Pagi yang tidak terlalu baik. Baru saja terjaga, Dimitri segera diserang rasa tak enak hati. Tidak tahu kenapa, seperti ada yang tidak sesuai dengan keinginan. Tak bersemangat, rasanya ingin kembali tidur. Namun, terpaksa lelaki ini duduk, karena ponsel di atas nakas bergetar.
Banyak pesan masuk, sepeti biasa. Rata-rata berisi laporan keadaan toko dan rumah makan miliknya. Soal berapa pegawai yang terlambat, siapa-siapa saja yang kinerjanya tampak baik sampai siang ini, dan sebagainya. Tidak berselera, semua itu tak dibaca dengan teliti. Dibiarkan saja, lelaki ini memberi atensi lebih pada satu nomor tak memiliki nama, tapi dia kenali.
Nomor itu milik Rio. Mengirim satu pesan, dua kali panggilan. Dimitri membacanya, kemudian ekspresi datar tapi tak ramah itu terlihat di wajah.
[Kamu sehat, 'kan? Sera demam kemarin.]
Parah. Tak punya sopan santun. Bisa-biasanya tuduhan demikian disematkan padanya. Memangnya Dimitri tak punya akal? Pikirannya dangkal, begitu? Jika saja Rio ada di depan mata, maka sudah pasti akan tercipta baku pukul.
Diakui ia memang suka kehidupan bebas. Namun, bukan berarti akal sehat ditinggal apalagi tak dipakai. Selalu bermain aman adalah prinsip. Bisa dihitung dengan satu tangan berapa kali pria ini tak pakai pengaman saat berhubungan. Yang kemarin malam dengan Sera adalah yang kedua.
Sera. Mengingat nama itu, Dimitri terpikirkan kesepakatan mereka kemarin. Hari ini perempuan itu akan datang untuk mengambil sisa bayaran. Lelaki di atas ranjang ini merapikan rambut, satu umpatan lolos dari bibir. Sisa uang tersebut belum tersedia di rumah. Pukul berapa Sera akan datang juga tidak diketahui. Tampaknya sebutan pintar harus dia tanggalkan.
Dimitri membuka aplikasi memo di gawai. Di jadwal yang disusunnya sendiri tertulis hari ini adalah waktunya kunjungan ke salah satu toko. Di jalan Mandiri, dengan agenda inspeksi dadakan pada karyawan baru.
Menatapi dinding putih di hadapan selama sepuluh detik, pria itu melempar ponsel ke sisi lain tempat tidur. Merebahkan tubuh, dia urung memejam karena bau khas yang masuk ke hidung. Dimitri kembali duduk, mengacak rambut kasar. "Bi Ima! Ganti seprei sama selimut!"
Membatalkan kunjungan ke toko roti miliknya, Dimitri melakukan banyak hal hari itu. Menggantikan tugas Bu Ima, seprei dan selimut digantinya sendiri. Mengambil uang ke bank, sekaligus berbelanja kebutuhan rumah. Kemudian, berenang, memasak makan siang sendiri lalu masuk ke ruangan kesukaan.
Hampir sore, tapi tamu yang ditunggu tak kunjung datang. Saat ini Dimitri ada di kamar paling sudut, di lantai dua. Tempat kesukaan yang di dalamnya ada satu set sofa, meja dan kursi kerja, karpet biru langit di sudut kiri, persis dekat dinding, rak-rak kayu penuh buku. Jangan bayangkan pria ini adalah seseorang dengan hobi membaca, yang kepalanya penuh pengetahuan. Salah besar. Keliru.
Yang Dimitri paling suka di ruangan ini adalah kursi goyang di dekat karpet biru. Kursi yang sering digunakan para lansia itu adalah barang kesayangannya. Seperti sekarang, saat duduk di sana, ekspresi tenang tampak di raut yang biasanya terlihat datar, tapi mengintimidasi itu. Tubuh yang perlahan berayun memberi rasa damai, hingga Dimitri merasa bahwa tengah berada di surga.
