"Dirga!" Dirga menelan salivanya saat ibu mertuanya datang dengan raut wajah yang terlihat marah. 'Apa Umi marah karena aku membawa Nada ke rumah sakit dan tidak menepati janji langsung pulang ke rumah? Ck! Mati aku!' ucap Dirga di dalam hati. "Umi kan sudah bilang, kalian harus pulang ke rumah dalam keadaan baik-baik saja. Terus ini kenapa malah masuk rumah sakit, huh?" Dirga menelan saliva yang terasa perih di tenggorokan. Benar saja bukan dugaannya? Ia lantas melihat ke kanan dan kirinya. Melihat keluarga pasien lain yang sedang menatapnya. Jujur saja ia malu dilihat seperti itu. "Umi? Jangan marah-marah," ucap Nada, "Ya salah aku, tadi aku terlalu antusias saat melihat Mas Dirga datang, aku berlari ke arah dia tapi malah tersandung. Beruntung Mas Dirga langsung tangkap aku, kepalanya sampai terluka," jelas Nada membela sang suami. "Kamu memang salah!" ucap Dian kesal pada sang putri. Ia lalu menatap Dirga, melihat perban yang melilit di kepalanya. "Umi sudah bilang ka
“Kamu ... masih mau menerima Fathir dan menceraikan Dirga?” “Hm? Mmmhh ....” Jujur saja hatinya masih untuk Dirga, tapi hatinya masih sedikit sakit. Dan terlebih lagi, pilihan lainnya sedikit mempesona. Fathir tak kalah tampan dengan suaminya. Fathir juga tidak kalah baik dan kelebihannya ialah pandai merangkai kata yang membuat hatinya melayang berbunga-bunga. Pria itu juga mengatakan tidak akan pernah bermain api. Tapi, sebagian besar hatinya ingin suaminya. Ia bahkan ingin melihat suaminya cemburu. Perhatiannya pun masih tertuju pada sang suami bukan pria lain. “Kamu sudah memutuskan?” tanya Dian lagi. “Apa sih, Mi? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bahas itu,” jawab Nada. *** “Umi, Umi, Umiiiii ....” teriak Dirga. “Apasih, Dirga?! Berisik banget!” ucap Dian seraya memukul lengan Dirga. “Perih, Mi!” jawab Dirga. Ibu mertuanya itu memang kini sedang mengoles obat luka di kepala Dirga dan hendak mengganti kain perban. Nada yang melihat hanya menyeringai ngeri. Ia terl
“Izinkan aku menikah dengan Mas Fathir, baru aku akan memaafkan kamu.” "Hah?!" Dirga kembali memasang wajah kesal. Namun seketika raut wajahnya berubah saat mendengar salam seseorang."Assalamualaikum," salam Fathir. Ia berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang canggung setelah mendengar apa yang baru saja Nada katakan“Nak, Nak Fathir? Masuk, Nak,” ucap Dian. Dengan senyuman yang tipis, Fathir lantas masuk.Nada yang sejak tadi duduk di sofa yang berseberangan dengan Dirga itu lantas beranjak dan mulai duduk di samping suaminya. Dirga yang berada di sana kini diam seribu bahasa, ia yakin jika pria di hadapannya itu pasti mendengar apa yang Nada katakan tadi. “Saya datang kemari untuk meminta maaf atas kejadian kemarin. Saya menyesal mengajak Nada pergi dan malah jadi membahayakan dia dengan yang lain juga. Sekali lagi saya minta maaf. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk membuat Nada berada di situasi yang seperti kemarin.” “Hmmm ... gak masalah, Nak, toh sekarang Nada su
"Aku pastikan dia akan bahagia." Dirga lantas menoleh, menatap Fathir. "Aku ... mencintai istriku. Bukankah seharusnya ada kesempatan kedua?" Dirga berbicara dengan suara lirih. Berbicara membuat tenggorokannya tercekat, dadanya juga terasa perih dan sesak. "Faktanya Nada tidak ingin memberikanmu kesempatan. Jadi aku pikir sebaiknya kamu lepaskan dia baik-baik," ucap Fathir, "Masalah anak. Aku sudah membicarakannya dengan Nada. Aku akan menyayangi dia seperti anakku sendiri. Dan kamu sebagai ayah kandungnya, saat nanti aku sudah bersama Nada, aku tidak akan pernah melarangmu bertemu dengan anakmu. Aku pastikan itu." *** Dirga dan Fathir kembali masuk ke rumah lagi setelah berbicara. Nada yang melihat keberadaan mereka itu lantas berdiri tegak. Penasaran apa yang mereka bicarakan.Dirga tersenyum tipis menatap istrinya. "Maafkan aku," ucap Dirga masih dengan senyumnya, "Maaf karena membuat kamu sakit begitu dalam. Aku tidak tahu kalau luka yang aku beri itu akan sebegitu dalamnya.
