Hujan deras mengguyur bumi tanpa memberikan kabar terdahulu. Tanah pun basah dan seorang gadis berambut panjang berdiri di tengah keramaian sambil memegang payung ungu.
Sesekali netranya berkeliling mengitari sekitar, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok yang dia harapkan, tetapi tidak ada batang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya berlari mencari tempat teduh di depan toko-toko yang berjajar. Adapula yang langsung masuk ke dalam mobil menuju tempat tujuan.
Namun, gadis itu hanya menghela napas dan melanjutkan langkahnya mencari sosok adiknya tercinta. Satu jam yang lalu mendapatkan telepon dari Sri. Sebagai kakak yang baik Arunika bergegas pergi menuju tempat yang dimaksud oleh Sri. Akan tetapi, setelah sampai di tempat tujuan. Ponsel Sri mati di luar jangkauan. Ini membuat Arunika semakin panik.
Tukai kakinya mengayun di antara genangan air yang sudah sampai mata kaki. Angin berembus kencang mengibarkan rambut yang dikucir satu, padahal gadis itu memaka
“Maaf, aku tak pernah mencintaimu,” jawab Arunika pelan.“Tatap mata saya,” pinta Rino sambil meraih dagu gadis yang ada di hadapannya.Arunika memalingkan wajahnya dan ia menepis tangan Rino. Dia takut larut dalam suasana alam yang membuat rasa ingin menyelisik birahi. Lantas gadis itu berdiri mengalihkan perhatian Rino.“Aku harus melanjutkan mencari Sri.”“Ini sudah malam. Kita harus mencari dia di mana?” keluh Rino sambil menarik tangan Arunika, agar gadis berambut panjang itu duduk kembali.Namun sayangnya, Arunika bersikukuh ingin melanjutkan perjalanannya mencari Sri. Tukai Arunika melebar keluar dari kedai kopi itu dan Rino pun bergegas mengejarnya. Sebelum mengejar Arunika, lelaki berhidung bangir itu ke meja kasir membayar kopi yang mereka minum.Rinai hujan tidak kunjung reda. Dua insan manusia itu masih menerobos dalam derasnya hujan. Pandangan Arunika tiba-tiba kunang-kunang. Dalam
Raffi menatap nyalang ke arah Arunika yang berdiri bergeming sambil menundukkan wajah.“Apa yang kalian lakukan di dalam kamar tadi?!” bentak Raffi memelotot kepada Rino yang tepat berada di hadapan.“Kek, saya bisa jelasin,” jawab Rino sembari tersenyum simpul.“Apa yang akan kamu jelaskan!” Raffi geram karena lima belas menit yang lalu. Dia memergoki Rino dan Arunika di atas kasur berdua saling tindih.Padahal kejadian tersebut tidak seperti dalam pikiran Raffi. Alam pikiran mengawang di mana dia dan Arunika berdebat di dalam kamar.Saat Rino merengkuh tubuh Arunika. Terdapat debar cinta di antara mereka berdua. Gadis itu pun berbalik badan dan protes karena menyadari bahwa baju yang semalam dipakai sudah berganti.“Siapa yang buka bajuku?” tanya Arunika sembari mengurai pelukan dan menepis perasaan yang mulai menjalar.“Saya,” jawab Rino singkat, padat, dan jelas.&
Rino langsung mengambil mobil. Lantas dia pun mengejar mobil yang membawa Arunika. Melaju dengan kecepatan tinggi, Rino tidak peduli dengan keselamatan dirinya sendiri bak pembalap Rino terus mengejar.Akhirnya dia dapat menyalip mobil yang ada di depannya. Lekas Rino sengaja memutar mobil ke arah tengah jalan raya untuk menghadang.Spontan lelaki berkemeja kotak-kotak itu pun langsung berhenti mendadak, menginjak rem sembari memicingkan mata. Nampak kesal sekali karena Rino menghalangi perjalanannya.Arunika membelalak saat tahu Rino mengejarnya bak kereta cepat. Nampak Rino keluar dari mobil dan berdiri tegak sambil tersenyum simpul.“Rino, mau dia apa?” tanya Forguso.Mencerna ucapan Forguso. Arunika mengernyit dan dia langsung melontarkan pertanyaan.“Anda kenal dengan Rino?”Namun, Forguso tidak menjawab. Lelaki tersebut turun dari mobil. Memangkas jarak mendekati Rino dengan tatapan menyalang. Tampa
“Apa ada tanda silang di wajah saya? Perhatikan Arunika,” tanya Rino.Gadis berlesung pipi itu menggelengkan kepalanya. Tatapannya menajam melihat Rino yang sangat dekat.“Lantas ada apa?” tanya Rino lebih dekat beberapa centimeter dengan wajah Arunika.“Hemz, ada----“ Gadis cantik itu belum menjawab. Dengan cekatan tangan Rino memegang kepala Arunika.Tanpa permisi Rino melumat bibir Arunika. Sontak Sri dan Tomi terbelalak. Arunika lekas mendorong tubuh duda keren itu. Dia pun terkejut.Nampak amarah membungbung tinggi dari raut wajah Arunika. “Tak sopan!” bentaknya.“Bagaimana rasanya?” jawab Rino terkekeh kecil.“Dasar meesuuuum!” Arunika mengepalkan kedua tangannya.Ada hati yang terluka tanpa Rino sadari yaitu Sri. Gadis itu bergegas masuk ke dalam rumah bersama sejuta kecewa yang dia pendam. Lantas Arunika pun mengejar Sri dari belakang sambil memangg
