Jalanan padat saat Dimitri menuju rumah sore ini. Kendaraan di mana-mana, dengan pengemudi yang tak sabaran seperti dirinya. Beberapa klakson menjerit gila, padahal di depan sana jelas-jelas tak ada satu mobil atau sepeda motor yang bergerak.
Membuang waktu, menunggu terciptanya sedikit kelengangan, Dimitri mengingat celotehan asal dari Romi di klub tadi. Soal dirinya yang tak pernah mau memakai jasa wanita malam dengan status perawan.
Bukan takut atau kurang pengalaman. Dimitri sangat ahli dengan mereka yang masih tersegel atau tidak. Masalahnya, ya, seperti yang ia katakan tadi.
Sebagai tanda keseriusan ingin memiliki seorang pendamping yang nantinya menjadikan Dimitri sebagai lelaki pertama, ia juga harus ikut menjaga eksistensi perempuan gadis, dengan cara menghindari mereka.
Mengingat itu, lelaki dengan rahang tegas itu kembali mengingat semua mantan kekasihnya. Dari mulai wanita kantoran, model, penyanyi kafe, sampai anak kuliahan. Semuanya rata-rata sudah berpengalaman dalam hal hubungan badan.
Bukan memandang rendah, hanya saja Dimitri heran. Mengapa semua mantan pacarnya demikian? Apa tidak ada lagi perempuan lugu seperti yang ada dalam bayangannya?
Suara klakson mobil mengoyak lamunan Dimitri. Pria itu segera menginjak pedal gas. Mengabaikan gelisah di hati, memilih membayangkan akan seperti apa pengalaman seratus jutanya nanti di rumah.
Mengambil belokan ke kiri di jalan yang sudah tak jauh dari rumah, mobil Dimitri tiba-tiba saja diadang sebuah mobil lainnnya. Mau tak mau pria itu berhenti.
Ia mengumpat, melepas seat belt kasar.
"Berengsek!" Terserah siapa pun pengemudi mobil itu, yang jelas Dimitri kesal dibuatnya. Bagaimana jika ia tidak menginjak rem tepat waktu tadi?
Memukul kaca mobil, Dimitri berkacak pinggang menunggu si pengemudi. Ia berdecak dongkol kala mendapati seorang perempuan keluar dari kursi kemudi.
"Ini sapaan kamu sama mantan pacar, Dimitri?" Sofia menutup pintu mobil, bersandar di sana dengan tangan terlipat di dada. Perempuan itu tersenyum puas melihat raut tak senang pria jangkung di hadapan.
Memicing, Dimitri berusaha menerka apa maksud dari sikap Sofia ini. Mereka sudah selesai tiga hari lalu. Memang, sepihak, Dimitri yang menginginkan.
"Kita sudah selesai." Dimitri mengelak kala tangan Sofia berusaha menjangkaunya. Asal perempuan itu tahu saja, ia sudah tak sudi.
"Kamu sungguh ingin kita berpisah? Kamu yakin menemukan perempuan seperti aku? Kamu lupa pernah memujiku sangat andal?" Wanita itu mengedipkan satu mata.
Oh, itu memang benar. Dimitri mengamini dalam hati. Dari semua pacar Dimitri, Sofialah yang paling berbahaya saat bertempur di ranjang. Perempuan itu hebat. Namun, itu semua tak berarti lagi sekarang. Sebab Sofia ternyata sangat licik.
Tiga hari lalu, perempuan itu datang kepadanya. Mereka menjalani berjam-jam yang memabukkan di salah satu hotel. Lalu, tiba-tiba saja Sofia meminta sesuatu yang mustahil Dimitri sanggupi.
Perempuan itu ingin dinikahi. Alasannya, karena sudah telanjur hamil. Yang benar saja. Konyol bila Sofia menyebut Dimitri adalah ayah janin itu.
"Dimitri? Ayolah, Kita bisa membuat ini sama-sama menguntungkan. Nikahi aku dan kamu akan mendapatkanku."
Kaki panjang Dimitri maju, memangkas jarak yang ada antara dirinya dan Sofia. Mata besar dengan iris gelap itu menatap tenang, tetapi mengancam.
"Jangan besar kepala. Kamu tidak seberharga itu, hingga aku bersedia mengorbankan nama baikku." Ia memojokkan Sofia ke mobil, menjepit dagu perempuan itu kuat.
Sofia meringis. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Dimitri. Nyali seketika ciut karena sorot mengerikan si lelaki.
"Bisa saja ini benar anakmu, Dim." Sofia berusaha mempertahankan argumen.
Dimitri menarik tangan. Ia tersenyum miring. Sofia ini, benar-benar. Apa dia pikir Dimitri orang bodoh?
