Sore itu tak begitu mendung, tapi Sera sudah menggigil sedari tadi, sejak menginjakkan kaki di teras rumah Rio. Berulang kali ia memejam, menggigit kuku ibu jari sembari menelisik ulang keputusan besar yang akan diambil hari ini.
Hidup itu soal pilihan. Namun, tak pernah disangka bahwa pilihan yang diberikan padanya amat buruk. Tak satu pun menguntungkan. Entah nasib yang memang terlalu sial, atau ini memang hukuman yang harus diterima karena sudah bersikap kurang ajar sebelum ini.
Ditendang ke jalanan atau melompat ke kubangan dosa.
"Maaf, Sera. Kamu udah lama?"
Suara Rio yang baru keluar dari rumah membuat degub jantung semakin tidak karuan. Wajah pias gadis itu mendongak, sama sekali tak bisa memberikan senyuman sebagai balas ucapan tadi.
"Kenapa? Ada hal penting apa sampai-sampai kamu datang ke rumahku?" Rio bertanya penuh antisipasi. Mereka memang berteman saat SMA, tetapi tidak sedekat itu hingga datang ke rumah adalah hal lazim yang bisa Sera lakukan. Terlebih lagi, Rio tahu bahwa semua orang termasuk teman sekolah dulu menjauhinya karena tahu pekerjaan kotor apa yang ia geluti.
"A--Aku butuh kerjaan, Ri," cicit Sera. Kehilangan muka. Rasanya seperti lumpur dari semua kotoran hewan sudah tertempel di wajah. Sera ingin mati saja, tapi tak bisa melakukannya.
Alis Rio menukik tajam. Pekerjaan? Ia berusaha tertawa, mengingatkan Sera tentang statusnya sebagai penyedia pekerjaan bagi perempuan-perempuan putus asa.
"Jangan bercanda, Sera. Kalau ini beneran, aku bisa kena serangan jantung dengar kamu ngomong gini." Rio mengenyahkan asumsi yang muncul saat melihat tatapan kosong gadis di depannya. Tidak mungkin pekerjaan yang itu maksud Sera. Lelaki ini masih ingat betul perempuan seperti apa Sera dulu. Sopan, nyaris tak pernah dilihat bersama seorang laki-laki.
Berkedip cepat demi menjernihkan penglihatan dari embun yang mulai menumpuk di mata, Sera meremas kesepuluh jemari. Membasahi tenggorokan, ia berucap, "Aku butuh uang, Ri. Tolong kasih aku kerjaan, kalau bisa hari ini juga."
Ingin sekali Sera memaki siapa dan apa saja. Sungguh hidup yang tidak beruntung. Sebelumnya punya pekerjaan yang bergaji tidak seberapa, dipecat pula. Jatuh tertimpa tangga, pemilik rumah tempat keluarganya tinggal mengharuskan mereka meninggalkan rumah paling lambat tiga hari lagi. Alasannya masuk akal. Keluarga Sera selalu tak mampu membayar sewa tepat waktu.
Tak punya tabungan, keadaan keluarga juga sedang kacau, Sera tak tahan melihat ibunya luntang-lantung, pergi ke sana kemari mencari rumah sewaan yang bisa ditempati dahulu baru dibayar atau menemui rentenir yang sudih meminjamkan uang. Gadis ini nekat memanfaatkan satu-satunya yang tersisa pada dirinya.
Sera tahu ini salah. Tak perlu Rio ingatkan berkali-kali pun ia paham ini dosa. Namun, apa dengan tetap menjaga kesucian, keluarganya bisa dicegah menjadi gelandangan? Sera sangat yakin, jika tidak nekat melakukan ini, maka ibu dan adik-adiknya akan tidur di jalanan.
"Kamu yakin, Sera? Maaf. Aku benar-benar lagi enggak bisa bantu. Kemarin, baru aja bayar biaya operasi ibu." Rio berucap sungguh. Kerutan di dahinya tampak dalam.
Sera mengangguk. "Tolong aku, Ri. Kalau bisa, transaksinya malam ini dan aku dibayar pakai uang tunai." Satu sisi ingin menampar mulut, satu sisi Sera ingin berteriak minta tolong.
Rio menghela napas. Pria itu mengeluarkan ponsel, mulai mengetuk-ngetukkan jemari ke atas layar. "Janji, ya, Se. Kali ini aja. Cukup satu kali," ucapnya setengah meminta.
Rio kenal siapa Sera. Perempuan baik itu pasti tak akan sanggup menahan beban moral yang tercipta jika memutuskan menekuni pekerjaan berani ini.
