Share

Bab 5. Melepaskan

Marwah diam tak menjawab apa yang Nada tanyakan. 

"Nada juga mau Mas Dirga bahagia, Mah, dan kebahagiaan itu bukan bersama Nada.” 

"Maafin Mama Nad ... Maafin Mama ... Maaf Mama tidak bisa mendidik Dirga, Maaf telah membuat kamu terluka separah ini," ucap Marwah sembari menghapus air mata di pipinya, 

Mata Nada mulai berkaca-kaca lagi. "Mama gak salah kok. Nada malah seneng, setidaknya Nada pernah bahagia sama Mas Dirga. Kita pernah saling jatuh cinta dan memadu kasih," ucap Nada, ia menyentuh perutnya yang masih datar.

‘Kita bahkan akan menjadi orangtua,’ batin Nada berucap.

Sambil masih terisak, Nada kembali berucap. “Nanti kalo Mas Dirga udah pulang, bilang sama dia, Nada udah siapin semuanya di kamar. Nada pamit ya. Assalamualaikum," pamit Nada mencium punggung tangan Marwah.

***

Semarang. 

Nada duduk sendirian di kamarnya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan pria yang akan menjadi ayah dari buah hatinya itu. Ia merindukan Dirga, ia rindu senyum dan tawa pria itu. Ia masih tak menyangka jika kisahnya dengan Dirga hanya berjalan singkat.

“Sekarang dia pasti lagi sama perempuan itu….”

Nada jadi membayangkan waktu mereka di awal pernikahan dulu. Dirga sangat manja, tidak mau keluar dari kamar ketika akhir pekan.

Dan sekarang, mungkin pria itu sedang melakukan hal yang sama dengan madunya. Membayangkannya, membuat Nada sesak. 

“Siapa?” suara ibunya tiba-tiba terdengar.

Dian, ibunya Nada, masuk ke kamar, lalu duduk di samping Nada. Ia melihat mata putrinya yang berkaca-kaca. Semenjak pulang kemarin Lusa, Dian sering sekali memergoki putrinya yang diam-diam menangis. 

“Hm? Ng–nggak, Mi,” jawab Nada. 

“Jujur sama Ummi, kamu sedang ada masalah kan dengan Dirga? Kenapa?” tanya Dian.

Nada diam sebentar sebelum akan menjawab. Membuka mulut malah membuat tenggorokannya tercekat.

“M–Mas Dirga ….” ucap Nada dengan suara yang gemetar. 

“Dirga kenapa? Dia menyakiti kamu? Mengangkat tangannya sama kamu jadi kamu memilih pulang ke sini karena tidak tahan?” tanya Dian.

Nada yang menunduk itu menggelengkan kepalanya. “Nada mungkin lebih memilihkan disakiti fisik daripada batin seperti ini.” 

“Terus?” 

Nada mengambil ponsel, ia lantas memperlihatkan sebuah foto pada sang ibu.

“Astaghfirullahaladzim! Dirga … dia menikah lagi?” tanya Dian menatap sang putri dengan tatapan kaget. 

Nada menatap sang ibu dengan air mata yang sudah berurai. Kemudian mengangguk. 

“Iya, sama Delisha…..” 

Nada langsung terisak sesegukan. Dian yang merasakan sakit yang dirasakan sang putri sontak memeluk Nada. 

“Harusnya kalau dia gak mau dijodohin, ngomong dari awal! Kita semua tidak ada yang memaksa! Bukan malah menyakiti kamu seperti ini!” ucap Dian kesal. “Kamu tenang saja, besok Ummi temui ibunya!” 

Nada terduduk tegak dan menatap sang ibu. Kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata.

“Jangan, Ummi kan gak tau apa-apa!”

“Terus? Mau diam saja?” tanya Dian emosi.

Nada menundukkan kepala. “Nada ingin berpisah saja, Nada gak mau jadi orang ketiga di cinta mereka. Nada mau fokus dengan kehamilan Nada saja.” 

Mata Dian kembali terbelalak. “Kamu … hamil?” 

Nada mengangguk.

“Kurang ajar si Dirga itu!” 

*** 

Hari demi hari Nada lalui di kampung ibunya. Memang tidak mudah, tapi ia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya. Ia sadar kalau lebih banyak orang yang menyayanginya di sini.

“Remaja masjid di sini aktif lho, Nad. Ummi juga baru tau kemarin dari Qia,” ucap Dian bersemangat.

Nada dan Dian sedang berjalan bersama setelah pulang menghadiri Tabligh Akbar. Sejak berada di sini, Dian selalu membawa Nada ke dalam kajian-kajian agama agar anaknya tidak diam di rumah terus.

“Beberapa akhi-akhi ada yang anterin ukhti-ukhtinya pulang karena kan malem pulangnya. Jadi mereka itu sebelum masuk masjid, sama yang ada di sana ditanya, pulangnya sama siapa gitu. Kalau sendirian, ada yang anterin,” ibunya kembali bercerita. 

Nada tersenyum tipis. “Akhi-akhi? Ukhti-ukhti? Pfffttt ….” Nada tertawa pelan. 

Akhirnya ia bisa tertawa sejenak setelah stress menghadapi masalah rumah tangganya. 

“Ck! Ummi serius Nada!” sahut Dian dengan mata yang memicing. “Kamu ikutan sana remaja masjid. Siapa tau kan nanti ada salah satu laki-laki yang suka sama kamu.” 

“Jadi ikutan remaja masjid cuma buat begitu? Bukan buat cari ilmu?”

“Ya kan siapa tau aja, Nad. Ini anak remaja masjid lho. Akhlaknya pasti bagus, buktinya dia ikut yang bermanfaat.” 

Nada hanya menggelengkan kepala. Padahal putusan pengadilan belum ada, statusnya secara resmi masih menjadi istri seorang Dirga.

Lagipula, para remaja masjid pun belum tentu benar-benar sholeh.

‘Seperti Mas Dirga… aku takut dikecewakan lagi,’ gumam Nada dalam hati.

“Aku mau datang, tapi kalau niatnya untuk memikat laki-laki nggak ya, Mi!” ucap Nada pada akhirnya karena sang ummi terus mengoceh.

“Kalau Pak Ustadz-nya mau sama kamu gimana?” 

Nada baru saja membuka mulut hendak menjawab. Namun, getaran ponsel di saku gamisnya sudah lebih dulu terasa. Ia lantas menghentikan langkah dan merogoh saku celananya mengambil ponsel.

Terlihat pesan masuk dari nomor yang tak ia kenali lagi. Nomor itu terlihat mengirimi sebuah foto. Akhir-akhir ini sering kali nomor tak dikenal masuk, dan Nada langsung memblokir nomor itu. 

Namun sekarang, ia dilanda rasa penasaran, Nada akhirnya menyentuh nomor itu dan melihat foto yang kini terpampang di pesan chat.

“Astagfirullah!” Nada sontak berucap dengan tangan yang bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status