"Kita ini sama. Kita sama-sama berhubungan dengan orang lain selama terikat status pacaran. Kamu kira aku percaya bahwa lelaki yang membawamu ke hotel cuma aku?"
Sofia mulai gemetar. Sungguh, Dimitri yang seperti ini jauh lebih menakutkan dari apa pun. Pria itu menatap seolah akan menguliti dan mematahkan semua tulang yang ada di tubuh Sofia.
"Walau begitu, masih ada kemungkinan dia ini anakmu." Sofia kadung terjerembab. Bagaimanapun, ia harus mencari pegangan, tumpuan agar keluarganya tidak benar-benar membuang dan menghapus namanya dari daftar penerima warisan.
Dimitri tertawa. Dua tangan ia simpan dalam saku celana. "Aku tidak pernah bermain polos, kamu tahu itu. Aku selalu menjaga diriku."
Dimitri bicara soal pengaman. Zaman sudah canggih. Ia juga sadar diri jika hobinya melampiaskan kebutuhan biologis pada beberapa wanita berbeda punya kemungkinan besar membuatnya terkena penyakit mematikan.
Hampir di semua aksinya, Dimitri tak lupa menggunakan pengaman. Memang sedikit mengurangi sensasi, tetapi itu ebih baik daripada menuai kesialan yang bisa saja ia harus pikul seumur hidup.
Bukankah hidup ini berisi karma/ Sebab-akibat.
Habis taktik, Sofia pada akhirnya menggunakan cara terakhir. Ia menekuk lutut. Dengan cepat air matanya sudah mengalir di pipi.
Dimitri geleng-geleng takjub melihat itu. Sungguh, bila Sofia ini aktris, sudah pasti akan mendapat penghargaan. Sandiwaranya natural sekali. Tadi menuduh, sekarang memelas. Berharap Dimitri percaya, begitu?
"Tolong aku, Dim. Papa dan Mamaku akan mencoret namaku dari daftar warisan jika tahu aku hamil di luar nikah." Sofia menyatukan tangan di depan dada. Memohon untuk sedikit saja belas kasihan Dimitri.
Semua laki-laki yang pernah bersamanya menghindar membantu. Bahkan, ayah asli si jabang bayi saja enggan ikut campur. Opsi menggugurkan ada, tetapi Sofia takut setengah mati. Hanya Dimitri satu-satunya pilihan saat ini. Setidaknya, dari semua pria yang ia kenal, Dimitri adalah yang paling waras.
Pria itu tidak menggunakan obat. Hanya alkohol. Punya pekerjaan mapan yang menjanjikan. Dari keluarga berada yang juga terpandang. Meski nanti mengaku mereka punya anak sebelum menikah, Sofia bisa pastikan orang tuanya tidak akan terlalu marah.
"Keluargaku tidak pernah melarangku melakukan apa pun. Asal tidak ini, hamil tampa suami. Aku bisa dibuang." Sofia terisak.
"Aku tidak melakukan apa-apa untuk bisa ikut bertanggung jawab padamu. Ini tidak adil untukku." Dimitri berucap santai. Sama sekali tidak terganggu, karena merasa ini memang bukan kesalahannya.
Selalu bermain aman, terakhir kali ia bersama Sofia adalah tiga hari lalu. Jelas, itu bukan darah dagingnya.
"Kalau kamu memang kamu tidak siap punya anak dan tidak rela tak mendapat jatah warisan, gugurkan saja anak itu." Dimitri menilik ekspresi wajah Sofia. Pria itu sedikit lega saat perkataannya direspon gelengan kuat oleh Sofia. Dosanya bisa bertambah jika si mantan pacar mengikuti saran tadi.
Sofia bangkit berdiri. Ia menghapus air mata. "Aku takut, Dim. Dia sudah hidup. Aku sudah mendengar detak jantungnya."
Dimitri menghela napas. Ia mengusap wajah, kemudian menatap Sofia lagi. "Begini saja. Pergilah beberapa bulan sampai bayimu ini lahir. Ke mana saja, yang jauh. Berikan alasan agar keluargamu tidak mencari atau curiga. Setelah dia lahir, kembali lagi kemari dan menjadi berengsek lagi."
Sofia tertawa dengan mata basah. Ia cukup terharu akan saran yang barusan. mesk bukan karena cinta, Dimitri cukup menghargai hubungan yang pernah mereka miliki.
"Terima kasih. Setidaknya, kamu tidak menendangku seperti mantan-mantanku yang lain." Sofia berucap tulus. Bagaimana juga, ia tak bisa memaksa Dimitri membantunya. Pria itu juga punya kehidupan yang perlu diperjuangkan.
