperti itu, membuat Dirga tak tega. Ia memang lemah jika berhadapan langsung dengan ibunya. Ia lalu duduk bersimpuh dan menenggelamkan kepalanya di pangkuan sang ibu.
"Maafin Dirga, Mah, tapi ini demi kebaikan kita semua," jawab Dirga
"Makanya jaga mata dan hati kamu! Kuatkan iman kamu supaya bisa jaga pandangan kamu! Seharusnya kamu bisa membatasi pergaulan kamu dengan lawan jenis!”
“Minta maaf aja percuma Dirga! Gak akan bikin Nada balik ke sini lagi!”
Dirga terbelalak dan mengangkat kepalanya. “Maksudnya? Nada … ke mana?”
Marwah tidak menjawab, hanya membuang muka untuk menutupi air matanya.
Wajah Dirga langsung berubah pucat. Ia pun segera berdiri dari lantai dan melihat ke sekitar. Benar, rumah ini sangat sepi. Kenapa ia tidak menyadarinya sedari awal?
"Sekarang Nada mana?" tanya Dirga setengah berteriak karena panik.
“Gak tau! Mama berdoa pas di jalan semoga dia ketemu laki-laki yang 1000 kali lipat baik dari kamu terus mereka jatuh cinta! Biar kamu tahu rasa!” sahut Marwah kesal. Ia lantas beranjak dari duduknya berniat pergi.
“Mah? Mamaaaaa?” teriak Dirga.
Marwah menoleh. "Lupa, Nada nyiapin sesuatu di kamar untuk kamu. Gak tau apa, kamu lihat aja sendiri!”
Dirga mematung, melihat kepergian ibunya yang masuk ke kamar tamu.
Kenapa ia tidak menyadari ini sedari awal? Nada yang hanya menyiapkan sarapan tanpa menemaninya, lalu wanita itu hanya berdiam seharian di kamar sampai ia berangkat kerja. Bahkan, tidak ada chat atau telepon seperti biasanya.
Setelah sekian menit, ia lantas beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kamar dengan langkah gontai. Matanya langsung tertuju pada meja kerjanya. Ada sebuah kotak kado di sana.
Dirga lantas menghampiri dan duduk di sana. Perlahan membukanya dan dengan seketika matanya terbelalak kaget.
“Ini … hasil USG?”
Tertera jelas tanggal foto USG itu diambil, tanggal yang sama ketika ia meminta izin untuk menikah lagi. Dirga jatuh terduduk di lantai.
Mata Dirga mulai berkaca-kaca. Ia lantas kembali melihat isi kado itu lagi. Mengambil benda pipih dari sana dan seketika matanya kembali berkaca-kaca.“Garis dua? Nada … beneran hamil? Ya Allah, Nad ….”
Setetes air mata berhasil menerobos hingga pipinya basah.
“Maafkan aku, Nad.” Seumur hidup, ini kali pertama Dirga menangis untuk seorang wanita.
Setelah melihat foto USG dan benda pipih yang menyatakan jika sang istri ternyata sedang hamil, Dirga lantas mengambil selembar surat yang berada di atas meja. Ia membukanya dan mulai membaca. Teruntuk kamu, ayah dari anakku. Assalamualaikum, Mas. Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak lagi disampingmu dan sudah pergi. Maaf jika aku pergi tanpa berpamitan karena aku yakin, jika aku berpamitan pun kamu tidak akan mengizinkan. Jadi terpaksa aku pergi saat kamu sedang tidak di rumah. Hmmm ... maaf ya, Mas, kalau selama menjadi istri kamu, aku belum bisa menjadi istri seperti yang kamu inginkan sampai pada akhirnya kamu memilih mencintai wanita lain. Saat kamu mengatakan itu, jujur saja aku marah. Istri mana yang tidak marah dan sakit saat mengetahui suaminya mencintai wanita lain dan bahkan ingin menghalalkan wanita itu. Maaf, Mas. Aku tidak sanggup. Kamu tetap keras dengan keputusan kamu, aku pun begitu. Sampai mati pun aku tetap tidak ingin dimadu. Terserah kamu mau m
