“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Maria dengan wajah sendu. Beberapa kali dia tumbang, untungnya Arunika lekas membantu ibunya Irwansyah untuk tetap berdiri.
Maria—ibu Irwansyah mengetahui kabar sang anak dari pengacara yang menangani rumah Wulandari. Usai pulang dari Wulandari bersama pengacara. Pemuda itu tiba-tiba di pertengahan jalan dihadang oleh tiga pemuda dari kampung lain yang langsung menyerang Irwansyah kala pemuda tersebut turun dari mobil. Maka terjadilah perkelahian yang membuat tubuh Irwansyah ambruk ke tanah dan bersimbah darah dikarenakan lawannya membawa pisau daging untuk menyerang bagian lengan.
“Untungnya cepat dilarikan ke rumah sakit. Anak Ibu sudah melewati masa kritis,” jawab dokter yang menangani Irwansyah.
Selang sepuluh detik. Brankar Irwansyah didorong oleh dua perawat baru keluar dari ruangan UGD. Pemuda itu mengulum senyum tipis melihat Arunika bersama sang ibu. Lekas tangan Maria meraih tangan
“Aku tak mau apa-apa. Apakah tak ada pintu maaf terbuka untukku?” tanya Dewi.“Lebih baik kamu pergi dari sini. Saya sudah tak mencintaimu,” balas Rino datar dengan tatapan dingin.Rino mengurai tangan Dewi yang menggelayut di lengannya. Satu nama yang lolos keluar dari mulut lelaki berhidung bangir itu adalah menyebutkan nama Arunika dan hal ini membuat Dewi terkejut karena benar di hati seorang Rino sudah tidak ada nama Dewi lagi.Lantas Rino beranjak pergi meninggalkan Dewi dengan sejuta kebencian, sedangkan Dewi berdiri mematung menatap nanar punggung Rino yang kian menjauh darinya. Tersemat penyesalan mendalam telah menyia-nyiakan lelaki yang setia kepadanya. Kini pintu rumah tersebut tertutup rapat bagi Dewi.Kedua tangan Dewi mengepal dan giginya gemeletuk. Lalu dia memutar badan dan mengembuskan napas berat berjalan keluar gerbang. Satpam memegangi pintu pagar, mempersilakan Dewi keluar. Satpam tersebut yang ada di sana han
“Irwansyah, sudah jangan lontarkan kata-kata itu lagi,” balas Arunika dan gadis itu pun beringsut mundur.Lantas beranjak keluar dari kamar inap pemuda tersebut.Arunika berdiri di koridor dan tubuhnya terasa hendak limbung. Lekas tangannya meraih tiang yang ada di depannya. Bulu mata lentiknya mengerjap-ngerjap seraya mengembuskan napas berat. Todongan pertanyaan yang diajukan oleh Irwansyah bak sebuah silet yang menguliti setiap inci kulitnya. Dia tidak mau menyakiti perasaan Irwansyah, maka lebih baik diam seribu bahasa.“Kenapa cinta ini membuatku tersiksa?” rutuknya berdengkus kesal sembari mendongak ke langit.Tiba-tiba tangan kekar itu menepuk pundak Arunika. Langsung Arunika menoleh dan terkejut melihat Irwansyah sudah berdiri di belakangnya.“Di dalam AC dingin sekali. Menyapa tubuhku. Namun, tidak dapat dinginkan panasnya hatiku ini.Terasa terhempasnya kelakianku inidengan sikapmu yang membuat segudang
Alunan piano berdenting merdu menggema seantero ruangan yang sudah dihias sedemikian rupa dominan warna mas dan putih. Pemilihan warna dari palet cerah melahirkan gaya pop dan edgy di panggung pelaminan nampak elegan.Dekorasi yang tidak terlalu ramai dengan pemilihan kursi yang sederhana, menonjolkan aura modern dan fresh pada seisi panggung itu. Para tamu undangan sudah banyak yang hadir.Rino berjalan di atas karpet merah sambil mendorong kursi roda Raffi. Tatapannya nanar melihat sepasang pengantin baru yang duduk saling berdampingan. Ini benar-benar di luar dugaannya, bahwasanya saat ini dia sedang datang ke pernikahan Irwansyah dan Arunika.“Jadi yang dimaksud oleh Pak Mahendra itu cucunya yaitu Irwansyah,” lirih Rino.Raffi mengulum senyum tipis dan dia meminta agar Rino membiarkan dirinya untuk menjalankan kursi roda sendiri. Selang sepuluh detik datang Mahendra mendekati Raffi dan Rino. Dia menyambut hangat kedatangan mereka.G