Si lelaki mengangguk saja. "Aku akan bantu untuk urusan biaya. Selebihnya, jangan harapkan aku. Aku masih ingin melajang dan menjadi ja*ang."
Sekitar pukul enam sore, Sera yang duduk di jok belakang sepeda motor yang tengah Rio kemudikan mendongak ke arah langit yang tampak kelabu. Tampaknya akan turun hujan malam nanti, hujan di pipi sudah tumpah sejak tadi. Seratus juta, di jumlah itulah harga dirinya bisa dinilai. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju orang yang akan memberikan uang itu.Sera bertanya dalam hati, tak lagi mendongak sebab usaha itu sia-sia. Lelehan dari mata terus jatuh entah apa pun yang coba dilakukan. Benarkah harus jalan yang ini? Tdak adakah solusi lain? Tidak adakah keajaiban di dunia ini? Sera mengepalkan kedua tangan menyadari dirinya amat ketakutan saat ini.Sepeda motor melambat lajunya, Sera kebingungan saat Rio sepenuhnya menepi di pinggir. Lelaki itu melempar tatapan yang Sera artikan sebagai ketidakyakinan."Kamu yakin, Sera? Kalau nggak ingin, kita pulang saja, ya?" Rio menarik ke atas kaca helm. Menatap Sera penuh harap. Entah kenapa, kali
"Tolong, Dim. Sebisa mungkin jangan kasar apalagi sampai aneh-aneh."Baru saja menanggalkan kemeja, Dimitri menghela napas sebagai reaksi atas ucapan Rio di seberang sana. Lelaki ini penasaran mengapa Rio harus segila ini memberinya peringatan, tetapi juga gerah karena Rio terus mengulang kalimat yang maksudnya sama. Dia harus memperlakukan perempuan yang dikirim nanti dengan baik."Orangnya aja belum nyampe, Ri,""Dia udah masuk ke rumahmu. Aku enggak berani ikut masuk. Nanti aku jemput. Aku titip, ya, Dim."Sambungan diputus, Dimitri melempar ponsel ke sofa di belakang. Aneh sekali hari ini. Setelah harus mengusir Mirna dan Dante yang datang tanpa pemberitahuan, masih saja harus menghadapi Rio yang tumben menjadi super cerewet dan banyak aturan. Rasanya ingin sekali cepat-cepat mandi, meluruhkan penat. Namun, ketukan di pintu memaksa harus kembali mengenakan kemeja."Ada yang ingin berte
Mengubah posisi tidur, Sera yang kedinginan menekuk kaki, meringkuk berusaha mencari rasa hangat. Setengah sadar, ia membuka mata kemudian memejam lagi. Sebuah bau aneh masuk ke hidung, ia mengikuti insting. Menggeliat seperti ulat ke arah depan, kemudian berhenti saat hidung sudah dipenuhi bau yang dicari.Sera sudah hampir terlelap lagi kala sentuhan di pipi datang tiba-tiba. Membuka mata, jemari di pipi tadi membawa wajahnya untuk mendongak. Berkedip beberapa kali, perempuan itu menautkan alis. Mencerna keadaan yang ada sebentar, lalu menurunkan pandangan."Maaf," lirihnya. Perlahan bergeser menjauh. "Boleh saya pinjam selimut ini?" Tidak diberi jawaban, tapi lelaki itu beranjak turun dari tempat tidur. Sera menganggap itu sebagai persetujuan.Duduk di tepi, ia melilitkan selimut ke tubuh. Kedua mata dibawa mengitari ruangan, cemas mulai datang saat didapati jarum jam hampir di angka sepuluh. Membasahi tenggorokan suaranya mulai keluar. 
