"Jika kau merasa nelangsa akan kondisimu, mungkin kau egois. Karena banyak orang yang kecewa akan perilakumu yang kau sendiri tidak mengetahuinya"
~~~~~
Rasanya aneh, hanya orang model sepertiku saja yang tidak punya ambisi untuk melakukan apa pun, tidak punya tujuan hidup, bahkan tak mau berurusan sama yang namanya cinta. Hidupku damai-damai saja. Alam, adalah panorama yang tidak akan berkhianat menemaniku, jadi tidak mungkin kan aku berselisih paham dengannya? Tapi jika aku dilarang untuk bisa melihat alam lagi, baru itu masalahnya.
Aku menengadah ke langit luas, hari mulai senja. Gradasi warna kuning, oranye, dan rona merah, melukis lanskap langit. Bagaimana bisa aku keluar dari kebun buah milik Papa dan kembali ke gubuk tempat kami berkumpul, dengan kondisi rabun jauhku yang semakin parah ini? Bahkan kacamata miopi hitam yang dari siang tadi kugunakan seolah tak berfungsi lagi sekarang.
Langitnya semakin keruh, berbeda dari biasanya. Awan kali ini sangat gelap, ada kilatan cahaya di dalamnya. Aku rasa gumpalan awan gelap itu adalah awan kumulonimbus. Aku tahu itu sewaktu di SMA dulu—di jurusan IPS. Sepertinya hujan akan menyerbuku.
Tik-tik-tik ...
Aku beralih pandang menghadap tangan kananku yang seperti merasa ada tetesan air yang jatuh. Buah-buahan yang kupetik dan kumasukkan ke dalam keranjang rotan tampak basah oleh rintikkan itu. Aku terkepung.
Derap langkahku percepat, menyusuri jejeran pohon apel yang rindang dan tersusun rapi laksana tembok tegak perkasa. Rambutku yang hanya sebahu ikut bergoyang sesuai ritme hentakkan kaki. Jantungku berdebar kencang seperti ingin meletus. Napas tidak beraturan, pikir tak karuan ....
"PA ... PAPA ...!!" aku menjerit dengan irama gemetar mencari di mana Papa. Embusan angin kencang menerpa gelombang suaraku yang tidak seberapa. Suaraku tak terdengar oleh siapa-siapa.
Semakin kelimpungan, aku tancapkan tenaga otot kaki sekencang-kencangnya menebas jalanan berumput lebat kebun itu. Aku berlari tak tentu arah. Buah-buahan seperti apel, stroberi, jeruk, dan lainnya tampak berjatuhan dari keranjang anyaman rotan yang kutenteng.
Hujan semakin deras, bulir-bulir air yang jatuh ke tanah tampaknya semakin banyak. Wajah ovalku tampak dipenuhi olehnya sehingga membuat napas tersengal. Lariku tidak kendor sama sekali, malah semakin kencang. Hingga seonggok akar atau apalah itu yang menyembul dari tanah menerjang pergelangan kaki.
Buk!!!
Aku terjatuh menggelepar ke tanah. Daguku mendarat lebih dulu ke permukaan becek lahan kebun itu. Keranjang yang kusandang di lengan, terjatuh dan membuyarkan tumpukkan buah ke lahan perkebunan. Berserak.
Syok, lemas, dan pingsan karenanya.
~~~~~
Sial! Aku tidak bisa melihat apa pun sekarang. Di mana aku? Apa yang terjadi setelah insiden itu?
Kepalaku masih terasa oyong dan meremang gelap. Kupegang titik perih lainnya dengan tangan yang meraba mengarah dagu. Benda lembut apa ini yang melekat di sana? Mungkin ini perban dan kapas yang menempel membungkus luka.
Aku mengerang kesakitan, dari batang hidungku tampak kerutan. Dengan susah payah aku mencoba membuka mata, namun masih tidak kelihatan apa pun, mungkin karena aku tidak memakai kacamata. Rabun. Tapi aku melihat bayangan seseorang di kiriku. Apakah itu Papa?
"Osa, kamu sudah siuman?" Benar saja, orang itu adalah Papa yang bersuara berat. Tubuhnya yang gahar membuat suara keras terdengar ketika ia menggeser benda.