Dibalik sikap kelewat datar yang orang-orang selalu gaungkan, Dimitri hanyalah seorang pria dewasa yang suka akan kedamaian saat tubuhnya dibawa bergerak teratur bak dinina bobokan di sebuah kursi goyang rotan. Absurd.
Sempat memejam, lelaki itu membuka mata lagi. Menatap lurus ke depan, sebuah foto besar menjadi fokus pandangan. Gambar dirinya, sedang tersenyum lebar sambil memegang sebuah medali hasil lomba lari maraton setahun lalu.
Bangga menelusup hati. Dirinya pada foto itu adalah Dimitri terbaik yang pernah diusahakan. Setelah sekian lama, impian sederhana itu akhirnya bisa dicapai. Meski bukan ajang lomba yang bergengsi, hanya maraton dimana semua peserta lari akan mendapatkan medali, tapi lelaki ini amat mengagungkan pencapaian itu.
Dulu sekali, Dimitri punya cita-cita. Ingin menjadi atlet lari. Namun, ayahnya yang seorag pebisnis menentang. Dia dipaksa sekolah dan menekuni semua hal tentang bisnis. Anak baik, sulung, tepaksa menurut. Dimitri bahkan sempat menjabat posisi CEO di perusahaan keluarga tiga tahun lalu. Setelah ayahnya wafat, posisi menjanjikan itu diserahkan pada Dante.
Tak mungkin lagi mewujudkan cita-cita, dengan uang tabungan yang ada Dimitri memulai usaha. Toko roti dan rumah makan adalah yang dipilih. Tidak mudah, beberapa kali usahanya tak mencapai tujuan. Namun, kegigihan dan keras kepala akhirnya membuahkan hasil seperti sekarang. Total, ada sepuluh toko dan lima rumah makan sudah ia miliki dalam waktu tujuh tahun.
Kursi terus bergoyang, Dimitri yang mulai mengantuk diusik oleh ketukan tanpa jeda di pintu. Membukanya, Bu Ima yang terlihat panik muncul di depan mata. Membawa kabar bahwa ada tamu yang pingsan di ruang tamu.
Berjalan santai, Dimitri berkedip tenang saat menemukan Sera terbaring di sofa ruang tamunya. Mata perempuan itu tertutup, wajahnya tampak seputih kertas. Dimitri teringat pesan dari Rio, dia menghela napas.
Ini tindakan spontan saja, Dimitri meminta Bu Ima memanggil dokter, sementara dirinya membawa Sera ke kamar. Lelaki ini sempat mengernyit saat merasakan suhu tubuh Sera yang tinggi.
"Dia siapa, Tuan?" Usai dokter pergi, Bu Ima memberanikan diri bertanya. Sempat takut karena Dimitri tak kunjung bersuara selama satu menit.
"Namanya Sera. Ada urusan sama saya. Pingsan karena lagi demam tinggi." Dimitri mengatai Sera bodoh. Sudah tahu sakit, kenapa harus nekat datang dan menyusahkan begini. "Merepotkan," gumamnya tanpa sadar.
Bu Ima tersenyum. "Menolong orang itu perbuatan baik. Nanti dibalas sama Yang Kuasa." Wanita berusia 50 tahun itu mengingatkan.
Dimitri mengangguk saja. "Tolong buatkan makanan untuk dia, setelah bangun harus dikasih obat kata dokter." Dia menaikkan alis sebentar. Mengapa harus sejauh ini? Peduli apa Sera meminum obat atau tidak.
Asisten rumah tangganya pergi, Dimitri tak beranjak dari pinggir ranjang. Pria itu malah mengeluarkan ponsel dari saku, mulai membaca dan memeriksa pesan-pesan dan laporan dari manager toko. Sesekali melirik Sera, memastikan orang itu masih bernapas atau tidak.
Satu jam kemudian, Sera akhirnya sadar. Diterpa pusing, perempuan itu memegangi kepala dan berusaha memfokuskan penglihatan. Mendapati Dimitri ada di sana, wanita di belakang pria itu membuat ingatan mulai baik.
Sera duduk, kalimat pertama yang diucap adalah permintaan maaf.
