"Setelah pulang dari sini, kita bisa menemui Bang Sam. Membicarakan tentang hubungan kita."Disya pada akhirnya mengatakan itu saat masih berada di Jogja di rumah nenek dan kakeknya. Sebelum membicarakan hubungan mereka kepada masing-masing kedua keluarga, Disya memutuskan membicarakannya kepada samudra terlebih dahulu. Setelah Samudra setuju, baru kedua keluarga akan diberi tahu.Devan jelas langsung setuju. Lelaki itu semangat sekali.Besok, Disya sudah ada janji dengan Samudra untuk bertemu. Katanya lelaki itu akan menjelaskan hubungannya dengan Naya. Itu bagus, setelah itu Disya akan menyuruh Devan untuk datang, dan mereka akan membicarakan tentang hubungan keduanya. Mereka butuh kejelasan dari hubungan mereka 'kan? Tidak mungkin mereka berdua akan terus bersembunyi seperti ini.Semoga Samudra akan mengerti, dan luluh.Omong-omong tentang hubungan Samudra dan Naya yang katanya sudah berakhir sejak lama, apakah Devan tidak akan terkejut mengetahuinya? Apakah benar sikap Disya yang
"Setelah pulang dari kantor Abang free ngga? Atau ada janji, atau ada urusan?" Naya sudah bergelayut manja melingkarkan tangannya di lengan Devan. Mereka sedang menuruni anak tangga menuju ke ruang makan untuk sarapan pagi tadi."Jam delapan sudah ada janji. Kenapa memangnya?" tanya Devan penasaran."Yah." Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Urusan pekerjaan?" lanjutnya bertanya.Devan menggeleng. "Bukan urusan pekerjaan sih, tapi ini urusan cukup penting, sangat penting. Ada apa?"Jam delapan, Disya memberi informasi jika akan bertemu dan membicarakan tentang kembalinya hubungan mereka kepada Samudra. Tentu saja pertemuan ini sangat penting untuk Devan dan Disya."Malam ini, niatnya Nay mau ngenalin calon Nay, sama Abang."Devan langsung menatap Naya dengan kening mengkerut bingung. Namun, detik berikutnya sebuah senyuman kecil tercetak jelas di bibirnya. "Calon?" ulang Devan memastikan kembali ucapan adiknya.Naya mengangguk sambil mengulum bibirnya. "Jangan bilang dulu sama Mamah
"Demi Tuhan saya tidak akan menyetujui hubungan kalian berdua. Kamu akan membalas dendam? Melakukan apa yang sudah saya lakukan kepada kedua adikmu?" Devan menatap Samudra yang duduk tepat di depannya dengan tatapan tajam.Samudra tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Devan sama sekali, bahkan lelaki itu dengan berani membalas tatapan tajam Devan."Naya tidak ada hubungan apapun dengan masalah ini. Kamu hanya dendam dengan saya 'kan? Kamu harusnya membalas dendam langsung kepada saya, tidak perlu menyeret Naya ke dalam masalah ini!" Gurat marah jelas terlihat dari wajah Devan, bisa dilihat wajahnya yang memerah, kilat marah terpancar dari kedua matanya, rahangnya mengeras, urat-urat disekitaran lehernya bahkan terlihat menonjol. Devan benar-benar sedang marah saat ini.Samudra menyunginggkan senyumnya. "Balas dendam... kalian berdua terus membahas masalah itu. Saya muak mendengarnya.""Lalu apa tujuanmu ingin menikahi Naya?"Samudra terdiam untuk beberapa saat, melipat kedua tanga
Disya menundukkan wajahnya dalam, masih menangis sesenggukkan. Benarkah ucapan yang dikatakan Devan beberapa menit yang lalu? Tentang dia yang tidak akan menemui Disya lagi? Itu artinya hubungan mereka benar-benar berakhir. Padahal mereka baru memulainya kembali, tapi sudah harus diakhiri begitu saja?âSiapa yang mengundang Pak Devan untuk datang ke sini?â tanya Disya mendongakkan wajahnya menatap Samudra yang masih duduk di tempatnya semula, dengan tatapan marah tentu saja.âNaya, kita berdua sepakat untuk memberi tahu rencana pernikahan kami berdua.âDisya menggeleng-gelengkan kepalanya. âMenikah⊠dengan alasan hanya ingin? Apa-apan itu, Bang?â tanya Disya lagi dengan suara sangat pelan, namun ada penekanan di setiap kalimatnya.âKita saling mencintai.âPerempuan itu tersenyum miring mendengar ucapan Samudra. Bangun dari duduknya, lalu kembali duduk di kursi yang berada di sampingnyaâkursi yang Devan duduki tadi, agar bisa berhadapan langsung dengan Samudra. Menatap tepat di manik m
