Irwansyah terus menarik tangan Arunika hingga sampai ke dalam kamar. Ekspresi wajah Irwansyah tetap sumringah. Bahkan dia meminta Arunika agar diam saja dulu di dalam kamar.
Lantas Irwansyah beranjak keluar dari kamar dan ternyata Mahendra berdiri di depan kamar dengan tatapan menajam.
“Istrimu mana? Suruh dia keluar!” bentak Mahendra.
“Kek, kami besok mau kembali ke kampung. Terima kasih sudah memberikan pesta pernikahan yang sangat mewah,” balas Irwansyah mengalihkan pembicaraan.
Mahendra menggelengkan kepalanya kasar. “Kakek harus bicara dengan ibumu.”
Kemudian sang empu rumah itu balik kanan dan Irwansyah mengekori dari belakang.
Suara bass Mahendra menggema seantero ruangan. Dia memanggil ibunya Irwansyah.
Tak berselang lama. Maria datang sembari tersenyum simpul. Mahendra langsung duduk menopang sebelah kakinya, sedangkan Irwansyah berdiri di samping sang kakek.
“Kenapa Ayah?&rdqu
Kerlap- kerlip pendar lampu yang menyorot tugu berwarna keunguan bercampur biru serta merah muda membawa suasana romantis dan indah menenangkan diri. Apalagi di puncaknya, bak lidah api keemasan memancang dengan gagah. Sangat cocok bukan sebagai tempat menambatkan cinta.Seperti saat ini dua insan manusia pun terlihat asyik berbincang dengan hanya duduk di pelataran beraspal taman Monas. Sesekali lelaki berkulit putih itu melirik menoleh ke kanan dan ke kiri.Terlihat banyak keluarga muda dengan menggandeng anak mereka yang masih balita, pemandangan yang sangat harmonis. Bahkan orang tuanya duduk-duduk di pelataran taman dan membiarkan anak-anak mereka berlarian ke sana ke mari dengan suka cita.“Kau ingat ini? Di saat kita remaja sering datang ke sini setiap Sabtu malam,” tanya wanita itu yang menggunakan dress selutut berwarna merah muda dan rambutnya diikat satu ke atas menampilkan lehernya yang jenjang.“Maksudmu apa? Menjadi p
Matahari sudah terik di atas kepala menyengat kulit. Lelaki itu berjalan lebar memasuki halaman rumah sederhana, dengan rahangnya mengeras dan sesekali melirik ke arah ponsel yang menampakkan gambar yang seharusnya dia tidak lihat sama sekali. Dering ponsel berdering terus-menerus, tetapi Rino tidak mengindahkan panggilan tersebut. Lelaki itu sengaja meninggalkan ruang kerja demi memastikan sebuah kebenaran. Brugh!! Rino menendang pintu rumah itu hanya sekali tendangan. Jangan ditanya lagi kekuatan duda itu memang kuat, apalagi pintu itu tidak dikunci, maka dengan mudahnya dia menerobos masuk. Derap langkahnya memasuki ruangan yang dulu tempat di mana dia dan teman-temannya bermain musik. Mata Rino membelalak dan dia langsung membentak. “Apa yang kalian lakukan?!” bentak Rino yang berdiri bergeming dan geram. Sorot mata tajam. Sontak Gisel tersentak kaget terbangun. Dia pun terpekik sambil melirik ke arah sosok lelaki yang masi
“Saya tegaskan sekali lagi. Saya bukan pembunuh,” pungkas Rino.Forguso menyeringai iblis dan dia menepuk pundak Rino dengan tatapan menajam.“Urusan kita belum selesai,” sahut Forguso.“Kurang ajar ... jangan dekati Gisel lagi!” bentak lelaki berhidung bangir itu.Namun, Forguso melambaikan tangan kepada Rino, lalu dia beranjak pergi berjalan dengan pongahnya.Kini di ruangan tersebut hanya ada Tomi dan Rino. Dua lelaki itu berdiri saling berhadapan.“Aku bisa jelasin,” tutur Tomi.Rino bergegas mengangkat membuka tangannya, menandakan bahwa dia tidak mau menerima penjelasan dari Tomi. Apa yang dia lihat semalam sudah menunjukkan.Rino pun berbalik badan, tetapi tangannya diraih oleh Tomi.“Semalam Gisel mencarimu ke sini dan kami hanya makan malam biasa. Kemudian kembali ke sini. Tak disangka ketika terbangun aku ada di lantai,” jelas Tomi. Dia memangkas kesal