"Mari makan, dokter bilang harus makan obat itu." Ima menunjuk obat-obat di atas nakas. "Saya bantu," sambungnya sembari memegangi lengan Sera.
Sera menggeleng. Ini rumah orang, menyusahkan adalah sikap buruk. "Saya ingin langsung pulang saja."
Dimitri mencegah Bu Ima membujuk tamu mereka untuk makan. Ia minta wanita itu keluar, kemudian dia ambil plastik hitam dari lemari pakaian, diberikannya pada Sera.
Tubuh lemas dan nyeri, kepala juga pusing, Sera mencoba memikirkan cara untuk bisa membawa uang itu ke rumah. Jika dibawa dengan keadaan seperti sekarang, adik dan ibunya pasti akan bertanya. Mau tak mau dia harus memberi alasan dan terpaksa menunjukkan isinya. Semua akan kacau.
Perempuan itu melirik Dimitri sekilas. "Apa di rumah ini ada kotak kosong dan buku?"
Setengah kesal, yang ditanya berdeham sebagai jawaban.
Cara ini yang akan Sera coba. Uang akan ditumpuk di kotak, di atasnya ditutup dengan beberapa buku. Kalaupun ibu dan adiknya bertanya, ia bisa mengatakan itu hanya buku dan menunjukkan bagian atas.
Mengabaikan rasa tak nyaman karena sejak tadi ditatapi datar oleh si pemilik rumah, Sera mengikuti Dimitri yang mulai melangkah keluar. Entah hendak ke mana, ia mengekori saja di belakang sembari menunduk. Tak sengaja ditabraknya punggung si laki-laki.
"Jalan duluan." Dimitri memberi ruang agar Sera jalan di depannya. Dari belakang, dengan tatapan kesal ia memberi instruksi harus belok dan melangkah ke mana.
Tak lama berjalan, Sera dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruangan. Pikirnya itu gudang untuk mengambil kotak kosong, ternyata bukan. Berhenti di dekat pintu, itu menatap kagum pemandangan di depan mata.
Rak kayu cokelat berisi penuh oleh buku. Sembari terus mengagumi, ia mengambil beberapa buku dari sana setelah dipersilakan. Mulai menyusun uang, kemudian menutupinya dengan enam buku tadi.
"Boleh minta lem untuk kotak ini?"
Dimitri berteriak memanggil Leo. Seorang pria berusia 40 tahun masuk ke sana, dia memberi perintah. "Tolong lem kotak ini. Jangan sentuh isinya." Tegas, penuh dominasi dan ancaman dia berucap.
"Baik, Tuan." Menunduk, Leo membawa pergi kotak tadi.
"Enam buku tadi, aku harus bayar berapa?" Sera menghitung lembaran uang yang sudah sempat disisihkan. Menatapi Dimitri sebentar, ia menunduk dalam.
Sejak tadi fokus pada wajah perempuan yang barusan bertanya, Dimitri menggigit bibir kesal. Sedetik kemudian ia menyeringai.
"Aku menolak dibayar dengan uang." Kakinya bergerak, mendekat pada Sera, memojokkan hingga perempuan itu berdiri rapat dengan rak. Dua tangan besar itu menangkup wajah Sera. "Aku menolak dibayar dengan uang. Bibirmu kering."