Devan benar tentang ucapannya yang memutus hubungan kedua keluarga. Sudah tiga hari sejak kejadian itu, Kai tidak diperbolehkan untuk menemui atau bahkan mengunjungi keluarga Disya. Lelaki itu tidak main-main dengan perkataannya."Dad! Aku mau ketemu Mommy, kenapa kita tidak boleh bertemu?!" Kai bertanya, menatap Devan dengan tampang memelas.Devan tidak menjawab, memilih sibuk dengan sarapan di depannya, juga iPad yang berada di tangannya, mengabaikan rengekan Kai."Daddy, dengar aku tidak sih?!""Kamu akan baik-baik saja tanpa Mommy."Sebelum Disya hadir ditengah-tengah mereka, semuanya berjalan baik-baik saja. Ini hanya fase di mana keadaan kembali ke titik di mana sebelum mereka berdua bertemu dengan Disya. Ya... mereka bisa menjalani kehidupan seperti biasanya. Mereka akan kembali menjalani hidup berduaâhanya Kai, dan Devan."Tidak! Aku ingin bertemu Mommy!" Kai menatap wajah Devan dengan kedua manik matanya yang sudah berkaca-kaca hendak menangis.Lelaki yang lebih tua, menyimpa
âMamah masih sedang mencoba memahami dan mengikhlaskan hubungan pertunangan kamu yang berakhir dengan Raina, Bang. Dan sekarang apa ini?â Gina memegang pundak Samudra, mengguncangnya kuat dengan kening mengkerut, dan sorot terlukanya. âKamu meminta ijin untuk menikah dengan Naya. Naya adik Devan, kenapa?!âDisya dan Dina yang masih berada di tengah anak tangga, untuk turun menuju ruang tengah mendengar suara Gina. Disya tidak terlalu terkejut tentang ini, karena ia sudah tahu, tetapi Dina jelas baru mengetahui tentang ini. Langkahnya semakin cepat, menggenggam tangan Disya agar cepat sampai di ruang tengah.âAku hanya meminta restu.âGina menutup wajahnya dengan kedua tangan. âKenapa harus Naya?ââAda masalah dengan Naya?â tanya Samudra terkesan dingin.âJelas masalah, Bang.â Gina frustasi.Gina menatap Dina yang sudah duduk bergabung dengan Disya. âMba, lihat! Samudra meminta ijin untuk menikah dengan Naya setelah memutuskan hubungannya dengan Raina,â adu Gina kepada Dina dengan waja
Memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Disya, Devan segera membuka safety beltnya, keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Disya. âAyo! Saya sudah janji sama Samudra, bahwa saya tidak akan menemui kamau lagi.ââPak DevanâŠ,â rengek Disya mendongak menatap Devan, dengan masih duduk di kursinya, enggan beranjak dari sana.âSya, ayo!ââBagaimana kalau benar, mereka sudah mengenal sejak lama, Bang Sam dan Naya sudah bertemu sejak lama?âDevan menggeleng.âBagaimana kalau benar mereka saling mencintai?â tanya Disya lagi berusaha meyakinkan lelaki itu.Devan menatap Disya dengan sorot dinginnya, seolah tidak memahami dan menyetujui ucapan mantan istrinya itu. Cinta? Yang benar saja? Sudah pasti Samudra memanfaatkan Naya untuk membalas perlakuan Devan dulu kepada Disya dan Naisnya, pikir Devan.âCinta? Tidak masuk akal,â decih Devan menarik paksa lengan Disya untuk bangun dari duduknya, keluar dari mobil.âApanya yang tidak masuk akal? Cinta itu masuk akal, mereka saling men
"Ada apa lagi?" Diky bertanya menatap lelaki yang sedang berkutat dengan layar komputer di depannya.Tidak menjawab, lelaki itu hanya melirik Diky sekilas dengan kening mengernyit lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.Diky terlihat menghela napasnya. Sudah bertahun-tahun Diky mengenal Devan. Dan rasanya tidak mungkin jika lelaki itu baik-baik saja dengan wajah lesu seperti itu. "Ada masalah?" tanyanya, lagi."Tidak.""Saya mengenal anda dengan baik Tuan Devano, tidak mungkin tidak terjadi apa-apa jika wajahmu ditekuk seperti itu," ucap Diky, berdiri dari duduknya lalu melangkah menghampiri meja kerja atasannya.Devan mengusap wajahnya kasar, mendesah frustasi sebelum akhirnya membuka suara. "Nayaâ"Diky mengangguk, memperhatikan dengan baik kalimat apa yang akan lelaki itu katakan tentang adiknya. "Iya, ada apa dengan Naya?" tanya Diky ketika Devan tidak juga melanjutkan ucapannya."Berniat menikah dengan Samudra.""Wait... what! Samudra?!" Diky cengo, membelalakkan matanya menatap
