Memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Disya, Devan segera membuka safety beltnya, keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Disya. “Ayo! Saya sudah janji sama Samudra, bahwa saya tidak akan menemui kamau lagi.”“Pak Devan…,” rengek Disya mendongak menatap Devan, dengan masih duduk di kursinya, enggan beranjak dari sana.“Sya, ayo!”“Bagaimana kalau benar, mereka sudah mengenal sejak lama, Bang Sam dan Naya sudah bertemu sejak lama?”Devan menggeleng.“Bagaimana kalau benar mereka saling mencintai?” tanya Disya lagi berusaha meyakinkan lelaki itu.Devan menatap Disya dengan sorot dinginnya, seolah tidak memahami dan menyetujui ucapan mantan istrinya itu. Cinta? Yang benar saja? Sudah pasti Samudra memanfaatkan Naya untuk membalas perlakuan Devan dulu kepada Disya dan Naisnya, pikir Devan.“Cinta? Tidak masuk akal,” decih Devan menarik paksa lengan Disya untuk bangun dari duduknya, keluar dari mobil.“Apanya yang tidak masuk akal? Cinta itu masuk akal, mereka saling men
"Ada apa lagi?" Diky bertanya menatap lelaki yang sedang berkutat dengan layar komputer di depannya.Tidak menjawab, lelaki itu hanya melirik Diky sekilas dengan kening mengernyit lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.Diky terlihat menghela napasnya. Sudah bertahun-tahun Diky mengenal Devan. Dan rasanya tidak mungkin jika lelaki itu baik-baik saja dengan wajah lesu seperti itu. "Ada masalah?" tanyanya, lagi."Tidak.""Saya mengenal anda dengan baik Tuan Devano, tidak mungkin tidak terjadi apa-apa jika wajahmu ditekuk seperti itu," ucap Diky, berdiri dari duduknya lalu melangkah menghampiri meja kerja atasannya.Devan mengusap wajahnya kasar, mendesah frustasi sebelum akhirnya membuka suara. "Naya—"Diky mengangguk, memperhatikan dengan baik kalimat apa yang akan lelaki itu katakan tentang adiknya. "Iya, ada apa dengan Naya?" tanya Diky ketika Devan tidak juga melanjutkan ucapannya."Berniat menikah dengan Samudra.""Wait... what! Samudra?!" Diky cengo, membelalakkan matanya menatap
“Ada apa sebenarnya? Naya tidak mau keluar dari kamar beberapa hari ini, Kai yang terlihat sangat lesu setiap harinya, dia tidak seceria dulu, Dev. Apa yang terjadi, bisa ceritakan dengan jelas?” Maya protes, menatap Devan yang sedang fokus mengemudi.Devan masih setia dengan kebisuannya.“Apa yang terjadi dengan Disya dan Naya. Ini ada sangkut pautnya dengan mereka berdua, sehingga kamu memutuskan untuk memutuskan hubungan dua keluarga?”Bukan tanpa alasan Maya berbicara seperti itu. Naya berubah saat kembali dengan Devan dalam keadaan menangis, dan tiba-tiba Devan meminta untuk tidak boleh berkomunikasi lagi dengan Disya ataupun keluarganya. Tidak salah kan Maya berpikir itu ada sangkut pautnya.“Naya juga selalu diam jika ditanya Mamah. Ada apa kalian ini?” Maya frustasi ketika Devan tidak kunjung menjelaskan. “Mamah mohon, Dev. Jelaskan agar Mamah tidak kebingungan seperti ini.”“Kita jodohkan Naya dengan salah satu anak rekan bisnisku ataupun Papah, atau Mamah jika Mamah punya ke
Tidak saling berbicara padahal, Disya dan Naya pamit ke luar ketika melihat Devan dan Samudra meninggalkan ruangan. Yang ada dipikiran Disya adalah, bagaimana jika ada adegan adu jotos—semua orang tahu hubungan Devan dan Samudra sama sekali tidak baik—bisa saja hal itu terjadi kan?Disya dan Naya mendengar semua obrolan keduanya, hal yang cukup mengejutkan adalah ketika Devan duduk bersimpuh di depan Samudra. Disya terkejut tentu saja, begitu pula dengan Naya yang langsung menghampirinya, dan membantu Devan untuk berdiri.Hal itu baru pertama kali dilihat Disya. Mantan suaminya yang jelas begitu dihormati oleh banyak orang karena kekuasaannya—saat itu Disya lihat rela membuang jauh harga dirinya hanya untuk memohon kepada Samudra supaya mengurungkan niatnya menikahi Naya.Disya tidak melakukan apapun, ia hanya berdiri memperhatikan dan menyimak kejadian di depannya. Naya terlihat semangat sekali ketika merangkul lengan Samudra, dan membawanya ke hadapan Devan. Wajah gelisah dan ketaku
