Beranda / Romansa / Olm, Osa Si Salamander / [Bab 8] Tragedi Tiga Tebing

Share

[Bab 8] Tragedi Tiga Tebing

last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-15 07:48:00

Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.

Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.

Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya. 

Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan Papa melakukan kegiatan rutin berkemah di hutan sebagai bentuk kecintaan kami pada alam. Waktu itu hari masih terang disinari mentari cerah, pohon-pohon rindang seolah mengelilingi kami yang rendah di bawah, di atas tanah. Berbagai macam spesies hewan juga tak kalah beragamnya. Saat itu aku sangat senang, bisa melihat beberapa binatang yang jarang kutemui atau bahkan gak pernah kujumpai sama sekali. Ada berbagai macam jenis ular, burung, dan serangga dengan bentuk dan warna beragam. Sesekali kudongakkan kepalaku menyisiri tingginya bumi sembari melihat burung-burung merpati terbang kesana-kemari.

Namun sepertinya sebuah tragedi menimpa dua ekor merpati putih yang sedang melintasi pohon tinggi di dekat kami. Keduanya menabrak ranting pohon rindang itu dengan kencangnya, hingga mereka berdua terjatuh menggelepar di hadapan kami. Papa kemudian mendekati kedua burung malang tersebut, ia menganalisa. Merpati betina masih hidup dan tergeletak di tanah dengan sayap kanan yang patah, namun merpati jantan tampaknya mati terpancang oleh kayu tajam yang ditancapkan Papa ke tanah untuk menjemur baju kami yang basah terkena hujan semalam.

Papa berkata bahwa sepertinya merpati jantan sedang mencari perhatian si merpati betina. mengikutinya ke sana-kemari dan kemudian terjadi tragedi. "Malangnya nasib si jantan, cinta bertepuk sebelah tangan", begitulah komentar Papa kepada merpati jantan yang tergulai tak bernyawa. Waktu itu usiaku masih terbilang bocah, gak paham apa-apa. Tapi sekarang aku sadar bahwa:

"Cinta yang hanya mengandalkan satu pihak saja takkan berbuah sempurna, hanya meninggalkan tragedi yang merugikan diri semata"

Walaupun aku belum tahu kelanjutan kisah Raka yang habis kutolak mentah-mentah, tapi kuharap sebuah tragedi gak akan terjadi. Baik dari dirinya atau diriku.

Aku gak suka kiasan, gak suka menyamakan suatu hal dengan hal lain dengan objek yang berbeda. Tapi gak bisa kupungkiri, banyak kejadian yang seolah cocok dengan kiasan. Seolah mengulangi atau mempraktikkan kejadian itu sesuai skenario.

Tok-tok-tok. Balon lamunan dalam pikiranku terpecah mendengar suara gedoran pintu dari luar kamar. Pandanganku kembali menatap nyata. Beralih menatap pintu berwarna coklat. Entah perasaan dari mana, tapi sepertinya aku tahu siapa orang di balik pintu itu.

"Sa ... ini kami, Asyah, Alma." Sudah kuduga, feeling-ku gak pernah keliru. Itu Alma dan Aisyah, yang bergumam itu sudah jelas Aisyah.

"Masuk," ucapku dengan nada mendayu-dayu.

Alma dan Aisyah memasuki kamarku sambil membawa nampan rotan dengan alas kaca yang di atasnya teronggok sepiring makanan dan segelas minuman. 

"Lo kenapa?" Pertanyaan klise itu dilontarkan Alma sambil menahan kawat giginya yang menyembul ke depan. 

Bagaimana bisa aku menceritakan semuanya ke mereka tentang Raka. Menceritakan tentang kejadian semalam di danau romantis itu yang malah menurutku gak ada romantis-romantisnya. Aku memandang mereka sembab, sedangkan mereka berdua menatapku dengan wajah khawatir. "Gue gak papa, kok."

Alma meletakkan tatakan rotan itu di kabinet coklat mengilat di sebelah tempat tidurku. "Baru kali ini lo gak mau cerita sama kami, Sa." si badut kota tu menduduki pantat teposnya di lantai kamarku yang dialasi ambal berbulu. Ia mendongak ke atas, fokus menatapku.

