Beberapa hari kemudian. "Kita panggil Mama saja ya, Mas?" "Nggak!" sahut Dirga cepat, "Kamu gak inget terakhir kali Mama bicara gak ada berhenti-hentinya! Aku males denger ocehan dia! Kalau dia ke sini, aku bisa habis lagi." "Anggap saja siraman rohani," jawab Nada. "Ceramah Mama tuh gak akan ada habisnya! Sebelum pulang dia pasti akan terus banyak mengomel. Udah! Kamu yang obatin, aku begini juga karena nolongin kamu ya waktu itu." "Ya tapi aku ngeri liat lukanya. Gak bisa aku! Aahhh ... atau kita panggil Umi saja?" "Pfftttt ... masa dari Semarang ke Jakarta Umi cuma mau bantuin gantiin perban doang. Yang bener aja! Sayang ongkosnya. Mending dipake jajan seblak." "Dari sekian banyak makanan kenapa harus seblak? Kan bisa spaghetti, ayam goreng, atau apa gitu yang elit." "Seblak lebih menggoda, sama seperti ...." "Menggoda seperti apa? Seperti Delisha?" sahut Nada dengan mata yang memicing. "Suudzon! Seperti bibir kamu! Sangat menggoda." Dirga menatap sang istri yang duduk di
Dirga dan Delisha saling beradu pandang saat berhadapan di ambang pintu ruang guru. Delisha yang akan keluar itu menatap Dirga dengan tatapan marah, ia memutar kedua bola matanya malas kemudian berjalan melewati Dirga begitu saja. Sementara Dirga, alisnya nampak terangkat, kemudian meneruskan langkah juga tak peduli. Ia justru senang dengan sikap Delisha yang acuh padanya, tidak banyak bicara meminta untuk dinikahi. Ia jadi tak harus banyak beraksi juga menghadapi wanita itu. Ryan yang sejak tadi duduk di kursinya itu alisnya bertaut. Ia lantas bertanya setelah Dirga duduk di kursi yang berada tepat di sampingnya. "Berantem?" tanya Ryan. Dengan tatapan sinis, Dirga menoleh. Ia memang masih marah dan kesal pada temannya itu sejak saat Ryan meminta ia melepaskan Nada dan dia berniat akan menikahi istrinya menggantikannya. "Udahan! Aku sudah memutuskan hubungan dengan dia," jawab Dirga ketus, "Aku juga tidak akan pernah bercerai dengan Nada dan kami sepakat bersama! Jadi jan
"Nada?" "Kak Farhan?" Nada beranjak dari duduknya, menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan kaget. "Lho, kamu sedang apa di sini? Ehhh ... tunggu dulu, jangan bilang kalau kamu yang menggantikan Bu Nina mengajarkan anakku mengaji," ucapnya mendekati Nada. "Hah? I–itu ... iya," jawab Nada gelagapan. Jujur saja ia masih sangat kaget bisa berhadapan kembali dengan pria yang dulu sempat mengisi hatinya. Cinta pertamanya. Seumur hidup, ia jatuh cinta hanya dua kali. Pertama dengan Farhan dan yang kedua dengan suaminya. Dan siapa yang menyangka jika kini ia kembali berhadapan dengan cinta pertamanya setelah sekian tahun tidak bertemu. "Aaahh ... jadi kamu temen yang kata Bu Nina gantiin dia sampai dia selesai cuti?" Nada tersenyum canggung dan mengangguk. "Pffttt ... jujur saja aku tidak menyangka kalau orangnya ternyata kamu. Kamu apa kabar?" tanya Farhan begitu ramah. Sama seperti dulu. Salah satu alasan kenapa dulu Nada sampai menjatuhkan hati pad
"Maksudnya Farhan cinta pertamamu itu?" tanya Dirga terperanjat. “Yang kata Delisha kamu masih mencintai dia?” Dengan ragu Nada memberikan anggukan kepala pelan mengiyakan. Dirga semakin terperanjat, petir di siang bolong seolah menggelegar berada tepat di telinganya. Apa lagi ini? Kemarin Fathir, Delisha, dan sekarang Farhan begitu? Rahang Dirga juga dengan seketika mengeras. "Kalau begitu aku tidak izinkan kamu kerja lagi!" ucap Dirga cepat, kita baru saja menyelesaikan masalah. Terus sekarang harus menambah masalah lagi begitu? Nggak ya, Yaang! Aku mulai capek dengan masalah orang ketiga di rumah tangga kita!" "Gak bisa kayak begitu, Mas. Kemarin kita sudah sepakat dan aku juga sudah mengiyakan. Aku akan dianggap tidak profesional kalau membatalkan begitu saja apalagi ini untuk hal masalah pribadi!" jawab Nada, "Lagipula kenapa kamu harus was-was? Kamu tidak percaya sama aku? Perselingkuhan itu terjadi atas dua pihak dan kuncinya ada di perempuan. Sekalipun nanti Kak Farhan m
