"Aku ... tidak mau melepaskan kamu." "Hah?" Nada menatap Fathir dengan tatapan kaget.Tidak mau melepaskan? Apa dia juga sama keras kepalanya seperti Dirga? Ck! Kemarin ia membuat masalah semakin besar begitu? Nada menghela napas panjang, menunduk pasrah dan bingung menghadapi masalah yang ia buat sendiri. Ia mengutuk diri! Kenapa kemarin ia harus membuat suaminya cemburu segala? Benar kata uminya, ia terlalu kekanak-kanakan."Pfftttt ...." Fathir tertawa pelan.Mendengar Fathir tertawa pelan, sontak membuat Nada kembali menatap pria itu lagi. Kenapa dia malah tertawa?"Aku hanya bercanda," ucap Fathir. "Hah?" "Jujur saja rasanya memang berat sekali melepaskan kamu. Aku sudah sejatuh itu padamu, Nad, tapi ya mau bagaimana lagi? Hatimu bukan untukku. Sudah aku bilang aku tidak mau menghabiskan hidup dengan wanita yang tidak menginginkanku. Jadi ya masa aku menelan mentah-mentah ucapanku." "Ck! Aku kan sedang bicara serius dengan kamu, Mas! Kenapa malah bercanda?!" "Ini biar ti
"Maaass?!" panggil Nada dengan mata terbelalak saat melihat sang suami yang terbaring di atas ranjang. Yang membuatnya kaget ialah ia yang melihat ada noda darah di atas bantal putih yang suaminya baringi. "Mas? Maaasss!" panggil Nada menepuk pelan pipi sang suami. Ia yang sudah kaget itu kini semakin kaget saat merasakan tubuh suaminya yang begitu hangat. "Maaass? Bangun," ucap Nada dengan raut wajah yang panik. Dia lantas mengambil ponsel dan menghubungi ibu mertuanya agar bisa segera membantunya.Setelah menghubungi ibu mertuanya, Nada lantas pergi ke dapur, berniat mengambil air untuk mengompres kening suaminya. Berharap panas suhu tubuhnya menurun sambil menunggu kedatangan ibu mertuanya. Beberapa saat kemudian. "Nad? Nadaaa?" Pandangan Nada lantas beralih pada pintu kamarnya. "Di sini, Mah, di kamar," ucap Nada setengah berteriak. "Dirga kenapa?" tanya Marwah begitu membuka pintu kamar. "Gak tau, kita bawa saja ke rumah sakit. Mungkin karena lukanya tidak diobati." "Ya s
Nada menatap suaminya dengan tatapan kesal. Kehadirannya seolah tak diharapkan oleh sang suami karena Dirga malah langsung mengalihkan pandangan seolah enggan melihat wajahnya.Dengan jelas Nada juga melihat Dirga yang malah menghela napas setelah menatapnya. "Kamu gak suka aku pulang?" tanya Nada saat sudah berdiri di samping ranjang. Raut wajahnya terlihat kesal. Ingin rasanya ia memukul kepala suaminya yang terluka. Agar pria itu kesakitan! Sama seperti hatinya yang kini sakit karena malah diacuhkan."Kemarin aja ngejar-ngejar, sekarang giliran aku kejar balik kamu malah ngeselin kayak gini. Jadi nyesel aku pulang ke sini!" lanjut Nada lagi, "Padahal aku juga udah panik banget tadi pagi. Walau capek dan ngantuk, aku tetap nemenin kamu di sini. Tapi apa yang aku dapatkan sekarang?" Dirga yang tadi mengalihkan pandangan ke arah lain itu kini mulai menatap Nada yang berdiri di sampingnya. Dia menatap Nada dengan raut wajah yang terlihat bingung. Yakin tidak yakin dengan penglihatan
"Aku datang kemari karena ingin mengundang kamu." "Hm? Me–mengundang? Secepat itu?" Nada tersenyum dan mengangguk. Melihat raut wajah suaminya yang terlihat shock, kemudian terlihat sedih membuatnya senang. Ia memang tidak kapok dengan apa yang terjadi kemarin. Masih saja ingin melihat suaminya cemburu. Tapi, mereka sedang berduaan di dalam ruangan yang tertutup, harusnya aman. "Ke–kenapa harus jauh-jauh datang kemari hanya untuk mengundang?" tanya Dirga, "Kamu kan bisa mengirimi aku pesan atau telfon. Tidak harus seniat ini sampai datang kemari hanya untuk mengundang aku. Membuat sakit saja!" Dirga bergumam di kalimat terakhir sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Membuat Nada yang melihatnya gemas. Ia lalu menjawab, "Ya karena aku ingin melihat wajah menyedihkan kamu." Dirga sontak menatap Nada. "Kamu balas dendam? Ini bukan kamu banget!" "Semua orang kan bisa berubah," ucap Nada sembari tersenyum.Melihat Nada yang malah tersenyum membuat Dirga ingin kesal dan marah
