Share

Bab 4. Pergi

Setelah pembicaraannya dengan Dirga dan setelah pertemuannya dengan Delisha beberapa hari yang lalu. Nada memang tinggal di satu atap yang sama dengan Dirga, tapi sudah tak tidur di satu kamar yang sama.

Di setiap sepertiga malam, pukul 3 dini hari, Nada selalu membisikkan kata cinta di telinga sang suami yang tengah tertidur pulas. Bahkan setelah orang ketiga itu masuk ke rumah tangga mereka pun, diam-diam ia masuk ke kamar di mana Dirga tertidur dan berbisik lirih. 

Seperti yang selalu ia lakukan.

Siang ini, Nada duduk sendirian di meja makan. Ia sama sekali tidak berselera untuk mengisi perut, padahal jam di dinding ruangan sudah menunjukkan pukul 2 siang.

Drrrrttt drrttt.

Pandangan mata Nada beralih pada ponselnya yang bergetar di samping piring. Dahinya mengernyit saat pesan masuk dari nomor yang tidak ia save terlihat di notifikasi. 

Dengan dahi yang mengernyit, Nada mengambil ponselnya dan membaca pesan masuk tersebut. 

Mata Nada terbelalak saat sebuah foto terlihat di layar. Dadanya dengan seketika terasa sesak dan tenggorokannya tercekat.

[Suami kita, Nad.]

Deg!

Foto tersebut memperlihatkan suaminya dan Delisha yang memakai baju pengantin sederhana. Mereka terlihat baru saja selesai melakukan akad.

[Aku tidak merebut. Sudah aku suruh berbagi dan jangan jadi penghalang, tapi kamu malah mempersulit. Egois kamu! Setelah ini maaf kalau Mas Dirga akan lebih sering sama aku. Soalnya kita menikah saling cinta. Beda sama kamu.]

Bulir bening kristal tiba-tiba saja keluar dari mata Nada.

“Jahat! Kalian jahat!” ucap Nada lirih. Menahan sesak di dada yang terasa perih.

Nada merapatkan kedua tangannya di atas meja, kemudian menenggelamkan wajahnya di sana. “Ya Allah … sakit ….” 

***

Nada sudah memutuskan jika keputusan yang ia ambil ialah meninggalkan suaminya. Pesan dari Delisha tadi siang adalah sebuah pukulan yang membuatnya langsung sadar.

Dirga tidak menghargai permintaannya, jadi untuk apa ia bertahan untuknya?

Nada duduk di atas kursi di mana Dirga biasa mengerjakan pekerjaannya, ia menulis surat untuk Dirga dan ia juga sudah menyiapkan kado ‘terindah’ untuk suaminya.

Setelah selesai menulis surat untuk Dirga, ia berjalan ke arah lemari dan mengeluarkan seluruh bajunya dari dalam sana.

Air mata terus menetes membasahi pipi, rasanya sangat berat jika harus pergi dari rumah ini. Tapi cepat atau lambat rumahnya ini akan datang seorang tamu yang akan menetap lama, istri kedua suaminya. 

Dan ia tak sanggup dan tak pernah mau jika harus melihat itu terjadi tepat di depan matanya. Dan mungkin saja setelah kepergiannya nanti, kamar yang ia tinggali sekarang akan menjadi milik Delisha.

Setelah siap semua, Nada mendorong kopernya menuju halaman rumah sembari menunggu taksi online. Ia harus segera pergi sebelum Dirga kembali, dan mungkin membawa Delisha ke sini.

Nada memegang perutnya yang masih datar. "Maafin Ummi sayang,” ucap Nada pelan, air mata kembali menetes lagi.

Semarang. Satu-satunya tempat yang bisa ia tuju adalah kediaman Alm Eyangnya, tinggal bersama sang ibu di sana. Karena setelah sang Eyang tiada, Dian sang ibu kembali ke kota di mana dia di lahirkan.

Tapi apa yang harus ia katakan nanti pada sang ibu? Penjelasan seperti apa yang harus ia jelaskan nanti?

5 menit kemudian taksi itu datang. Sebelum ke stasiun, Nada memutuskan untuk menemui ibu mertuanya terlebih dulu. Bagaimanapun, beliau adalah orangtuanya selama di sini.

“Mah?" Nada tersenyum dan mencium punggung tangan Marwah, ibunya Dirga ketika wanita paruh baya itu membuka pintu.

"Loh? Kenapa?" tanya Marwah bingung ketika melihat Nada tiba-tiba muncul di depannya. “Kok kamu bawa koper besar? Mau menginap di sini? Dirga-nya mana?”

Tenggorokan Nada tercekat saat menatap Marwah, ia bingung bagaimana cara menjelaskannya. Nada memeluk Marwah dan menghapus air matanya cepat.

Marwah pun meraih pergelangan tangan Nada dan menariknya ke arah sofa.

"Ma," ucap Nada, "Nada mau minta tolong sama Mama, boleh?"

Marwah mengerutkan alis bingung "Minta tolong apa?" tanya Marwah semakin tak mengerti setelah tadi ia melihat Nada menitikkan air mata.

Dengan sangat ragu-ragu Nada mulai menceritakan semuanya pada sang ibu mertua. Air mata terus menetes saat ia bercerita, sesekali ia menghentikan ucapannya saat tenggorokannya kembali tercekat hingga ia sulit untuk berbicara dan mengucapkan kata.

Marwah ikut menitikkan air mata tak percaya jika putra kesayangannya itu akan melakukan tindakan bodoh sejauh itu.

"Maaf Mah, maaf karena Nada gak bisa terus berada di samping Mas Dirga, Nada gak sanggup kalau harus ada wanita lain. Maaf kalo Nada durhaka…."

"Ya Allah, Nad ... Kenapa kamu ngomong gitu?" Marwah sontak langsung memeluk sang menantu, "Mama mohon, bertahan sebentar ya? Biar Mama yang ngomong sama Dirga," ucap Marwah.

Nada melepas tubuh Marwah di pelukannya. "Nada datang ke sini bukan untuk mempengaruhi Mama agar berada di kubu Nada.” Nada menggeleng. “Nada cuma mau pamit sama Mama.”

"Tapi, Nada—"

"Mah ... Mama tentu tidak mau kan Mas Dirga terus berbuat dosa? Mama gak mau kan Mas Dirga terus menumpukkan dosa? Mama juga tentu mau kan Mas Dirga bahagia?" tanya Nada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status