Raina baru saja turun dari pesawat terbang yang membawanya pulang. Hari ini dia memutuskan untuk kembali lagi ke kota Bandung. Kota dengan sejuta kenangan dan harapan, tapi kota ini juga menyimpan banyak kepedihan dalam kehidupan cintanya. Kota yang dia tinggalkan selama dua tahun terakhir.
Raina mengambil kopernya dan berjalan menuju luar. Langit di luar bandara sudah meredup, sedikit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Raina mempercepat langkahnya, dia harus bergegas bila tidak ingin terkena hujan. Dia berjalan sambil mengaktifkan kembali ponselnya.
BBaru saja satu menit ponsel itu aktif, banyak notifikasi yang masuk. Raina menghentikan langkahnya, dan memeriksa notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya. Belum sempat ia membuka pesan, ponselnya sudah berdering, dari Ibunya.
"Halo?" Sapa Raina.
"Sudah sampai Na?" Tanya Ibu.
Suara ibu terdengar cemas. Bagaimana tidak, sudah hampir 5 jam wanita paruh baya itu tidak mendapat kabar dari putri satu-satunya. Raina lupa mengabari orang tuanya kalau pesawatnya mengalami keterlambatan selama dua jam. Pantas saja kalau Ibu Raina merasa khawatir. Selama lima jam ini tidak terhitung sudah berapa pesan yang ibu kirim ke ponsel Raina.
"Sudah, lupa bilang kalau ada delay" jawab Raina dengan tenang.
"Kenapa enggak kirim pesan, Ibu sama Ayah cemas sekali" keluh Ibu lagi. Anak gadisnya ini memang pandai sekali membuat dia merasa cemas.
"Ya.., ya.. Maaf Bu" balas Raina lagi. Dia benar-benar lupa, tapi tidak merasa bersalah, pantas Ibu sering jengkel pada anak gadisnya ini.
"Ibu jeput ya?" Ucap Ibu, berharap Raina mengiyakan bantuan sekaligus permintaannya.
Dua tahun tidak pernah bertemu langsung dengan anak gadis semata wayang, jelas Ibu merasa rindu ingin cepat bertemu.
"Enggak perlu Bu, aku udah sama Yasmin, nanti paling makan malam sebentar sama Yasmin" balas Raina, dia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil seperti ini.
Bandung adalah kota kelahirannya sampai dia lulus sekolah, mana mungkin Raina tidak mengenal kota ini walaupun sudah dua tahun tidak pernah pulang.
"Tapi setelah itu langsung pulang kan?" Tanya Ibu lagi, tetap berusaha bersabar. Raina baru saja sampai, jangan sampai mereka berdua langsung beradu pendapat saat baru saja bertemu setelah dua tahun berpisah.
"Emm, " balas Raina pendek.
"Hati-hati" balas Ibu. Raina tidak menjawab, dia hanya mengiyakan lalu mematikan ponselnya.
Ibu hanya bisa menatap layar ponselnya yang sudah tidak terhubung lagi. Memang menyebalkan, tapi dalam hatinya senang, karena anaknya akhirnya kembali, walaupun keras kepala, setidaknya Raina pulang dan menuruti permintaan dirinya kali ini untuk melanjutkan sekolah spesialis.
Masih lekat diingatan Ibu, saat dia dan Raina ribut besar, beberapa minggu sebelum kepergian Raina untuk bertugas di pulau Kalimantan sebagai dokter umum, apalagi daerah tempat bertugasnya termasuk daerah terpencil.
Ibu marah sekali, karena Raina tidak memberitahukan kepada orang tuanya mengenai rencana kepergiannya itu, dia merencanakannya dengan diam-diam, padahal saat itu Raina sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup baik di kota Bandung. Rasanya tidak ada seorang Ibu di dunia ini yang sampai hati melepas anaknya seorang diri ke tempat terpencil. Raina sebelumnya hanya berada di Bandung saja, dia jarang keluar kota sendirian, wajar kalau Ibu langsung protes saat mengetahui rencana kepergiannya.
Kalau saja Ibu tahu alasan kepergian Raina, tentu saja Ibu akan lebih bisa menahan emosinya hari itu. Raina baru saja patah hati dengan Rian, cinta pertamanya sejak masih SMA. Sahabatnya itu baru saja menikah kala itu. Raina patah hati dan memutuskan untuk pergi dari Bandung untuk menata perasaannya. Hanya ada seorang lelaki yang Raina idamkan sejak SMA, Rian, tapi lelaki itu hanya menganggap Raina sebagai sahabatnya saja, dia menikah dengan sahabat Raina, Mischa.
