"Tolong, Dim. Sebisa mungkin jangan kasar apalagi sampai aneh-aneh."
Baru saja menanggalkan kemeja, Dimitri menghela napas sebagai reaksi atas ucapan Rio di seberang sana. Lelaki ini penasaran mengapa Rio harus segila ini memberinya peringatan, tetapi juga gerah karena Rio terus mengulang kalimat yang maksudnya sama. Dia harus memperlakukan perempuan yang dikirim nanti dengan baik.
"Orangnya aja belum nyampe, Ri,"
"Dia udah masuk ke rumahmu. Aku enggak berani ikut masuk. Nanti aku jemput. Aku titip, ya, Dim."
Sambungan diputus, Dimitri melempar ponsel ke sofa di belakang. Aneh sekali hari ini. Setelah harus mengusir Mirna dan Dante yang datang tanpa pemberitahuan, masih saja harus menghadapi Rio yang tumben menjadi super cerewet dan banyak aturan. Rasanya ingin sekali cepat-cepat mandi, meluruhkan penat. Namun, ketukan di pintu memaksa harus kembali mengenakan kemeja.
"Ada yang ingin bertemu, Tuan." Bi Ima, asisten rumah tangga itu menunjuk seorang gadis di belakangnya, kemudian pamit dari sana setelah pemilik rumah mengangguk sekilas.
Berbalik, Dimitri mempersilakan tamunya masuk. Perempuan asing itu pasti orangnya Rio. Satu yang ia sangsikan. Benarkah kali ini Rio sungguh hilang akal?
"Rio yang suruh saya ke sini." Sera menunduk dalam. Kedua tangan sudah mengepal erat.
Mengusap wajah, si lelaki yang semula memunggungi berbalik. Mengamati gadis di hadapan lamat-lamat dari ujung kaki hingga ujung rambut. Lipatan samar mulai muncul di dahi. Seratus juta dengan kualifikasi seperti di depan mata? Tampaknya Rio mulai tak profesional.
Tinggi gadis itu sedagunya. Datang dengan setelan kaus lengan panjang abu-abu dan jeans, Dimitri tak menangkap ada bagian yang lebih tinggi dari yang lain. Rata, depan belakang. Rambutnya hitam sebahu, nyaris menutupi semua bagian wajah. Tertunduk bak bocah kedapatan mencuri permen, Dimitri mulai habis kesabaran.
Ini jelas tidak setimpal. Biasanya di bawah seratus juta ia sudah mendapatkan sesuatu yang sempurna. Rio selalu mengirim perempuan cantik yang mampu memancing hasrat di tatapan pertama. Berisi dan mengundang. Namun, sekarang? Lidah Dimitri gatal ingin segera menanyakan usia gadis tadi. Mungkin, baru 13 tahun.
Tak ingin repot-repot membuang waktu apalagi uang, Dimitri memutuskan membatalkan transaksi. Siapa yang rela merugi? Terus terang, ia mengatakan penolakan pada perempuan di hadapan. Urung memerhatikan gerak-gerik si gadis, lelaki itu berjalan ke arah sofa. Niatnya meraih ponsel untuk menghubungi Rio. Namun, sebuah tarikan membuat gerakan membungkuk terhenti.
"A--Aku bisa melakukan apa pun. To--tolong jangan batalkan transaksi ini." Mengutuk diri, menggigit bibir, Sera memegang ujung lengan kemeja pria itu.
Perempuan ini mulai kalut. Sudah berupaya meneguhkan niat, mengumpulkan keberanian dan membuang jauh-jauh rasa malu, apa ia masih pantas menerima penolakan? Tidak. Sera butuh uang.
Dimitri menatapi jemari kecil yang memegangi ujung lengan kemeja. Sesuatu dalam diri bereaksi aneh, ia kembali menegakkan tubuh. Sepenuhnya bersandar pada sofa, kalimat tak terduga meluncur dari bibir.
"Tanggalkan."
Tertohok, Sera menggigit bibir kuat hingga rasa asin menyapa lidah. Memalukan. Memuakkan. Menakutkan. Sera sepenuhnya mengatai kehidupan ini sial. Haruskah dirinya sampai ke titik menjijikkan seperti ini?
Perempuan itu menoleh pintu. Sedekat itu jaraknya dengan kehormatan dan kesengsaraan. Pergi ke sana, keluar dari sini. Sera batal menjadi perempuan tak bermartabat. Pergi ke pintu, keluar dari kamar ini, Sera batal menjadi anak yang berguna.
Sial. Sera mengutuk semua orang di dalam hati.