Hening.Arunika mulai resah melanda sedari tadi Gisel terdiam membisu, pasca Dewi menuturkan kalimat yang mampu membuat mentalnya terpukul. Bisa-bisanya Dewi mengatakan hal itu kepada Gisel di waktu yang tidak tepat.Gadis berambut panjang itu menundukkan wajahnya seraya meremas-remas buku-buku jarinya, sesekali napasnya tarik dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan.Seketika terdengar suara tepuk tangan. Arunika mendongak dan dia menatap nanar manik mata Gisel yang berbinar.“Cinta itu tak salah dan aku sudah tahu siapa wanita yang dicintai oleh Rino. Akan tetapi, aku tak mempermasalahkan hal itu. Bukankah mencintai itu hak milik seorang manusia. Selagi aku masih ada di samping Rino, maka aku akan berusaha membuatnya jatuh cinta kepadaku,” tutur Gisel seraya meraih tangan Arunika seraya tersenyum simpul.“Arunika, aku tahu jika kamu sudah menikah dengan Irwansyah. Tak mungkin ‘kan kalau kamu melukai hati sahabatmu sendiri ya
“Ibu, aku lapar.” Gisel melempar senyum dan dia lekas menggiring sang ibu agar tidak keluar rumah. “Kamu sudah mandi?” tanya sang ibu. “Belum, Bu. Aku ketinggalan ini,” tukas Gisel sambil mengambil ponselnya yang teronggok di atas meja. “Lantas di mana Rino?” tanya wanita paruh baya itu. “Saya di sini, Bu,” jawab Rino singkat sembari melempar senyum dan dia berdiri di ambang pintu. Gisel terhenyak dan dia pun segera melangkah lebar beralasan belum mandi. Tidak sanggup melihat wajah Rino. Ada sesak di dadanya kala melihat lelaki yang dicintainya mencintai sahabatnya. Rino pun berderap masuk mendekati ibu Gisel. Raut wajahnya ramah dan menghormati calon mertuanya tersebut, sedangkan Arunika kini sudah berada di dalam mobil taksi. Dia lekas menyeka air matanya yang luruh. Untungnya tadi ada mobil taksi yang melintas, lekas gadis itu pun memberhentikan mobil tersebut dan masuk. Arunika sudah bulat dengan keputusannya untuk
Tatapan lelaki berperawakan tinggi itu tajam melebihi tajamnya silet. Dia tidak menyangka bahwa Talita berada di dalam kamar sang kakek. Lekas Rino mengulurkan tangannya kepada mantan kekasihnya itu, sedangkan Raffi tidak ada di sana.“Ngapain kamu ada di dalam kamar kakek saya?!” bentak Rino.Walaupun Rino menyiratkan sikap yang dingin dan tegas, tetapi tetap saja dia menolong Talita lolos keluar dari kamar tersebut.Mereka berdua pun dapat lolos dari kobaran api yang merambat dengan cepat. Sontak Rino terbelalak, di depannya ada Raffi yang masih duduk di kursi roda.“Kakek?” pekik Rino.Tak berselang lama. Datang pemadam kebakaran dan lekas menaklukkan si jago merah.**Usai api padam. Rino, Talita, dan Raffi berdialog hangat di ruang keluarga. Menurut penuturan Talita, asal api itu tidak tahu. Tiba-tiba sudah menyala begitu saja di lantai. Spontan Talita syok dan ketakutan. Dia hendak berlari. Akan tetapi, t
Di sebuah kamar di atas ranjang kebisuan. Dua insan manusia itu duduk saling memunggungi. Degub jantung yang memompa darah tidak beraturan. Rembulan mengintip dari celah ventilasi jendela. Lampu meredup seakan menyetujui dua raga pengantin baru untuk menjadi satu. Gadis berambut panjang itu meremas-remas buku-buku jarinya sendiri. Dia tidak tahu harus bagaimana? Ini pertama kalinya harus menjadi istri seutuhnya Irwansyah yang dapat memuaskan di atas ranjang. Ini adalah pilihannya, maka dia harus melanjutkan sepenuhnya menjadi istri Irwansyah. Hampir setengah jam hening, hanya ada napas yang memburu. Pemuda itu pun lambat-laun maju mendekati Arunika. Kemudian dia merengkuh tubuh si gadis dari belakang. Arunika memejamkan mata dan dia berusaha untuk tenang. Meskipun tidak ada debar-debar cinta. Sungguh berbeda sekali perasaan yang Arunika rasakan saat ini. Antara menjalar ketakutan dan kewajiban bersatu, membuat gadis itu bergemetar tangannya.
