Mengubah posisi tidur, Sera yang kedinginan menekuk kaki, meringkuk berusaha mencari rasa hangat. Setengah sadar, ia membuka mata kemudian memejam lagi. Sebuah bau aneh masuk ke hidung, ia mengikuti insting. Menggeliat seperti ulat ke arah depan, kemudian berhenti saat hidung sudah dipenuhi bau yang dicari.
Sera sudah hampir terlelap lagi kala sentuhan di pipi datang tiba-tiba. Membuka mata, jemari di pipi tadi membawa wajahnya untuk mendongak. Berkedip beberapa kali, perempuan itu menautkan alis. Mencerna keadaan yang ada sebentar, lalu menurunkan pandangan.
"Maaf," lirihnya. Perlahan bergeser menjauh. "Boleh saya pinjam selimut ini?" Tidak diberi jawaban, tapi lelaki itu beranjak turun dari tempat tidur. Sera menganggap itu sebagai persetujuan.
Duduk di tepi, ia melilitkan selimut ke tubuh. Kedua mata dibawa mengitari ruangan, cemas mulai datang saat didapati jarum jam hampir di angka sepuluh. Membasahi tenggorokan suaranya mulai keluar.
"Maaf. Tapi, bisakah saya pergi sekarang?"
Sudah memakai celana pendeknya, Dimitri terdiam di tepian ranjang. Wajah sepenuhnya mengarah pada perempuan yang memunggungi. Sungguh reaksi yang diluar dugaan. Tak ada tangis atau ratap penuh drama. Padahal, tadi itu Sera tanpa sangat tertekan dan terpaksa di awal kegiatan mereka.
Dimitri menjelaskan. Bukan masalah jika Sera ingin pergi bahkan sebelum malam berakhir. Namun, uang sejumlah seratus juta itu tak ia miliki. "Berikan saja nomor rekeningmu. Akan kukirim sekarang juga."
Sera menggeleng. Menggaruk kening, otaknya mulai bekerja. "Bisakah kamu memberiku tiga juta dulu? Sisanya ... akan saya ambil besok." Harusnya bisa meminta bantuan Rio, tapi temannya itu menolak ikut campur. Rio hanya ingin sebatas mengenalkan Sera dengan Dimitri. Soal pembayaran, lelaki itu tak ingin ikut campur. Mengambil komisi saja tidak.
"Akan kuambil." Dimitri berdiri. Langkahnya yang hendak keluar dari kamar terhenti saat Sera kembali bersuara. Perempuan itu meringis dalam posisi setengah berdiri, satu tangan bertumpu pada tempat tidur.
Dia ragu bertanya, jadi terus menatapi.
"Boleh saya pakai kamar mandi?"
Satu alis tebal pria itu menukik. Sudah tidak lagi memunggungi, tapi Sera masih tak menunjukkan wajah. Perempuan dengan selimut yang melilit tubuh itu terus menunduk. Seolah enggan bertukar tatap. Dimitri yakin Sera sedang menahan sakit, sebab tangannya menggenggam selimut sangat erat.
"Kalau ingin, kamu bisa ambil makanan di dapur." Tak diberi jawaban, Dimitri berlalu dari sana.
***
Usai mandi, Sera menatapi pantulan dirinya di cermin. Mual mendadak muncul. Jijik pada diri sendiri, tapi juga ingin menjerit meratapi dan mengasihani diri. Air mata tanpa sadar jatuh. Buru-buru dihapus. Tak ada waktu untuk menangis. Ibunya di rumah pasti cemas.
Ini bukan saatnya menangis dan memandang diri sebagai korban. Ini saatnya memutar otak, mencari asalan yang tepat untuk memberikan uang tiga juta tadi pada ibunya tanpa membuat curiga.