"Kamu bersedia melakukannya?" Dipengaruhi rasa penasaran, Dimitri mulai bersikap tak sesuai keinginan. Laki-laki itu bahkan menunduk demi bisa melihat raut orang di hadapan.
Tak menjawab, kedua tangan Sera bergerak ke arah bawah kaus. Usai memaki, ia memanggil ibunya. Melafalkan maaf, penyesalan, juga ratapan. Kaus abu-abu tadi pun teronggok di lantai.
Di depan Sera, Dimitri pelan-pelan menegakkan tubuh. Lelaki itu menyadari dirinya bereaksi aneh. Penilaian belum berubah. Perempuan di depan ranjang itu bukan tipenya. Namun, seperti ada yang sesuatu yang meledak di dalam diri.
Tanpa sadar napas pria itu mulai tak beraturan. Gerakan biasa yang perempuan di sana lakukan memberi dampak luar biasa pada sesuatu di bawah sabuk. Semakin lama, semakin tak terbendung. Maka, saat gadis di sana sedikit membungkuk untuk mengeluarkan kaki, langkah Dimitri mendekat, menghapus jarak. Mendekat, mendekap, lalu layaknya kucing yang disuguhi ikan, ia melahap hidangan yang tersaji.
***
"Nama. Usia." Bahu naik-turun, Dimitri menjeda kegiatan. Matanya berkilat penuh hasrat ke arah perempuan di bawah kungkungan.
"Sera. 26 tahun."
Kilasan memori beberapa saat lalu yang tiba-tiba muncul membuat lelaki tanpa atasan di ranjang terbangun. Tidur dalam posisi miring, gegas ia tolehkan wajah ke belakang. Perempuan itu di sana. Di bawah selimut yang sama dengannya, bahu polos itu tampak bergerak teratur.
Dimitri sempat menilik jam di dinding sebelum akhirnya mengubah posisi tidur. Baru 20 menit ia tertidur. Baru 20 menit yang lalu lelaki ini melanggar prinsip yang sudah dipegang selama hampir 13 tahun. Hari ini, Dimitri telah berbagi ranjang dengan seorang gadis.
Entah apa yang terjadi. Semua diluar dugaan dan kendali. Mendadak gelap mata setelah melihat perempuan bernama Sera itu menuruti permintaannya. Tak mampu dijelaskan, dia masih mencari-cari definisi perasaan yang tadi menguasai.
Ingin mengingkari sudah bersikap liar, tapi jejak kemerahan di bahu belakang dan leher Sera menjadi tamparan yang menyadarkan bahwa dirinya benar-benar lepas kendali beberapa saat lalu. Bersikap layaknya belum pernah melakukan hal seperti itu, padahal bukan lagi amatir.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Dimitri mengambil sikap waspada saat dilihatnya Sera bergerak. Perempuan itu berbalik, meringkuk menghadap ke arahnya dengan kedua mata masih terpejam. Kembali Dimitri menyaksikan bekas-bekas perbuatannya di area dada Sera.
Pandangan kembali ke atas, raut Dimitri kembali datar. Kali ini kepalanya sibuk menilai. Bentuk mata, hidung, alis, semuanya biasa saja. Sera bukan perempuan super cantik dengan bulu mata lentik dan hidung runcing. Biasa saja. Sederhana. Polos.
Kulitnya memang putih, tapi tetap saja terlihat biasa. belum lagi, bagi lelaki ini, Sera tak seperti gadis-gadis lain. Terlalu kurus, tak ada bagian yang berisi, sampai-samapi dia khawatir sudah meremukkan beberapa tulang tadi. Tadi ... sebentar tadi ... beberapa waktu lalu saat mereka ....
Dimitri ingat suara ringisan Sera yang bersamaan dengan dilihatnya noda merah di atas seprei. Di benaknya mulai muncul lebih dari satu pertanyaan. Namun, seketika pikiran buyar, kala Sera perlahan membuka mata.
Lelaki itu mengantisipasi. Apa reaksi yang akan dia peroleh? Sera akan menangis seperti yang sering orang-oang ceritakan tentang gadis-gadis yang terpaksa menjajakan jasa? Apa Sera akan kembali tidur mengingat ini baru setengah jam sejak pertempuran mereka? Atau ....
Tidak melanjutkan terkaan, Dimitri terkesiap. Sera kembali memejam, tapi tubuh gadis itu bergerak. Mendekat, memangkas semua spasi yang ada. Lalu ....
