Nada terbangun dari tidurnya di tengah malam. Ia menggaruk kepala yang terasa gatal dan dengan seketika matanya terbuka saat dirinya yang sudah tak lagi mengenakan kerudung. Ia lalu menoleh dan melihat sang suami yang sedang terpejam di sampingnya seraya memeluknya. Dia juga membuka sedikit selimut yang menutupi tubuhnya dan ia mulai ingat apa yang ia lakukan tadi bersama suaminya. Ia benar-benar dibuat tidak berdaya. Suaminya sangat bersemangat tidak seperti sebelum-sebelumnya.Mata Nada dengan seketika terpejam saat mengingat apa yang tadi ia lakukan dengan Dirga. 'Aku kan sedang marah, kenapa mau-mau saja di sentuh dia?' ucap Nada di dalam hati. "Huuuhhh ...." Nada membuang napas.Ia lantas menjauhkan tangan Dirga yang memeluknya dan terasa di kulit perutnya. "Jangan dilepas atau aku buat kamu semakin tidak berdaya," ucap Dirga lirih. "Ka–kamu ... menyebalkan!" ucap Nada memutar tubuh memunggungi suaminya. Dengan mata yang terpejam, Dirga tersenyum puas. Ia menggeser tubuhnya
"Umi dapat pinjam mobil, Umi ikut sama kamu." "Nggak, Umi di rumah saja. Nanti setelah sampai dan dapat informasi apa pun, aku pasti langsung hubungi, Umi." "Tapi, Dirga, Umi—""Longsornya baru kemarin ini kan, Mi? Belum lagi sekarang hujan deras banget. Kemungkinan terjadi longsor susulan bisa aja ada, bukan hanya di lokasi kejadian saja tapi juga di tempat lain yang rawan. Bagaimana kalau tiba-tiba saat di jalan aku juga jadi korban longsor? Kalau kita pergi bersama, yang kenapa-kenapa bukan hanya aku saja tapi juga Umi. Jadi Umi diam di rumah, setidaknya kalau kenapa-kenapa hanya aku saja. Kalau aku gak ada, yang menjaga Nada nanti siapa?" Dian tak menjawab, tapi mendengar Dirga berkata demikian membuat ia ingin menangis dan hatinya malah jadi tidak tenang membiarkan Dirga pergi sendiri. "Kamu tunggu sebentar," ucap Dian lantas berbalik dan tak lama ia kembali datang sembari membawa jaket. "Pakai jaket double, di luar hujan dan pasti dingin banget." Dian memakaikan jaket di tub
"Apa ini dosaku karena pergi tanpa meminta izin dari suami?" gumam Nada. Ia berada di lapangan yang lumayan luas. Bersama dengan para remaja masjid dan juga Fathir. Sejenak ia menyesali apa yang ia lakukan. Padahal tadinya ia ingin membuat Dirga cemburu setelah sang Umi mengatakan jika ia pergi bersama Fathir. Dan apa yang terjadi sekarang padanya.Sudah hampir 2 jam ia terjebak di tempat yang asing untuknya. Tadi, hujan tiba-tiba saja turun dan begitu sangat deras. Ia sempat mendengar suara gemuruh. Kemudian tak lama mendengar kabar jika tak jauh dari tempatnya berdiri terjadi longsor. Ia dan yang lainnya lantas pergi ke tempat yang setidaknya aman dari bahaya. Saat sedang berjalan mencari tempat aman, dua orang gadis anggota remaja masjid terjatuh karena jalanan yang licin berlumpur. Keduanya sama-sama terkilir dan susah berjalan.Akhirnya mereka memutuskan untuk tetap diam di lapangan tersebut menunggu bantuan. Karena satupun dari mereka juga tidak ada yang tahu jalan. Daripada t
Nada mencubit jas hujan bagian siku tangan Dirga. Membuat pria itu lantas menoleh. Dilihatnya bibir sang istri yang mengerucut, raut wajahnya terlihat menyesal. Sejenak rasa kesal dan marahnya berubah gemas. Jika saja di belakang tidak ada orang, ia pasti sudah mencium bibir sang istri. Dirga lantas meraih telapak tangan Nada, menggenggamnya dan berjalan menyusuri jalanan yang tadi ia lewati. Diikuti dengan para anggota remaja masjid di belakang. Hingga tak berselang lama kemudian, Dirga dan Nada sudah berada di dalam mobil. Sedang yang lain masih bersama petugas, menunggu kendaraan untuk mengantarkan mereka pulang. "Lepas jaketnya dan ganti pakai ini," ucap Dirga seraya memberikan jaket yang tadi Dian berikan padanya. Karena tebal, tadi Dirga melepas satu jaket agar jas hujan yang ia kenakan muat. "Itu kamu aja yang pakai, Mas. Bajumu basah, nanti kamu masuk angin. Aku pakai yang ini aja, ini cuma luarnya doang kok yang basah, dalamnya enggak," jawab Nada. "Aku gak suka dibantah
