"Kurang ajar kamu!" ucap Nada mendorong dada suaminya saat dengan berani pria itu mendaratkan sebuah ciuman di bibir. "Kenapa kurang ajar? Aku ini suamimu, sah di mata agama dan juga hukum. Jadi dimana letak kurang ajarnya? Kamu ini istriku, aku bebas melakukan apa pun sama kamu." "Kita sedang dalam proses cerai, Mas!" ucap Nada, "Jadi jangan macam-macam!" "Proses? Aku tidak menyetujui perceraian itu. Sudah aku bilang kalau sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu.” "Ck! Kenapa kamu egois? Kenapa kamu keras kepala? Dan kenapa kamu ngeselin banget sih, Mas? Sudah aku bilang kalau—""Kamu sudah banyak bicara, sekarang biarkan aku yang bicara," sela Dirga memotong hingga ucapan Nada terhenti."Mau bicara apa lagi? Keputusanku sudah final! Karena kamu bersama Delisha, aku—""Aku sudah mengakhiri hubungan dengan dia! Aku juga sudah meninggalkan dia dan memilih kamu." Mata Nada dengan seketika terbelalak. Ia menatap suaminya dengan tatapan kaget. Apa ia tidak salah dengar
"Hah? Belum lama menikah? Siapa yang sudah menikah memangnya?" tanya Dirga dengan raut wajah yang terlihat bingung. "Kamu lah, dengan Delisha! Masa harus kupertegas." "Siapa yang bilang aku sudah menikah dengan Delisha? Aku tidak pernah menikahi Delisha. Aku akui aku memang berniat menikahi dia, tapi itu belum aku lakukan karena kamu menolak untuk diduakan." Nada tersentak mendengar jawaban Dirga. Lantas foto yang Delisha kirim itu apa? Apakah itu foto editan? Delisha sengaja membuat foto itu agar ia semakin menyerah mempertahankan rumah tangganya dan semakin yakin untuk melepaskan begitu? "Huhhhh!" Nada mengalihkan pandangannya ke arah lain dan membuang napas. Ia sama sekali tidak menyangka jika wanita yang sempat menjadi sahabatnya itu begitu sangat picik dan melakukan apa pun demi mendapatkan suaminya.Secinta itukah Delisha pada Dirga sampai menggunakan cara kotor seperti ini?!Benar-benar tak bisa Nada percaya. "Aku berani bersumpah, Yaang. Aku tidak menikahi dia! Kamu tah
"Sampai mati pun aku tidak akan pernah melepaskan kamu! Kamu akan menjadi janda, tapi janda ditinggal mati! Kamu boleh menikah lagi dengan siapa pun termasuk dia. Tetapi setelah namaku tertulis di batu nisan!" ucap Dirga mulai emosi saat sang istri mengatakan akan menerima lamaran pria yang tadi datang. Nada yang mendengar suaminya berkata demikian itu menelan saliva. Ada sedikit rasa senang di hati mendengarnya, tapi ada juga rasa ngeri. Janda ditinggal mati? Ia tak pernah berpikir sejauh itu. "G–gila kamu, Mas!" ucap Nada, ia tidak tahu harus berkata apa. "Memang! Dan kamu yang buat aku gila." "Cih! Aku yang buat kamu gila? Bukannya Delisha?" "Ck! Kenapa kamu membahas dia lagi? Aku sudah bilang kalau aku sudah memutuskan hubungan dengan wanita itu." "Sampai mati pun apa yang terjadi kemarin itu akan aku ingat. Pengkhianatan kamu tuh gak akan pernah aku lupain dan bakalan terus aku bahas!" Mata Nada memicing tajam.Dirga diam, sejenak ia lupa jika wanita mempunyai ingatan yang
Nada terbangun dari tidurnya di tengah malam. Ia menggaruk kepala yang terasa gatal dan dengan seketika matanya terbuka saat dirinya yang sudah tak lagi mengenakan kerudung. Ia lalu menoleh dan melihat sang suami yang sedang terpejam di sampingnya seraya memeluknya. Dia juga membuka sedikit selimut yang menutupi tubuhnya dan ia mulai ingat apa yang ia lakukan tadi bersama suaminya. Ia benar-benar dibuat tidak berdaya. Suaminya sangat bersemangat tidak seperti sebelum-sebelumnya.Mata Nada dengan seketika terpejam saat mengingat apa yang tadi ia lakukan dengan Dirga. 'Aku kan sedang marah, kenapa mau-mau saja di sentuh dia?' ucap Nada di dalam hati. "Huuuhhh ...." Nada membuang napas.Ia lantas menjauhkan tangan Dirga yang memeluknya dan terasa di kulit perutnya. "Jangan dilepas atau aku buat kamu semakin tidak berdaya," ucap Dirga lirih. "Ka–kamu ... menyebalkan!" ucap Nada memutar tubuh memunggungi suaminya. Dengan mata yang terpejam, Dirga tersenyum puas. Ia menggeser tubuhnya