Ibu tidak mengerti mengapa Raina tetap menyukai Rian bahkan setelah mengetahui Rian secara terang-terangan sudah berpacaran dengan Mischa, kadang Ibu merasa ada yang salah dengan otak anak gadisnya itu, hanya orang aneh yang memendam perasaan selama 9 tahun, seperti Raina.
"Nana sudah sampai Bu?" Tanya Ayah, tanpa Ibu sadari, Ayah sedari tadi berada disampingnya. Ibu mengiyakan.
"Dia mau kita jeput?" Tanya Ayah, bersemangat, dia rindu sekali dengan anak gadis satu-satunya itu. Ibu menggeleng.
"Katanya mau pulang sama Yasmin" jawab Ibu.
Yasmin adalah sahabat Raina sejak kecil. Raina bergantung sekali dengan sahabatnya itu. Apapun kesulitan yang sedang Raina alami, Yasmin adalah orang pertama yang akan dia hubungi, kadang Ibu kesal dengan kenyataan itu, bagaimana bisa hubungan dirinya dan Raina tidak seperti hubungan ibu dan anak perempuan lain, batin Ibu.
"Ya udah, kita tunggu aja" balas Ayah, mengerti dengan perasaan kesal istrinya.
Raina mempercepat langkahnya, dia memandang ke segala arah, mencari sosok Yasmin, sahabatnya itu belum muncul. Padahal semalam Raina sudah menghubungi Yasmin, dan setuju untuk menjeput dirinya di Bandara. Raina juga sudah memberi tahu Yasmin kalau pesawatnya mengalami keterlambatan, dia justru lupa memberi tahu Ibu, tapi mengapa batang hidung Yasmin justru belum terlihat. Raina mendongak, menatap langit yang semakin gelap. Dia mulai mencari nomor ponsel Yasmin dan menghubungi sahabatnya itu.
"Halo?" Sapa Raina.
"Na, udah sampai?" Tanya Yasmin. Suaranya terdengar terengah-engah, seperti sedang berjalan cepat.
"Udah, lu dimana?" Tanya Raina lagi.
"Sori banget Na, gue baru kelar jalan sama cowok gue buat cari kado ultah nyokapnya, ini udah on the way sana kok" jawab Yasmin.
Raina menghela napas panjang, menahan emosinya karena Yasmin tidak menepati janjinya untuk menjemput tepat waktu.
"Kita langsung ketemuan ditempat biasa aja" balas Raina. Dia malas menunggu.
Daerah menuju bandara Husein Sastranegara adalah daerah yang penuh kemacetan, apalagi sore adalah jam-jam sibuk di jalanan Bandung. Bisa-bisa Raina harus menunggu selama satu sampai dua jam.
"Beneran enggak apa-apa?" Tanya Yasmin, langkahnya berhenti. Dia merasa bersalah sekali terlambat datang menjeput karena mengiyakan ajakan pacarnya untuk membeli kado, tapi mau bagaimana, itu juga masalah masa depannya.
"Enggak apa, lu langsung jalan ke tempat ketemuan aja" jawab Raina.
"Oke, makan malam harus gue yang traktir ya" balas Yasmin, hatinya lega karena Raina tidak merajuk seperti biasanya. Sahabatnya itu dulu sering sekali merajuk untuk hal-hal kecil. Sepertinya sekarang sudah sedikit berubah, pikir Yasmin.
"Oke" balas Raina, menutup sambungan telepon dan mulai mencari taksi.
Raina sedikit menyesali keputusannya, harusnya dia minta dijeput saja oleh Ayah dan Ibunya kalau tahu akan seperti ini jadinya, batin Raina.
Baru saja beberapa menit kembali ke Bandung, dia sudah merasa kesepian lagi, batin Raina. Dia cepat-cepat menepis rasa itu, dia harus berubah menjadi lebih baik, untuk mendapatkan cinta baru yang mengisi hatinya agar tidak lagi merasa kesepian.
_________
Halo.. perkenalkan saya Rizka, penulis baru disini, semoga suka cerita saya ini ya..