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembutâentah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan canduâsemuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masingâsebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidakâ Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat senduâmendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disyaâ "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan
"Tokcer juga ya Pak Devan," ucap Fani menatap lembaran hasil USG milik Disya dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. "Iyalah tokcer! Kamu ngga lihat Pak Devan tuh aura-auranya hyperâ" "Al!" Yumna menyenggol lengan Alya, memperingati agar ia berhati-hati dengan ucapannya. Tidak masalah jika hanya mereka berempat di sana, tetapi ini ada Bundanya Disya. Mengulum bibirnya, Alya menatap Dina lalu menampilkan cengiran tanpa dosa. "Maksud aku, Pak Devan auranya ganteng banget, Bun... hehehe." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu mengacak bagian atas rambut Alya dengan gemas. "Jadi, kalian mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dina mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Masa langsung pulang sih, Bun. Makan dulu yuk!" ajak Fani. Alya, Yumna, dan Fani tadinya berniat untuk berkunjung ke rumah Disya, tetapi Disya memberi tahu jika ia sedang tidak ada di rumah, tanpa sengaja juga ia memberikan informasi jika sedang berada di salah satu rumah sakitâmereka yang jelas khawat
Tidak ada acara honeymoon dan sejenisnya. Disya menolak ketika Devan memberi pernyataan seperti iniâ"Saya tidak masalah dengan tempat honeymoon yang akan kita kunjungi, terserah ke mana kamu ingin pergi, satu hal yang pasti, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di kasur nantinya." Disya menggeleng pelan mendengar jawaban Devan ketika ia bertanya tentang tujuan dan rencana keduanya untuk honeymoon sesuai saran dari kedua orangtuanya waktu itu. Toh belum ada tempat yang ingin Disya kunjungi, untuk saat ini memulai hidup baru dengan Devan saja sudah cukup baginya. Bangun pagi dengan posisi berada dalam pelukan Devan, lalu memasak untuk sarapan bersama, suaminya yang mengantarnya ke store sebelum berangkat bekerja, lalu pulang ke rumah bersama, memasak untuk makan malam, lalu berbagi cerita sebelum tidurâwalaupun sebelumnya pasti akan melakukan hal 'itu' terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur, Disya tidak mengira Devan akan seperti seorang hyper, jangan mengira hanya sekali d
Disya mengerjapkan matanya perlahan, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang, bukannya bangun dari tidurnya Disya malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Devan, semakin menyamankan posisi tidurnya. "Sudah siang sayang," ucap Devan mengecup bagian atas rambut Disya. "Disya lapar, tapi males bangun." "Delivery makanan, lagi?" "Boleh....." "Jangan junkfood ya, Sya. Kemarin kan sudah, jangan terlalu sering makan makanan seperti itu." Devan tetaplah Devan dengan ke-antiannya memakan junkfoodâbukan anti sih, tetapi sangat menjaga pola makannya, masih sering memperingati Disya untuk mengurangi makanan yang tidak sehat. "Iya Pak Devan." Devan mengambil handphonenya yang berada di atas nakas, membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan secara online. Selama tiga hari ini, kedua pasangan pengantin baru itu sama sekali tidak meninggalkan rumah, bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Membeli makan secara online, Disya bahkan belum menyentuh are
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me