Tirai jendela berkibar-kibar tertiup angin. Cahaya bagaskara yang menyelusup diam-diam dibiarkan menemani kesenduan Arunika. Jendela pun terbuka lebar. Wanita itu berdiri bergeming dengan mata yang berkaca-kaca.Kenyataan yang membuat menyesakkan dada bagi Arunika adalah di kala mengetahui bahwa dia bukan anak Wulandari. Ditambah lagi Irwansyah tiba-tiba pergi saja tanpa berkata-kata.Sepanjang malam dia tak bisa tidur. Mencerna ucapan Wulandari bahwasanya Arunika adalah anak yang tak diinginkan, karena dibuang oleh kedua orang tuanya. Sakit hatinya saat tahu, jika dulu Arunika ditemukan di depan rumah oleh ayahnya Sri. Masih bayi merah, menangis kencang menggema, saat malam.Wulandari tidak tahu. Siapa orang tua Arunika. Membuat tanda tanya besar bertengger di benak Arunika.Derit pintu terdengar membuat Arunika menoleh ke arah sumber suara. Nampak Sri melempar senyum berdiri di ambang pintu.“Aku boleh masuk, Kak?” tanya Sri.&
Jantung Talita seakan mencelos dari tempatnya seketika itu juga tubuhnya mendadak bergemetar hebat."Maksudmu apa?" tanya balik Talita."Mau jujur nggak?" Tantang Rino menatap lekat manik mata Talita.Atmosfer di ruangan tersebut terasa sangat menegangkan. Bahkan, butiran keringat mendadak berjatuhan dari wajah Talita. Wanita itu pun menghela napas berat sembari memilin rambut hanya sekadar untuk menghilangkan rasa groginya.Ruangan AC itu tak membuat Talita merasa sejuk. Tatapan Rino semakin menyelisik dalam seakan masuk ke dalam jendela hati Talita."Aku mau jujur," jawab Talita tersenyum getir. Lalu dia pun menarik tangan Rino dan diarahkan ke dadanya."Di sini ada Arunika. Apakah kamu marah padaku? Jika aku hidup karena kebaikan Arunika."Hening.Rino mengurai pegangan tangan Talita. Sorot mata lelaki itu berubah setajam silet. Seakan menyayat hati Talita. Usai berbicara jujur. Talita menundukkan wajahnya tak berani menatap
"Tapi, jika kamu tahu kalau aku mempunyai----" Talita menghentikan ucapannya. Dia menunduk sedih. Tak sanggup untuk jujur."Kenapa?" Rino pun mengangkat wajah Talita. "Lihat saya. Kamu mau bicara apa? Katakan saja.""Anu--it--u so--al." Talita terbata-bata. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya lagi. Rasanya dadanya terasa sesak. Akan tetapi, raut wajah Rino meneduhkan tak ada sama sekali amarah yang terpancar dari wajah Rino karena Talita tak melanjutkan ucapannya.Tangan lelaki itu pun meraup wajah Talita dan kembali menyerang wanita itu dengan ciuman bertubi-tubi. Namun, Talita melepaskan pagutan liar dari Rino."Aku capek," ucapnya beralasan. Talita pun langsung memunggungi Rino."Kamu kenapa? Kalau ada sesuatu yang mau dibicarakan katakan saja," urai Rino sambil memeluk pinggang Talita dari belakang.Bibir wanita itu mengatup rapat dan matanya berusaha terpejam. Deguban jantungnya cepat seolah sedang lari maraton. Kendatipun d