Jangan lupa untuk menuliskan komentar di bawah ya.. dan follow IG saya di rizka_author
Happy reading
"Lu beneran enggak marah sama gue kan?" Tanya Yasmin, melirik ke arah Raina. Ini sudah pertanyaan yang ketiga kalinya. Yasmin masih merasa tidak percaya karena sahabatnya itu tampak tenang-tenang saja, tidak seperti dulu. Gadis di hadapannya itu justru sibuk dengan steaknya. Biasanya, Raina akan marah, merajuk dan sedikit mendramatisir keadaan, dia juga akan mengatakan kalimat-kalimat yang berlebihan, kadang terdengar menyindir seperti, "Yah, mau bilang apa, gue kan cuman temen enggak penting dikehidupan lu kalau dibandingin sama cowok lu," , atau "Iya deh yang mau beliin kado buat calon mertua, apalah gue ini yang jomblo karatan". Kalimat-kalimat menjengkelkan dari Raina itu kadang membuat Yasmin merasa sangat kesal pada sahabatnya ini, tidak jarang mereka malah jadi bertengkar. Kalau saja Yasmin tidak tahu mengenai kisah patah hati Raina, sudah pasti dia tidak akan tahan
Hari yang dinanti akhirnya tiba, selama satu minggu ini Raina sibuk mengikuti ujian masuk spesialisasi. Hari pertama, Raina harus mengikuti ujian psikotes terlebih dahulu. Raina berjalan dengan terburu-buru, dia tidak mendapatkan tempat parkir yang dekat, karena daerah tempat uji psikotesnya memang sempit dan sedikit menyediakan lahan parkir. Raina masuk ke dalam, ada beberapa orang yang sudah datang disana, Raina menyapa dengan sopan dan duduk di tempat kosong. Gadis itu baru saja selesai mengatur napasnya, saat dia mendadak teringat dengan ponselnya yang masih terpasang dengan kabel untuk mengisi baterai di mobil. "Ah bodoh, ketinggalan" umpat Raina dengan suara sepelan mungkin sambil mengetuk keningnya, dia memaki dirinya sendiri karena sifat pelupanya. Raina kembali lagi menuju mobilnya, yang letaknya cukup jauh. Saat kembali, Raina melihat ada spot parkir yang kosong.&nb
Hari yang sudah dinanti-nanti oleh puluhan peserta ujian masuk spesialis akhirnya tiba, Raina datang sedikit terlambat, tadinya dia ingin berangkat bersama Yasmin, tapi seperti biasa Raina terlambat bangun sehingga Yasmin lebih dulu berangkat. Sampai di tempat ujian, Raina menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk mencari sosok sahabatnya lalu tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang "Hai, apa kabar?" sapa seseorang dari belakang, dia menyentuh bahu Raina. Gadis itu membalikkan tubuhnya dan mendapati lelaki dengan senyuman termanis menyapanya pagi ini. "Hai!" sapa Raina membalas dengan senyuman lebar, hatinya senang karena hari ini dia bertemu lagi dengan Radit. "Siap ujian?" ucap Radit, sambil tersenyum. Awalnya dia merasa canggung karena tidak mengenal seorang pun disini, hatinya lega saat melihat kehadiran Raina. Setidaknya ada yang bisa Radit ajak berbic
Baru sekitar dua detik pesan tulisan Radit sampai, Irna sudah langsung menghubungi kekasihnya itu. "Halo?" Sapa Radit, dia cukup terkejut melihat nama Irna muncul di layar ponselnya. Mengapa tiba-tiba kekasihnya menghubungi dirinya, tanya Radit dalam hati. Entah mengapa Radit merasa bersalah pada kekasih hatinya itu. Seharian ini dia bersama gadis lain, yang baru dia jumpai 2 kali saja, tapi gadis itu seperti sudah Radit kenal bertahun-tahun. Radit bisa langsung akrab. Hatinya pun terasa nyaman berada di dekat Raina. "Ujiannya gimana?" Tanya Irna, mengulangi pertanyaannya yang sudah dia tanya di pesan tulisan tadi. "Enggak masalah Sayang, bisa kok" jawab Radit dengan tenang. "Aku pikir kamu lagi kesel karena ujiannya sulit, makanya sampai enggak kabari aku" ucap Irna, mulai menyindir Radit karena tidak langsung menghubungi diriny