Mengubah posisi tidur, Sera yang kedinginan menekuk kaki, meringkuk berusaha mencari rasa hangat. Setengah sadar, ia membuka mata kemudian memejam lagi. Sebuah bau aneh masuk ke hidung, ia mengikuti insting. Menggeliat seperti ulat ke arah depan, kemudian berhenti saat hidung sudah dipenuhi bau yang dicari.Sera sudah hampir terlelap lagi kala sentuhan di pipi datang tiba-tiba. Membuka mata, jemari di pipi tadi membawa wajahnya untuk mendongak. Berkedip beberapa kali, perempuan itu menautkan alis. Mencerna keadaan yang ada sebentar, lalu menurunkan pandangan."Maaf," lirihnya. Perlahan bergeser menjauh. "Boleh saya pinjam selimut ini?" Tidak diberi jawaban, tapi lelaki itu beranjak turun dari tempat tidur. Sera menganggap itu sebagai persetujuan.Duduk di tepi, ia melilitkan selimut ke tubuh. Kedua mata dibawa mengitari ruangan, cemas mulai datang saat didapati jarum jam hampir di angka sepuluh. Membasahi tenggorokan suaranya mulai keluar. 
Pagi yang tidak terlalu baik. Baru saja terjaga, Dimitri segera diserang rasa tak enak hati. Tidak tahu kenapa, seperti ada yang tidak sesuai dengan keinginan. Tak bersemangat, rasanya ingin kembali tidur. Namun, terpaksa lelaki ini duduk, karena ponsel di atas nakas bergetar.Banyak pesan masuk, sepeti biasa. Rata-rata berisi laporan keadaan toko dan rumah makan miliknya. Soal berapa pegawai yang terlambat, siapa-siapa saja yang kinerjanya tampak baik sampai siang ini, dan sebagainya. Tidak berselera, semua itu tak dibaca dengan teliti. Dibiarkan saja, lelaki ini memberi atensi lebih pada satu nomor tak memiliki nama, tapi dia kenali.Nomor itu milik Rio. Mengirim satu pesan, dua kali panggilan. Dimitri membacanya, kemudian ekspresi datar tapi tak ramah itu terlihat di wajah.[Kamu sehat, 'kan? Sera demam kemarin.]Parah. Tak punya sopan santun. Bisa-biasanya tuduhan demikian disematkan padanya. Memangnya Dimitri tak punya akal? P
Sera berlari, terus memaksa kaki yang terasa amat kebas bergerak secepat mungkin. Napas memburu, kepalanya terus-menerus menoleh ke belakang, memastikan yang mengejar tak bisa mencapai dirinya.Perempuan itu nyaris menangis. Semua gelap, tak tahu harus berlari ke mana. Sesak, pengap, ia juga hendak muntah. Kemudian, kaki menabrak sesuatu. Sera terjatuh, lantas pekat yang sejak tadi mencoba menangkap berhasil melahapnya.Dia terbangun dengan peluh di sekujur tubuh.Tiga hari sudah ia dan keluarga pindah ke rumah ini. Sebuah rumah yang lumayan jauh dari jalan besar, masuk ke dalam gang sempit. Tiga hari sudah juga Sera selalu dihampiri mimpi buruk semacam tadi. Dikejar, entah oleh apa dan siapa. Yang jelas, dia merasa sesuatu yang mengejar itu hendak menghabisinya.Mengusap wajah kasar, Sera duduk di pinggir kasur tipis di ruangan kecil itu. Kamar di rumah baru ini hanya ada dua. Satu untuk ayah dan ibu, satunya dipakai Hares dan The
Sempat membatalkan niat untuk pergi ke restoran yang memasang iklan adanya lowongan pekerjaan, dengan terpaksa Sera berangkat ke sana. Meski pikiran kusut akibat pertengkaran dan rencana berpisah Tina dan Ferdi. Belum lagi pipi yang bengkak dan sakit.Sera tak tahu harus bersikap seperti apa. Satu sisi tak ingin ayah dan ibu bercerai. Namun, satu sisi lagi mengamini apa yang Tina katakan. Ia tak tahan jika terus-terusan serumah dengan ayah yang suka memaki dan menyalahkannya setiap saat. Masalah siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga, Sera merasa bisa mengambil tanggungjawab itu. Bagaimanapun, rumah yang damai adalah kebutuhan utama juga.Perempuan itu menghela napas. Rasanya beban yang dipikul tak sudah-sudah. Berat, dia nyaris menyerah. Sembari meratap dalam hati, kakinya melangkah menuju rumah makan di pinggir jalan itu.Bertemu kasir, Sera diminta menitipkan surat lamaran di sana saja. Penuh harap perempuan itu memberikan amplop c