Dimitri tak kunjung datang, Sera putuskan keluar dari kamar itu. Menuruni tangga, ia melihat si empunya rumah ada di ruang tamu. Tak sanggup Sera membalas tatapan tajam yang dilempar, ia memilih memandangi anak tangga di bawah kaki. Sebisa mungkin mempercepat langkah.
Baru saja berdiri di dekat meja, Sera melihat lelaki tadi menggeser tumpukan uang di meja ke pinggir. Kaki Sera lemas saat mengambilnya dari sana. Resmi sudah ia menjual diri. Hati kembali dikuatkan. Dianggapnya ini sebagai pengorbanan untuk sesuatu yang baik.
Mengingkari kesalahan.
"Terima kasih. Saya permisi dulu." Undur diri, Sera menggigit bibirnya yang bergetar.
Murah. Gampang. Tidak beradab. Sungguh memalukan. Aib. Kotor. Menjijikan.
Semua kata itu berdenging nyaring di telinga. Mengiringi langkah Sera meninggalkan rumah mewah itu.
Sera sudah melewati pintu, Dimitri melangkah mendekat pada jendela. Menarik gorden, dilihatnya perempuan tadi sudah sampai di depan pagar, di samping sepeda motor milik Rio. Sebuah pemandangan yang mengusik langsung menyapanya.
Sera berjongkok, kedua bahunya tampak bergetar. Di depannya, Rio yang memasang raut sedih menepuk-nepuk bahu si perempuan.
Perempuan itu menangis. Namun, tidak di hadapannya. Kenapa?
Tadinya menampilkan raut datar, kali ini Dimitri menatap sengit ke sana. Rio sedang memakaikan helm pada Sera. Membantu perempuan itu naik ke sepeda motor dengan hati-hati. Pemandangan yang menghasilkan rasa tak nyaman karena ... entah. Dimitri tak paham.
Kasar, ditutupnya gorden jendela kaca tadi. Terserah. Urusannya dan Sera sudah selesai. Sungguh bodoh mengintip perempuan itu seperi tadi.
***
Turun dari sepeda motor, Sera mengusapi wajah kasar. Jangan sampai ada jejak air mata yang bisa dilihat ibu dan adik-adiknya. Pamit pada Rio, perempuan itu melangkah masuk.
Jantung berpacu cepat. Dibarengi rasa nyeri, seluruh tubuh Sera lemas. Ingin sekali segera melempar diri ke kasur, lalu tidak bangun lagi.
"Kamu dari mana saja, Sera?" Tina yang akhirnya diliputi lega memukul lengan putrinya.
Mencoba tersenyum, Sera mengajak ibunya duduk di lantai. Perempuan itu keluarkan uang dari saku kaus. Bisa Sera lihat Tina, Hares dan Theo membelalakkan mata.
Kakaknya Rio. Sera menumbalkan tokoh fiktif itu sebagai sumber uang yang ia bawa. Ria, kakaknya Rio itu berbaik hati meminjamkan uang tersebut. Menolong mereka agar bisa pindah.
Rasanya Sera ingin menusukkan pisau ke dada saat Tina menangis haru. Adik-adiknya tersenyum bersemangat karena tahu tak akan berakhir di jalanan.
Keluarganya menatapnya bak seorang pahlawan, tapi Sera amat membenci dirinya. Hina sekali cara yang dipakai untuk membantu ibu dan adik-adik. Menjual harga diri, berbohong pula.
"Besok Hares yang nemenin Ibu nyari kontrakan baru."
Tina mengangguk, tersenyum tulus pada Sera.
Sera ikut-ikutan melengkungkan bibir, meski sesuatu di pelupuk matanya nyaris tumpah. Air mata penyesalan. Sera menyesal karena harus melakukan sesuatu yang menjijikkan agar bisa menolong dan memperjuangkan hidup.
Pamit ke kamar, tubuhnya jatuh terduduk di balik pintu. Suara-suara penuh semangat dan bahagia ibu dan adik-adiknya di luar sana membuat rasa bersalah semakin menjadi. Perempuan itu menjambak rambut, mengatai diri menjijikkan berulang kali.