Nada memperhatikan suaminya yang tiba-tiba memegang dada. Kerutan di dahi dan raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang menahan sakit. "Ehh... kenapa, Mas?" tanya Nada dengan nada khawatir. "Jangan buat aku parno ya!" keluhnya, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang mulai menyelimuti hatinya."Sa-sakit... ahh... gak kuat aku. Lemes..." erang Dirga sambil memegang dadanya. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa sakit yang amat sangat. "Ihh... serangan jantung?" Nada bertanya dengan wajah yang pucat pasi. Ia lantas bergegas membantu suaminya berdiri, menggandeng tangannya dengan erat. "Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Nada dengan suara yang bergetar karena rasa panik yang melanda. Dirga beranjak dari duduknya. Ia berdiri tegak, tangan kanan yang memegang dada bagian kiri dan tangan kiri yang merangkul pundak Nada. "Gak usah, kita ke kamar aja, Sayang,” ucap Dirga. "Kok ke kamar sih? Kalau kamu kenapa-kenapa bagaimana? Aku gak mau ya, Mas, menjadi janda! Aku gak mau anakku jadi yati
"Aku sangat yakin kalau yang tadi itu beneran Nada dan Kak Farhan! Tapi ... kalau itu betulan mereka, sedang apa mereka? Dan … mereka bersama?" gumam Delisha. Delisha duduk di kursi kerjanya di ruang guru, matanya menatap lurus ke papan tulis yang kosong. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja secara tidak sadar, sementara napasnya perlahan tapi dalam. Keningnya berkerut, menandakan betapa keras otaknya bekerja, memikirkan kembali apa yang baru saja dilihatnya. Di dalam benaknya, gambaran tersebut terus berulang, membuatnya bingung antara yakin dan tidak yakin apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak."Aku harus memastikannya," gumam Delisha, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan.*** Beberapa hari kemudian. Setelah melihat Nada dan Farhan bersama, Delisha tak bisa menyingkirkan rasa penasaran yang menggelitiknya. Matanya terus memutar kembali momen itu, mencoba memastikan apakah ia benar-benar melihat Nada. Semakin dipikirkan, semakin yakin ia bahwa penglihatannya tidak sa
Dirga tersenyum smirk mendengar Delisha berbicara, bibirnya melengkung dengan kepercayaan diri yang penuh sinisme. Ia kemudian menatap wanita itu dengan mata tajam, alisnya sedikit terangkat. "Ini ... aku tidak salah dengar?" katanya, suaranya mengandung nada ejekan."Mas?" Delisha memandang Dirga dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar. "Demi apa pun, aku benar-benar minta maaf. Aku menyesali semua yang sudah aku lakukan." Suaranya semakin pelan dan penuh penyesalan. "Beberapa hari ini aku memikirkan semua yang terjadi, dan setelah dipikir-pikir, ternyata aku memang melakukan kesalahan besar. Aku menyesal, Mas.”Dirga duduk bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di bawah dada. Matanya menyipit, mengamati Delisha dengan skeptis. "Kamu pasti sedang merencanakan sesuatu, kan?" tanyanya, nada suaranya penuh kecurigaan.Ia sulit mempercayai kata-kata maaf dari Delisha. Wanita sekeras kepala dan sepicik itu meminta maaf dalam waktu singkat? Rasanya terlalu aneh dan tidak masuk