Ponsel Raina berdering selama beberapa menit, sudah entah berapa kali Yasmin mencoba menghubungi Raina. Gadis itu baru saja selesai shift jaga malam pagi ini di klinik 24 jam tempat dia bekerja sementara, dia baru tertidur selama dua jam, tentu saja Raina tidak mendengar ponselnya yang berbunyi terus-menerus. Ibu masuk ke dalam kamar Raina karena sedari tadi mendengar ponsel anaknya berbunyi. Ibu mendapati Raina yang masih tertidur pulas. Dengan hati-hati, wanita paruh baya itu mengambil ponsel yang berada tepat di samping tubuh Raina. Ibu takut membangunkan anaknya itu, wajah Raina jelas kelelahan, siapa yang tidak lelah setelah jaga selama 24 jam. Ibu melihat di layar ponsel, ada nama Yasmin disana. "Na, lu tidur ya? Gue telpon berkali-kali lama bener angkat teleponnya, pasti kebo deh tidurnya" Omelan Yasmin langsung terdengar diujung sana. Ibu hanya tersenyum mendengar omelan sahabat anaknya itu. Memang Yasmin sel
"Naaaa... Nanaaaaaa!!!!!!" Teriak Yasmin saat Raina menjawab teleponnya. Raina masih setengah tertidur, dia spontan menjauhkan ponselnya dari telinganya. Terbangun karena teriakan sahabatnya itu. "Ada apaan sih Yas?" Tanya Raina lagi, matanya masih tertutup. Sementara tangan kanannya sudah bergerak untuk menahan ponselnya tetap berada di telinganya. "Jangan bilang lu baru bangun, lu masih jaga malam kan??? Ah Nanaaa kebangetan banget deh ini bocah!!! Cepetan banguuun!! Kita diminta kumpul satu jam lagi, di kamar jaga residen penyakit dalam, Na!!" Jawab Yasmin cepat. Kepala Raina masih kosong, dia masih terdiam. Otaknya belum berhasil mencerna kalimat Yasmin. "Raina! Cepetan bangun dan segera ke rumah sakit! Kalau enggak kita seangkatan bakal dihukum!!" Teriak Yasmin lagi. "Apa?! Dihukum?!" Batin Raina dalam hati. Raina langsung membuka m
"Untung kalian enggak terlambat, kalau terlambat bisa-bisa kita satu kelompok langsung kena hukuman" ucap lelaki dengan wajah dingin dan datar itu lagi saat melihat kehadiran Radit dan Raina. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah angkuh, memberikan tatapan dingin sedingin es batu. Raina membalas dengan tatapan sebal, siapa orang sombong ini, mukanya datar sekali, tanya Raina dalam hati. "Ayo ke kamar jaga, jangan sampai kita yang dicariin" lanjut lelaki dingin itu lagi. Raina masih mengatur napasnya, tiba-tiba dia sudah diminta berjalan lagi. Gadis itu langsung merutuk di dalam hati sambil memandang sengit lelaki itu. Rasanya dia baru berhenti selama beberapa detik saja untuk mengambil napas, tapi lelaki itu seperti tidak mau menunggu lama. Dasar lelaki tidak punya hati, maki Raina lagi. "Siapa sih dia? Baru juga pertama ketemu udah super jutek samabossy bener" b
Hari masih menunjukkan pukul 7 pagi, Raina baru saja turun ke dapur untuk membantu ibu memasak sarapan. Terhitung mulai hari ini dia memutuskan untuk tidak lagi bekerja di klinik manapun. Yasmin sudah memarahi dirinya berulang kali, belum lagi kejadian di hari perdana mereka bertemu senior itu membuat Raina sadar kalau sebagai residen paling junior, dia harus siap sedia setiap saat. Tiba-tiba ponselnya berdenting, ada pesan yang masuk. Raina mengambil ponselnya, semenjak kejadian beberapa hari yang lalu itu, Raina tidak pernah jauh-jauh dari ponselnya. Dia juga mengaktifkan volume paling tinggi supaya bunyi ponselnya selalu terdengar. Pesan itu dari Tama, si ketua angkatan yang sangat menyebalkan itu. Sebelum membuka pesan itu, Raina berdecak karena selalu kesal setiap melihat nama Tama. "Jarkom: Hari ini ketemuan sama ketua panitia pemilihan CR, dikamar jaga jam 3.30. Kita kumpul di kafe dekat kamar jaga jam 3 tepa