Sera berlari, terus memaksa kaki yang terasa amat kebas bergerak secepat mungkin. Napas memburu, kepalanya terus-menerus menoleh ke belakang, memastikan yang mengejar tak bisa mencapai dirinya.Perempuan itu nyaris menangis. Semua gelap, tak tahu harus berlari ke mana. Sesak, pengap, ia juga hendak muntah. Kemudian, kaki menabrak sesuatu. Sera terjatuh, lantas pekat yang sejak tadi mencoba menangkap berhasil melahapnya.Dia terbangun dengan peluh di sekujur tubuh.Tiga hari sudah ia dan keluarga pindah ke rumah ini. Sebuah rumah yang lumayan jauh dari jalan besar, masuk ke dalam gang sempit. Tiga hari sudah juga Sera selalu dihampiri mimpi buruk semacam tadi. Dikejar, entah oleh apa dan siapa. Yang jelas, dia merasa sesuatu yang mengejar itu hendak menghabisinya.Mengusap wajah kasar, Sera duduk di pinggir kasur tipis di ruangan kecil itu. Kamar di rumah baru ini hanya ada dua. Satu untuk ayah dan ibu, satunya dipakai Hares dan The
Sempat membatalkan niat untuk pergi ke restoran yang memasang iklan adanya lowongan pekerjaan, dengan terpaksa Sera berangkat ke sana. Meski pikiran kusut akibat pertengkaran dan rencana berpisah Tina dan Ferdi. Belum lagi pipi yang bengkak dan sakit.Sera tak tahu harus bersikap seperti apa. Satu sisi tak ingin ayah dan ibu bercerai. Namun, satu sisi lagi mengamini apa yang Tina katakan. Ia tak tahan jika terus-terusan serumah dengan ayah yang suka memaki dan menyalahkannya setiap saat. Masalah siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga, Sera merasa bisa mengambil tanggungjawab itu. Bagaimanapun, rumah yang damai adalah kebutuhan utama juga.Perempuan itu menghela napas. Rasanya beban yang dipikul tak sudah-sudah. Berat, dia nyaris menyerah. Sembari meratap dalam hati, kakinya melangkah menuju rumah makan di pinggir jalan itu.Bertemu kasir, Sera diminta menitipkan surat lamaran di sana saja. Penuh harap perempuan itu memberikan amplop c
Mengerang, Dimitri yang memejam membawa tubuh untuk kembali tegak, meninggalkan perempuan di atas ranjang begitu saja. Duduk di tepi, pria itu merutuki diri, mengabaikan rengekan protes dari teman tidurnya malam ini."Kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba berhenti?" Memeluk dari belakang, wanita berambut panjang itu mencoba menarik atensi pria itu lagi.Jangankan memberi penjelasan pada wanita itu, Dimitri bahkan tak mampu membuat dirinya sendiri paham tentang apa yang tengah dialami. Ini sudah yang kedua pria itu gagal tidur dengan perempuan setelah peristiwa dengan Sera.Sera. Perempuan asing itu tampaknya membawa masalah. Bisa-bisanya Dimitri dibuat kehilangan selera seperti ini. Dua kali gagal. Semua selalu berakhir begini. Penyebabnya sama, wajah Sera yang tiba-tiba muncul di depan mata. Membuat terkejut sekaligus melenyapkan keinginan menuntaskan hasrat. Gila. Tidak masuk akal, tapi itu terjadi."Aku akan
Belum terlalu larut, tapi Sera sudah ada di lantai atap. Lantai paling atas di rumah tiga tingkat, yang dua hari belakangan menjadi tempat tinggalnya. Selain satu kamar, di sana juga disediakan kamar mandi yang bisa ia gunakan.Dua hari sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di rumah Mirna Adinata, Sera belum menemukan titik terang soal siapa orang yang secara khusus harus dilayani nantinya. Tebakan sebelumnya keliru, ternyata bukan pria bernama Dante itu yang akan menjadi bosnya. Selama dua hari belakangan pula Sera tak diberi pekerjaan yang berat. Paling hanya membantu bu Tesa menyiapkan sarapan dan makan malam.Hari ini juga sama. Usai menata makanan di meja, Sera naik ke kamarnya. Nyonya rumah sedang pergi sejak sore, sedang Dante tengah mendapat kunjungan dari seorang tamu.Di lantai rooftop, dekat pagar pembatas, Sera berbaring dengan beralaskan karpet kecil. menatap ke taburan bintang di atas sana, suasana damai lumayan menenangkan. Pi
Dimitri menaruh amplop cokelat tebal itu di atas meja. Menyilangkan kaki, ia melirik Rio di hadapan. Memberi isyarat untuk pria itu agar mengambil pemberiannya.Pukul sepuluh malam, usai menikmati tiga botol bir, Dimitri memanggil Rio untuk bicara di sudut bar, berdua. Pria ini tak mau berutang. Karena Sera sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di kediaman Mirna, maka Dimitri merasa harus membayar bantuan Rio."Aku bantuin Sera." Rio menolak bayaran tersebut. Pikirnya, hanya memberitahukan info lowongan kerja dari Dimitri, tak perlulah dibayar. Lagipula, temannya memang perlu sekali pekerjaan.Menaikkan dagu, Dimitri memasang raut siap perang. "Apa kamu berniat memacari Sera?"Kecurigaan Dimitri beralasan. Rio tampak ringan sekali membantu perempuan itu. Ini yang kedua kali Rio mencarikan dan memberi pekerjaan pada Sera. Belum lagi, apa yang dilihatnya di resto waktu itu. Rio terlihat menikmati saat menyentuh tangan Sera.