Disya menatap cincin—cincin pernikahannya dengan Devan. Tidak hanya cincin yang berada dibalik kotak beludru itu, tetapi lengkap dengan dua kalung berbandul crown yang dulu diberikan oleh Devan—kalung pertama diberikan kepada Disya ketika malam di mana pertama kalinya Disya mengetahui tentang apartemen milik Devan yang ditinggali oleh Naisya. Disya masih ingat, malam itu ia begitu yakin dan percaya kepada Devan, bahwa lelaki itu tidak bermain-main dengan perempuan lain.Benarkah dulu Disya terlalu bodoh, terlalu dibutakan oleh cinta?Kalung kedua berbandul crown yang diberikan kepada Disya harusnya menjadi bukti dan juga saksi pengungkapan cinta untuk pertama kalinya Devan kepada Disya—harusnya malam itu, malam yang sangat bahagia untuk keduanya. Tetapi, Disya malah mengetahui tentang semuanya. Mengeluarkan kalung kedua yang diberikan Devan dari dalam kotak itu. Tentu saja ada perbedaan dari kalung keduanya—kalung yang sudah berada di tangan Disya terdapat aksara sambung huruf ‘D’ te
“Kakinya terkilir lagi atau bagaimana? Mana yang sakit?” tanya Devan khawatir menatap Disya yang sudah ia dudukkan di sofa ruang tengah.“Yaampun Sya, bukannya hati-hati jalannya….” Sonia berujar khawatir, sedaritadi beberapa sepupu Devan membuntuti mereka hingga masuk ke dalam rumah.“Lagian lo mau ke mana sih, Sya… buru-buru amat jalannya?” tanya Dio yang sedari tadi menahan mati-matian tawanya agar tidak ke luar.Ekspresi wajah Dio berubah seketika ketika Devan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Berdehem pelan, lalu merubah mimik wajahnya—Dio akan ciut jika ditatap seperti itu oleh Devan.“Jika hanya ingin mengejek Disya dan tidak berniat mengobati mending kamu ke luar saja!”Dio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, mengangguk pelan menanggapi ucapan Devan.Devan kembali menatap Disya, melepaskan heels yang dipakai perempuan itu. “Mana saya lihat lukanya,” kata Devan menatap Disya yang sedari tadi tidak balas menatap maniknya—jelas sekali Disya menghindarinya.
“Saya berangkat ya?”Perempuan yang sedang duduk di samping ibunya mengangguk pelan sambil menampilkan senyum kecil, ketika lelaki itu sudah mendaratkan satu buah kecupan di keningnya. “Hati-hati.”Samudra mengangguk, menatap Disya lalu mengecup pipinya sembari mengacak pelan rambut Disya. Disya hanya diam sembari memanyunkan bibirnya. "Adegan itu kena peringatan harusnya! Bucin!" komentar Disya tentang kelakuan Samudra yang mencium kening Naya di hadapannya, juga Ibu dari mereka. Samudra menanggapinya dengan kekehan saja. “Abang berangkat ya, Sya.”“Iya, sana pergi!” titah Disya.Samudra terkekeh, mengedarkan senyumannya kepada semua orang yang ada di ruang tengah, setelah sebelumnya berpamitan pergi.Dina, Maya, Naya, juga Disya sedang berada di kediaman rumah Gina—sudah dikatakan sebelumnya bukan, hubungan kedua keluarga sudah kembali membaik, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Rencananya mereka akan pergi survey untuk memilih venue tempat berlangsungnya acara pernikahan Samu
