Kai terus menatap ke arah Devan yang sedang fokus memperhatikan jalanan di depannya. Merasa diperhatikan membuat lelaki yang sedang memegang kemudi itu menatap ke arah putranya. “Kenapa, Prince?” tanyanya.Tidak langsung menjawab pertanyaan sang Daddy, untuk beberapa detik Kai masih menatap wajah Devan tetapi setelahnya menggeleng pelan.“Mau ke rumah Oma Maya dulu, sebelum nanti dijemput Mommy?” tanya Devan, menatap putranya untuk beberapa detik, lalu setelahnya kembali fokus dengan kemudinya menatap ke depan, memperhatikan jalanan.“Daddy mau ke kantor lagi memangnya?”Menggeleng, Devan menjawab, “Tidak—eh, Daddy baru ingat Oma Maya pergi sama Aunty Nay, Oma Dina, Oma Gina juga,” jelas Devan ketika ia baru mengingat Maya, dan Naya tidak ada di rumah saat ini.“Ke rumah kita saja, Dad.”Devan menampilkan senyum, lalu mengangguk pelan. “Kai di rumah dulu sebelum dijemput Mommy, ya.”Bocah itu menggeleng, yang jelas membuat Edgar mengernyit bingung. “Aku menginap di rumah,” katanya.Ad
Membuka pintu kamarnya, Devan terlihat menghela napas sembari bersandar pada pintu kamar yang sudah kembali ditutup rapat. Menatap ke sekeliling kamar—semua tentang Disya sudah tidak ada, semua barang yan bersangkutan dengan Disya sudah lelaki itu singkirkan dari kamarnya.Devan baru kembali ke kamar setelah sebelumnya menemani Kai hingga tertidur di kamarnya sendiri.Tersenyum sumbang, Devan mengusap wajahnya kasar, mengacak rambutnya frustasi. Merutuki dirinya sendiri dengan berbagai sumpah serapah.Sial! Semuanya semakin rumit saja.Tok!Tok!Tok!“Pak Devan?”Suara ketukan di pintu kamar, juga suara panggilan dari perempuan yang memanggilnya, membuat Devan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Mengulurkan tangannya untuk membuka pintu yang dipunggunginya—Disya sudah ada di depannya sekarang, menatapnya dengan kening yang mengernyit setelah pintu dibuka.“Pak Devan cuman baca chat Disya, ngga balas?”Membasahi bibirnya yang dirasa kering, Devan mengangguk pelan. Saat men
Disya tersenyum ketika berpapasan dengan beberapa murid yang berjalan menuju ke arah gerbang untuk pulang, dijemput oleh orang tua ataupun supir mereka. Ini sudah jam pulang sekolah, tentu saja keberadaan Disya di sini untuk menjemput Kai—sekedar informasi saja, perempuan itu sudah standby dari setengah jam sebelum bel pulang berbunyi, hanya untuk memastikan bahwa kejadian kemarin tidak terulang lagi. Dari banyaknya murid, manik Disya mencari sosok putranya, bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Kai. Senyum merekah ia tunjukkan ketika maniknya melihat putranya sedang berjalan sendiri dengan wajah yang terlihat sangat lesu dan lelah. “Kai,” sapa Disya, melambaikan tangannya dengan kedua kaki yang sudah melangkah menghampiri putranya sembari tersenyum sumringah. Kai menatap kehadiran Disya, bahkan langkah kakinya terhenti karena sapaan Disya. “Sayang, capek ya?” tanya Disya saat ia sudah berdiri di depan Kai, bahkan perempuan itu sudah mengusap pelan rambut K
Disya semakin mengeratkan genggaman tangannya dengan Kai ketika menyadari banyak karyawan yang memperhatikannya. Menampilkan senyum canggung ketika manik Disya bertemu dengan manik mata mereka. Disya berjalan beriringan dengan Kai, dan Devan, menaiki lift untuk menuju ke ruangan mantan suaminya. Sedikit bernapas lega ketika pintu lift sudah tertutup rapat. Disya tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi ditatap dengan penuh selidik, bahkan samar-samar ia mendengar beberapa karyawan berbicara tentangnya. Benar tidak ya keputusan Disya untuk ikut dengan Kai ke kantor mantan suaminya? “Mommy?” Kai memanggil, mendongak menatap Disya dengan kening mengeryit lalu bertanya, “Ada apa?” Mungkin bocah itu menyadari raut wajah Disya yang tidak baik, bahkan hanya diam sedari tadi. Disya segera menampilkan senyum manisnya menatap Kai, lalu menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan putranya. “Tidak papa, Kai.” Tadi, saat Devan menyuruh Disya untuk pulang dengan mobil taxi yang akan dipesank