Senyum kecil tanda terima kasih Sera tunjukkan. Meski senyum itu tak sampai ke matanya yang mulai berkaca-kaca. Sera ingin Rio tahu bahwa ia sangat berterima kasih.
Sudah diputuskan. Hari ini Sera akan menjual harga diri dan dirinya.
***
"Penasaran. Enggak mau jadi yang buka segel, kenapa? Enggak sanggup atau gimana?"
Pertanyaan bernada ejekan juga tawa yang menggema dibalas lirikan datar oleh Dimitri. Bukan masalah, hanya ledekan dari teman-teman, tak perlu diambil pusing. Toh, kedatangannya ke bar ini adalah untuk melepas penat, bukan menambah masalah.
"Kenapa, sih, Dim? Kasih alasan gitu biar kita-kita paham." Romi merangkul bahu pria tegap di sampingnya. Berusaha membujuk dan mengorek jawaban.
Menenggak minuman berwarna cokelat pucat dari gelas, pria dengan kemeja maroon yang lengannya digulung itu menjauhkan tangan Romi dari pundak. Dijelaskan pun, mana ada yang akan paham. Prinsip itu adalah sesuatu yang seseorang yakini, bukan sesuatu yang harus dimengerti dan dipahami oang lain.
Berusia 33 tahun dengan tuntutan segera menikah setiap saat dari ibu, Dimitri memegang satu keyakinan. Nanti, saat ia menemukan seorang perempuan yang masih terjaga kesuciannya dan berhasil menarik perhatian, barulah ia akan menikah sekaligus memecahkan rekor sebagai pria yang tidak pernah tidur dengan gadis perawan.
Pacaran lebih dari dua puluh kali, tak pernah sekali pun Dimitri memiliki kekasih yang masih gadis. Semuanya selalu sudah berpengalaman dalam hal ranjang. Hal ini membuat bertanya-tanya. Apa masih ada gadis yang tetap menjaga kehormatannya di zaman ini?
Meski bukan pria baik-baik, bahkan bisa disebut lumayan nakal, Dimitri masihlah manusia yang egois. Berharap mendapatkan seorang istri baik dan terhormat dalam karakter yang salah satu indikatornya adalah belum pernah dijamah laki-laki.
Lelaki itu sudah berjanji. Jika menemukan pacar yang seperti itu, maka apa pun yang terjadi, ia akan menikahinya. Jika menemukan penyedia jasa layanan ranjang yang masih gadis, bisa rumit masalahnya. Mau tak mau ia harus menikahi orang itu. Karenanya, Dimitri berusaha mengelak dari semua perempuan perawan yang ada di lingkungan bar.
"Rio ngubungin barusan." Romi bicara setelah meletakkan ponsel. "Ada yang mau transaksi, tidak?"
Berniat menghindari teman-teman yang terus-terusan memaksa ia memberi penjelasan, Dimitri mengangkat tangan. Pria itu beranjak dari duduk, kemudian pamit untuk bertemu Rio. Tampaknya, malam ini ia perlu mencari kesenangan yang lebih dari sekadar alkohol.
Menutup pintu mobil dari dalam dengan satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, Dimitri menaikkan kedua alis. Ucapan Rio barusan membuatnya cukup takjub. Pasalnya, calo jasa itu meminta tolong padanya agar menyetujui tawaran satu ini.
"Kenapa? Kenapa harus aku?" Dimitri memindahkan posisi ponsel ke telinga kiri. Seharusnya memakai seat belt, ia mengurungkan niat dan memilih fokus pada obrolan.
"Kurasa, cuman kamu yang waras dari semua laki-laki yang pernah transaksi sama aku."
Setengah frustrasi Rio membujuk calon pelanggannya. Rio tahu semua laki-laki temannya Dimitri yang sering memakai jasanya sebagai penyedia 'jasa' sedikit tidak waras. Ada yang kasar bahkan menyimpang. Dimitri adalah satu-satunya yang dinilai masih memiliki akal sehat dan normal. Juga selalu mementingkan keamanan.
"Berapa?" Dimitri mulai penasaran.
"Delapan puluh, tunai."
Dimitri menyeringai. Tampaknya yang satu ini memang bukan biasa-biasa saja. Pertama, Rio meminta tolong padanya. Kedua, harga yang diberi juga lumayan fantastis.
Penasaran secara tiba-tiba, Dimitri langsung menyetujui. Dengan satu syarat, tempat transaksi adalah rumahnya.
