Menumpang angkot dalam perjalanan menuju rumahnya, Sera menepikan sejenak rasa senang dan tidak sabar bertemu ibu dan adik-adik. Ia teringat perkataan Dimitri pagi tadi. Tentang pengakuan rasa peduli Dimitrilah yang menyebabkan ia ada di rumah Mirna. Firasat buruk mulai mengusik karena hal itu. Sera merasa bahwa kebetulan yang dialaminya memang sedikit janggal.
Sera mengetahui info lowongan kerja itu dari Rio. Kecil kemungkinan temannya itu sengaja menempatkannya di situasi sangat tidak nyaman begini. Rio jelas-jelas tahu bahwa pekerjaan kotor itu sangat membuat batin tersiksa. Jadi, mana mungkin menjebaknya seperti ini. Namun, lagi-lagi kalimat Dimitri terngiang di telinga. Tidak mungkin juga bosnya itu asal bicara, 'kan?
Suara klakson yang supir bunyikan membuat Sera kembali ke keadaan sekarang. Rasa senangnya mulai membuncah lagi karena menyadari bahwa sudah dekat dengan rumah. Kue di pangkuan Sera pegang kuat. Matanya menatap tak sabar ke ja
Langit sudah gelap saat untuk kesekian kalinya Dimitri menilik arloji di tangan. Tatapannya sesekali terarah ke depan, ke tempat di mana berdiri sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari.Ini diluar dugaan Dimitri. Pikirnya tadi, hanya akan mengikuti Sera untuk tahu tempat mana yang perempuan itu tuju hingga harus minta izin libur sejak siang hingga sore di hari gajian. Namun, ternyata rasa penasaran malah melebar ke mana-mana. Siapa yang ditemui Sera. Siapa anak kecil yang Sera pegang tangannya dan siapa pemuda muda yang terus menatapi perempuan itu dengan sorot sayang.Jadilah Dimitri di sini. Masih mengintai dari dalam mobil, menanti Sera keluar dari rumah dan kembali ke kediaman Mirna.Masih belum ada tanda-tanda dari orang yang ditunggu, Dimitri memutar kembali ingatan. Sungguh, hari ini tidak akan dilupakan. Hari ini, pertama kalinya ia melihat Sera bersikap layaknya manusia hidup. Bukan sekadar diam, menunduk, mengangguk, me
Terserah. Mungkin sudah ratusan kali kata itu Dimitri gaungkan di kepala. Saat kemarin melihat Sera menggendong ransel dan berjalan keluar melewat pagar. Atau, dini hari tadi, saat dirinya terbangun dan tak bisa tidur lagi. Dan sekarang, saat nasi goreng buatan bu Tesa mendarat di lidah dan ia malah mengingat rasa nasi goreng yang lainnya.Terserah. Lelaki itu yakin mampu mengatur hati. Toh, Sera bukan siapa-siapa. Entah baru seminggu atau nanti setelah sebulan kepergian orang itu, tidak akan ada yang berubah dalam hidupnya.Terserah. Persetan. Masa bodoh dengan Sera."Bu Tes! Ini nasi goreng enggak dikasih kecap?"Bu Tesa menatap iba pada anak majikannya. "Mau ibu buatkan yang baru? Yang kecapnya lebih banyak?" Ia menarik piring penuh itu dari hadapan Dimitri.Yang ditanyai mengangguk, menyandarkan punggung ke kursi, kemudian menatap menerawang.Selagi bu Tesa menyiapkan
"Enggak sadar apa bangkainya segede tiang listrik?"Kalimat bermuatan rasa kesal itu Dante lontarkan sembari melempar tubuh Dimitri ke sofa di ruang tamu. Memegangi pinggang yang lumayan pegal, ia mengumpati si kakak. Pulang di dini hari, dalam keadaan tak sadar karena mabuk pula. Beruntung Mama mereka sedang pergi dan baru akan kembali lusa."Sera. Nasi goreng."Rahang Dante nyaris jatuh ke lantai mendengar itu. Si pemabuk di sofa meracau barusan. Menyebut nama Sera, mantan asisten pribadinya."Kamu dengar saya, Sera?! Wajah saya di sini, bukan di lantai!" Suara bentakan menggema, Dimitri duduk dan menatap tak fokus pada sekeliling.Dante mendekat ke pinggir dudukan kakaknya. Ditatapnya lamat-lamat wajah merah dan kacau itu. Sebuah asumsi menggelitik, tak suka penasaran, segera disuarakan."Kamu ... mabuk karena Sera? Kamu ... suka Sera, Dim?"Mata Dimitr