Papa mengenakan kacamata ke pandanganku, tampaklah rambut cepak dan kumis tipisnya yang basah karena air hujan. Alisnya mengernyit khawatir memandangku. Aku manggut-manggut berisyarat mengiyakan pertanyaannya. Kemudian kurubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar bantal di kepala kasur. Ini di kamar.
"Kamu sekarang di kamar. Tadi papa nemuin kamu pingsan di kebun apel. Lalu papa gendong kamu ke gubuk. Papa telepon pegawai buat membawakan mobil untuk kita pulang. Soalnya hujan sangat lebat tadi." Papa menjelaskan kronologi kejadian padaku sambil mengaduk teh hangat yang di dalamnya berisi perasan jeruk lemon, punggung tangan kirinya yang dihinggapi tahi lalat, menghampiriku sambil memberi gelas. “Tenang aja, yang gantiin pakaian kamu ibu pemetik buah. Bukan papa, kok.”
Aku menyeruput pelan teh tersebut, menenangkan pikiran, dan mulai berkata, "A-aneh banget tadi, Pa. Padahal biasanya walau di tempat gelap, pandangan Osa gak separah tadi. Tadi itu udah rabun banget, gak kelihatan apa-apa."
"Hmm ... papa juga gak tahu soal begituan. Kalau cara nanam bonsai, papa tahu, hahaha ...” Dia tertawa, memperlihatkan gigi seri bawahnya yang mulai berkarang. “Besok lah, kita ke rumah sakit kota," tandasnya menjawab omonganku sambil bergurau. Ia duduk di kursi komputer milikku yang berwarna ungu dengan sandarkan busa lembut di dalamnya.
Aku menghela napas, memang beberapa hari ini penglihatanku terasa semakin parah. Apalagi saat malam hari, mau dari dekat atau dari jauh, pandanganku tetap saja rabun, buram seperti perasaanku yang menerawang pahitnya masa depan.
Besok kami akan pergi ke Rumah Sakit Kota untuk memeriksakan kondisi mataku. Harapanku hanya satu: jangan halangi aku untuk melihat indahnya alam bebas.
~~~~~
Jarum jam telah selesai berputar, kini saatnya ia mengulang tugasnya kembali sampai waktu terhenti. Hari sudah berganti, waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB. Mentari masih malu-malu menunjukkan eksistensinya di ufuk timur bumi kala itu.
Semalam, rasanya menggantung sekali aku tidur. Menahan perih di dagu, juga mendebarkan jantung karena hari ini adalah hari pemeriksaan mata. Nampaknya itu hal yang sepele, yang bahkan anak berusia 18 tahun sepertiku harusnya tidak mencemaskannya lagi. Tapi rasanya tidak denganku, setiap hal-hal yang menurutku besar dan akan kulalui, rasanya menakutkan, padahal belum tentu hasilnya mengecewakan. Suka berburuk sangka—suuzan.
Pagi ini aku putuskan untuk tidak absen melaksanakan rutinitas setiap bangun tidur: menggowes sepeda.
Dengan masih mengenakan piama, tampilanku pagi ini masih sangat buluk. Muka bantal yang penuh luka hanya kubasuh dengan air—tidak mandi—atau lebih tepatnya belum, karena memang biasanya aku mandi setelah olahraga pagi.
Sepeda gunung ber-body putih dengan lis hitam kukeluarkan dari garasi rumah. Di moncong sepeda tertera lampu yang akan menerangi jalanan gelap. Aku menungganginya, mengayuh pedalnya, dan kemudian meluncur menyusuri dunia.
Kayuhan pedal sepeda sesekali kuperlambat karena lelah, juga ingin melihat keindahan alam sekitar dengan lebih seksama. Banyak pepohonan yang masih rindang nan asri yang tertancap rapi di permukaan tanah. Kelokan, tanjakan, turunan aku lalui perlahan. Aku tinggal di daerah puncak, jadi jangan heran dengan kondisi alam dan jalanan di daerah sini.
Dari atas sini tampak gundukan bukit yang mencakar-cakar langit karena ketinggiannya. Embun pagi pun masih bisa dirasa dalam napas. Langit hari itu tampak cerah, tidak ada awan hari ini.