Pagi yang tidak terlalu baik. Baru saja terjaga, Dimitri segera diserang rasa tak enak hati. Tidak tahu kenapa, seperti ada yang tidak sesuai dengan keinginan. Tak bersemangat, rasanya ingin kembali tidur. Namun, terpaksa lelaki ini duduk, karena ponsel di atas nakas bergetar.Banyak pesan masuk, sepeti biasa. Rata-rata berisi laporan keadaan toko dan rumah makan miliknya. Soal berapa pegawai yang terlambat, siapa-siapa saja yang kinerjanya tampak baik sampai siang ini, dan sebagainya. Tidak berselera, semua itu tak dibaca dengan teliti. Dibiarkan saja, lelaki ini memberi atensi lebih pada satu nomor tak memiliki nama, tapi dia kenali.Nomor itu milik Rio. Mengirim satu pesan, dua kali panggilan. Dimitri membacanya, kemudian ekspresi datar tapi tak ramah itu terlihat di wajah.[Kamu sehat, 'kan? Sera demam kemarin.]Parah. Tak punya sopan santun. Bisa-biasanya tuduhan demikian disematkan padanya. Memangnya Dimitri tak punya akal? P
Sera berlari, terus memaksa kaki yang terasa amat kebas bergerak secepat mungkin. Napas memburu, kepalanya terus-menerus menoleh ke belakang, memastikan yang mengejar tak bisa mencapai dirinya.Perempuan itu nyaris menangis. Semua gelap, tak tahu harus berlari ke mana. Sesak, pengap, ia juga hendak muntah. Kemudian, kaki menabrak sesuatu. Sera terjatuh, lantas pekat yang sejak tadi mencoba menangkap berhasil melahapnya.Dia terbangun dengan peluh di sekujur tubuh.Tiga hari sudah ia dan keluarga pindah ke rumah ini. Sebuah rumah yang lumayan jauh dari jalan besar, masuk ke dalam gang sempit. Tiga hari sudah juga Sera selalu dihampiri mimpi buruk semacam tadi. Dikejar, entah oleh apa dan siapa. Yang jelas, dia merasa sesuatu yang mengejar itu hendak menghabisinya.Mengusap wajah kasar, Sera duduk di pinggir kasur tipis di ruangan kecil itu. Kamar di rumah baru ini hanya ada dua. Satu untuk ayah dan ibu, satunya dipakai Hares dan The
Sempat membatalkan niat untuk pergi ke restoran yang memasang iklan adanya lowongan pekerjaan, dengan terpaksa Sera berangkat ke sana. Meski pikiran kusut akibat pertengkaran dan rencana berpisah Tina dan Ferdi. Belum lagi pipi yang bengkak dan sakit.Sera tak tahu harus bersikap seperti apa. Satu sisi tak ingin ayah dan ibu bercerai. Namun, satu sisi lagi mengamini apa yang Tina katakan. Ia tak tahan jika terus-terusan serumah dengan ayah yang suka memaki dan menyalahkannya setiap saat. Masalah siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga, Sera merasa bisa mengambil tanggungjawab itu. Bagaimanapun, rumah yang damai adalah kebutuhan utama juga.Perempuan itu menghela napas. Rasanya beban yang dipikul tak sudah-sudah. Berat, dia nyaris menyerah. Sembari meratap dalam hati, kakinya melangkah menuju rumah makan di pinggir jalan itu.Bertemu kasir, Sera diminta menitipkan surat lamaran di sana saja. Penuh harap perempuan itu memberikan amplop c
Mengerang, Dimitri yang memejam membawa tubuh untuk kembali tegak, meninggalkan perempuan di atas ranjang begitu saja. Duduk di tepi, pria itu merutuki diri, mengabaikan rengekan protes dari teman tidurnya malam ini."Kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba berhenti?" Memeluk dari belakang, wanita berambut panjang itu mencoba menarik atensi pria itu lagi.Jangankan memberi penjelasan pada wanita itu, Dimitri bahkan tak mampu membuat dirinya sendiri paham tentang apa yang tengah dialami. Ini sudah yang kedua pria itu gagal tidur dengan perempuan setelah peristiwa dengan Sera.Sera. Perempuan asing itu tampaknya membawa masalah. Bisa-bisanya Dimitri dibuat kehilangan selera seperti ini. Dua kali gagal. Semua selalu berakhir begini. Penyebabnya sama, wajah Sera yang tiba-tiba muncul di depan mata. Membuat terkejut sekaligus melenyapkan keinginan menuntaskan hasrat. Gila. Tidak masuk akal, tapi itu terjadi."Aku akan
Belum terlalu larut, tapi Sera sudah ada di lantai atap. Lantai paling atas di rumah tiga tingkat, yang dua hari belakangan menjadi tempat tinggalnya. Selain satu kamar, di sana juga disediakan kamar mandi yang bisa ia gunakan.Dua hari sudah resmi menjadi asisten rumah tangga di rumah Mirna Adinata, Sera belum menemukan titik terang soal siapa orang yang secara khusus harus dilayani nantinya. Tebakan sebelumnya keliru, ternyata bukan pria bernama Dante itu yang akan menjadi bosnya. Selama dua hari belakangan pula Sera tak diberi pekerjaan yang berat. Paling hanya membantu bu Tesa menyiapkan sarapan dan makan malam.Hari ini juga sama. Usai menata makanan di meja, Sera naik ke kamarnya. Nyonya rumah sedang pergi sejak sore, sedang Dante tengah mendapat kunjungan dari seorang tamu.Di lantai rooftop, dekat pagar pembatas, Sera berbaring dengan beralaskan karpet kecil. menatap ke taburan bintang di atas sana, suasana damai lumayan menenangkan. Pi
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."