Maudi, gadis cantik dengan dress merah selutut itu tampak berdiri gelisah di depan rumahnya. Di sebelah sudah ada satu koper yang akan dibawa ke tempat yang dituju, rumah tante Mirna.Menyisipkan helai rambut ke belakang telinga, perempuan itu membasahi bibir. Gugup mendera mengingat ke mana dan akan apa ia nantinya. Seorang pria bernama Dimitri yang fotonya dilihat kemarin malam terus berenang di kepala.Tante Mirna. Yang Maudi tahu, wanita baik hati itu adalah teman lama dan salah salah karib ibunya. Masalah perjodohan yang dua wanita itu buat, baru diberitahu padanya kemarin malam. Sekaligus meminta persetujuan tentu saja.Pria itu namanya Dimitri. Dari yang Maudi lihat, anak sulung Tante Mirna itu sangat rupawan. Salah satu alasan mengapa ia bersedia ikut ke rumah Mirna dan menginap di sana demi menjalani pendekatan.Awalnya Maudi merasa risih dengan perjodohan ini. Sudah zaman apa dan bukanny
Hampir tidur seharian, Dimitri akhirnya keluar dari kamar pukul tiga sore. Kebetulan hari ini jadwalnya kosong. Mengontrolnya toko dan rumah makan sudah dilakukan dua hari kemarin. Niatnya akan tidur sampai besok pagi, tetapi gedoran kelewat tak sopan di pintu--ulah Mirna--membuat niat itu harus dibuang jauh-jauh."Bu Tes, air hangat." Dimitri berkata pada pada Bu Tesa di ruang tamu. Di sofa satunya, si ibu sudah melotot."Kamu itu. Harusnya hari ini kamu ajak Maudi jalan-jalan. Bukan tidur seharian kayak ... apa itu, Bu Tes? Yang pernah Sera bilang?"Bu Tesa menaruh segelas air hangat di meja. "Sendi si tupai yang lagi hibernasi.""Hah, itu."Hening. Mendadak Dimitri terdiam. Sera. Ia mulai mengingat sudah berapa lama tak bertemu dengan perempuan itu."Dimitri Adinata!"Mata pria itu memicing sebentar pada ibunya. Usai menandaskan air dari gelas, ia menyi
Sera lelah. Sangat. Mimpi buruknya tak berhenti datang, bahkan setelah memutuskan berhenti bekerja di rumah Mirna. Perempuan itu merasa amat berdosa dan hina.Berbohong pada ibu dan adik-adik. Berbicara, menasihati Hares seolah dirinya benar, padahal pernah melakukan kebusukan.Ia sudah berusaha melupakan. Hidup harus berlanjut, satu kesalahan hendaknya bisa diperbaiki dengan terus berbenah diri. Namun, tetap saja. Akan ada hari di mana Sera merasa dirinya itu sangat bersalah, kotor dan tak pantas hidup.Hari itu salah satunya. Saat akhirnya Sera memtuskan menyayat pergelangan tangan. Berharap kematian menjemput, agar semua beban rasa bersalah berakhir, dan keluarganya lepas dari jerat aib.Ingin tinggal ingin. Bukannya meregang nyawa dan mengurangi beban keluarga, Sera malah menambah berat pikulan ibunya. Gagal mati, ia membuat Tina kelimpungan mencari biaya rumah sakit. Tidak mungkin memberitahu tabungan rahasia, Dimitri malah da
"Cie ... cie. Yang benci jadi cinta."Berdiri di belakang dua pegawainya yang asyik bercanda, Dimitri berkacak pinggang. Ia sedang ada di salah satu toko kue dan tengah memeriksa keadaan di dapur. Dua pegawai yang harusnya ikut berbenah itu malah mengobrol dan bercanda di sini.Ini yang Dimitri suka dari inspeksi dadakan. Tak ada yang tahu dia datang, tidak ada yang sempat menyusun rencana agar tampak baik di depannya."Aku udah bilang. Jangan terlalu benci sama seseorang. Cinta sama benci itu bedanya setipis helai rambut."Perempuan berusia 20 tahunan yang namanya Fira itu terus berceloteh, tak menyadari keberadaannya. Barulah saat Tia--pegawai satunya--berbalik dan langsung membolakan mata, dua karyawan di sana terdiam dengan wajah pucat."Ba--Bapak udah dari tadi?"Yang ditanyai mendekat. Rautnya tenang, dengan tatapan tajam. "Kamu bilang apa tadi?"
"Pekerjaan kamu sama seperti sebelumnya."Di depan kursi goyang yang dihuni Dimitri, Sera menyebut nama ibu dan adik-adiknya.Lewati saja semua ini. Berusaha bertahan adalah yang utama. Jangan sampai rahasia terbongkar. Juga, ia butuh uang. Gaji dari sini dan sisa uang itu bisa membantu ekonomi keluarga agar stabil.Theo masih perlu biaya sekolah. Hares akan ujian kenaikan kelas sebentar lagi. Sera masih ingin mewujudkan mimpi memiliki toko buku.Semua hal itu si perempuan ingat dan catat di memori. Ucapan pria di hadapan dianggap angin lalu."Berhenti berpikir aneh-aneh dan berlebihan."Ini hanya sementara. Mungkin sebulan lagi, Dimitri akan kehilangan minat mempermainkan nasibnya. Beberapa bulan di sini, akan sangat membantu keuangan keluarga. Gaji bisa dipergunakan untuk biaya-biaya dan alibi."Kamu tidak mendengarkan saya, 'kan?"Sera mengangguk. Meyakinkan hati, m
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."