Bukan tanpa alasan Gio datang ke ruangan Devan untuk menemui Disya, lelaki itu ingin memberi info jika akan ada pertemuan dengan teman-teman kampusnya dulu yang belum direncakan pasti kapan dan di mana—tetapi satu yang pasti bahwa pertemuan itu akan ada katanya. Disya kira pertemuan itu diadakan cukup lama dari hari di mana Gio memberi info, tetapi ternyata di awal weekend minggu ini sudah akan diadakan katanya. Disya harus hadir, si kembar mengancam jika ada yang tidak hadir dengan alasan tidak masuk akal maka harus membayar denda— mereka ini aneh memang. Dari pada harus mengeluarkan kocek lima juta rupiah lebih baik Disya hadir, lagipula pertemuan itu bukan acara resmi reuni kampus, hanya beberapa temannya yang kurang lebih berjumlah tiga puluhan orang, yang kebetulan memang sering mengikuti kelas yang sama—atau itu juga bisa disebut reuni? “Hah—” Entah sudah berapa kali Disya menghembuskan napas di sela kegiatan memoles wajahya dengan make-up ketika mengetahui ada seorang lelaki y
Disya mengetuk-ngetukkan jarinya di atas handphone yang sedang dipegangnya dengan raut gelisah—menunggu balasan pesan dari Kai yang sedari tadi belum juga dibalas. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, harusnya Devan sudah berada di rumah, membiarkan Kai bermain dengan handphonenya untuk berbalas pesan dengan Disya.Hal ini sudah terjadi sejak satu Minggu yang lalu—Kai tidak pernah menginap di rumahnya lagi.Disya masih bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi, jika hanya satu, dua, atau tiga hari sih tidak masalah untuk Disya, dan bisa dipahami jika Kai memang ingin bersama Daddynya, tetapi ini sudah sampai seminggu lebih. Sebelumnya Kai tidak pernah seperti ini."Kenapa, Sya?" tanya Alif menyadari raut gelisah perempuan yang duduk di sampingnya.Disya melirik Alif yang duduk di kursi kemudi, lalu menggeleng pelan.Kembali menatap jalanan di depannya, Alif menyunggingkan senyum. "Trus kenapa mukanya gelisah gitu? Lagi nunggu chat siapa?""Hah...." Menghela nap
Suara ketukan di pintu rumah utama kediamannya membuat kedua perempuan berbeda usia yang sedang menyantap sarapannya di meja makan saling memandang satu sama lain, seolah sama-sama bertanya siapa yang berkunjung ke rumah pagi-pagi sekali.“Bunda saja yang buka, kamu selesaikan sarapannya saja,” kata Dina yang setelah mendapat anggukkan dari putrinya langsung melangkah meninggalkan meja makan untuk membuka pintu.Disya secepat mungkin menyelesaikan sarapannya, karena memang pagi ini ia akan datang ke rumah Devan. Mulutnya sibuk mengunyah roti keju, dengan kedua mata yang sibuk melihat sudah sampai mana motor yang dipesan untuk mengantarnya pagi ini.“Sudah sarapan? Ayo ikut sarapan bareng, Lif!”Mengernyit, Disya langsung menengokkan wajahnya menatap kehadiran Bundanya yang kembali menuju meja makan dengan seorang lelaki yang tentu saja sangat ia kenali—Alif, pagi-pagi sekali berkunjung ke rumah, sedikit menyebalkan bagi Disya, perempuan itu sudah memasang wajah masam menatap kehadiran
Disya, Devan, dan Kai sudah duduk berkumpul di ruang tengah. Suasananya masih tidak mengenakan, isak tangis Disya masih terdengar walaupun tidak sehebat sebelumnya, duduk di samping Kai dengan tangan yang saling menggenggam satu sama lain, sedangkan Devan duduk di single sofa yang ada di hadapan keduanya. “Mari kita selesaikan semua kesalah pahaman ini. Kai mengatakan kepada saya bahwa dia akan kembali tinggal di rumah ini—selamanya, bersama saya. Saya tidak menghasut ataupun memaksa Kai untuk melakukan hal itu, Kai sendiri yang meminta.” Mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lainnya semakin menggenggam tangan Kai erat. Disya tidak mengeluarkan suaranya untuk membalas ucapan Devan, ia sangat sedih mendengar penjelasannya. “Mom—” Kai menatap Disya, mengelus punggung tangannya yang sedari tadi saling menggenggam. “Maaf, ini memang keputusanku, Daddy tidak memaksa aku untuk kembali tinggal di sini.”