Di saat seperti ini, Sera ingin ada seseorang yang bisa mengucapkan kalimat itu. Kalimat berisi pembelaan atas perbuatannya ini.
Tak apa. Yang kamu lakukan memang salah, tapi tujuanmu melakukannya bisa menyelamatkanmu dari kesalahan itu. Caramu salah, tapi tujuanmu baik.
Ingin sekali Sera mendengar kalimat itu. Dia butuh pembenaran. Dia butuh alasan mengelak. Namun, satu sisi diri bertanya. Benarkah ada hal seperti itu? Sekalipun untuk sesuatu yang baik, benarkah cara yang salah bisa dimaafkan?
Pikirannya bercabang lagi. Saat ini, tak ada satu pun hal baik yang dimiliki lagi. Semua yang melekat padanya adalah keburukan. Lalu, masih pantaskah mengharapkan sesuatu yang baik setelah ini?
Masa depan yang lebih baik. Adakah itu untuk Sera?
Dulu sekali, Sera punya impian sederhana. Perempuan ini ingin sekali merasakan apa itu jatuh cinta. Dia penasaran dengan cerita-cerita orang yang berkata jatuh cinta bisa membuat jantungmu berdegup manis dan jutaan kupu-kupu berterbangan di perut.
Jatuh cinta dan memiliki toko buku sendiri. Sungguh impian Sera hanya sesederhana itu. Namun, saat ini, agaknya tak akan ada yang bisa terjadi. Semua sudah tak mungkin.
Larut dengan pikiran, Sera menangis dalam diam. Pandangan matanya kosong. Di dada hanya hampa dan sesal yang berkecamuk. Pikiran negatif mulai berdatangan.
Bagaimana jika hal yang sudah dilakukannya ketahuan oleh ibu dan adik-adiknya. Bagaimana bila orang-orang tahu. Dia akan jadi cemoohan, keluarganya akan ikut menanggung malu. Belum lagi bila hal ini sampai diketahui pihak berwajib. Bukan hanya dirinya, Rio juga akan ikut terseret.
Sera menggeleng cepat. Apa pun yang terjadi, dia harus tutup mulut. Perempuan itu meyakinkan diri, sampai satu hal buruk lain mampir di terkaan.
Bagaimana bila perbuatannya hari ini meninggalkan hasil. Bagaimana jika dia ... hamil.
Pagi yang tidak terlalu baik. Baru saja terjaga, Dimitri segera diserang rasa tak enak hati. Tidak tahu kenapa, seperti ada yang tidak sesuai dengan keinginan. Tak bersemangat, rasanya ingin kembali tidur. Namun, terpaksa lelaki ini duduk, karena ponsel di atas nakas bergetar.Banyak pesan masuk, sepeti biasa. Rata-rata berisi laporan keadaan toko dan rumah makan miliknya. Soal berapa pegawai yang terlambat, siapa-siapa saja yang kinerjanya tampak baik sampai siang ini, dan sebagainya. Tidak berselera, semua itu tak dibaca dengan teliti. Dibiarkan saja, lelaki ini memberi atensi lebih pada satu nomor tak memiliki nama, tapi dia kenali.Nomor itu milik Rio. Mengirim satu pesan, dua kali panggilan. Dimitri membacanya, kemudian ekspresi datar tapi tak ramah itu terlihat di wajah.[Kamu sehat, 'kan? Sera demam kemarin.]Parah. Tak punya sopan santun. Bisa-biasanya tuduhan demikian disematkan padanya. Memangnya Dimitri tak punya akal? P