Hah! Rasanya sia-sia aku melewati kenikmatan yang hakiki ini dengan melakukan hal yang tidak berguna di dalam rumah. Aku sangat menghargai karya Tuhan, tidak pernah sama sekali aku menyia-nyiakannya apalagi menghindarinya. Kecuali waktu senja, malam hari, atau apa pun yang berkaitan dengan kegelapan.
Setelah kurang lebih setengah jam aku menggowes sepeda, kuputuskan untuk kembali ke rumah secepatnya, karena kami akan segera menuju rumah sakit pagi ini atas janji dokter yang sudah berkompromi dengan Papa semalam.
Waktu masih menunjukkan pukul tujuh, masih ada 4 jam lagi sebelum kami ke pusat kota untuk pemeriksaan mata. Aku memutuskan untuk berehat sejenak di tempat tongkrongan biasa yang aku datangi ketika sedang bosan, meratap, juga waktu kosong. Tempat itu adalah kosen jendela kamarku sendiri.
Aku duduk di kosen jendela kamar yang besarnya bagai gua yang menganga. Kakiku menggantung, mengayunkannya perlahan dengan santai. Tatapanku terus terpaku ke pohon beringin rindang yang berhadapan langsung dengan kamarku—di halaman belakang rumah.
Pohon beringin yang teduh itu masih saja berdiri di sana. Kata Papa sih, pohon beringin melambangkan persatuan. Tapi nyatanya, keluargaku hancur tak karuan. Hahaha ... aku benci kiasan. Kuterus menatap rindangnya pohon itu berdiri kokoh sambil sesekali meratap sepi, itulah kegiatanku sebagai anak yang tinggal seorang diri bersama Papa.
Papaku berkata bahwa pohon beringin belakang rumah itu adalah saksi bisu terbentuk hingga hancurnya rumah tangga mereka, yang membuat aku dan kembaranku terpisah karena hak asuh. Bahkan aku tidak tahu siapa nama kembaranku itu, bagaimana kondisinya, dan apa yang sering ia lakukan bersama Mama yang jauh di sana. Entah di mana.
Kadang aku nongkrong di kosen jendela ini juga karena pertanyaan Papa yang sampai sekarang belum bisa kuberi penjelasan. “Nanti mau lanjut kuliah ke mana?”
Padahal aku berharap pertanyaan Papa bukan begitu, tapi, “Mau lanjut kuliah atau tidak?”Ya! Itu karena aku tidak punya ambisi untuk melanjutkan pendidikan hingga kuliah. Bahkan cita-cita pun aku tidak punya, tidak niat, tidak tertarik juga. Sudah jelas aku tak mungkin bisa menjadi seperti Papa, seorang S2 di bidang pertanian.Eh, ya ampun, aku lupa, ini sudah pukul delapan, waktunya makan pagi. Aku lupa bantu Papa menyiapkan makanannya. Dengan bersicepat aku beranjak dari kosen jendela, melangkah keluar dari kamarku yang penuh warna. Tidak tahu kenapa, aku sangat suka sama warna, kecuali warna gelap. Mataku sakit karenanya.
Sampailah aku di ruang makan yang di sekitarnya teronggok meja makan bulat dari kayu, warnanya coklat mengilat. Sesekali kugoreskan kuku jari tangan di atas meja itu, tidak tahu kenapa juga alasannya, stetisfying saja. Sesekali kepalaku memperhatikan Papa yang sedang menyiapkan makanan di dapur tidak jauh dari meja makan tempat aku duduk. Kulitnya sawo matang, dulunya sih putih. Sekarang saja sudah mulai gosong karena keseringan terbakar sinar matahari. Soalnya Papa selalu turun tangan langsung buat mengurus kebunnya bersama pegawai. Dia petani handal, pecinta alam sama seperti aku. Saking cintanya sama alam, sampai dekorasi rumah pun bertema nature.
Papa mendekatiku yang berada di meja makan. Kedua tangannya memegang tatakan kayu yang di atasnya ada sepiring mangkuk dan gelas yang juga berbahan dasar kayu.
"Jus wortel campur susu dan sup krim jagung punya Osa. Habisin, ya," Papa mendekat ke meja makan sambil menyuguhkan sarapan di hadapanku. Mataku terus mengikuti arah hidangan lezat itu hingga mendarat menuju meja makan.