"Bener, Sa. Sebenarnya semalam kami udah curiga ada apa-apa sama lo, tapi kami masih menghargai privasi lo. Tapi kayaknya sekarang justru masalah makin parah. Tadi Agra lewat restoran dengan muka cemberut. Lo ribut ya sama dia?" Kali ini Aisyah ikut bersandar di kasurku sambil mengelus-elus jemari kiriku. "Astaghfirullah. Maaf, gue sampai suuzan gitu sama kalian."

Mereka terus menatapku dengan penuh tanda tanya dan rasa prihatin. Malah sekarang lebih parah, Agra yang gak punya masalah apa pun jadi bahan tuduhan Aisyah. Mau cerita tapi ragu-ragu, kalau gak cerita jadi gelisah. Unek-unek yang ngendap di hati itu  bagai serbuk kopi. Aku benci kiasan!

Setelah beberapa menit membisu, rasanya aku harus segera menceritakan ini pada mereka. Siapa lagi kalau bukan mereka tempat mengaduku? Papa gak mungkin, soalnya dia udah menaruh harap pada Raka dan Agra untuk gak buat aku nangis, walau mereka mengingkari. Aku menghela napas, menenangkan pikir, dan kemudian menjawab tanda tanya mereka. "Bukan Agra, dia gak salah."

"Tuh, kan. Lo udah fitnah dia Cha." Alma menggelegarkan suaranya sembari menunjuk Aisyah karena sudah asal menuduh.

"Ma ... maaf, Sa. Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah."

"Terus, siapa yang buat lo nangis?" lanjut Alma dengan nafsu gibahnya. 

Aku merubah posisi duduk menjadi tegak tanpa bersandar. Kemudian kumuntahkan semua isi hatiku, unek-unekku, serbuk kopiku, atau apalah itu pada mereka. Dari awal ketika ikut dengan Raka mencari angin sore, sampai tragedi turun tebing sambil ngeraba, semuanya kuadukan pada mereka. Mimik wajah Aisyah tampak sedih ketika aku menceritakan bagaimana aku turun tebing sendirian di kala hari mulai gelap. Semakin kudramatisi cerita, semakin keruh pula wajah Aisyah prihatin padaku. Berulang kali ia mengelus punggungku, menyabarkan. Ya nangis lah aku lagi cerita digituin, kek kelen enggak aja. Loh, kok jadi logat Medan?

"Emang laki-laki itu sama aja. Brengsek!!" komentar Alma dengan wajah emosi yang menggebu. Tangannya mengepal kosong, alisnya merengut keruh.

"Huusstt ...." sergah Aisyah pada Alma yang keceplosan bicara frontal.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Kami masih berada di kamar dengan gibahan yang sudah merengsek ke mana-mana. Dari cerita semalam soal Raka, malah berlanjut cerita saat sekolah dulu, dan baru terselesaikan saat alarm perutku berbunyi. Baru ngeh kalau dari siang tadi aku gak ada makan sedikit pun apa-apa.

"Astaga! Makanan lo dingin nih, Sa." Alma mengambil tatakan rotan yang dari tadi menganggur di atas kabinet sebelahku. Mereka sampai lupa nawarin aku soal makanan yang mereka bawa tadi siang. Untungnya makanan itu di segel dengan plastik pembungkus agar awet. 

"Gimana kalau kita makan di ruang makan aja? Nanti bau kamar lo, Sa." Saran yang bagus dari Aisyah. 

Latar berganti di ruang makan vila yang berhias furnitur dan penataan bertema etnik, sebagian besar material ruang makan terbuat dari kayu dan bambu. Di dindingnya terhias peta Indonesia yang dibuat dengan triplek yang mengilat karena pernis. Lampu-lampu ruangan itu didominasi dengan warna kuning. Beberapa hiasan yang terpampang di atas meja terbuat dari kulit kerang, cangkang siput, bahkan ada wadah yang berisi butiran pasir pantai putih.

Seperti biasanya, Alma yang kurasa baru tahu tempat ini setelah dua hari tinggal sedang asyik berswafoto berlatar dinding berhias peta Indonesia itu. 

