"Nada?" panggil Dirga lirih. Tetapi ucapannya sama sekali tak di dengar dan istrinya itu sudah lebih dulu masuk ke mobil.Dirga lantas mengejar. Setelah sekian menit ia mencari taksi, akhirnya ia mendapatkannya juga dan dengan segera ia langsung menuju ke rumah Nada. Hingga tak berselang lama kemudian. Taksinya itu akhirnya berhenti juga tepat di depan rumah Nada. Dan sebuah mobil yang tak pernah Dirga lihat pun sudah lebih dulu terparkir di depannya. Dirga yakin jika mobil itu pasti adalah mobil milik pria yang tadi berbicara dengan Nada. Dengan segera Dirga turun dari mobil, sampai pada akhirnya ia berhasil menginjakkan kaki di depan teras rumah Nada dan ia memilih untuk bersembunyi di balik pintu mendengar pembicaraan mereka dari dalam. “Saya tidak masalah jika harus menunggu Nada sampai nanti dia melahirkan. Saya juga bersedia menerima Nada dan bayinya. Insya Allah, saya akan menyayangi anak Nada seperti menyayangi anak sendiri.” Mata Dirga kembali terbelalak saat mendengarnya
"A–apa? Kamu ... hamil?" tanya Fathir. Ia menatap Nada dengan tatapan kaget. "Tapi ... Dek Qia bilang, kamu ... single." "Hmmm ... otw single. Aku sedang dalam proses bercerai dengan suamiku." "Aaaahh ...." Fathir mengangguk paham. Nada diam tak berucap lagi. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Jadi ia memilih untuk diam saja. "Kenapa?" tanya Fathir."Maksudnya?" "Kenapa kalian berpisah?" tanya Fathir ingin tahu, "Dan ... berapa lama kalian berumah tangga?" "Baru jalan tiga bulan. Dan kenapa berpisah, mungkin karena aku kurang cantik dan wanita yang dia cinta lebih cantik. Aku pun sadar sih, aku masih muda tapi seperti ibu-ibu, sedang wanita yang dia cintai begitu cantik, modern dan kekinian." Nada tersenyum miris, ia menggaruk tengkuk lehernya yang tertutup kain khimar. "Aku tidak pandai mempercantik diri." "Hah? Dia meninggalkan kamu karena itu? Alasan macam apa itu?" tanya Fathir. Dari apa yang Nada katakan, ia bisa mengambil kesimpulan jika alasan mereka berpisah karen
"Kurang ajar kamu!" ucap Nada mendorong dada suaminya saat dengan berani pria itu mendaratkan sebuah ciuman di bibir. "Kenapa kurang ajar? Aku ini suamimu, sah di mata agama dan juga hukum. Jadi dimana letak kurang ajarnya? Kamu ini istriku, aku bebas melakukan apa pun sama kamu." "Kita sedang dalam proses cerai, Mas!" ucap Nada, "Jadi jangan macam-macam!" "Proses? Aku tidak menyetujui perceraian itu. Sudah aku bilang kalau sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu.” "Ck! Kenapa kamu egois? Kenapa kamu keras kepala? Dan kenapa kamu ngeselin banget sih, Mas? Sudah aku bilang kalau—""Kamu sudah banyak bicara, sekarang biarkan aku yang bicara," sela Dirga memotong hingga ucapan Nada terhenti."Mau bicara apa lagi? Keputusanku sudah final! Karena kamu bersama Delisha, aku—""Aku sudah mengakhiri hubungan dengan dia! Aku juga sudah meninggalkan dia dan memilih kamu." Mata Nada dengan seketika terbelalak. Ia menatap suaminya dengan tatapan kaget. Apa ia tidak salah dengar
"Hah? Belum lama menikah? Siapa yang sudah menikah memangnya?" tanya Dirga dengan raut wajah yang terlihat bingung. "Kamu lah, dengan Delisha! Masa harus kupertegas." "Siapa yang bilang aku sudah menikah dengan Delisha? Aku tidak pernah menikahi Delisha. Aku akui aku memang berniat menikahi dia, tapi itu belum aku lakukan karena kamu menolak untuk diduakan." Nada tersentak mendengar jawaban Dirga. Lantas foto yang Delisha kirim itu apa? Apakah itu foto editan? Delisha sengaja membuat foto itu agar ia semakin menyerah mempertahankan rumah tangganya dan semakin yakin untuk melepaskan begitu? "Huhhhh!" Nada mengalihkan pandangannya ke arah lain dan membuang napas. Ia sama sekali tidak menyangka jika wanita yang sempat menjadi sahabatnya itu begitu sangat picik dan melakukan apa pun demi mendapatkan suaminya.Secinta itukah Delisha pada Dirga sampai menggunakan cara kotor seperti ini?!Benar-benar tak bisa Nada percaya. "Aku berani bersumpah, Yaang. Aku tidak menikahi dia! Kamu tah
