"Sebenarnya hatimu itu untuk siapa?" tanya Dian berdiri di ambang pintu kamar putrinya. Melihat Nada yang sedang berbaring seraya terisak pelan. "Kamu minta Dirga untuk ceraiin kamu terus izinin kamu nikah sama Fathir. Sekarang setelah Dirga mengiyakan keinginan kamu dan dia pulang, kamu malah kayak begini. Jangan mainin hati laki-laki." "Siapa yang mempermainkan hati laki-laki sih, Mi? Aku tidak mempermainkan hati siapa pun," jawab Nada beranjak dari baringannya dan duduk bersila. Dian menghampiri, lantas duduk di tepi ranjang dengan posisi menatap putrinya. "Kalau tidak mempermainkan terus apa namanya? Setelah Dirga pulang kamu malah menangisi dia dan meminta Fathir untuk pergi tidak ingin bertemu dulu," ucap Dian. Kemarin, setelah Dirga pergi, Nada juga meminta Fathir untuk pergi dan jangan datang untuk sementara waktu tidak mau bertemu. Kemudian Nada malah pergi begitu saja ke kamarnya meninggalkan Fathir bersama ibunya. Membuat Dian jadi bingung bagaimana ia harus bersikap pa
"Aku ingin bicara serius denganmu, Mas," ucap Nada dengan raut wajah yang tegang menatap pria yang kini sedang berdiri di hadapannya. "Mau masuk dulu?" tawar Fathir. Ia dan Nada memang berbicara di teras rumah.Nada menggelengkan kepala. "Kita bukan pasangan yang halal, tidak baik untukku masuk ke rumah seorang pria hanya seorang diri saja. Sedang aku tahu kamu di sini tinggal sendirian. Jadi di sini saja, lagipula aku tidak akan lama," ucap Nada terlihat tegas tetapi hatinya tidak sama sekali. Ia begitu sangat gugup menghadapi Fathir. Ia sampai memainkan jari jemarinya karena saking gugupnya. Jujur saja ia bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Tidak sampai hati mengatakan isi hatinya pada Fathir karena takut dianggap mempermainkan hati.Tapi jika terus berdiam diri saja, malah hatinya yang semakin sakit dan ia tersiksa. Ia tidak mau menghabiskan hidup dengan pria yang tidak ia inginkan. Bukankah seumur hidup itu terlalu lama jika dijalani bersama orang yang tidak kita ingi
"Aku ... tidak mau melepaskan kamu." "Hah?" Nada menatap Fathir dengan tatapan kaget.Tidak mau melepaskan? Apa dia juga sama keras kepalanya seperti Dirga? Ck! Kemarin ia membuat masalah semakin besar begitu? Nada menghela napas panjang, menunduk pasrah dan bingung menghadapi masalah yang ia buat sendiri. Ia mengutuk diri! Kenapa kemarin ia harus membuat suaminya cemburu segala? Benar kata uminya, ia terlalu kekanak-kanakan."Pfftttt ...." Fathir tertawa pelan.Mendengar Fathir tertawa pelan, sontak membuat Nada kembali menatap pria itu lagi. Kenapa dia malah tertawa?"Aku hanya bercanda," ucap Fathir. "Hah?" "Jujur saja rasanya memang berat sekali melepaskan kamu. Aku sudah sejatuh itu padamu, Nad, tapi ya mau bagaimana lagi? Hatimu bukan untukku. Sudah aku bilang aku tidak mau menghabiskan hidup dengan wanita yang tidak menginginkanku. Jadi ya masa aku menelan mentah-mentah ucapanku." "Ck! Aku kan sedang bicara serius dengan kamu, Mas! Kenapa malah bercanda?!" "Ini biar ti
"Maaass?!" panggil Nada dengan mata terbelalak saat melihat sang suami yang terbaring di atas ranjang. Yang membuatnya kaget ialah ia yang melihat ada noda darah di atas bantal putih yang suaminya baringi. "Mas? Maaasss!" panggil Nada menepuk pelan pipi sang suami. Ia yang sudah kaget itu kini semakin kaget saat merasakan tubuh suaminya yang begitu hangat. "Maaass? Bangun," ucap Nada dengan raut wajah yang panik. Dia lantas mengambil ponsel dan menghubungi ibu mertuanya agar bisa segera membantunya.Setelah menghubungi ibu mertuanya, Nada lantas pergi ke dapur, berniat mengambil air untuk mengompres kening suaminya. Berharap panas suhu tubuhnya menurun sambil menunggu kedatangan ibu mertuanya. Beberapa saat kemudian. "Nad? Nadaaa?" Pandangan Nada lantas beralih pada pintu kamarnya. "Di sini, Mah, di kamar," ucap Nada setengah berteriak. "Dirga kenapa?" tanya Marwah begitu membuka pintu kamar. "Gak tau, kita bawa saja ke rumah sakit. Mungkin karena lukanya tidak diobati." "Ya s