"Sebenarnya hatimu itu untuk siapa?" tanya Dian berdiri di ambang pintu kamar putrinya. Melihat Nada yang sedang berbaring seraya terisak pelan. "Kamu minta Dirga untuk ceraiin kamu terus izinin kamu nikah sama Fathir. Sekarang setelah Dirga mengiyakan keinginan kamu dan dia pulang, kamu malah kayak begini. Jangan mainin hati laki-laki." "Siapa yang mempermainkan hati laki-laki sih, Mi? Aku tidak mempermainkan hati siapa pun," jawab Nada beranjak dari baringannya dan duduk bersila. Dian menghampiri, lantas duduk di tepi ranjang dengan posisi menatap putrinya. "Kalau tidak mempermainkan terus apa namanya? Setelah Dirga pulang kamu malah menangisi dia dan meminta Fathir untuk pergi tidak ingin bertemu dulu," ucap Dian. Kemarin, setelah Dirga pergi, Nada juga meminta Fathir untuk pergi dan jangan datang untuk sementara waktu tidak mau bertemu. Kemudian Nada malah pergi begitu saja ke kamarnya meninggalkan Fathir bersama ibunya. Membuat Dian jadi bingung bagaimana ia harus bersikap pa
"Aku ingin bicara serius denganmu, Mas," ucap Nada dengan raut wajah yang tegang menatap pria yang kini sedang berdiri di hadapannya. "Mau masuk dulu?" tawar Fathir. Ia dan Nada memang berbicara di teras rumah.Nada menggelengkan kepala. "Kita bukan pasangan yang halal, tidak baik untukku masuk ke rumah seorang pria hanya seorang diri saja. Sedang aku tahu kamu di sini tinggal sendirian. Jadi di sini saja, lagipula aku tidak akan lama," ucap Nada terlihat tegas tetapi hatinya tidak sama sekali. Ia begitu sangat gugup menghadapi Fathir. Ia sampai memainkan jari jemarinya karena saking gugupnya. Jujur saja ia bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Tidak sampai hati mengatakan isi hatinya pada Fathir karena takut dianggap mempermainkan hati.Tapi jika terus berdiam diri saja, malah hatinya yang semakin sakit dan ia tersiksa. Ia tidak mau menghabiskan hidup dengan pria yang tidak ia inginkan. Bukankah seumur hidup itu terlalu lama jika dijalani bersama orang yang tidak kita ingi
"Aku ... tidak mau melepaskan kamu." "Hah?" Nada menatap Fathir dengan tatapan kaget.Tidak mau melepaskan? Apa dia juga sama keras kepalanya seperti Dirga? Ck! Kemarin ia membuat masalah semakin besar begitu? Nada menghela napas panjang, menunduk pasrah dan bingung menghadapi masalah yang ia buat sendiri. Ia mengutuk diri! Kenapa kemarin ia harus membuat suaminya cemburu segala? Benar kata uminya, ia terlalu kekanak-kanakan."Pfftttt ...." Fathir tertawa pelan.Mendengar Fathir tertawa pelan, sontak membuat Nada kembali menatap pria itu lagi. Kenapa dia malah tertawa?"Aku hanya bercanda," ucap Fathir. "Hah?" "Jujur saja rasanya memang berat sekali melepaskan kamu. Aku sudah sejatuh itu padamu, Nad, tapi ya mau bagaimana lagi? Hatimu bukan untukku. Sudah aku bilang aku tidak mau menghabiskan hidup dengan wanita yang tidak menginginkanku. Jadi ya masa aku menelan mentah-mentah ucapanku." "Ck! Aku kan sedang bicara serius dengan kamu, Mas! Kenapa malah bercanda?!" "Ini biar ti
"Maaass?!" panggil Nada dengan mata terbelalak saat melihat sang suami yang terbaring di atas ranjang. Yang membuatnya kaget ialah ia yang melihat ada noda darah di atas bantal putih yang suaminya baringi. "Mas? Maaasss!" panggil Nada menepuk pelan pipi sang suami. Ia yang sudah kaget itu kini semakin kaget saat merasakan tubuh suaminya yang begitu hangat. "Maaass? Bangun," ucap Nada dengan raut wajah yang panik. Dia lantas mengambil ponsel dan menghubungi ibu mertuanya agar bisa segera membantunya.Setelah menghubungi ibu mertuanya, Nada lantas pergi ke dapur, berniat mengambil air untuk mengompres kening suaminya. Berharap panas suhu tubuhnya menurun sambil menunggu kedatangan ibu mertuanya. Beberapa saat kemudian. "Nad? Nadaaa?" Pandangan Nada lantas beralih pada pintu kamarnya. "Di sini, Mah, di kamar," ucap Nada setengah berteriak. "Dirga kenapa?" tanya Marwah begitu membuka pintu kamar. "Gak tau, kita bawa saja ke rumah sakit. Mungkin karena lukanya tidak diobati." "Ya s