Sera berlari, terus memaksa kaki yang terasa amat kebas bergerak secepat mungkin. Napas memburu, kepalanya terus-menerus menoleh ke belakang, memastikan yang mengejar tak bisa mencapai dirinya.Perempuan itu nyaris menangis. Semua gelap, tak tahu harus berlari ke mana. Sesak, pengap, ia juga hendak muntah. Kemudian, kaki menabrak sesuatu. Sera terjatuh, lantas pekat yang sejak tadi mencoba menangkap berhasil melahapnya.Dia terbangun dengan peluh di sekujur tubuh.Tiga hari sudah ia dan keluarga pindah ke rumah ini. Sebuah rumah yang lumayan jauh dari jalan besar, masuk ke dalam gang sempit. Tiga hari sudah juga Sera selalu dihampiri mimpi buruk semacam tadi. Dikejar, entah oleh apa dan siapa. Yang jelas, dia merasa sesuatu yang mengejar itu hendak menghabisinya.Mengusap wajah kasar, Sera duduk di pinggir kasur tipis di ruangan kecil itu. Kamar di rumah baru ini hanya ada dua. Satu untuk ayah dan ibu, satunya dipakai Hares dan The
Sempat membatalkan niat untuk pergi ke restoran yang memasang iklan adanya lowongan pekerjaan, dengan terpaksa Sera berangkat ke sana. Meski pikiran kusut akibat pertengkaran dan rencana berpisah Tina dan Ferdi. Belum lagi pipi yang bengkak dan sakit.Sera tak tahu harus bersikap seperti apa. Satu sisi tak ingin ayah dan ibu bercerai. Namun, satu sisi lagi mengamini apa yang Tina katakan. Ia tak tahan jika terus-terusan serumah dengan ayah yang suka memaki dan menyalahkannya setiap saat. Masalah siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga, Sera merasa bisa mengambil tanggungjawab itu. Bagaimanapun, rumah yang damai adalah kebutuhan utama juga.Perempuan itu menghela napas. Rasanya beban yang dipikul tak sudah-sudah. Berat, dia nyaris menyerah. Sembari meratap dalam hati, kakinya melangkah menuju rumah makan di pinggir jalan itu.Bertemu kasir, Sera diminta menitipkan surat lamaran di sana saja. Penuh harap perempuan itu memberikan amplop c
Mengerang, Dimitri yang memejam membawa tubuh untuk kembali tegak, meninggalkan perempuan di atas ranjang begitu saja. Duduk di tepi, pria itu merutuki diri, mengabaikan rengekan protes dari teman tidurnya malam ini."Kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba berhenti?" Memeluk dari belakang, wanita berambut panjang itu mencoba menarik atensi pria itu lagi.Jangankan memberi penjelasan pada wanita itu, Dimitri bahkan tak mampu membuat dirinya sendiri paham tentang apa yang tengah dialami. Ini sudah yang kedua pria itu gagal tidur dengan perempuan setelah peristiwa dengan Sera.Sera. Perempuan asing itu tampaknya membawa masalah. Bisa-bisanya Dimitri dibuat kehilangan selera seperti ini. Dua kali gagal. Semua selalu berakhir begini. Penyebabnya sama, wajah Sera yang tiba-tiba muncul di depan mata. Membuat terkejut sekaligus melenyapkan keinginan menuntaskan hasrat. Gila. Tidak masuk akal, tapi itu terjadi."Aku akan
Belum terlalu larut, tapi Sera sudah ada di lantai atap. Lantai paling atas di rumah tiga tingkat, yang dua hari belakangan menjadi tempat tinggalnya. Selain satu kamar, di sana juga disediakan kamar mandi yang bisa ia gunakan.Dua hari sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di rumah Mirna Adinata, Sera belum menemukan titik terang soal siapa orang yang secara khusus harus dilayani nantinya. Tebakan sebelumnya keliru, ternyata bukan pria bernama Dante itu yang akan menjadi bosnya. Selama dua hari belakangan pula Sera tak diberi pekerjaan yang berat. Paling hanya membantu bu Tesa menyiapkan sarapan dan makan malam.Hari ini juga sama. Usai menata makanan di meja, Sera naik ke kamarnya. Nyonya rumah sedang pergi sejak sore, sedang Dante tengah mendapat kunjungan dari seorang tamu.Di lantai rooftop, dekat pagar pembatas, Sera berbaring dengan beralaskan karpet kecil. menatap ke taburan bintang di atas sana, suasana damai lumayan menenangkan. Pi