"Dirga!" Dirga menelan salivanya saat ibu mertuanya datang dengan raut wajah yang terlihat marah. 'Apa Umi marah karena aku membawa Nada ke rumah sakit dan tidak menepati janji langsung pulang ke rumah? Ck! Mati aku!' ucap Dirga di dalam hati. "Umi kan sudah bilang, kalian harus pulang ke rumah dalam keadaan baik-baik saja. Terus ini kenapa malah masuk rumah sakit, huh?" Dirga menelan saliva yang terasa perih di tenggorokan. Benar saja bukan dugaannya? Ia lantas melihat ke kanan dan kirinya. Melihat keluarga pasien lain yang sedang menatapnya. Jujur saja ia malu dilihat seperti itu. "Umi? Jangan marah-marah," ucap Nada, "Ya salah aku, tadi aku terlalu antusias saat melihat Mas Dirga datang, aku berlari ke arah dia tapi malah tersandung. Beruntung Mas Dirga langsung tangkap aku, kepalanya sampai terluka," jelas Nada membela sang suami. "Kamu memang salah!" ucap Dian kesal pada sang putri. Ia lalu menatap Dirga, melihat perban yang melilit di kepalanya. "Umi sudah bilang ka
“Kamu ... masih mau menerima Fathir dan menceraikan Dirga?” “Hm? Mmmhh ....” Jujur saja hatinya masih untuk Dirga, tapi hatinya masih sedikit sakit. Dan terlebih lagi, pilihan lainnya sedikit mempesona. Fathir tak kalah tampan dengan suaminya. Fathir juga tidak kalah baik dan kelebihannya ialah pandai merangkai kata yang membuat hatinya melayang berbunga-bunga. Pria itu juga mengatakan tidak akan pernah bermain api. Tapi, sebagian besar hatinya ingin suaminya. Ia bahkan ingin melihat suaminya cemburu. Perhatiannya pun masih tertuju pada sang suami bukan pria lain. “Kamu sudah memutuskan?” tanya Dian lagi. “Apa sih, Mi? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bahas itu,” jawab Nada. *** “Umi, Umi, Umiiiii ....” teriak Dirga. “Apasih, Dirga?! Berisik banget!” ucap Dian seraya memukul lengan Dirga. “Perih, Mi!” jawab Dirga. Ibu mertuanya itu memang kini sedang mengoles obat luka di kepala Dirga dan hendak mengganti kain perban. Nada yang melihat hanya menyeringai ngeri. Ia terl
“Izinkan aku menikah dengan Mas Fathir, baru aku akan memaafkan kamu.” "Hah?!" Dirga kembali memasang wajah kesal. Namun seketika raut wajahnya berubah saat mendengar salam seseorang."Assalamualaikum," salam Fathir. Ia berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang canggung setelah mendengar apa yang baru saja Nada katakan“Nak, Nak Fathir? Masuk, Nak,” ucap Dian. Dengan senyuman yang tipis, Fathir lantas masuk.Nada yang sejak tadi duduk di sofa yang berseberangan dengan Dirga itu lantas beranjak dan mulai duduk di samping suaminya. Dirga yang berada di sana kini diam seribu bahasa, ia yakin jika pria di hadapannya itu pasti mendengar apa yang Nada katakan tadi. “Saya datang kemari untuk meminta maaf atas kejadian kemarin. Saya menyesal mengajak Nada pergi dan malah jadi membahayakan dia dengan yang lain juga. Sekali lagi saya minta maaf. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk membuat Nada berada di situasi yang seperti kemarin.” “Hmmm ... gak masalah, Nak, toh sekarang Nada su
"Aku pastikan dia akan bahagia." Dirga lantas menoleh, menatap Fathir. "Aku ... mencintai istriku. Bukankah seharusnya ada kesempatan kedua?" Dirga berbicara dengan suara lirih. Berbicara membuat tenggorokannya tercekat, dadanya juga terasa perih dan sesak. "Faktanya Nada tidak ingin memberikanmu kesempatan. Jadi aku pikir sebaiknya kamu lepaskan dia baik-baik," ucap Fathir, "Masalah anak. Aku sudah membicarakannya dengan Nada. Aku akan menyayangi dia seperti anakku sendiri. Dan kamu sebagai ayah kandungnya, saat nanti aku sudah bersama Nada, aku tidak akan pernah melarangmu bertemu dengan anakmu. Aku pastikan itu." *** Dirga dan Fathir kembali masuk ke rumah lagi setelah berbicara. Nada yang melihat keberadaan mereka itu lantas berdiri tegak. Penasaran apa yang mereka bicarakan.Dirga tersenyum tipis menatap istrinya. "Maafkan aku," ucap Dirga masih dengan senyumnya, "Maaf karena membuat kamu sakit begitu dalam. Aku tidak tahu kalau luka yang aku beri itu akan sebegitu dalamnya.