Lelaki itu terus melayangkan tinju kepada Rino. Untungnya lelaki berhidung bangir itu mampu menangkis semua serangan dari lawannya.Lalu kali ini giliran Rino menyerang. Dia layangkan tendangan bebas untuk lelaki berjaket hitam kulit. Rino adu jotos dengan preman yang menghadang perjalanannya."Jauhi istri gue!" bentak lelaki yang tiba-tiba muncul sambil turun dari motor."Kamu, jadi ini anak buahmu.""Iya, jangan macam-macam. Apalagi dekat sama istri gue!""Maaf, saya tak bermaksud untuk ikut campur urusan dengan rumah tangga Gisel. Tapi, yang kamu lakukan itu sudah berlebihan.""Sial, banyak ngomong!" tukas suami Gisel sambil menodongkan pisau kepada Rino.Melihat pisau di depan mukanya. Tak membuat nyali Rino menciut. Maka dia pun lekas menepis pisau itu, hingga terjatuh ke sembarang arah."Seraaaaang!" titah suami Gisel.Dua preman itu pun langsung menyerang Rino dengan membabi-buta. Untungnya Rino jago bela di
Gisel berlari sekencang mungkin. Dia menghindar dari kejaran orang yang menagih hutang suaminya. Sungguh malang nasib Gisel. Pasca tak bersama lagi dengan Rino dan wanita itu dibawa berobat agar tak depresi memikirkan Rino. Namun sayangnya, saat di tempat penyembuhan Gisel bertemu dengan lelaki yang salah berpura-pura mencintai wanita itu. Padahal hanya ingin menumpang hidup enak di keluarga Gisel.Wanita berhijab itu pun merasa jika suaminya mempunyai niat terselubung menikahinya. Akhirnya, Gisel memutuskan untuk pergi dari rumah dari zona nyaman tak meminta materi dari kedua orangtuanya. Berharap hidup berdua mengontrak akan membuat suami Gisel sadar agar menjadi sosok lelaki dan suami yang tanggung jawab mau bekerja. Ini justru gila judi dan pemain wanita.Ini adalah titik di mana Gisel sudah muak diteror oleh banyak preman yang menagih hutang suaminya. Bahkan, saat ini Gisel dikejar oleh lelaki berusia lima puluh rintenir yang menginginkan Gisel menjadi istri kelim
"Pagi," sapa Rino seraya melempar senyum.Namun, tak diindahkan oleh Talita. Wanita itu sibuk menyiapkan sarapan di atas meja. Lisna sudah duduk manis sembari menonton ponsel."Hari ini lagi ada yang marah?" sindir Rino.Mau marah bagaimana coba? Kalau menjadi posisi Talita, pasti marah karena di saat mau ke puncak kenikmatan. Justru yang disebut oleh Rino nama wanita lain."Hemmmm." Talita berdeham."Siapa, Om?" tanya Lisna sembari mendongak."Itu Bundamu yang cantik," jawab Rino sambil menarik kursi. Dia duduk di samping Lisna."Aku cuma nyuapin nasi goreng. Kamu mau makan nasgor atau roti?" tanya Talita datar."Nggak apa-apa sama nasgor saja," balas Rini sembari mengulum senyum simpul.Lantas Talita langsung menaruh nasi goreng di piring Rino. Lelaki itu menatap nanar Talita."Terima kasih," ucapnya.Namun, Talita tak mengindahkan ucapan Rino. Wanita tersebut kembali menyelesaikan cucian yang
"Mau tahu banget?" ejek Rino sambil menyetir mobil."Terima kasih, yah. Sudah mau menolongku.""Ini sudah berapa kali kamu bilang seperti itu."Talita pun tersenyum simpul. Pipinya merona memerah seketika itu juga di saat Rino mulai mau berdialog hangat dengannya. Sebagai mengalihkan pembicaraan. Lantas Talita kembali melontarkan tanya tentang cara Rino dapat berhasil masuk ke apartemen Wiro.Ternyata Rino sudah mempunyai jadwal yang di mana Wiro akan melakukan bisnis kotor yang tersambung dengan para wanita. Lelaki itu mendapatkan kabar itu dari salah satu kolega Wiro adalah kolega Rino juga dengan memberikan uang yang nominalnya cukup besar. Makanya, Rino dapat masuk ke acara Wiro di pesta topeng bersama beberapa polisi. Iya, lelaki itu telah melaporkan kehilangan Talita.Mencerna cerita dari Rino. Talita manggut-manggut dan mengulum senyum tipis. Dia tak menyangka bahwa lelaki itu mau menolongnya.Jalanan lengang. Sorot lampu jalanan menj
