Keputusan sudah dibuat. Siang ini, setelah beberapa jam beristirahat, Sera beranjak dari tempat tidur. Menarik daun pintu di kamar rooftop itu, di tangan dua tas ransel menggantung. Sera sudah memutuskan, dia tidak akan sanggup bekerja di rumah ini, lebih-lebih harus menjadi pelayan pria itu.
Sera akan mengundurkan diri. Masalah alibi pekerjaan, dia bisa pikirkan nanti. Meski tahu mencari pekerjaan tak semudah membalik tangan.
Sudah keluar dari kamar, langkah berhenti. Dua tas tadi kembali ditaruh ke lantai. Sebuah panggilan dari Tina masuk ke ponsel.
"Iya, Bu." Setenang mungkin dia bersuara.
"Kamu sedang sibuk, Sera? Ibu ada hal yang ingin dibicarakan."
Tidak biasanya ibunya seserius itu, Sera mendengarkan dengan sungguh. Menit berlalu, usai di seberang sana ibunya mengucapkan maksud, perempuan ini luruh ke lantai. Terduduk lemas dengan ekspresi nanar.
Tina meminjam uang pada Lidia, salah atau  
Mirna semringah. Menyesap teh yang datang dua menit lalu, bergantian dipandanginya Dimitri dan Dante. Rona bahagia tampak jelas di parasnya yang anggun. Sangat kontras dengan keadaan dua pria di hadapan yang terus menekuk wajah.Hari ini sangat berkesan. Dari pagi hingga sore, kedua buah hati ada di sisi. Menemaninya olahraga, sarapan, bertemu teman-teman arisan, berbelanja dan menikmati secangkir teh hangat di salah satu kafe. Luar biasa, karena setelah sekian lama wanita ini kembali merasa menjadi ratu."Jadi, mari kita bahas sesuatu yang serius." Menaruh cangkir keramiknya, Mirna menegakkan tubuh, duduk dalam posisi terbaik.Dimitri dan Dante mengalihkan pandangan dari ponsel masing sebentar. Si bungsu yang hendak buka mulut segera merapatkan bibir kemabli saat si ibu melotot.Tinggal bersama sudah, kali ini Mirna akan melancarkan serangan utama. Pernikahan, wanita itu meminta kedua putranya menyuarakan, menjelaskan rencana soal
Pagi yang masih sama. Mentari masih terbit dari timur, Sera juga masih harus setia dengan pekerjaannya. Mungkin, sedikit berbeda pagi ini karena perempuan itu harus ke kamar Dimitri untuk mengambil pakaian kotor. Ini permintaan langsung dari sang bos. Kemarin, setelah membuatkan mi, Sera dipanggil ke kamar untuk membicarakan ini. Dimitri tidak suka karena yang mengambil pakaian kotornya masihlah bu Tesa atau Sania. Katanya, Dimitri tidak nyaman jika wanita seumuran ibunya seperti bu Tesa harus mengurusi pakaian kotornya. Dan Sania, lelaki itu merasa asing dengan asisten rumah tangga tersebut. Karenanya, menginginkan agar Sera sendiri yang mengurusi bagian itu juga mulai hari ini. Setengah hati, pintu kamar Dimitri Sera ketuk. Sahutan pertanda izin masuk terdengar dari dalam, ia melangkah malas. Baru saja hendak mencari letak keranjang pakaian kotor, Sera lebih dulu terkejut akan pemandangan di depan mata. Di dekat ranjang
Menumpang angkot dalam perjalanan menuju rumahnya, Sera menepikan sejenak rasa senang dan tidak sabar bertemu ibu dan adik-adik. Ia teringat perkataan Dimitri pagi tadi. Tentang pengakuan rasa peduli Dimitrilah yang menyebabkan ia ada di rumah Mirna. Firasat buruk mulai mengusik karena hal itu. Sera merasa bahwa kebetulan yang dialaminya memang sedikit janggal.Sera mengetahui info lowongan kerja itu dari Rio. Kecil kemungkinan temannya itu sengaja menempatkannya di situasi sangat tidak nyaman begini. Rio jelas-jelas tahu bahwa pekerjaan kotor itu sangat membuat batin tersiksa. Jadi, mana mungkin menjebaknya seperti ini. Namun, lagi-lagi kalimat Dimitri terngiang di telinga. Tidak mungkin juga bosnya itu asal bicara, 'kan?Suara klakson yang supir bunyikan membuat Sera kembali ke keadaan sekarang. Rasa senangnya mulai membuncah lagi karena menyadari bahwa sudah dekat dengan rumah. Kue di pangkuan Sera pegang kuat. Matanya menatap tak sabar ke ja