"Eh, Pa. Sorry, ya. Osa gak bantuin Papa buat nyiapin makan pagi." Aku cengengesan saja sambil minta maaf karena tidak membantu Papa menyiapkan sarapan. Kebanyakkan melamun.
"Bukan masalah, Nak. Kamu makan aja pokoknya. Papa udah makan ubi bakar sisa panen bulan lalu tadi, waktu kamu bersepeda," jawabnya sambil tersenyum memperlihatkan kerutan di ujung kedua matanya. Dia sudah kepala empat.
"HAH!? Papa makan ubi bakar hasil kebun? Kok gak sisain buat Osa!?" aku menggerutu seusai meneguk segelas jus wortel yang ampasnya menempel di bibir atas. "Papa tahu kan, Osa suka banget ubi bakar."
Papa duduk di kursi meja makan dan menatapku sambil menghela napas. "Ih, kamu udah besar masih aja kayak anak-anak gitu. Jangan merengek, udah tamat sekolah, kan?" Papa menasihatiku yang kadang masih bertingkah kekanak-kanakan. Lagi-lagi aku cengengesan. Memang benar, aku masih suka labil. Katanya. Tapi bagiku hal itu memang nyata adanya.
Pagi itu setelah sarapan, aku dan Papa langsung berangkat ke kota untuk pemeriksaan mata, karena perjalanan dari puncak ke kota lumayan jauh. Papa sedang memanaskan mesin mobil di garasi, sedangkan aku sibuk mencari setelan hari ini. Sweater merah tua, celana denim abu-abu, juga sepatu kets sewarna dengan sweater aku gunakan untuk pergi. Tidak lupa kuselempangkan tas kulit di pundak. Kami pun berangkat mengendarai mobil Alphard putih milik Papa.
Brrm .... Kepulan asap hitam dari mesin mobil membuncah keluar, membuat udara sekitar menjadi lebih “berwarna”.
~~~~~
Mobil pun berhenti tepat di Rumah Sakit Mata Pusat Kota. Papa dengan ligat Memarkirkannya, kemudian kami masuk ke dalam RS.
Aku dan Papa duduk rapi di jejeran bangku besi tempat para pasien menunggu namanya dipanggil. Suasana di tempat ini sudah lumayan ramai, padahal hari masih pagi. Ya, namanya juga di kota, pasti setiap sudut ruangan diwarnai oleh hiruk-pikuk keramaian. Tidak peduli seberapa dini waktu memulai hari.
"Oryza Sativa, pasien nomor tiga, silakan masuk ke ruangan," panggil salah seorang perawat di rumah sakit itu. Kami pun bergegas menuruti perintah dengan masuk ke ruang pemeriksaan.
Aku langsung mendapatkan banyak tes penglihatan, entah tes apa saja, yang jelas banyak. Dokter juga banyak nanya soal penglihatanku, sudah sepeti interogasi polisi—mendetail.
Satu jam kami menunggu. Mataku yang sudah mulai puyeng melihat putihnya ruangan rumah sakit akhirnya teralihkan ketika dokter datang menghampiri. Dia mengajak kami ke dalam ruangan sepetak yang sepertinya itu ruang pribadi untuk diskusi penting dengan pasien.
"Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Papa pada dokter yang berada di hadapan kami. Tampak wajah Papa yang cemas terlukis dalam ekspresi.
"Anak Anda sepertinya menderita penyakit penglihatan glaukoma," tutur dokter itu sambil memegang kertas yang tidak jelas apa tulisannya. Wajahnya tampak pasrah dan siap menerima reaksi kami.
Dengan sontak Papa nampak shock mendengar hal itu. Beberapa kali pandangannya mengalih padaku yang duduk di samping kirinya. Dia terperangah dan seolah tidak percaya. Bibirnya terkatup dan ludah ditelan kuat-kuat yang menandakan mentalnya terguncang kacau.
Aku yang tidak tahu soal ilmu kedokteran, akhirnya angkat bicara dan bertanya pada dokter, "Memang kenapa, sih? Glaukoma itu penyakit apa, dok? Kan bisa disembuhin?" tanyaku tanpa henti dengan ekspresi ingin tahu yang menggebu. Jantungku berdebum kencang karenanya.