"Sampai mati pun aku tidak akan pernah melepaskan kamu! Kamu akan menjadi janda, tapi janda ditinggal mati! Kamu boleh menikah lagi dengan siapa pun termasuk dia. Tetapi setelah namaku tertulis di batu nisan!" ucap Dirga mulai emosi saat sang istri mengatakan akan menerima lamaran pria yang tadi datang. Nada yang mendengar suaminya berkata demikian itu menelan saliva. Ada sedikit rasa senang di hati mendengarnya, tapi ada juga rasa ngeri. Janda ditinggal mati? Ia tak pernah berpikir sejauh itu. "G–gila kamu, Mas!" ucap Nada, ia tidak tahu harus berkata apa. "Memang! Dan kamu yang buat aku gila." "Cih! Aku yang buat kamu gila? Bukannya Delisha?" "Ck! Kenapa kamu membahas dia lagi? Aku sudah bilang kalau aku sudah memutuskan hubungan dengan wanita itu." "Sampai mati pun apa yang terjadi kemarin itu akan aku ingat. Pengkhianatan kamu tuh gak akan pernah aku lupain dan bakalan terus aku bahas!" Mata Nada memicing tajam.Dirga diam, sejenak ia lupa jika wanita mempunyai ingatan yang
Nada terbangun dari tidurnya di tengah malam. Ia menggaruk kepala yang terasa gatal dan dengan seketika matanya terbuka saat dirinya yang sudah tak lagi mengenakan kerudung. Ia lalu menoleh dan melihat sang suami yang sedang terpejam di sampingnya seraya memeluknya. Dia juga membuka sedikit selimut yang menutupi tubuhnya dan ia mulai ingat apa yang ia lakukan tadi bersama suaminya. Ia benar-benar dibuat tidak berdaya. Suaminya sangat bersemangat tidak seperti sebelum-sebelumnya.Mata Nada dengan seketika terpejam saat mengingat apa yang tadi ia lakukan dengan Dirga. 'Aku kan sedang marah, kenapa mau-mau saja di sentuh dia?' ucap Nada di dalam hati. "Huuuhhh ...." Nada membuang napas.Ia lantas menjauhkan tangan Dirga yang memeluknya dan terasa di kulit perutnya. "Jangan dilepas atau aku buat kamu semakin tidak berdaya," ucap Dirga lirih. "Ka–kamu ... menyebalkan!" ucap Nada memutar tubuh memunggungi suaminya. Dengan mata yang terpejam, Dirga tersenyum puas. Ia menggeser tubuhnya
"Umi dapat pinjam mobil, Umi ikut sama kamu." "Nggak, Umi di rumah saja. Nanti setelah sampai dan dapat informasi apa pun, aku pasti langsung hubungi, Umi." "Tapi, Dirga, Umi—""Longsornya baru kemarin ini kan, Mi? Belum lagi sekarang hujan deras banget. Kemungkinan terjadi longsor susulan bisa aja ada, bukan hanya di lokasi kejadian saja tapi juga di tempat lain yang rawan. Bagaimana kalau tiba-tiba saat di jalan aku juga jadi korban longsor? Kalau kita pergi bersama, yang kenapa-kenapa bukan hanya aku saja tapi juga Umi. Jadi Umi diam di rumah, setidaknya kalau kenapa-kenapa hanya aku saja. Kalau aku gak ada, yang menjaga Nada nanti siapa?" Dian tak menjawab, tapi mendengar Dirga berkata demikian membuat ia ingin menangis dan hatinya malah jadi tidak tenang membiarkan Dirga pergi sendiri. "Kamu tunggu sebentar," ucap Dian lantas berbalik dan tak lama ia kembali datang sembari membawa jaket. "Pakai jaket double, di luar hujan dan pasti dingin banget." Dian memakaikan jaket di tub