Kai terus menatap ke arah Devan yang sedang fokus memperhatikan jalanan di depannya. Merasa diperhatikan membuat lelaki yang sedang memegang kemudi itu menatap ke arah putranya. “Kenapa, Prince?” tanyanya.Tidak langsung menjawab pertanyaan sang Daddy, untuk beberapa detik Kai masih menatap wajah Devan tetapi setelahnya menggeleng pelan.“Mau ke rumah Oma Maya dulu, sebelum nanti dijemput Mommy?” tanya Devan, menatap putranya untuk beberapa detik, lalu setelahnya kembali fokus dengan kemudinya menatap ke depan, memperhatikan jalanan.“Daddy mau ke kantor lagi memangnya?”Menggeleng, Devan menjawab, “Tidak—eh, Daddy baru ingat Oma Maya pergi sama Aunty Nay, Oma Dina, Oma Gina juga,” jelas Devan ketika ia baru mengingat Maya, dan Naya tidak ada di rumah saat ini.“Ke rumah kita saja, Dad.”Devan menampilkan senyum, lalu mengangguk pelan. “Kai di rumah dulu sebelum dijemput Mommy, ya.”Bocah itu menggeleng, yang jelas membuat Edgar mengernyit bingung. “Aku menginap di rumah,” katanya.Ad
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan
"Tokcer juga ya Pak Devan," ucap Fani menatap lembaran hasil USG milik Disya dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. "Iyalah tokcer! Kamu ngga lihat Pak Devan tuh aura-auranya hyper—" "Al!" Yumna menyenggol lengan Alya, memperingati agar ia berhati-hati dengan ucapannya. Tidak masalah jika hanya mereka berempat di sana, tetapi ini ada Bundanya Disya. Mengulum bibirnya, Alya menatap Dina lalu menampilkan cengiran tanpa dosa. "Maksud aku, Pak Devan auranya ganteng banget, Bun... hehehe." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu mengacak bagian atas rambut Alya dengan gemas. "Jadi, kalian mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dina mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Masa langsung pulang sih, Bun. Makan dulu yuk!" ajak Fani. Alya, Yumna, dan Fani tadinya berniat untuk berkunjung ke rumah Disya, tetapi Disya memberi tahu jika ia sedang tidak ada di rumah, tanpa sengaja juga ia memberikan informasi jika sedang berada di salah satu rumah sakit—mereka yang jelas khawat
Tidak ada acara honeymoon dan sejenisnya. Disya menolak ketika Devan memberi pernyataan seperti ini—"Saya tidak masalah dengan tempat honeymoon yang akan kita kunjungi, terserah ke mana kamu ingin pergi, satu hal yang pasti, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di kasur nantinya." Disya menggeleng pelan mendengar jawaban Devan ketika ia bertanya tentang tujuan dan rencana keduanya untuk honeymoon sesuai saran dari kedua orangtuanya waktu itu. Toh belum ada tempat yang ingin Disya kunjungi, untuk saat ini memulai hidup baru dengan Devan saja sudah cukup baginya. Bangun pagi dengan posisi berada dalam pelukan Devan, lalu memasak untuk sarapan bersama, suaminya yang mengantarnya ke store sebelum berangkat bekerja, lalu pulang ke rumah bersama, memasak untuk makan malam, lalu berbagi cerita sebelum tidur—walaupun sebelumnya pasti akan melakukan hal 'itu' terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur, Disya tidak mengira Devan akan seperti seorang hyper, jangan mengira hanya sekali d
Disya mengerjapkan matanya perlahan, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang, bukannya bangun dari tidurnya Disya malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Devan, semakin menyamankan posisi tidurnya. "Sudah siang sayang," ucap Devan mengecup bagian atas rambut Disya. "Disya lapar, tapi males bangun." "Delivery makanan, lagi?" "Boleh....." "Jangan junkfood ya, Sya. Kemarin kan sudah, jangan terlalu sering makan makanan seperti itu." Devan tetaplah Devan dengan ke-antiannya memakan junkfood—bukan anti sih, tetapi sangat menjaga pola makannya, masih sering memperingati Disya untuk mengurangi makanan yang tidak sehat. "Iya Pak Devan." Devan mengambil handphonenya yang berada di atas nakas, membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan secara online. Selama tiga hari ini, kedua pasangan pengantin baru itu sama sekali tidak meninggalkan rumah, bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Membeli makan secara online, Disya bahkan belum menyentuh are
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me