"Sedang melancarkan rencana baru lagi? Rencana apa yang sekarang sedang kamu lakukan?" Delisha terperanjat saat melihat Ryan yang berdiri di depannya. Langkahnya terhenti seketika, mata mereka bertemu dalam keheningan yang tegang.Sejak tadi, Ryan memang mendengar pembicaraan Dirga dan Delisha. Ekspresinya datar, tapi matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Sama seperti Dirga, ia tidak bisa mempercayai kata-kata Delisha tentang penyesalan dan permintaan maaf. "A–aku ... aku—""Pfftttt ... sepertinya dugaanku dan Dirga benar. Kamu tidak tulus meminta maaf dan sedang merencanakan sesuatu. Katakan. Apa yang sedang kamu rencanakan? Aaahhh ... aku tebak. Kamu akan berpura-pura menyesal, kemudian mendekati Dirga perlahan agar dia kembali percaya padamu lagi. Lalu setelah itu, kamu akan menjebak dia tidur denganmu. Saat Dirga bangun, kamu akan berpura-pura menangis seolah menjadi korban. Lalu akhirnya meminta tanggung jawab. Begitu?"Delisha menatap Ryan dengan tatapan tak percaya. Berpikir
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se
"Apa maksudnya keluarga? Jangan aneh-aneh ya, kamu! Pergi kamu dari sini!" usir Marwah dengan nada yang ketus. Raut wajahnya terlihat merah padam menahan marah. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak, masih saja mengejar anakku. Punya malu dong!" "Cih!" Delisha mengalihkan pandangan ke arah lain dan mendecih sinis. Ia juga nampak tersenyum smirk, senyuman jahat nampak terlihat begitu jelas di wajahnya. "Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku, Sha? Kamu gak capek apa terus ganggu hidup aku? Aku tuh capek tau ngadepin kamu terus," sahut Nada bersuara. Pandangan Delisha lantas beralih pada Nada. "Sampai mati pun aku akan terus ada di sekitaran kamu, Nad. Aku akan terus menjadi bayang-bayang kamu dan akan terus mengganggu kamu," jawab Delisha, kali ini ia tidak memasang senyuman smirk, tapi senyumnya nampak terlihat sangat manis. Sayangnya, senyuman manis itu malah membuat Nada ngeri melihatnya. "Aku akan terus ada dalam pandanganmu, Nad," lanjutnya lagi. "Teruslah bermimpi,
"Dia di sini?" gumam Dirga saat membaca pesan dari Ryan yang mengatakan jika Delisha kini sedang berada di ruangan yang sama dengannya. "Kenapa, Mas?" tanya Nada saat dengan tak sengaja mendengar gumaman Dirga. Dirga lantas memperlihatkan layar ponselnya pada Nada seraya berkata, "Ryan bilang kalau Delisha ada di sini," jawab Dirga. "Delisha ada di sini? Mau apa di ke sini?" Nada bertanya walau ia tahu jika sang suami pasti tidak tahu jawabannya. "Mas? Bagaimana kalau dia buat masalah di sini." "Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucap Dirga mulai meraih telapak tangan Nada dan menggenggamnya. "Aku curiga dia datang ke sini mau berulah. Dia sama sekali tidak diundang, terus tiba-tiba ada di sini, jelas ini aneh, kan?" Nada diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, otaknya nampak bekerja keras hingga akhirnya ia berkata, "Mas? Aku rasa saat aku tidak sengaja melihat dia di rumah sakit tempo hari itu, dia juga pasti melihat aku. Ada kemungkinan dia tahu aku ke dokter kandungan dan dia
"Yakin yang Nada dan ibumu lihat itu Delisha?" tanya Ryan setelah mendengar cerita yang baru saja Dirga katakan padanya. Dirga mengangguk. "Nada bilang kalau dia yakin itu Delisha, dan dia bilang kalau ibuku juga yakin kalau itu Delisha. Cuma ya belum pasti saja si Delisha itu datang ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan atau ke dokter spesialis yang lain." "Perlukah ku cari tahu?" Dirga menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak usah, untuk apa? Dia bukan urusan kita. Untuk apa kita mengurusi hidup dia? Kita juga punya kesibukan masing-masing. Semisal dia betulan ke dokter kandungan, ya sudah ... kenapa memangnya? Mungkin dia sudah menikah, kan? Atau, semisal dia ke dokter spesialis yang lain, ya biarkan saja. Mungkin dia sakit dan sedang memeriksakan diri. Tidak usah pedulikan dia." "Ya memang, aku juga tidak peduli dia datang ke rumah sakit untuk apa. Tapi masalahnya kita bisa meminta pertanggung jawaban dia atas apa yang dia lakukan pada Nada. Dia membodohi kita dan secara