Langit sudah gelap saat untuk kesekian kalinya Dimitri menilik arloji di tangan. Tatapannya sesekali terarah ke depan, ke tempat di mana berdiri sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari.Ini diluar dugaan Dimitri. Pikirnya tadi, hanya akan mengikuti Sera untuk tahu tempat mana yang perempuan itu tuju hingga harus minta izin libur sejak siang hingga sore di hari gajian. Namun, ternyata rasa penasaran malah melebar ke mana-mana. Siapa yang ditemui Sera. Siapa anak kecil yang Sera pegang tangannya dan siapa pemuda muda yang terus menatapi perempuan itu dengan sorot sayang.Jadilah Dimitri di sini. Masih mengintai dari dalam mobil, menanti Sera keluar dari rumah dan kembali ke kediaman Mirna.Masih belum ada tanda-tanda dari orang yang ditunggu, Dimitri memutar kembali ingatan. Sungguh, hari ini tidak akan dilupakan. Hari ini, pertama kalinya ia melihat Sera bersikap layaknya manusia hidup. Bukan sekadar diam, menunduk, mengangguk, me
Terserah. Mungkin sudah ratusan kali kata itu Dimitri gaungkan di kepala. Saat kemarin melihat Sera menggendong ransel dan berjalan keluar melewat pagar. Atau, dini hari tadi, saat dirinya terbangun dan tak bisa tidur lagi. Dan sekarang, saat nasi goreng buatan bu Tesa mendarat di lidah dan ia malah mengingat rasa nasi goreng yang lainnya.Terserah. Lelaki itu yakin mampu mengatur hati. Toh, Sera bukan siapa-siapa. Entah baru seminggu atau nanti setelah sebulan kepergian orang itu, tidak akan ada yang berubah dalam hidupnya.Terserah. Persetan. Masa bodoh dengan Sera."Bu Tes! Ini nasi goreng enggak dikasih kecap?"Bu Tesa menatap iba pada anak majikannya. "Mau ibu buatkan yang baru? Yang kecapnya lebih banyak?" Ia menarik piring penuh itu dari hadapan Dimitri.Yang ditanyai mengangguk, menyandarkan punggung ke kursi, kemudian menatap menerawang.Selagi bu Tesa menyiapkan
"Enggak sadar apa bangkainya segede tiang listrik?"Kalimat bermuatan rasa kesal itu Dante lontarkan sembari melempar tubuh Dimitri ke sofa di ruang tamu. Memegangi pinggang yang lumayan pegal, ia mengumpati si kakak. Pulang di dini hari, dalam keadaan tak sadar karena mabuk pula. Beruntung Mama mereka sedang pergi dan baru akan kembali lusa."Sera. Nasi goreng."Rahang Dante nyaris jatuh ke lantai mendengar itu. Si pemabuk di sofa meracau barusan. Menyebut nama Sera, mantan asisten pribadinya."Kamu dengar saya, Sera?! Wajah saya di sini, bukan di lantai!" Suara bentakan menggema, Dimitri duduk dan menatap tak fokus pada sekeliling.Dante mendekat ke pinggir dudukan kakaknya. Ditatapnya lamat-lamat wajah merah dan kacau itu. Sebuah asumsi menggelitik, tak suka penasaran, segera disuarakan."Kamu ... mabuk karena Sera? Kamu ... suka Sera, Dim?"Mata Dimitr
Maudi, gadis cantik dengan dress merah selutut itu tampak berdiri gelisah di depan rumahnya. Di sebelah sudah ada satu koper yang akan dibawa ke tempat yang dituju, rumah tante Mirna.Menyisipkan helai rambut ke belakang telinga, perempuan itu membasahi bibir. Gugup mendera mengingat ke mana dan akan apa ia nantinya. Seorang pria bernama Dimitri yang fotonya dilihat kemarin malam terus berenang di kepala.Tante Mirna. Yang Maudi tahu, wanita baik hati itu adalah teman lama dan salah salah karib ibunya. Masalah perjodohan yang dua wanita itu buat, baru diberitahu padanya kemarin malam. Sekaligus meminta persetujuan tentu saja.Pria itu namanya Dimitri. Dari yang Maudi lihat, anak sulung Tante Mirna itu sangat rupawan. Salah satu alasan mengapa ia bersedia ikut ke rumah Mirna dan menginap di sana demi menjalani pendekatan.Awalnya Maudi merasa risih dengan perjodohan ini. Sudah zaman apa dan bukanny
Hampir tidur seharian, Dimitri akhirnya keluar dari kamar pukul tiga sore. Kebetulan hari ini jadwalnya kosong. Mengontrolnya toko dan rumah makan sudah dilakukan dua hari kemarin. Niatnya akan tidur sampai besok pagi, tetapi gedoran kelewat tak sopan di pintu--ulah Mirna--membuat niat itu harus dibuang jauh-jauh."Bu Tes, air hangat." Dimitri berkata pada pada Bu Tesa di ruang tamu. Di sofa satunya, si ibu sudah melotot."Kamu itu. Harusnya hari ini kamu ajak Maudi jalan-jalan. Bukan tidur seharian kayak ... apa itu, Bu Tes? Yang pernah Sera bilang?"Bu Tesa menaruh segelas air hangat di meja. "Sendi si tupai yang lagi hibernasi.""Hah, itu."Hening. Mendadak Dimitri terdiam. Sera. Ia mulai mengingat sudah berapa lama tak bertemu dengan perempuan itu."Dimitri Adinata!"Mata pria itu memicing sebentar pada ibunya. Usai menandaskan air dari gelas, ia menyi