Jalanan padat saat Dimitri menuju rumah sore ini. Kendaraan di mana-mana, dengan pengemudi yang tak sabaran seperti dirinya. Beberapa klakson menjerit gila, padahal di depan sana jelas-jelas tak ada satu mobil atau sepeda motor yang bergerak.Membuang waktu, menunggu terciptanya sedikit kelengangan, Dimitri mengingat celotehan asal dari Romi di klub tadi. Soal dirinya yang tak pernah mau memakai jasa wanita malam dengan status perawan.Bukan takut atau kurang pengalaman. Dimitri sangat ahli dengan mereka yang masih tersegel atau tidak. Masalahnya, ya, seperti yang ia katakan tadi.Sebagai tanda keseriusan ingin memiliki seorang pendamping yang nantinya menjadikan Dimitri sebagai lelaki pertama, ia juga harus ikut menjaga eksistensi perempuan gadis, dengan cara menghindari mereka.Mengingat itu, lelaki dengan rahang tegas itu kembali mengingat semua mantan kekasihnya. Dari mulai wanita kantoran, model, penyanyi kafe, sampai anak kul
Sekitar pukul enam sore, Sera yang duduk di jok belakang sepeda motor yang tengah Rio kemudikan mendongak ke arah langit yang tampak kelabu. Tampaknya akan turun hujan malam nanti, hujan di pipi sudah tumpah sejak tadi. Seratus juta, di jumlah itulah harga dirinya bisa dinilai. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju orang yang akan memberikan uang itu.Sera bertanya dalam hati, tak lagi mendongak sebab usaha itu sia-sia. Lelehan dari mata terus jatuh entah apa pun yang coba dilakukan. Benarkah harus jalan yang ini? Tdak adakah solusi lain? Tidak adakah keajaiban di dunia ini? Sera mengepalkan kedua tangan menyadari dirinya amat ketakutan saat ini.Sepeda motor melambat lajunya, Sera kebingungan saat Rio sepenuhnya menepi di pinggir. Lelaki itu melempar tatapan yang Sera artikan sebagai ketidakyakinan."Kamu yakin, Sera? Kalau nggak ingin, kita pulang saja, ya?" Rio menarik ke atas kaca helm. Menatap Sera penuh harap. Entah kenapa, kali
"Tolong, Dim. Sebisa mungkin jangan kasar apalagi sampai aneh-aneh."Baru saja menanggalkan kemeja, Dimitri menghela napas sebagai reaksi atas ucapan Rio di seberang sana. Lelaki ini penasaran mengapa Rio harus segila ini memberinya peringatan, tetapi juga gerah karena Rio terus mengulang kalimat yang maksudnya sama. Dia harus memperlakukan perempuan yang dikirim nanti dengan baik."Orangnya aja belum nyampe, Ri,""Dia udah masuk ke rumahmu. Aku enggak berani ikut masuk. Nanti aku jemput. Aku titip, ya, Dim."Sambungan diputus, Dimitri melempar ponsel ke sofa di belakang. Aneh sekali hari ini. Setelah harus mengusir Mirna dan Dante yang datang tanpa pemberitahuan, masih saja harus menghadapi Rio yang tumben menjadi super cerewet dan banyak aturan. Rasanya ingin sekali cepat-cepat mandi, meluruhkan penat. Namun, ketukan di pintu memaksa harus kembali mengenakan kemeja."Ada yang ingin berte
Mengubah posisi tidur, Sera yang kedinginan menekuk kaki, meringkuk berusaha mencari rasa hangat. Setengah sadar, ia membuka mata kemudian memejam lagi. Sebuah bau aneh masuk ke hidung, ia mengikuti insting. Menggeliat seperti ulat ke arah depan, kemudian berhenti saat hidung sudah dipenuhi bau yang dicari.Sera sudah hampir terlelap lagi kala sentuhan di pipi datang tiba-tiba. Membuka mata, jemari di pipi tadi membawa wajahnya untuk mendongak. Berkedip beberapa kali, perempuan itu menautkan alis. Mencerna keadaan yang ada sebentar, lalu menurunkan pandangan."Maaf," lirihnya. Perlahan bergeser menjauh. "Boleh saya pinjam selimut ini?" Tidak diberi jawaban, tapi lelaki itu beranjak turun dari tempat tidur. Sera menganggap itu sebagai persetujuan.Duduk di tepi, ia melilitkan selimut ke tubuh. Kedua mata dibawa mengitari ruangan, cemas mulai datang saat didapati jarum jam hampir di angka sepuluh. Membasahi tenggorokan suaranya mulai keluar. 