"Hmmm, pemandangan yang indah, film yang bagus, makanan yang enak dan teman yang menyenangkan. Ini malam minggu terbaik" celetuk Radit, mengalihkan pandangannya kepada Raina."Eh?" Raina bergumam tanpa sadar. Tapi dia segera menutup mulut nakalnya."Ya, rasanya kita bisa malam mingguan lagi kapan-kapan" balas Radit."Malam mingguan lagi?" Tanya Raina ulang. Jantungnya berdetak cepat. Apa ini berarti Radit mengajaknya berkencan lagi? Ingin rasanya Raina menari saking girangnya."Ya, mungkin lain kali kita bisa nonton lagi.." balas Radit, sedikit menggantungkan kalimatnya. Radit menyadari wajah terkejut dari Raina. Apa gadis ini menjadi sedikit salah mengerti mendengar dia menyebutkan kalimat tadi, pikir Radit."Sekalian mengajak Yasmin, Tama dan teman angkatan kita lainnya" Radit cepat-cepat melanjutkan kalimatnya. Khawatir Raina semakin salah sangka.&nbs
"Akhirnya tenang juga" ucap Raina, menarik napas dalam-dalam sambil menutup mata. Mereka saat ini sedang berada di gedung bioskop dan sedang mengantre memesan tiket nonton. Bioskop memang ramai, tapi tidak berdesakan seperti kafe tempat makan mereka sebelumnya. Raina merasa jauh lebih lega. "Kafe tadi terlalu berisik ya?" tanya Radit, dia baru sadar kalau Raina merasa tidak nyaman sebelumnya, sedikit merasa bersalah karena dia yang memaksa untuk makan disana, padahal jelas-jelas kafe tadi padat pengunjung. "Oh, enggak, hanya. Emm, sedikit penuh saja, kita enggak bisa ngobrol enak" balas Raina langsung, khawatir Radit merasa tidak enak hati. Bukan masalah kafe tadi penuh dan sesak oleh pengunjung, tapi letak masalahnya ada pada Rian dan Mischa. "Masih lama waktu nonton, mau minum kopi? Atau makan makanan kecil lain sebelum nonton?" tawar Radit. Rasa bersalah membuat dia menawari Raina untuk ke tempat lain
"Makan disini enggak apa-apa?" Tanya Radit. Mereka saat ini masuk di sebuah kafe yang berada di dalam mall. Kafe itu memang terlihat padat pengunjung. Wajar saja karena kota Bandung di akhir pekan tidak mungkin tidak ramai. Selain itu, kafe ini juga sedang naik daun di media sosial. Raina sedikit mengernyitkan keningnya, sedikit tidak setuju karena terlalu ramai. Raina tidak terlalu penyuka keramaian. Dia lebih suka suasana yang sepi, karena dia bisa makan dan mengobrol dengan tenang. Apalagi ini kali pertama dia bisa berduaan dengan Radit, Raina ingin suasana yang tenang, tidak riuh seperti ini. "Kalau enggak mau juga enggak apa, kita cari lagi tempat lain" balas Radit setelah melihat wajah enggan dari Raina. "Enggak apa-apa, disini aja Dit" tolak Raina cepat. Dia melirik wajah Radit dan melihat kalau lelaki itu sepertinya ingin sekali makan di tempat ini. Walaupun
Akhir pekan akhirnya datang. Kata orang hari-hari di akhir pekan adalah siksaan untuk orang yang baru saja putus. Radit baru tahu rasanya sekarang. Sabtu ini dia tidak punya janji apapun dengan siapapun. "Hah, membosankan sekali" gumam Radit. Sepanjang pagi dia hanya menyetel televisi dan menonton dengan pikiran kosong. Dia mengambil ponselnya dan mulai melihat-lihat film apa yang sedang diputar minggu ini di bioskop. "Apa ajak jalan anak kosan ya?" Radit mulai menemukan ide di kepalanya saat melihat film action yang terlihat cukup seru sudah tayang mulai minggu ini. Radit segera melihat jadwal jaga, baik Yasmin, Tama maupun Raina tidak ada yang jaga hari ini. Lelaki itu segera keluar dari kamar untuk mencari teman kosnya. Saat baru menuruni tangga, Radit bertemu dengan Raina. Gadis itu berjalan ke arah kulkas yang terletak di dapur kos dengan mata setengah terpejam, rambut berantakan dan dia mas