"Hmm ...” Dokter menghela napas dalam-dalam. Sepersekian detik dia terdiam, seolah sedang mengolah kalimat terbaiknya sebelum ia ungkapkan dengan terpaksa. “Glaukoma itu penyakit mata yang disebabkan oleh saraf yang menghubungkan mata ke otak rusak. Akibatnya, penglihatan perlahan berkurang hingga akhirnya buta permanen. Pandangan di tempat gelap juga terganggu. Hanya 75 persen sisa pandangan kamu tersisa. Sedangkan untuk ruangan gelap 20 persen. Belum ada cara penyembuhan untuk penyakit ini.”
Mendengar hal itu aku pun ikut terkejut, walau sedikit terlambat, tapi ungkapan mengerikan dari dokter membuatku syok. Kepalaku berkali-kali mengarah ke Papa yang sedang meratap. Mataku yang memandang mulai tampak berkaca. Pandanganku terganggu oleh genangan air dalam kelopak. Aku keluar dari ruangan dan langsung pergi memasuki mobil kami yang terparkir di depan rumah sakit. Aku menangis. Rupanya harapan hanyalah doa tanpa hasil.
Kacamata hitam kucampakkan keras mengenai kaca depan mobil, untungnya tidak pecah. Berulang kali kukucek-kucek kedua mata sambil terus menangis bercecer air dari dalamnya. Pikirku sudah tidak karuan, entah takdir apa yang sedang direncanakan Tuhan sehingga penyakit seperti ini menimpaku secara tiba-tiba.
Sejak saat itu aku terpuruk. Aku tidak mau keluar rumah untuk melihat indahnya alam puncak lagi. Mataku seolah tidak rela melihat ragam warna dalam dunia. Hidupku monokrom.
~~~~~
perilaku, bahkan keceriaanku hilang. Pohon beringin belakang rumah yang biasanya hampir setiap bangun tidur aku lamunin, kini tidak pernah lagi kupandang setiap pagi. Seolah aku benci warna. Padahal hatiku yang tidak siap untuk tak melihat warna suatu hari nanti. Warna gelap yang kutakutkan akan menjadi warna yang selalu mengisi hariku nantinya. Aku masih tidak menyangka. Pagi itu aku masih di dalam kamar. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut putih tebal selaras dengan warna sprei kasur. Mataku masih bengkak. Kadang air mata mengalir dari kelopak sembari melamun masa depan nanti. Karena sudah pasti, kebutaan akan terjadi. Itu sebabnya aku tidak suka dengan ramalan masa depan. Bagiku takdir itu misterius, sulit untuk ditebak, agar orang tidak berburuk sangka pada takdir dan tinggi hati padanya.
Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu udara sejuk dan mencekam mengisi ragam dunia. Gorden jendela tersibak-sibak lasak seperti hatiku yang gelisah untuk mengutarakan sesuatu pada Papa.Seusai berpakaian dan termenung sembari menyiapkan mental, aku putuskan untuk berbaur pada Papa menyiapkan hidangan malam. Terlihatlah pria yang menjadi Papa sekaligus Mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami tidak menggunakan penyedap atau MSG, hampir semuanya serba organik.Papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jusbloody mary.Tampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.