Pagi yang tidak terlalu baik. Baru saja terjaga, Dimitri segera diserang rasa tak enak hati. Tidak tahu kenapa, seperti ada yang tidak sesuai dengan keinginan. Tak bersemangat, rasanya ingin kembali tidur. Namun, terpaksa lelaki ini duduk, karena ponsel di atas nakas bergetar.Banyak pesan masuk, sepeti biasa. Rata-rata berisi laporan keadaan toko dan rumah makan miliknya. Soal berapa pegawai yang terlambat, siapa-siapa saja yang kinerjanya tampak baik sampai siang ini, dan sebagainya. Tidak berselera, semua itu tak dibaca dengan teliti. Dibiarkan saja, lelaki ini memberi atensi lebih pada satu nomor tak memiliki nama, tapi dia kenali.Nomor itu milik Rio. Mengirim satu pesan, dua kali panggilan. Dimitri membacanya, kemudian ekspresi datar tapi tak ramah itu terlihat di wajah.[Kamu sehat, 'kan? Sera demam kemarin.]Parah. Tak punya sopan santun. Bisa-biasanya tuduhan demikian disematkan padanya. Memangnya Dimitri tak punya akal? P
Sera berlari, terus memaksa kaki yang terasa amat kebas bergerak secepat mungkin. Napas memburu, kepalanya terus-menerus menoleh ke belakang, memastikan yang mengejar tak bisa mencapai dirinya.Perempuan itu nyaris menangis. Semua gelap, tak tahu harus berlari ke mana. Sesak, pengap, ia juga hendak muntah. Kemudian, kaki menabrak sesuatu. Sera terjatuh, lantas pekat yang sejak tadi mencoba menangkap berhasil melahapnya.Dia terbangun dengan peluh di sekujur tubuh.Tiga hari sudah ia dan keluarga pindah ke rumah ini. Sebuah rumah yang lumayan jauh dari jalan besar, masuk ke dalam gang sempit. Tiga hari sudah juga Sera selalu dihampiri mimpi buruk semacam tadi. Dikejar, entah oleh apa dan siapa. Yang jelas, dia merasa sesuatu yang mengejar itu hendak menghabisinya.Mengusap wajah kasar, Sera duduk di pinggir kasur tipis di ruangan kecil itu. Kamar di rumah baru ini hanya ada dua. Satu untuk ayah dan ibu, satunya dipakai Hares dan The
Sempat membatalkan niat untuk pergi ke restoran yang memasang iklan adanya lowongan pekerjaan, dengan terpaksa Sera berangkat ke sana. Meski pikiran kusut akibat pertengkaran dan rencana berpisah Tina dan Ferdi. Belum lagi pipi yang bengkak dan sakit.Sera tak tahu harus bersikap seperti apa. Satu sisi tak ingin ayah dan ibu bercerai. Namun, satu sisi lagi mengamini apa yang Tina katakan. Ia tak tahan jika terus-terusan serumah dengan ayah yang suka memaki dan menyalahkannya setiap saat. Masalah siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga, Sera merasa bisa mengambil tanggungjawab itu. Bagaimanapun, rumah yang damai adalah kebutuhan utama juga.Perempuan itu menghela napas. Rasanya beban yang dipikul tak sudah-sudah. Berat, dia nyaris menyerah. Sembari meratap dalam hati, kakinya melangkah menuju rumah makan di pinggir jalan itu.Bertemu kasir, Sera diminta menitipkan surat lamaran di sana saja. Penuh harap perempuan itu memberikan amplop c
Mengerang, Dimitri yang memejam membawa tubuh untuk kembali tegak, meninggalkan perempuan di atas ranjang begitu saja. Duduk di tepi, pria itu merutuki diri, mengabaikan rengekan protes dari teman tidurnya malam ini."Kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba berhenti?" Memeluk dari belakang, wanita berambut panjang itu mencoba menarik atensi pria itu lagi.Jangankan memberi penjelasan pada wanita itu, Dimitri bahkan tak mampu membuat dirinya sendiri paham tentang apa yang tengah dialami. Ini sudah yang kedua pria itu gagal tidur dengan perempuan setelah peristiwa dengan Sera.Sera. Perempuan asing itu tampaknya membawa masalah. Bisa-bisanya Dimitri dibuat kehilangan selera seperti ini. Dua kali gagal. Semua selalu berakhir begini. Penyebabnya sama, wajah Sera yang tiba-tiba muncul di depan mata. Membuat terkejut sekaligus melenyapkan keinginan menuntaskan hasrat. Gila. Tidak masuk akal, tapi itu terjadi."Aku akan
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."