"Sial!" gumam Dirga saat sambungan teleponnya terputus. Saat akan menghubungi sang istri kembali, suara ketukan pintu sudah lebih dulu terdengar. Dirga lantas berjalan ke arah pintu dan membukanya. "Kenapa aku hubungi susah terus sih, Mas? Kamu kemana aja?" tanya wanita yang tak lain ialah Delisha. Ia lantas langsung menerobos masuk."Kamu mau apa? Istriku sedang tidak di rumah," ucap Dirga. "Aku tau! Memangnya kenapa kalau dia gak ada di rumah? Bagus malahan, kita jadi lebih leluasa," ucap Delisha. Ia berjalan ke arah meja makan. Berniat menaruh beberapa lauk yang ia bawa."Aku takut menjadi fitnah, Delisha! Kita pria dan wanita yang bukan mahram. Akan bagaimana pandangan tetangga yang melihat nanti?" Dirga mengikuti Delisha. "Halah! Masa bodo dengan yang namanya tetangga! Lagian jaman sudah modern, masa cuma datang bertamu aja jadi fitnah. Harusnya mereka gak usah kepo! Di luar negeri malah banyak kok mereka yang belum menikah tinggal bersama. Tetangga gak ada tuh yang kepo!" D
"Kamu foto aku? Kamu kirim pada Nada?" tanya Dirga menghampiri Delisha. Tadi ia melihat Delisha yang diam-diam mengarahkan ponsel padanya, kemudian terlihat senyum-senyum sendiri. Membuatnya jadi curiga. Ia lantas berniat mengambil ponsel yang sedang di pegang oleh Delisha. Namun, dengan cekatan wanita itu langsung memasukkannya ke dalam tas."Apa sih, Mas? Nada, Nada, Nada! Aku males ya denger namanya! Kenapa yang ada di pikiran kamu itu Nada terus?" Delisha berpura-pura kesal untuk mengalihkan perhatian Dirga agar tak mengambil ponselnya. "Aku tidak menghubungi perempuan itu! Lagian nomorku juga di blok! Aku gak bisa ngehubingin dia!" ucap Delisha dengan nada yang ketus. Dirga diam sebentar tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, jika nomornya saja sudah di blok, apalagi nomor Delisha. "Hal yang wajar kalau yang ada di pikiranku itu Nada karena dia istriku! Justru jika aku memikirkan kamu lah yang salah karena kamu jelas haram untuk aku pikirkan!" ucap Dirga bersuara."Kalau
“Jadi menikahlah dengan Delisha dan ceraikan Nada! Aku akan mengkhitbah dia setelah iddah-nya selesai.”Mendengar Ryan berkata demikian, Dirga lantas beranjak dari duduknya, ia mendekati Ryan dan memegang kuat kerah baju pria itu.“Aku tidak akan pernah menceraikan Nada! Aku tidak akan pernah melepaskan Nada untuk siapapun!” ucap Dirga menggertakkan gigi.Ryan menepis kasar tangan Dirga di kerah bajunya. “Jangan rakus jadi laki-laki! Ceraikan Nada! Biar aku yang membahagiakan dia! Aku tidak akan melukainya meski dia tak mencintaiku nanti! Aku yakin cinta akan tumbuh di hatinya!”Dirga semakin menggertakkan giginya kesal menatap Ryan, dadanya sudah kembang kempis menahan marah. “Berhenti mengatakan omong kosong! Aku tidak akan pernah menceraikan istriku, dia akan selamanya menjadi istri dan ibu dari anak-anakku! Bukan kamu!” ucap Dirga.“Pffttt, menjadi istrimu selamanya? Faktanya sekarang dia malah pergi darimu, Dirga. Jadi segera selesaikan pernikahan kalian, aku akan benar-benar men
“Aku merindukanmu,” ucap Dirga. Sejak tadi pandangannya tak lepas dari ponsel yang sejak tadi ia pegang. Demi apa pun, jauh dengan Nada ternyata rasanya sakit sekali. Ia begitu sangat kesepian. Sudah hampir seminggu lebih ia tak melihat wajah sang istri yang teduh juga menggemaskan. Dan tak juga mendengar suaranya yang enak di dengar. Ia merindukan semua tentang Nada.Dirga sudah meminta izin pada pihak sekolah untuk libur lebih dulu agar ia bisa menyusul Nada ke Semarang, tetapi tidak mendapatkannya karena ujian semester sedang berlangsung. Sedang ia adalah salah satu wali kelas di salah satu kelas. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada guru lain untuk mengambil sebagian tugasnya, tetapi guru lain pun sama sibuknya. Satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong ialah Ryan, sayangnya ia enggan meminta tolong pada pria itu karena tadi pagi, dengan terang-terangan pria itu memintanya untuk menceraikan Nada dan dia mengatakan akan menikahi istrinya. Suami mana yang tidak marah