Mengerang, Dimitri yang memejam membawa tubuh untuk kembali tegak, meninggalkan perempuan di atas ranjang begitu saja. Duduk di tepi, pria itu merutuki diri, mengabaikan rengekan protes dari teman tidurnya malam ini."Kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba berhenti?" Memeluk dari belakang, wanita berambut panjang itu mencoba menarik atensi pria itu lagi.Jangankan memberi penjelasan pada wanita itu, Dimitri bahkan tak mampu membuat dirinya sendiri paham tentang apa yang tengah dialami. Ini sudah yang kedua pria itu gagal tidur dengan perempuan setelah peristiwa dengan Sera.Sera. Perempuan asing itu tampaknya membawa masalah. Bisa-bisanya Dimitri dibuat kehilangan selera seperti ini. Dua kali gagal. Semua selalu berakhir begini. Penyebabnya sama, wajah Sera yang tiba-tiba muncul di depan mata. Membuat terkejut sekaligus melenyapkan keinginan menuntaskan hasrat. Gila. Tidak masuk akal, tapi itu terjadi."Aku akan
Belum terlalu larut, tapi Sera sudah ada di lantai atap. Lantai paling atas di rumah tiga tingkat, yang dua hari belakangan menjadi tempat tinggalnya. Selain satu kamar, di sana juga disediakan kamar mandi yang bisa ia gunakan.Dua hari sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di rumah Mirna Adinata, Sera belum menemukan titik terang soal siapa orang yang secara khusus harus dilayani nantinya. Tebakan sebelumnya keliru, ternyata bukan pria bernama Dante itu yang akan menjadi bosnya. Selama dua hari belakangan pula Sera tak diberi pekerjaan yang berat. Paling hanya membantu bu Tesa menyiapkan sarapan dan makan malam.Hari ini juga sama. Usai menata makanan di meja, Sera naik ke kamarnya. Nyonya rumah sedang pergi sejak sore, sedang Dante tengah mendapat kunjungan dari seorang tamu.Di lantai rooftop, dekat pagar pembatas, Sera berbaring dengan beralaskan karpet kecil. menatap ke taburan bintang di atas sana, suasana damai lumayan menenangkan. Pi
Dimitri menaruh amplop cokelat tebal itu di atas meja. Menyilangkan kaki, ia melirik Rio di hadapan. Memberi isyarat untuk pria itu agar mengambil pemberiannya.Pukul sepuluh malam, usai menikmati tiga botol bir, Dimitri memanggil Rio untuk bicara di sudut bar, berdua. Pria ini tak mau berutang. Karena Sera sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di kediaman Mirna, maka Dimitri merasa harus membayar bantuan Rio."Aku bantuin Sera." Rio menolak bayaran tersebut. Pikirnya, hanya memberitahukan info lowongan kerja dari Dimitri, tak perlulah dibayar. Lagipula, temannya memang perlu sekali pekerjaan.Menaikkan dagu, Dimitri memasang raut siap perang. "Apa kamu berniat memacari Sera?"Kecurigaan Dimitri beralasan. Rio tampak ringan sekali membantu perempuan itu. Ini yang kedua kali Rio mencarikan dan memberi pekerjaan pada Sera. Belum lagi, apa yang dilihatnya di resto waktu itu. Rio terlihat menikmati saat menyentuh tangan Sera.
Menggeliat, Sera membuka mata perlahan. Keningnya gegas berkerut, lalu memejam lagi. Rasa tak nyaman langsung menyerang, dia mengubah posisi tidur. Membelakangi bayangan pria yang tadi dilihat.Menaikkan selimut, Sera yang memutuskan untuk tak meneruskan tidur merutuk dalam hati. Bisa-bisanya otak melakukan ini. Tidak habis bermimpi, bagaimana bisa dia melihat sosok pria itu di sini?Tidak mengenali, hanya tahu nama. Namun, wajah pria itu masih terekam baik di ingatan Sera, sayangnya. Dan yang dilihatnya barusan saat bangun tidur adalah benar lelaki yang sudah membayarnya sebesar seratus juta.Mengingatnya membuat kesal, berhalusinasi melihatnya seperti tadi menjadikan Sera ingin sekali menggigit lidah sendiri. Dia meremas selimut yang dipakai.Satu detik, dua detik, Sera terkesiap, segera menegakkan tubuh.Jika ingatan masih bagus, kemarin Sera tidur tanpa selimut di luar sini. Lalu, bagaimana bisa pagi ini dirinya me
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."