Nada menatap suaminya dengan tatapan kesal. Kehadirannya seolah tak diharapkan oleh sang suami karena Dirga malah langsung mengalihkan pandangan seolah enggan melihat wajahnya.Dengan jelas Nada juga melihat Dirga yang malah menghela napas setelah menatapnya. "Kamu gak suka aku pulang?" tanya Nada saat sudah berdiri di samping ranjang. Raut wajahnya terlihat kesal. Ingin rasanya ia memukul kepala suaminya yang terluka. Agar pria itu kesakitan! Sama seperti hatinya yang kini sakit karena malah diacuhkan."Kemarin aja ngejar-ngejar, sekarang giliran aku kejar balik kamu malah ngeselin kayak gini. Jadi nyesel aku pulang ke sini!" lanjut Nada lagi, "Padahal aku juga udah panik banget tadi pagi. Walau capek dan ngantuk, aku tetap nemenin kamu di sini. Tapi apa yang aku dapatkan sekarang?" Dirga yang tadi mengalihkan pandangan ke arah lain itu kini mulai menatap Nada yang berdiri di sampingnya. Dia menatap Nada dengan raut wajah yang terlihat bingung. Yakin tidak yakin dengan penglihatan
"Aku datang kemari karena ingin mengundang kamu." "Hm? Me–mengundang? Secepat itu?" Nada tersenyum dan mengangguk. Melihat raut wajah suaminya yang terlihat shock, kemudian terlihat sedih membuatnya senang. Ia memang tidak kapok dengan apa yang terjadi kemarin. Masih saja ingin melihat suaminya cemburu. Tapi, mereka sedang berduaan di dalam ruangan yang tertutup, harusnya aman. "Ke–kenapa harus jauh-jauh datang kemari hanya untuk mengundang?" tanya Dirga, "Kamu kan bisa mengirimi aku pesan atau telfon. Tidak harus seniat ini sampai datang kemari hanya untuk mengundang aku. Membuat sakit saja!" Dirga bergumam di kalimat terakhir sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Membuat Nada yang melihatnya gemas. Ia lalu menjawab, "Ya karena aku ingin melihat wajah menyedihkan kamu." Dirga sontak menatap Nada. "Kamu balas dendam? Ini bukan kamu banget!" "Semua orang kan bisa berubah," ucap Nada sembari tersenyum.Melihat Nada yang malah tersenyum membuat Dirga ingin kesal dan marah
"Kenapa dia datang kemari?" tanya Nada dengan suara yang pelan berbisik dan ia berucap dengan gigi yang menggertak. "Aku tidak tahu, Sayang," jawab Dirga pelan seraya melingkarkan tangannya memeluk pinggang Nada. Sengaja ia lakukan agar dilihat oleh wanita yang datang. Siapa lagi kalau bukan Delisha. Delisha yang melihat sontak geram, kesal bukan main melihat Dirga yang memeluk Nada. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Dirga pada Delisha. Ia meraih telapak tangan Nada dan mengecupnya beberapa kali. Mata Nada tertuju pada Delisha, melihat raut wajah orang ketiga di rumah tangganya yang terlihat kesal saat sang suami bersikap manja padanya. Melihatnya membuat Nada begitu puas. Jika dulu ia tidak berani menatap Delisha dengan kepala tegak. Kali ini ia menatap wanita itu dengan berani. Bersikap lemah lembut malah akan membuat wanita itu seenaknya. "Menjenguk kamu," jawab Delisha menghampiri ranjang dimana Dirga terduduk. "Tadi begitu sampai ke rumah kamu, tetangga bilang kalau kamu di baw
"Kenapa kamu begitu membenci aku sampai melakukan fitnah seperti ini? Salahku apa?!" "Salahmu adalah menyukai semua yang aku suka! Dulu Farhan dan sekarang Dirga! Kamu merebut semua yang aku suka!" "Dulu aku mengalah ya, Delisha! Aku lepaskan dia untuk kamu! Dan aku tidak pernah merebut Mas Dirga dari kamu! Sebelum dengan kamu, aku yang lebih dulu bertemu dengan Mas Dirga. Justru kamu yang selalu merebut! Dulu mungkin aku mengalah karena dia belum menjadi milikku. Tapi tidak dengan yang sekarang. Mas Dirga milikku dan aku tidak akan memberikannya padamu! Selamanya dia akan menjadi milikku!" tegas Nada. Kedua tangan Delisha mengepal kuat. Menatap Nada dengan tatapan benci. Sementara Dirga, dia malah tersenyum puas mendengar sang istri berbicara. Ia senang sekali mendengarnya."Apalagi sekarang aku sedang mengandung anak Mas Dirga. Aku semakin tidak akan melepaskan dia untukmu." Mata Delisha dengan seketika terbelalak. "Ka–kamu hamil?" tanya Delisha.Nada tersenyum dan mengangguk. "