"Apa ini dosaku karena pergi tanpa meminta izin dari suami?" gumam Nada. Ia berada di lapangan yang lumayan luas. Bersama dengan para remaja masjid dan juga Fathir. Sejenak ia menyesali apa yang ia lakukan. Padahal tadinya ia ingin membuat Dirga cemburu setelah sang Umi mengatakan jika ia pergi bersama Fathir. Dan apa yang terjadi sekarang padanya.Sudah hampir 2 jam ia terjebak di tempat yang asing untuknya. Tadi, hujan tiba-tiba saja turun dan begitu sangat deras. Ia sempat mendengar suara gemuruh. Kemudian tak lama mendengar kabar jika tak jauh dari tempatnya berdiri terjadi longsor. Ia dan yang lainnya lantas pergi ke tempat yang setidaknya aman dari bahaya. Saat sedang berjalan mencari tempat aman, dua orang gadis anggota remaja masjid terjatuh karena jalanan yang licin berlumpur. Keduanya sama-sama terkilir dan susah berjalan.Akhirnya mereka memutuskan untuk tetap diam di lapangan tersebut menunggu bantuan. Karena satupun dari mereka juga tidak ada yang tahu jalan. Daripada t
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se
"Apa maksudnya keluarga? Jangan aneh-aneh ya, kamu! Pergi kamu dari sini!" usir Marwah dengan nada yang ketus. Raut wajahnya terlihat merah padam menahan marah. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak, masih saja mengejar anakku. Punya malu dong!" "Cih!" Delisha mengalihkan pandangan ke arah lain dan mendecih sinis. Ia juga nampak tersenyum smirk, senyuman jahat nampak terlihat begitu jelas di wajahnya. "Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku, Sha? Kamu gak capek apa terus ganggu hidup aku? Aku tuh capek tau ngadepin kamu terus," sahut Nada bersuara. Pandangan Delisha lantas beralih pada Nada. "Sampai mati pun aku akan terus ada di sekitaran kamu, Nad. Aku akan terus menjadi bayang-bayang kamu dan akan terus mengganggu kamu," jawab Delisha, kali ini ia tidak memasang senyuman smirk, tapi senyumnya nampak terlihat sangat manis. Sayangnya, senyuman manis itu malah membuat Nada ngeri melihatnya. "Aku akan terus ada dalam pandanganmu, Nad," lanjutnya lagi. "Teruslah bermimpi,
"Dia di sini?" gumam Dirga saat membaca pesan dari Ryan yang mengatakan jika Delisha kini sedang berada di ruangan yang sama dengannya. "Kenapa, Mas?" tanya Nada saat dengan tak sengaja mendengar gumaman Dirga. Dirga lantas memperlihatkan layar ponselnya pada Nada seraya berkata, "Ryan bilang kalau Delisha ada di sini," jawab Dirga. "Delisha ada di sini? Mau apa di ke sini?" Nada bertanya walau ia tahu jika sang suami pasti tidak tahu jawabannya. "Mas? Bagaimana kalau dia buat masalah di sini." "Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucap Dirga mulai meraih telapak tangan Nada dan menggenggamnya. "Aku curiga dia datang ke sini mau berulah. Dia sama sekali tidak diundang, terus tiba-tiba ada di sini, jelas ini aneh, kan?" Nada diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, otaknya nampak bekerja keras hingga akhirnya ia berkata, "Mas? Aku rasa saat aku tidak sengaja melihat dia di rumah sakit tempo hari itu, dia juga pasti melihat aku. Ada kemungkinan dia tahu aku ke dokter kandungan dan dia
"Yakin yang Nada dan ibumu lihat itu Delisha?" tanya Ryan setelah mendengar cerita yang baru saja Dirga katakan padanya. Dirga mengangguk. "Nada bilang kalau dia yakin itu Delisha, dan dia bilang kalau ibuku juga yakin kalau itu Delisha. Cuma ya belum pasti saja si Delisha itu datang ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan atau ke dokter spesialis yang lain." "Perlukah ku cari tahu?" Dirga menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak usah, untuk apa? Dia bukan urusan kita. Untuk apa kita mengurusi hidup dia? Kita juga punya kesibukan masing-masing. Semisal dia betulan ke dokter kandungan, ya sudah ... kenapa memangnya? Mungkin dia sudah menikah, kan? Atau, semisal dia ke dokter spesialis yang lain, ya biarkan saja. Mungkin dia sakit dan sedang memeriksakan diri. Tidak usah pedulikan dia." "Ya memang, aku juga tidak peduli dia datang ke rumah sakit untuk apa. Tapi masalahnya kita bisa meminta pertanggung jawaban dia atas apa yang dia lakukan pada Nada. Dia membodohi kita dan secara