Menggeliat, Sera membuka mata perlahan. Keningnya gegas berkerut, lalu memejam lagi. Rasa tak nyaman langsung menyerang, dia mengubah posisi tidur. Membelakangi bayangan pria yang tadi dilihat.Menaikkan selimut, Sera yang memutuskan untuk tak meneruskan tidur merutuk dalam hati. Bisa-bisanya otak melakukan ini. Tidak habis bermimpi, bagaimana bisa dia melihat sosok pria itu di sini?Tidak mengenali, hanya tahu nama. Namun, wajah pria itu masih terekam baik di ingatan Sera, sayangnya. Dan yang dilihatnya barusan saat bangun tidur adalah benar lelaki yang sudah membayarnya sebesar seratus juta.Mengingatnya membuat kesal, berhalusinasi melihatnya seperti tadi menjadikan Sera ingin sekali menggigit lidah sendiri. Dia meremas selimut yang dipakai.Satu detik, dua detik, Sera terkesiap, segera menegakkan tubuh.Jika ingatan masih bagus, kemarin Sera tidur tanpa selimut di luar sini. Lalu, bagaimana bisa pagi ini dirinya me
Keputusan sudah dibuat. Siang ini, setelah beberapa jam beristirahat, Sera beranjak dari tempat tidur. Menarik daun pintu di kamar rooftop itu, di tangan dua tas ransel menggantung. Sera sudah memutuskan, dia tidak akan sanggup bekerja di rumah ini, lebih-lebih harus menjadi pelayan pria itu.Sera akan mengundurkan diri. Masalah alibi pekerjaan, dia bisa pikirkan nanti. Meski tahu mencari pekerjaan tak semudah membalik tangan.Sudah keluar dari kamar, langkah berhenti. Dua tas tadi kembali ditaruh ke lantai. Sebuah panggilan dari Tina masuk ke ponsel."Iya, Bu." Setenang mungkin dia bersuara."Kamu sedang sibuk, Sera? Ibu ada hal yang ingin dibicarakan."Tidak biasanya ibunya seserius itu, Sera mendengarkan dengan sungguh. Menit berlalu, usai di seberang sana ibunya mengucapkan maksud, perempuan ini luruh ke lantai. Terduduk lemas dengan ekspresi nanar.Tina meminjam uang pada Lidia, salah atau  
Mirna semringah. Menyesap teh yang datang dua menit lalu, bergantian dipandanginya Dimitri dan Dante. Rona bahagia tampak jelas di parasnya yang anggun. Sangat kontras dengan keadaan dua pria di hadapan yang terus menekuk wajah.Hari ini sangat berkesan. Dari pagi hingga sore, kedua buah hati ada di sisi. Menemaninya olahraga, sarapan, bertemu teman-teman arisan, berbelanja dan menikmati secangkir teh hangat di salah satu kafe. Luar biasa, karena setelah sekian lama wanita ini kembali merasa menjadi ratu."Jadi, mari kita bahas sesuatu yang serius." Menaruh cangkir keramiknya, Mirna menegakkan tubuh, duduk dalam posisi terbaik.Dimitri dan Dante mengalihkan pandangan dari ponsel masing sebentar. Si bungsu yang hendak buka mulut segera merapatkan bibir kemabli saat si ibu melotot.Tinggal bersama sudah, kali ini Mirna akan melancarkan serangan utama. Pernikahan, wanita itu meminta kedua putranya menyuarakan, menjelaskan rencana soal
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."