“Janganlah kau mencintaiku. Punya rasa rindu padaku. Karena kau takkan mampu. Untuk milikiku, jangan terbayangkan diriku. Selalu terlintas di matamu. Kau akan terbelenggu. Dalam bayang semu. Kau takkan bisa memutar waktu. Tak akan mampu,” balas Arunika langsung bernyanyi dan dia meraih mikrofon yang dipegang oleh Irwansyah.Rino menatap sendu manik mata Arunika dan dia mengulum senyum tipis. Suara tepuk tangan bergemuruh. Lantas Rino pun bergegas turun dari panggung dan berjalan tegak menuju tempat Gisel dan Raffi.“Ayo, kita pulang,” ajak Rino datar tanpa ekspresi sambil mendorong kursi roda Raffi, sedangkan Raffi tersenyum lebar bahagia sekali.“Kakek sudah tak sabar ingin melihat kalian bersanding di pelaminan,” ucap Raffi.Rino hanya berdeham dan dia tidak melirik ke arah Gisel yang sedari tadi melihatnya. Padahal kini sudah berada di tepat di samping.‘Lihat aku Mas Rino, apakah aku tak pantas kamu cin
Di sebuah kamar yang sudah dihias sedemikian rupa oleh bunga-bunga mawar putih layaknya kamar pengantin. Dua insan manusia itu duduk di pinggir kasur membisu tidak ada yang mau membuka pembicaraan hampir setengah jam.Baju pengantin pun sudah ditanggalkan dan mereka berdua sudah memakai baju piyama berwarna merah maroon.Arunika menundukkan wajahnya dan butiran-butiran air mata luruh terus-menerus berlomba-lomba keluar. Irwansyah melirik Arunika dan dia beringsut mendekati gadis itu.“Kenapa menangis terus? Ambumu berkata seperti itu karena dia memang wanita yang melahirkanmu,” ucap Irwansyah seraya menyeka air mata Arunika.“Jadi aku benar anak Ambu?” tukas Arunika.“Iya, buktinya tadi dia bilang seperti itu ‘kan. Bahwa kamu adalah anaknya. Jadi sudahlah jangan cengeng. Mana Arunika yang dulu?” protes Irwansyah.Andaikan berada di dalam posisi Arunika. Pasti akan bertanya-tanya dengan sikap Wulandar
Kalau kata orang cinta itu indah, tetapi tidak bagi Rino. Duda tampan itu sekian kalinya patah hati. Namun, dia kembali berdiri tegak tetap mencari cinta sejati dan berharap jika gadis yang dicintainya akan membalas, walau hanya dalam mimpi.Entah setan apa yang merasuki tubuh Rino sungguh berani dia mengetik pesan kepada Arunika dan mengajak gadis itu untuk bertemu. Gayung pun disambut hangat.Kini lelaki berhidung bangir itu berdiri di tengah taman ditemani oleh pohon-pohon menjulang tinggi hampir mencakar langit. Semilir angin sore mengusap rambut hitamnya yang disisir rapi.Dia menatap telaga yang jernih dan sesekali mengembuskan napas panjang. Tiga puluh menit sudah menunggu di sana.“Rino!!” panggil suara bariton yang membuat Rino balok badan dan membelalak.Tampak Irwansyah memakai baju kasual dan memakai topi putih. Tangan lelaki itu menggandeng tangan Arunika. Melempar senyum kepada Rino.“Hai, sudah tunggu lama,&r
“Rino ....” Arunika berdesis dan dia menarik napas dalam-dalam.Mata lelaki tampan itu sudah membulat dan menunggu jawaban dari Arunika.Tak sabar menunggu, lalu Rino mendekatkan wajahnya kepada Arunika. Kini jarak mereka sejengkal. Terasa sekali embusan napas hangat Arunika yang dirasakan oleh Rino. Nampak jakun Rino turun naik dan sorot matanya menajam memelesat ke lubuk hati si gadis.Lantas langsung gerakan cepat mencuri kesempatan. Lelaki berhidung bangir itu menggigit bibir bawah Arunika. Sontak gadis itu tersentak kaget dan dia melawan hendak mendorong tubuh Rino. Akan tetapi, kini gadis itu berada di bawah kungkungan si duda keren.Di bawah pohon rindang dan bersama semilir angin sore menjelang petang. Senja pun sudah nampak menjadi saksi bisu di saat Rino mencurahkan cintanya kepada Arunika. Memagut bibir merenda kasih sayang penuh dengan kelembutan.Memang dasarnya Arunika pun menyukai Rino. Dia akhirnya diam pasrah tidak meno
Irwansyah terus menarik tangan Arunika hingga sampai ke dalam kamar. Ekspresi wajah Irwansyah tetap sumringah. Bahkan dia meminta Arunika agar diam saja dulu di dalam kamar.Lantas Irwansyah beranjak keluar dari kamar dan ternyata Mahendra berdiri di depan kamar dengan tatapan menajam.“Istrimu mana? Suruh dia keluar!” bentak Mahendra.“Kek, kami besok mau kembali ke kampung. Terima kasih sudah memberikan pesta pernikahan yang sangat mewah,” balas Irwansyah mengalihkan pembicaraan.Mahendra menggelengkan kepalanya kasar. “Kakek harus bicara dengan ibumu.”Kemudian sang empu rumah itu balik kanan dan Irwansyah mengekori dari belakang.Suara bass Mahendra menggema seantero ruangan. Dia memanggil ibunya Irwansyah.Tak berselang lama. Maria datang sembari tersenyum simpul. Mahendra langsung duduk menopang sebelah kakinya, sedangkan Irwansyah berdiri di samping sang kakek.“Kenapa Ayah?&rdqu