“Oh, kalian anak si Wulandari. Ibu kalian sudah menjual rumah ini,” jawab wanita itu sembari tersenyum.“Apa?! Kenapa dijual? Kenapa Ambu tak bilang pada saya? Di mana Ambu sekarang,” protes Arunika sambil celingak-celinguk melihat barang-barangnya dikeluarkan oleh lima lelaki berbadan besar. Dia dan Sri tidak terima bahwa mereka tiba-tiba harus pergi dari rumah yang sudah menjadi bagian dalam hidup mereka berdua.Gadis berlesung pipi itu menghambur mempertahankan barang-barangnya yang dikeluarkan. Dia duduk memunguti baju-bajunya yang belum sempat dibereskan yang kini tercecer di tanah. Sri pun ikut membereskan.“Ini sudah keterluan!” geram Sri sambil menatap nyalang kepada salah satu lelaki yang berbadan tegap. Gadis itu berdiri dan sudah mengepalkan kedua tangannya, hendak melayangkan tinju. Akan tetapi, Arunika melarangnya. Akhirnya, kepalan tangan itu menggantung di depan muka lelaki tersebut.“Silakan tinju
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Maria dengan wajah sendu. Beberapa kali dia tumbang, untungnya Arunika lekas membantu ibunya Irwansyah untuk tetap berdiri.Maria—ibu Irwansyah mengetahui kabar sang anak dari pengacara yang menangani rumah Wulandari. Usai pulang dari Wulandari bersama pengacara. Pemuda itu tiba-tiba di pertengahan jalan dihadang oleh tiga pemuda dari kampung lain yang langsung menyerang Irwansyah kala pemuda tersebut turun dari mobil. Maka terjadilah perkelahian yang membuat tubuh Irwansyah ambruk ke tanah dan bersimbah darah dikarenakan lawannya membawa pisau daging untuk menyerang bagian lengan.“Untungnya cepat dilarikan ke rumah sakit. Anak Ibu sudah melewati masa kritis,” jawab dokter yang menangani Irwansyah.Selang sepuluh detik. Brankar Irwansyah didorong oleh dua perawat baru keluar dari ruangan UGD. Pemuda itu mengulum senyum tipis melihat Arunika bersama sang ibu. Lekas tangan Maria meraih tangan
“Aku tak mau apa-apa. Apakah tak ada pintu maaf terbuka untukku?” tanya Dewi.“Lebih baik kamu pergi dari sini. Saya sudah tak mencintaimu,” balas Rino datar dengan tatapan dingin.Rino mengurai tangan Dewi yang menggelayut di lengannya. Satu nama yang lolos keluar dari mulut lelaki berhidung bangir itu adalah menyebutkan nama Arunika dan hal ini membuat Dewi terkejut karena benar di hati seorang Rino sudah tidak ada nama Dewi lagi.Lantas Rino beranjak pergi meninggalkan Dewi dengan sejuta kebencian, sedangkan Dewi berdiri mematung menatap nanar punggung Rino yang kian menjauh darinya. Tersemat penyesalan mendalam telah menyia-nyiakan lelaki yang setia kepadanya. Kini pintu rumah tersebut tertutup rapat bagi Dewi.Kedua tangan Dewi mengepal dan giginya gemeletuk. Lalu dia memutar badan dan mengembuskan napas berat berjalan keluar gerbang. Satpam memegangi pintu pagar, mempersilakan Dewi keluar. Satpam tersebut yang ada di sana han
“Irwansyah, sudah jangan lontarkan kata-kata itu lagi,” balas Arunika dan gadis itu pun beringsut mundur.Lantas beranjak keluar dari kamar inap pemuda tersebut.Arunika berdiri di koridor dan tubuhnya terasa hendak limbung. Lekas tangannya meraih tiang yang ada di depannya. Bulu mata lentiknya mengerjap-ngerjap seraya mengembuskan napas berat. Todongan pertanyaan yang diajukan oleh Irwansyah bak sebuah silet yang menguliti setiap inci kulitnya. Dia tidak mau menyakiti perasaan Irwansyah, maka lebih baik diam seribu bahasa.“Kenapa cinta ini membuatku tersiksa?” rutuknya berdengkus kesal sembari mendongak ke langit.Tiba-tiba tangan kekar itu menepuk pundak Arunika. Langsung Arunika menoleh dan terkejut melihat Irwansyah sudah berdiri di belakangnya.“Di dalam AC dingin sekali. Menyapa tubuhku. Namun, tidak dapat dinginkan panasnya hatiku ini.Terasa terhempasnya kelakianku inidengan sikapmu yang membuat segudang