Dimitri menaruh amplop cokelat tebal itu di atas meja. Menyilangkan kaki, ia melirik Rio di hadapan. Memberi isyarat untuk pria itu agar mengambil pemberiannya.Pukul sepuluh malam, usai menikmati tiga botol bir, Dimitri memanggil Rio untuk bicara di sudut bar, berdua. Pria ini tak mau berutang. Karena Sera sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di kediaman Mirna, maka Dimitri merasa harus membayar bantuan Rio."Aku bantuin Sera." Rio menolak bayaran tersebut. Pikirnya, hanya memberitahukan info lowongan kerja dari Dimitri, tak perlulah dibayar. Lagipula, temannya memang perlu sekali pekerjaan.Menaikkan dagu, Dimitri memasang raut siap perang. "Apa kamu berniat memacari Sera?"Kecurigaan Dimitri beralasan. Rio tampak ringan sekali membantu perempuan itu. Ini yang kedua kali Rio mencarikan dan memberi pekerjaan pada Sera. Belum lagi, apa yang dilihatnya di resto waktu itu. Rio terlihat menikmati saat menyentuh tangan Sera.
Menggeliat, Sera membuka mata perlahan. Keningnya gegas berkerut, lalu memejam lagi. Rasa tak nyaman langsung menyerang, dia mengubah posisi tidur. Membelakangi bayangan pria yang tadi dilihat.Menaikkan selimut, Sera yang memutuskan untuk tak meneruskan tidur merutuk dalam hati. Bisa-bisanya otak melakukan ini. Tidak habis bermimpi, bagaimana bisa dia melihat sosok pria itu di sini?Tidak mengenali, hanya tahu nama. Namun, wajah pria itu masih terekam baik di ingatan Sera, sayangnya. Dan yang dilihatnya barusan saat bangun tidur adalah benar lelaki yang sudah membayarnya sebesar seratus juta.Mengingatnya membuat kesal, berhalusinasi melihatnya seperti tadi menjadikan Sera ingin sekali menggigit lidah sendiri. Dia meremas selimut yang dipakai.Satu detik, dua detik, Sera terkesiap, segera menegakkan tubuh.Jika ingatan masih bagus, kemarin Sera tidur tanpa selimut di luar sini. Lalu, bagaimana bisa pagi ini dirinya me
Keputusan sudah dibuat. Siang ini, setelah beberapa jam beristirahat, Sera beranjak dari tempat tidur. Menarik daun pintu di kamar rooftop itu, di tangan dua tas ransel menggantung. Sera sudah memutuskan, dia tidak akan sanggup bekerja di rumah ini, lebih-lebih harus menjadi pelayan pria itu.Sera akan mengundurkan diri. Masalah alibi pekerjaan, dia bisa pikirkan nanti. Meski tahu mencari pekerjaan tak semudah membalik tangan.Sudah keluar dari kamar, langkah berhenti. Dua tas tadi kembali ditaruh ke lantai. Sebuah panggilan dari Tina masuk ke ponsel."Iya, Bu." Setenang mungkin dia bersuara."Kamu sedang sibuk, Sera? Ibu ada hal yang ingin dibicarakan."Tidak biasanya ibunya seserius itu, Sera mendengarkan dengan sungguh. Menit berlalu, usai di seberang sana ibunya mengucapkan maksud, perempuan ini luruh ke lantai. Terduduk lemas dengan ekspresi nanar.Tina meminjam uang pada Lidia, salah atau  
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."