Seminggu berlalu. Waktu yang lama kutunggu untuk segera berangkattravelingakhirnya pun tiba. Pagi itu sangat bercahaya, pepohonan dan berbagai macam tumbuhan hijau bersinar layaknya batu zamrud yang menawan. Cahaya yang menyehatkan hinggap di permukaan tubuh para pejuang pagi yang sedang sibuk berolahraga untuk meningkatkan kesehatan. Ada juga para pekerja yang sudah mulai beraktivitas demi seberkah rezeki yang tak mau disia-siakan. Untuk para kaum rebahan, mereka sedang mengeram telur di sarangnya.Sedangkan aku yang semalaman tidak bisa tidur, sedang sibuk membenahi barang bawaan untuktraveling. Koper hijau besar kuisi dengan berbagai macam kebutuhan hidup. Mulai pakaian, peralatan kebersihan, hingga obat-obatan kutata rapi di dalamnya.Untuk tas hitam besar khusustraveling, aku isi dengan peralatan elektronik seperti laptop,charger,danheadshet.Hari itu aku menggunakan setela
Mentari pagi masih bertengger di indahnya negeri Timur. Untaiannya menyinari segala macam objek yang ada di bumi, menghangatkannya, kemudian memberi manfaat darinya. Sinar ultraviolet yang hinggap di permukaan kulit kuning langsatku membuat gerah tubuh-mengubah panasnya menjadi vitamin D yang akan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.Dulu sewaktu aku masih kelas 2-3 SD, ketika hari libur Papa selalu ingatkan aku untuk selalu keluar rumah ketika pagi hari tiba. Papa juga selalu mengajakku menjelajah perkebunannya ketika pagi tiba. Mungkin dari situlah awal mula aku menyukai alam-walau terkadang alam sedikit menyebalkan.Di pagi yang cerah ini, aku sudah bersiap-siap dengan setelan baju kaos putih dengan hiasan teks sablon berwarna hijau bertuliskan"Me and My Nature". Gak lupa celana jins biru bercampur abu-abu nge-pressdari pinggang hingga pergelangan kaki. Sepatu kets hijau muda dengan li
Mobil menempuh jalanan Pulau Misool yang dipenuhi pasir-pasir putih yang tak terhingga jumlahnya. Aku sibuk menikmati pemandangan sekitar dari kaca jendela mobil. Hamparan padang laut yang biru bercampur dengan hijauemeraldbuatku tak beralih pandang. Di sebelah kanan tampak jajaran hutan mangrove yang hijau nan mempesona. Tebing-tebing menjulang tinggi tampak seolah mengapung ke udara. Gradasi berbagai macam warna menjadikan suasana pulau itu bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi."Numpang duduk." Penghayatanku terpecah oleh kedatangan Agra yang duduk di sebelahku."Eh, Agra-" Dengan sigap Agra langsung memotong pembicaraanku yang niatnya akan berlangsung panjang lebar. "Apa? Ngajakdiving, snorkeling?Ogah!""Idih, kenapa?" Sejenak aku bingung. Alis kukerutkan dan bertanya pada diri sendiri: Kenapa bisa orang nolep gini sombong? "Ooo ... lo gak bisa berenang ya?" Tanda tanya di atas kepalaku akhirnya pergi. Seperti bias
“OSAA!!!”Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.
Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya.Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan P
"Gimana kalau kita nyebur aja di pantai ini?" seru Alma dari bawah tebing menawarkan kami."Setuju!" Mendengar tawaran Alma, sejenak aku melupakan koreng di kaki dan langsung menuruni tebing dengan sembrono. Aisyah yang mendongak menatapku turun tampak berkspresi seolah merasa ngilu dengan gerakkan gesitku menuruni tebing. Takut terbesot lagi."Ya Allah, Sa. Kan udah janji tadi buat gak nyebur ke pantai, nanti luka lo gak sembuh-sembuh," keluh Aisya kepadaku yang mengingkari janji buat gak berenang.Dengan beradu argumen sebentar denganku, akhirnya Aisyah menyerah dan mengalah untuk membiarkanku berenang bersama Alma di pantai di hadapan. Bagaimana bisa aku menolak untuk tidak menyentuh air pada liburan yang didominasi oleh lautan jernih ini?"Hufftt ... yaudah deh, terserah. Tapi kalian kan gak bawa baju ganti?""Tenang aja, kita pulang basah-basahan.""Kalian aja, gue gak ikut." Aisyah memilih untuk tidak ikut berenang. Ia meng
Sebuah lembaran-lembaran kelam tentang The Clausa Baroon kembali terkembang. Kenangan-kenangan usang yang sudah lama terkunci kini kembali tersingkap. Alam yang terus tumbuh dari masa ke masa, kini terbang bersama angin menuju masa lalu. Masa itu ....Kisah Olm, Osa si Slamander sudah tertutup. Konflik batin dan konflik sosial menjadi tantangan Osa untuk menemukan takdir dirinya sebenarnya. Dan sekarang, dia sudah mendapatkan semuanya: kemelaratan dan kepuasan.Osa telah kehilangan semua teman-teman dekatnya: Raka yang merantau ke Australia, Aisyah yang telah meninggal dunia di masa pendakian, Alma menuntut pendidikan lebih di Paris, dan Agra hilang secara misterius. Semua itu tidak lepas dari pengaruh Osa.Namun seorang yang sama sepertinya muncul di tengah-tengah kesedihan, membuat kesedihan akan penglihatan Osa yang telah hilang, kembali menyiratkan kebahagiaan walau secuil.Banyak pertanyaan-pertanyaan dan kegantungan yang ditinggalkan Agra dan papa d