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan
"Tokcer juga ya Pak Devan," ucap Fani menatap lembaran hasil USG milik Disya dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. "Iyalah tokcer! Kamu ngga lihat Pak Devan tuh aura-auranya hyper—" "Al!" Yumna menyenggol lengan Alya, memperingati agar ia berhati-hati dengan ucapannya. Tidak masalah jika hanya mereka berempat di sana, tetapi ini ada Bundanya Disya. Mengulum bibirnya, Alya menatap Dina lalu menampilkan cengiran tanpa dosa. "Maksud aku, Pak Devan auranya ganteng banget, Bun... hehehe." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu mengacak bagian atas rambut Alya dengan gemas. "Jadi, kalian mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dina mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Masa langsung pulang sih, Bun. Makan dulu yuk!" ajak Fani. Alya, Yumna, dan Fani tadinya berniat untuk berkunjung ke rumah Disya, tetapi Disya memberi tahu jika ia sedang tidak ada di rumah, tanpa sengaja juga ia memberikan informasi jika sedang berada di salah satu rumah sakit—mereka yang jelas khawat
Tidak ada acara honeymoon dan sejenisnya. Disya menolak ketika Devan memberi pernyataan seperti ini—"Saya tidak masalah dengan tempat honeymoon yang akan kita kunjungi, terserah ke mana kamu ingin pergi, satu hal yang pasti, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di kasur nantinya." Disya menggeleng pelan mendengar jawaban Devan ketika ia bertanya tentang tujuan dan rencana keduanya untuk honeymoon sesuai saran dari kedua orangtuanya waktu itu. Toh belum ada tempat yang ingin Disya kunjungi, untuk saat ini memulai hidup baru dengan Devan saja sudah cukup baginya. Bangun pagi dengan posisi berada dalam pelukan Devan, lalu memasak untuk sarapan bersama, suaminya yang mengantarnya ke store sebelum berangkat bekerja, lalu pulang ke rumah bersama, memasak untuk makan malam, lalu berbagi cerita sebelum tidur—walaupun sebelumnya pasti akan melakukan hal 'itu' terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur, Disya tidak mengira Devan akan seperti seorang hyper, jangan mengira hanya sekali d
Disya mengerjapkan matanya perlahan, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang, bukannya bangun dari tidurnya Disya malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Devan, semakin menyamankan posisi tidurnya. "Sudah siang sayang," ucap Devan mengecup bagian atas rambut Disya. "Disya lapar, tapi males bangun." "Delivery makanan, lagi?" "Boleh....." "Jangan junkfood ya, Sya. Kemarin kan sudah, jangan terlalu sering makan makanan seperti itu." Devan tetaplah Devan dengan ke-antiannya memakan junkfood—bukan anti sih, tetapi sangat menjaga pola makannya, masih sering memperingati Disya untuk mengurangi makanan yang tidak sehat. "Iya Pak Devan." Devan mengambil handphonenya yang berada di atas nakas, membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan secara online. Selama tiga hari ini, kedua pasangan pengantin baru itu sama sekali tidak meninggalkan rumah, bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Membeli makan secara online, Disya bahkan belum menyentuh are
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me