Wiro penyuka wanita cantik yang untuk didekati lalu dijual ke teman-teman kolega kerjanya sebagai bentuk kerja sama agar terhubung dengan baik. Memiliki ketampanan dan kemampuan merayu. Siapa yang tak akan jatuh ke pelukan Wiro kecuali Talita yang tak mudah jatuh termakan rayuan gombal maut Wiro. Begitulah yang dicerna oleh Talita saat mendengar cerita dari wanita yang duduk di depannya. Menceritakan awal pertemuannya dengan Wiro, dengan iming-iming akan dinikahi dan diberi mobil. Akan tetapi, ternyata justru wanita-wanita itu dijebak oleh Wiro untuk dijual."Dasar bedeebah," ucap Talita yang geram mendenga cerita itu."Lalu bagaimana ini? Kita tak bisa kabur dari sini. Teman kita pasti sudah digrepek sama laki-laki tua bangka," kilah salah satu wanita yang sudah memakai baju tidur sexi sesuai permintaan Wiro.Talita tertegun dan dia berusaha berpikir tenang. Agar dapat keluar dari kamar apartemen Wiro. Dia pun tak mau dijual. Suasana menjadi hening.
"Kamu mau bawa aku ke mana?!" pekik Talita berontak melawan.Wiro terus menarik paksa tangan Talita. Dia tak peduli pekikan Talita. Sampai wanita itu dipaksa masuk ke dalam mobil."Diam, ikut saja. Jangan melawan. Jika tidak anakmu akan jadi korbannya!" sentak Wiro."Jangan macam-macam. Jangan pernah sentuh Lisna." Talita memelotot. Dia pun harus mematuhi perintah Wiro. Akhirnya, Talita duduk tenang di belakang sambil meremas-remas buku-buku jarinya sendiri. Bahkan, dia sudah tak peduli lagi dengan dirinya sendiri yang penting Wiro tak menyakiti Lisna.Perjalanan mereka hampir satu jam. Tiba di tempat tujuan. Talita terbelalak saat turun dari mobil. Gedung pencakar langit di depan mata dan dia pun menelan ludah untuk menilimisir rasa takutnya. Wiro benar-benar mengintimidasinya, sampai Talita diam seribu bahasa saat tangannya digandeng oleh Wiro."Pokoknya kamu patuhi apa yang saya perintahkan."Talita mengangguk pelan dengan raut wajah send
"Kamu berani sama saya!" bentak Wiro.Talita terhuyung limbung jatuh ke lantai. Dia meringis kesakitan. Wiro menyeringai iblis tatapannya seolah-olah ingin menelaanjangi Talita.Lantas tangannya terulur mencengkram erat lengan Talita. "Malam ini kamu akan menjadi milik saya," bisik Wiro."Lepaasssssin aku!" Talita berontak melawan dengan susah payah. Namun, memang tenaga Wiro lebih kuat. Maka Talita tak bisa melawan. Wanita itu didorong ke kasur sampai Talita meringis menahan sakit.Saking kasarnya Wiro memperlakukan Talita. Terbit senyum jahat dari bibir Wiro. Lelaki mengerlingkan mata dan merayap naik ke ranjang.Sontak Talita beringsut mundur menghindari dengan tatapan sendu dan tampak ketakutan sekali.Wiro mendekati dan tangannya sudah menangkap tangan Talita. "Diam saja. Tinggal nikmati jangan berontak."Tiba-tiba terdengar suara bariton mengetuk pintu. Siapa lagi jika bukan teman Wiro. Maka lelaki tersebut mengurungkan niatnya