"Ada apa lagi?" Diky bertanya menatap lelaki yang sedang berkutat dengan layar komputer di depannya.Tidak menjawab, lelaki itu hanya melirik Diky sekilas dengan kening mengernyit lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.Diky terlihat menghela napasnya. Sudah bertahun-tahun Diky mengenal Devan. Dan rasanya tidak mungkin jika lelaki itu baik-baik saja dengan wajah lesu seperti itu. "Ada masalah?" tanyanya, lagi."Tidak.""Saya mengenal anda dengan baik Tuan Devano, tidak mungkin tidak terjadi apa-apa jika wajahmu ditekuk seperti itu," ucap Diky, berdiri dari duduknya lalu melangkah menghampiri meja kerja atasannya.Devan mengusap wajahnya kasar, mendesah frustasi sebelum akhirnya membuka suara. "Naya—"Diky mengangguk, memperhatikan dengan baik kalimat apa yang akan lelaki itu katakan tentang adiknya. "Iya, ada apa dengan Naya?" tanya Diky ketika Devan tidak juga melanjutkan ucapannya."Berniat menikah dengan Samudra.""Wait... what! Samudra?!" Diky cengo, membelalakkan matanya menatap
“Ada apa sebenarnya? Naya tidak mau keluar dari kamar beberapa hari ini, Kai yang terlihat sangat lesu setiap harinya, dia tidak seceria dulu, Dev. Apa yang terjadi, bisa ceritakan dengan jelas?” Maya protes, menatap Devan yang sedang fokus mengemudi.Devan masih setia dengan kebisuannya.“Apa yang terjadi dengan Disya dan Naya. Ini ada sangkut pautnya dengan mereka berdua, sehingga kamu memutuskan untuk memutuskan hubungan dua keluarga?”Bukan tanpa alasan Maya berbicara seperti itu. Naya berubah saat kembali dengan Devan dalam keadaan menangis, dan tiba-tiba Devan meminta untuk tidak boleh berkomunikasi lagi dengan Disya ataupun keluarganya. Tidak salah kan Maya berpikir itu ada sangkut pautnya.“Naya juga selalu diam jika ditanya Mamah. Ada apa kalian ini?” Maya frustasi ketika Devan tidak kunjung menjelaskan. “Mamah mohon, Dev. Jelaskan agar Mamah tidak kebingungan seperti ini.”“Kita jodohkan Naya dengan salah satu anak rekan bisnisku ataupun Papah, atau Mamah jika Mamah punya ke
Tidak saling berbicara padahal, Disya dan Naya pamit ke luar ketika melihat Devan dan Samudra meninggalkan ruangan. Yang ada dipikiran Disya adalah, bagaimana jika ada adegan adu jotos—semua orang tahu hubungan Devan dan Samudra sama sekali tidak baik—bisa saja hal itu terjadi kan?Disya dan Naya mendengar semua obrolan keduanya, hal yang cukup mengejutkan adalah ketika Devan duduk bersimpuh di depan Samudra. Disya terkejut tentu saja, begitu pula dengan Naya yang langsung menghampirinya, dan membantu Devan untuk berdiri.Hal itu baru pertama kali dilihat Disya. Mantan suaminya yang jelas begitu dihormati oleh banyak orang karena kekuasaannya—saat itu Disya lihat rela membuang jauh harga dirinya hanya untuk memohon kepada Samudra supaya mengurungkan niatnya menikahi Naya.Disya tidak melakukan apapun, ia hanya berdiri memperhatikan dan menyimak kejadian di depannya. Naya terlihat semangat sekali ketika merangkul lengan Samudra, dan membawanya ke hadapan Devan. Wajah gelisah dan ketaku
Disya menatap cincin—cincin pernikahannya dengan Devan. Tidak hanya cincin yang berada dibalik kotak beludru itu, tetapi lengkap dengan dua kalung berbandul crown yang dulu diberikan oleh Devan—kalung pertama diberikan kepada Disya ketika malam di mana pertama kalinya Disya mengetahui tentang apartemen milik Devan yang ditinggali oleh Naisya. Disya masih ingat, malam itu ia begitu yakin dan percaya kepada Devan, bahwa lelaki itu tidak bermain-main dengan perempuan lain.Benarkah dulu Disya terlalu bodoh, terlalu dibutakan oleh cinta?Kalung kedua berbandul crown yang diberikan kepada Disya harusnya menjadi bukti dan juga saksi pengungkapan cinta untuk pertama kalinya Devan kepada Disya—harusnya malam itu, malam yang sangat bahagia untuk keduanya. Tetapi, Disya malah mengetahui tentang semuanya. Mengeluarkan kalung kedua yang diberikan Devan dari dalam kotak itu. Tentu saja ada perbedaan dari kalung keduanya—kalung yang sudah berada di tangan Disya terdapat aksara sambung huruf ‘D’ te
“Kakinya terkilir lagi atau bagaimana? Mana yang sakit?” tanya Devan khawatir menatap Disya yang sudah ia dudukkan di sofa ruang tengah.“Yaampun Sya, bukannya hati-hati jalannya….” Sonia berujar khawatir, sedaritadi beberapa sepupu Devan membuntuti mereka hingga masuk ke dalam rumah.“Lagian lo mau ke mana sih, Sya… buru-buru amat jalannya?” tanya Dio yang sedari tadi menahan mati-matian tawanya agar tidak ke luar.Ekspresi wajah Dio berubah seketika ketika Devan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Berdehem pelan, lalu merubah mimik wajahnya—Dio akan ciut jika ditatap seperti itu oleh Devan.“Jika hanya ingin mengejek Disya dan tidak berniat mengobati mending kamu ke luar saja!”Dio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, mengangguk pelan menanggapi ucapan Devan.Devan kembali menatap Disya, melepaskan heels yang dipakai perempuan itu. “Mana saya lihat lukanya,” kata Devan menatap Disya yang sedari tadi tidak balas menatap maniknya—jelas sekali Disya menghindarinya.