"Umi dapat pinjam mobil, Umi ikut sama kamu." "Nggak, Umi di rumah saja. Nanti setelah sampai dan dapat informasi apa pun, aku pasti langsung hubungi, Umi." "Tapi, Dirga, Umi—""Longsornya baru kemarin ini kan, Mi? Belum lagi sekarang hujan deras banget. Kemungkinan terjadi longsor susulan bisa aja ada, bukan hanya di lokasi kejadian saja tapi juga di tempat lain yang rawan. Bagaimana kalau tiba-tiba saat di jalan aku juga jadi korban longsor? Kalau kita pergi bersama, yang kenapa-kenapa bukan hanya aku saja tapi juga Umi. Jadi Umi diam di rumah, setidaknya kalau kenapa-kenapa hanya aku saja. Kalau aku gak ada, yang menjaga Nada nanti siapa?" Dian tak menjawab, tapi mendengar Dirga berkata demikian membuat ia ingin menangis dan hatinya malah jadi tidak tenang membiarkan Dirga pergi sendiri. "Kamu tunggu sebentar," ucap Dian lantas berbalik dan tak lama ia kembali datang sembari membawa jaket. "Pakai jaket double, di luar hujan dan pasti dingin banget." Dian memakaikan jaket di tub
"Apa ini dosaku karena pergi tanpa meminta izin dari suami?" gumam Nada. Ia berada di lapangan yang lumayan luas. Bersama dengan para remaja masjid dan juga Fathir. Sejenak ia menyesali apa yang ia lakukan. Padahal tadinya ia ingin membuat Dirga cemburu setelah sang Umi mengatakan jika ia pergi bersama Fathir. Dan apa yang terjadi sekarang padanya.Sudah hampir 2 jam ia terjebak di tempat yang asing untuknya. Tadi, hujan tiba-tiba saja turun dan begitu sangat deras. Ia sempat mendengar suara gemuruh. Kemudian tak lama mendengar kabar jika tak jauh dari tempatnya berdiri terjadi longsor. Ia dan yang lainnya lantas pergi ke tempat yang setidaknya aman dari bahaya. Saat sedang berjalan mencari tempat aman, dua orang gadis anggota remaja masjid terjatuh karena jalanan yang licin berlumpur. Keduanya sama-sama terkilir dan susah berjalan.Akhirnya mereka memutuskan untuk tetap diam di lapangan tersebut menunggu bantuan. Karena satupun dari mereka juga tidak ada yang tahu jalan. Daripada t
Nada mencubit jas hujan bagian siku tangan Dirga. Membuat pria itu lantas menoleh. Dilihatnya bibir sang istri yang mengerucut, raut wajahnya terlihat menyesal. Sejenak rasa kesal dan marahnya berubah gemas. Jika saja di belakang tidak ada orang, ia pasti sudah mencium bibir sang istri. Dirga lantas meraih telapak tangan Nada, menggenggamnya dan berjalan menyusuri jalanan yang tadi ia lewati. Diikuti dengan para anggota remaja masjid di belakang. Hingga tak berselang lama kemudian, Dirga dan Nada sudah berada di dalam mobil. Sedang yang lain masih bersama petugas, menunggu kendaraan untuk mengantarkan mereka pulang. "Lepas jaketnya dan ganti pakai ini," ucap Dirga seraya memberikan jaket yang tadi Dian berikan padanya. Karena tebal, tadi Dirga melepas satu jaket agar jas hujan yang ia kenakan muat. "Itu kamu aja yang pakai, Mas. Bajumu basah, nanti kamu masuk angin. Aku pakai yang ini aja, ini cuma luarnya doang kok yang basah, dalamnya enggak," jawab Nada. "Aku gak suka dibantah
"Dirga!" Dirga menelan salivanya saat ibu mertuanya datang dengan raut wajah yang terlihat marah. 'Apa Umi marah karena aku membawa Nada ke rumah sakit dan tidak menepati janji langsung pulang ke rumah? Ck! Mati aku!' ucap Dirga di dalam hati. "Umi kan sudah bilang, kalian harus pulang ke rumah dalam keadaan baik-baik saja. Terus ini kenapa malah masuk rumah sakit, huh?" Dirga menelan saliva yang terasa perih di tenggorokan. Benar saja bukan dugaannya? Ia lantas melihat ke kanan dan kirinya. Melihat keluarga pasien lain yang sedang menatapnya. Jujur saja ia malu dilihat seperti itu. "Umi? Jangan marah-marah," ucap Nada, "Ya salah aku, tadi aku terlalu antusias saat melihat Mas Dirga datang, aku berlari ke arah dia tapi malah tersandung. Beruntung Mas Dirga langsung tangkap aku, kepalanya sampai terluka," jelas Nada membela sang suami. "Kamu memang salah!" ucap Dian kesal pada sang putri. Ia lalu menatap Dirga, melihat perban yang melilit di kepalanya. "Umi sudah bilang ka