Waktu terus bergulir menuju akhir perjalanan. Sebuah lorong hampa diisi dengan limit-limit batas dari usaha untuk menjadi insan terbaik semesta. Pohon beringin yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang, kini semakin menua—menggugurkan daun-daun kering yang penuh dengan memori masa lampau.Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian. Masa sudah berubah, kenangan setahun yang lalu sudah mulai terkubur bersama sisa memori lainnya. Aisyah sudah tenang di sisi-Nya. Raka sedang berjuang di negeri asing tempatnya bermuara. Alma melanjutkan pendidikannya di kota di mana Menara Eifel berada. Hanya satu orang yang masih berada di sisiku: Agra."Coba kamu mutar, jalan ke sini sedikit ... ke situ ... sekarang, berhenti!" Tidak! Ini bukanlah kisah romantis dengan adegan memberi kejutan. Melainkan aku sedang berada di Puncak Carstensz Pyramid. Iya! Aku melihat salju abadi itu di sekeliling, dan kak Yewen yang menuntunku sampai ke sini.Aku melihat Kak Yewen dan para penda
Pagi ini, rintik-rintik sendu tercurah dari gerimis di langit Papua. Aku dan Agra sedang menatap kosong ke arah makan Aisyah. Aisyah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Papua, karena dia adalah gadis sebatang kara tanpa keluarga.Rerumputan hijau di tengah pemakaman membuat semerbak aroma hujan yang jatuh ke atasnya terasa sedap dihirup. Aku terduduk lemas di tanah sambil terus menangisi Aisyah yang sudah tidak di bumi. Agra berdiri mematung sambil memegangi payung agar aku tidak kehujanan."Se-seandainya aja gu-gue gak seegois ini," isak tangis membuat suaraku meringis tidak jelas. "Kalau saja pendakian itu gue batalin, pasti Aisyah enggak kayak gini."Agra mulai berjongkok di samping sambil mengelus-elus pundakku. "Jangan pernah menyesal untuk hal yang udah berlalu. Sebab, lo gak akan bisa membatalkan kejadian itu dengan menyesal." Dia mendeham suaranya yang sedikit serak, lalu melanjutkan, "Sa, gue tahu keinginan lo buat trip ini sama muli
Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2. Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton. "Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih. "Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirah
"Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lenjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah—si Bongsor—nyelonongmasuk ke tenda kami. AIsyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian—tidak mandi—kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuk wajah.Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan."Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing—termasuk Kak Yewen.Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju me
"Ayo Sa, buruan. Kita udah ketinggalan mereka." Tiba-tiba saja seseorang mengacaukan pikiranku yang sedang membayang. "Eh, i-iya...." Aisyah menarik tanganku agar segera bergegas. Langkah kaki kami percepat, menyusul para pendaki lain yang sudah lumayan jauh di depan sana. Semak-semak rimbun berkeresak ketika kami melewatinya. Napasku semakin berembun. Dan sekarang rambutku kini mulai mengering dan dingin—kaku. Semakin jalan menanjak, semakin berkabut pula udara. Untungnya kami sudah kembali ke barisan. Bulu kudukku semakin merinding kala kami tiba di Sungai Ugimba. Kali ini sebagian besar permukaan sungai sudah membeku. Bantaran sungainya san
Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal. Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katanya percaya diri. Aisyah memakai jaketgorte texhijau tua, dengan bulu-bulu lembut berwarna krim di lehernya. Jilbabnya yang
Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal.Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katan
"Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala.""Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu ke mana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jayawijaya itu sangat tinggi.""Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin.Bye!"Tut ....Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu bukanlah hanya sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau ke