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se
"Apa maksudnya keluarga? Jangan aneh-aneh ya, kamu! Pergi kamu dari sini!" usir Marwah dengan nada yang ketus. Raut wajahnya terlihat merah padam menahan marah. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak, masih saja mengejar anakku. Punya malu dong!" "Cih!" Delisha mengalihkan pandangan ke arah lain dan mendecih sinis. Ia juga nampak tersenyum smirk, senyuman jahat nampak terlihat begitu jelas di wajahnya. "Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku, Sha? Kamu gak capek apa terus ganggu hidup aku? Aku tuh capek tau ngadepin kamu terus," sahut Nada bersuara. Pandangan Delisha lantas beralih pada Nada. "Sampai mati pun aku akan terus ada di sekitaran kamu, Nad. Aku akan terus menjadi bayang-bayang kamu dan akan terus mengganggu kamu," jawab Delisha, kali ini ia tidak memasang senyuman smirk, tapi senyumnya nampak terlihat sangat manis. Sayangnya, senyuman manis itu malah membuat Nada ngeri melihatnya. "Aku akan terus ada dalam pandanganmu, Nad," lanjutnya lagi. "Teruslah bermimpi,
"Dia di sini?" gumam Dirga saat membaca pesan dari Ryan yang mengatakan jika Delisha kini sedang berada di ruangan yang sama dengannya. "Kenapa, Mas?" tanya Nada saat dengan tak sengaja mendengar gumaman Dirga. Dirga lantas memperlihatkan layar ponselnya pada Nada seraya berkata, "Ryan bilang kalau Delisha ada di sini," jawab Dirga. "Delisha ada di sini? Mau apa di ke sini?" Nada bertanya walau ia tahu jika sang suami pasti tidak tahu jawabannya. "Mas? Bagaimana kalau dia buat masalah di sini." "Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucap Dirga mulai meraih telapak tangan Nada dan menggenggamnya. "Aku curiga dia datang ke sini mau berulah. Dia sama sekali tidak diundang, terus tiba-tiba ada di sini, jelas ini aneh, kan?" Nada diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, otaknya nampak bekerja keras hingga akhirnya ia berkata, "Mas? Aku rasa saat aku tidak sengaja melihat dia di rumah sakit tempo hari itu, dia juga pasti melihat aku. Ada kemungkinan dia tahu aku ke dokter kandungan dan dia
"Yakin yang Nada dan ibumu lihat itu Delisha?" tanya Ryan setelah mendengar cerita yang baru saja Dirga katakan padanya. Dirga mengangguk. "Nada bilang kalau dia yakin itu Delisha, dan dia bilang kalau ibuku juga yakin kalau itu Delisha. Cuma ya belum pasti saja si Delisha itu datang ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan atau ke dokter spesialis yang lain." "Perlukah ku cari tahu?" Dirga menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak usah, untuk apa? Dia bukan urusan kita. Untuk apa kita mengurusi hidup dia? Kita juga punya kesibukan masing-masing. Semisal dia betulan ke dokter kandungan, ya sudah ... kenapa memangnya? Mungkin dia sudah menikah, kan? Atau, semisal dia ke dokter spesialis yang lain, ya biarkan saja. Mungkin dia sakit dan sedang memeriksakan diri. Tidak usah pedulikan dia." "Ya memang, aku juga tidak peduli dia datang ke rumah sakit untuk apa. Tapi masalahnya kita bisa meminta pertanggung jawaban dia atas apa yang dia lakukan pada Nada. Dia membodohi kita dan secara