"Kenapa dia datang kemari?" tanya Nada dengan suara yang pelan berbisik dan ia berucap dengan gigi yang menggertak. "Aku tidak tahu, Sayang," jawab Dirga pelan seraya melingkarkan tangannya memeluk pinggang Nada. Sengaja ia lakukan agar dilihat oleh wanita yang datang. Siapa lagi kalau bukan Delisha. Delisha yang melihat sontak geram, kesal bukan main melihat Dirga yang memeluk Nada. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Dirga pada Delisha. Ia meraih telapak tangan Nada dan mengecupnya beberapa kali. Mata Nada tertuju pada Delisha, melihat raut wajah orang ketiga di rumah tangganya yang terlihat kesal saat sang suami bersikap manja padanya. Melihatnya membuat Nada begitu puas. Jika dulu ia tidak berani menatap Delisha dengan kepala tegak. Kali ini ia menatap wanita itu dengan berani. Bersikap lemah lembut malah akan membuat wanita itu seenaknya. "Menjenguk kamu," jawab Delisha menghampiri ranjang dimana Dirga terduduk. "Tadi begitu sampai ke rumah kamu, tetangga bilang kalau kamu di baw
"Kenapa kamu begitu membenci aku sampai melakukan fitnah seperti ini? Salahku apa?!" "Salahmu adalah menyukai semua yang aku suka! Dulu Farhan dan sekarang Dirga! Kamu merebut semua yang aku suka!" "Dulu aku mengalah ya, Delisha! Aku lepaskan dia untuk kamu! Dan aku tidak pernah merebut Mas Dirga dari kamu! Sebelum dengan kamu, aku yang lebih dulu bertemu dengan Mas Dirga. Justru kamu yang selalu merebut! Dulu mungkin aku mengalah karena dia belum menjadi milikku. Tapi tidak dengan yang sekarang. Mas Dirga milikku dan aku tidak akan memberikannya padamu! Selamanya dia akan menjadi milikku!" tegas Nada. Kedua tangan Delisha mengepal kuat. Menatap Nada dengan tatapan benci. Sementara Dirga, dia malah tersenyum puas mendengar sang istri berbicara. Ia senang sekali mendengarnya."Apalagi sekarang aku sedang mengandung anak Mas Dirga. Aku semakin tidak akan melepaskan dia untukmu." Mata Delisha dengan seketika terbelalak. "Ka–kamu hamil?" tanya Delisha.Nada tersenyum dan mengangguk. "
Beberapa hari kemudian. "Kita panggil Mama saja ya, Mas?" "Nggak!" sahut Dirga cepat, "Kamu gak inget terakhir kali Mama bicara gak ada berhenti-hentinya! Aku males denger ocehan dia! Kalau dia ke sini, aku bisa habis lagi." "Anggap saja siraman rohani," jawab Nada. "Ceramah Mama tuh gak akan ada habisnya! Sebelum pulang dia pasti akan terus banyak mengomel. Udah! Kamu yang obatin, aku begini juga karena nolongin kamu ya waktu itu." "Ya tapi aku ngeri liat lukanya. Gak bisa aku! Aahhh ... atau kita panggil Umi saja?" "Pfftttt ... masa dari Semarang ke Jakarta Umi cuma mau bantuin gantiin perban doang. Yang bener aja! Sayang ongkosnya. Mending dipake jajan seblak." "Dari sekian banyak makanan kenapa harus seblak? Kan bisa spaghetti, ayam goreng, atau apa gitu yang elit." "Seblak lebih menggoda, sama seperti ...." "Menggoda seperti apa? Seperti Delisha?" sahut Nada dengan mata yang memicing. "Suudzon! Seperti bibir kamu! Sangat menggoda." Dirga menatap sang istri yang duduk di
Dirga dan Delisha saling beradu pandang saat berhadapan di ambang pintu ruang guru. Delisha yang akan keluar itu menatap Dirga dengan tatapan marah, ia memutar kedua bola matanya malas kemudian berjalan melewati Dirga begitu saja. Sementara Dirga, alisnya nampak terangkat, kemudian meneruskan langkah juga tak peduli. Ia justru senang dengan sikap Delisha yang acuh padanya, tidak banyak bicara meminta untuk dinikahi. Ia jadi tak harus banyak beraksi juga menghadapi wanita itu. Ryan yang sejak tadi duduk di kursinya itu alisnya bertaut. Ia lantas bertanya setelah Dirga duduk di kursi yang berada tepat di sampingnya. "Berantem?" tanya Ryan. Dengan tatapan sinis, Dirga menoleh. Ia memang masih marah dan kesal pada temannya itu sejak saat Ryan meminta ia melepaskan Nada dan dia berniat akan menikahi istrinya menggantikannya. "Udahan! Aku sudah memutuskan hubungan dengan dia," jawab Dirga ketus, "Aku juga tidak akan pernah bercerai dengan Nada dan kami sepakat bersama! Jadi jan