“Saya berangkat ya?”Perempuan yang sedang duduk di samping ibunya mengangguk pelan sambil menampilkan senyum kecil, ketika lelaki itu sudah mendaratkan satu buah kecupan di keningnya. “Hati-hati.”Samudra mengangguk, menatap Disya lalu mengecup pipinya sembari mengacak pelan rambut Disya. Disya hanya diam sembari memanyunkan bibirnya. "Adegan itu kena peringatan harusnya! Bucin!" komentar Disya tentang kelakuan Samudra yang mencium kening Naya di hadapannya, juga Ibu dari mereka. Samudra menanggapinya dengan kekehan saja. “Abang berangkat ya, Sya.”“Iya, sana pergi!” titah Disya.Samudra terkekeh, mengedarkan senyumannya kepada semua orang yang ada di ruang tengah, setelah sebelumnya berpamitan pergi.Dina, Maya, Naya, juga Disya sedang berada di kediaman rumah Gina—sudah dikatakan sebelumnya bukan, hubungan kedua keluarga sudah kembali membaik, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Rencananya mereka akan pergi survey untuk memilih venue tempat berlangsungnya acara pernikahan Samu
Kai terus menatap ke arah Devan yang sedang fokus memperhatikan jalanan di depannya. Merasa diperhatikan membuat lelaki yang sedang memegang kemudi itu menatap ke arah putranya. “Kenapa, Prince?” tanyanya.Tidak langsung menjawab pertanyaan sang Daddy, untuk beberapa detik Kai masih menatap wajah Devan tetapi setelahnya menggeleng pelan.“Mau ke rumah Oma Maya dulu, sebelum nanti dijemput Mommy?” tanya Devan, menatap putranya untuk beberapa detik, lalu setelahnya kembali fokus dengan kemudinya menatap ke depan, memperhatikan jalanan.“Daddy mau ke kantor lagi memangnya?”Menggeleng, Devan menjawab, “Tidak—eh, Daddy baru ingat Oma Maya pergi sama Aunty Nay, Oma Dina, Oma Gina juga,” jelas Devan ketika ia baru mengingat Maya, dan Naya tidak ada di rumah saat ini.“Ke rumah kita saja, Dad.”Devan menampilkan senyum, lalu mengangguk pelan. “Kai di rumah dulu sebelum dijemput Mommy, ya.”Bocah itu menggeleng, yang jelas membuat Edgar mengernyit bingung. “Aku menginap di rumah,” katanya.Ad
Membuka pintu kamarnya, Devan terlihat menghela napas sembari bersandar pada pintu kamar yang sudah kembali ditutup rapat. Menatap ke sekeliling kamar—semua tentang Disya sudah tidak ada, semua barang yan bersangkutan dengan Disya sudah lelaki itu singkirkan dari kamarnya.Devan baru kembali ke kamar setelah sebelumnya menemani Kai hingga tertidur di kamarnya sendiri.Tersenyum sumbang, Devan mengusap wajahnya kasar, mengacak rambutnya frustasi. Merutuki dirinya sendiri dengan berbagai sumpah serapah.Sial! Semuanya semakin rumit saja.Tok!Tok!Tok!“Pak Devan?”Suara ketukan di pintu kamar, juga suara panggilan dari perempuan yang memanggilnya, membuat Devan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Mengulurkan tangannya untuk membuka pintu yang dipunggunginya—Disya sudah ada di depannya sekarang, menatapnya dengan kening yang mengernyit setelah pintu dibuka.“Pak Devan cuman baca chat Disya, ngga balas?”Membasahi bibirnya yang dirasa kering, Devan mengangguk pelan. Saat men