"Nada?" panggil Dirga lirih. Tetapi ucapannya sama sekali tak di dengar dan istrinya itu sudah lebih dulu masuk ke mobil.Dirga lantas mengejar. Setelah sekian menit ia mencari taksi, akhirnya ia mendapatkannya juga dan dengan segera ia langsung menuju ke rumah Nada. Hingga tak berselang lama kemudian. Taksinya itu akhirnya berhenti juga tepat di depan rumah Nada. Dan sebuah mobil yang tak pernah Dirga lihat pun sudah lebih dulu terparkir di depannya. Dirga yakin jika mobil itu pasti adalah mobil milik pria yang tadi berbicara dengan Nada. Dengan segera Dirga turun dari mobil, sampai pada akhirnya ia berhasil menginjakkan kaki di depan teras rumah Nada dan ia memilih untuk bersembunyi di balik pintu mendengar pembicaraan mereka dari dalam. “Saya tidak masalah jika harus menunggu Nada sampai nanti dia melahirkan. Saya juga bersedia menerima Nada dan bayinya. Insya Allah, saya akan menyayangi anak Nada seperti menyayangi anak sendiri.” Mata Dirga kembali terbelalak saat mendengarnya
"A–apa? Kamu ... hamil?" tanya Fathir. Ia menatap Nada dengan tatapan kaget. "Tapi ... Dek Qia bilang, kamu ... single." "Hmmm ... otw single. Aku sedang dalam proses bercerai dengan suamiku." "Aaaahh ...." Fathir mengangguk paham. Nada diam tak berucap lagi. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Jadi ia memilih untuk diam saja. "Kenapa?" tanya Fathir."Maksudnya?" "Kenapa kalian berpisah?" tanya Fathir ingin tahu, "Dan ... berapa lama kalian berumah tangga?" "Baru jalan tiga bulan. Dan kenapa berpisah, mungkin karena aku kurang cantik dan wanita yang dia cinta lebih cantik. Aku pun sadar sih, aku masih muda tapi seperti ibu-ibu, sedang wanita yang dia cintai begitu cantik, modern dan kekinian." Nada tersenyum miris, ia menggaruk tengkuk lehernya yang tertutup kain khimar. "Aku tidak pandai mempercantik diri." "Hah? Dia meninggalkan kamu karena itu? Alasan macam apa itu?" tanya Fathir. Dari apa yang Nada katakan, ia bisa mengambil kesimpulan jika alasan mereka berpisah karen
"Kurang ajar kamu!" ucap Nada mendorong dada suaminya saat dengan berani pria itu mendaratkan sebuah ciuman di bibir. "Kenapa kurang ajar? Aku ini suamimu, sah di mata agama dan juga hukum. Jadi dimana letak kurang ajarnya? Kamu ini istriku, aku bebas melakukan apa pun sama kamu." "Kita sedang dalam proses cerai, Mas!" ucap Nada, "Jadi jangan macam-macam!" "Proses? Aku tidak menyetujui perceraian itu. Sudah aku bilang kalau sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu.” "Ck! Kenapa kamu egois? Kenapa kamu keras kepala? Dan kenapa kamu ngeselin banget sih, Mas? Sudah aku bilang kalau—""Kamu sudah banyak bicara, sekarang biarkan aku yang bicara," sela Dirga memotong hingga ucapan Nada terhenti."Mau bicara apa lagi? Keputusanku sudah final! Karena kamu bersama Delisha, aku—""Aku sudah mengakhiri hubungan dengan dia! Aku juga sudah meninggalkan dia dan memilih kamu." Mata Nada dengan seketika terbelalak. Ia menatap suaminya dengan tatapan kaget. Apa ia tidak salah dengar