"Apa Kakak enggak kangen sama aku? Setelah putus Kakak sama sekali enggak pernah hubungi aku," keluh Irna. Dia merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Radit padanya setelah putus. Irna pikir Radit akan mengejar-ngejar dirinya setelah dia meminta putus, tapi kenyataannya justru Radit malah mendiamkan dirinya dan sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya. "Aku rasa, kita butuh momen untuk sama-sama sendiri, supaya kita bisa pikirkan bagaimana hubungan kita selama ini" balas Radit. Dia masih sangat menyukai Irna, tapi kembali menjadi kekasih Irna masih sedikit sulit bagi Radit. Lelaki itu masih butuh waktu untuk memikirkan hubungan mereka yang dia rasa mulai tidak sehat. "Aku kangen Kakak" ucap Irna tiba-tiba. Dia merasa harus jujur tentang hal ini. "Rindu?" ucap Radit dalam hati, dia cukup terkejut dengan kejujuran Irna. Detak jantung Radit menjadi cepat saat mendengar ucapan mantan kek
Entah Raina harus bahagia atau justru waspada dengan keadaan yang saat ini dia hadapi, yang pasti selama Radit putus dari kekasihnya, lelaki itu selalu menempel pada Raina, dimana pun dan kapan pun. Tidak terasa sudah dua minggu Radit putus dari Irna. Dalam hati Radit merasa sangat nyaman, tidak ada lagi yang mengatur dengan kejam semua kehidupannya. Dia bisa menjalani kehidupan residensi dengan nyaman. Semakin hari keduanya semakin lengket, dimana ada Raina pasti ada Radit disana. "Na, selesai dari rumah sakit, kita makan dulu ya sebelum pulang ke kos" ajak Radit disela-sela acara ilmiah. "Em" balas Raina langsung mengiyakan tanpa pikir panjang, dia bahkan lupa kalau hari ini orang tuanya datang untuk melihat kamar kosnya. Sudah dua minggu Raina belum juga mengizinkan ayah ibunya untuk datang. "Oke!" balas Raina dengan bersemangat sambil mengacungkan jempolnya. Dia selalu senang setiap diajak makan
(3 menit sebelumnya) "Gue jawab telepon dulu ya, agak berisik disini" ucap Radit, beranjak pergi menuju sudut di luar bioskop. "Gue jawab telepon dulu ya, agak berisik disini" ucap Radit berdiri, dia tidak bisa menjawab telepon Irna di tengah suasana gaduh begini. Pasti kekasihnya itu akan bertambah kesal. "Jangan lama-lama, bentar lagi teaternya mau buka" balas Raina, mengingatkan. Radit mengangguj sambil melambaikan tangannya. "Ada yang mau beli minum?" Tanya Yasmin, Raina langsung mengiyakan. "Gue enggak, enggak seru nonton sambil makan minum, terlalu mengganggu" balas Tama, menggeleng. Dia lebih suka menikmati film tanpa gangguan makan dan minum. Sayang sekali kal
"Oke, Raina ikut juga" ucap Radit. "Oh, oke" balas Yasmin, melirik Raina sambil tersenyum geli. Bukan Yasmin namanya kalau tidak bisa menebak isi kepala sahabatnya yang paling drama itu."Oke, Raina ikut juga" ucap Radit. "Oh, oke" balas Yasmin, melirik Raina sambil tersenyum geli. Bukan Yasmin namanya kalau tidak bisa menebak isi kepala sahabatnya yang paling drama itu. Beberapa detik kemudian Tama terlihat menuruni tangga. Raina yang pertama menyadari, dia langsung melirik kesal ke arah Tama. "Buat apa si kanebo kering itu ikut-ikutan?" Batin Raina dalam hati.
"Tadi sih curhat berantem hebat sama pacarnya" balas Yasmin. "Tadi sih curhat berantem hebat sama pacarnya" balas Yasmin. Yasmin teringat cerita Radit beberapa hari terakhir. Radit cukup nyaman untuk berkeluh kesah dengan Yasmin, mungkin karena Radit tahu Yasmin punya hubungan serius dengan kekasih Yasmin dan gaya berpacaran Yasmin dan kekasihnya dewasa sekali. Radit mengagumi itu, berbeda dengan gaya pacaran dirinya dan Irna. Kekasihnya masih manja, seenaknya dan jauh dari kata dewasa. Setiap hari selalu ada saja bahan untuk bertengkar. Radit kadang merasa lelah sendiri menghadapi sikap kekanakan dari Irna.