Aisyah sibuk membuka plastik segel dari makanan yang mereka pesan di restoran tadi siang. Untuk makananku yang kutinggalkan di resto tadi siang mereka bawa pulang.

Kepalaku sibuk mencari-cari Raka dan Agra, tapi mereka gak ada di vila. Sunyi. Kurasa Agra merajuk karena tadi siang aku membentaknya dan memupuskan hipotesanya yang benar. kalau Raka aku gak tahu dia ke mana.

Makan malam kami langsungkan. Bukan perempuan namanya kalau segala hal gak dibarengin dengan gosip. "Lo gak solat, Cha?" Aku membuka duluan pembicaraan dengan menanyakan Aisyah yang kurasa lupa solat magrib.

"Enggak, hari ini gue dateng bulan," jawabnya singkat dan langsung menandaskan feeling-ku. Tangan kanannya sibuk mencampur kuah soto dengan nasi menjadi padu. Potongan-potongan daging kambing bertaburan di atas tumpukan butiran nasi.

"Oh iya, Sa. Anyway ... lo yakin kita bakal lanjut ke Puncak Jayawijaya setelah dari sini?" Pembicaraan tersambung ke Alma yang baru saja mengantongi gawainya.

"Mungkin aja."

"Dengan membawa si Raka itu ke sana? Lo yakin?"

"Makanya itu yang jadi masalah. Gak mungkin juga gue usir dia dari rencana trip kita."

"Lagi pun, Agra ribut kan sama lo? Kayaknya dia juga gak bakal ikut ke puncak kalau hubungan lo sama Agra gak segera membaik."

Aku menaikkan bahu tanda gak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus melanjutkan harapanku yang bukan hanya sekadar trip liburan belaka? Atau harus mengalah dengan kembali pulang ke rumah? Ah! Rasanya gak rela harapanku ke Jayawijaya pupus, padahal ini kan permintaan terakhir aku sebelum .... Duh, teringat kata-kata dokter waktu itu.

"Gimana nih, Ustazah Aisyah?" Alma menyikut Aisyah yang tunduk saja ke makanannya.

Aisyah menoleh, kemudian menghela napas. "Terserah Osa aja, sih. Tapi kalau menurutku lo harus minta maaf segera ke Agra, Sa. Tapi soal Raka memang lo pantas marah, kalau mau lanjutin trip sebisanya lo bicara baik-baik agar dia gak ikut trip kita. Gue bakal terus bantuin lo kok, Sa.

Pandangan kutundukkan, merenungi omongan Aisyah yang ada benarnya juga. Tapi bagaimana minta maaf sama Agra yang jutek begitu? Jangankan minta maaf, bicara aja susah sama itu orang. Lagi pula, dia entah di mana sekarang. Mungkin terdampar di pulau kecil tak berpenghuni? Gak mungkin. Tapi mungkin juga, kan dia nolep.

~~~~~

Hari kembali berganti. Ini sudah hari ketiga kami berpetualang di Pulau Misool dengan segala tragedinya. Tapi sepertinya niatku untuk diving dan snorkeling bakal kuurungkan lagi, soalnya dari semalam Agra gak balik ke vila. Gak ada kabar juga.

Kalau Raka semalam Alma bertemu dengan dia balik ke vila sebentar buat ambil baju sekitar pukul 01.00, katanya dia bakal bermalam di tempat teman lamanya yang menetap di Misool Selatan. Biarlah dia di sana, lagian kenalannya juga banyak di mana-mana, dia kan petualang. Bagaimana mungkin aku tinggal satu vila dengan orang yang udah nyakitin perasaanku? Risih pastinya.

Pagi itu rasanya bosan. Celingak-celinguk gak jelas di dalam vila. Bukan aku banget. Luka di lutut juga belum membaik, malah semalam waktu manjat tebing terbesot lagi. Gak kering-kering, bernyenyeh, bagaimana mau nyebur kalau gini kondisiku?

Badanku gerayangan bak cacing kepanasan, guling sana-sini di atas sofa ruang TV. Hingga Aisyah yang menyadari kalau aku lagi bosan mengahampiri. "Mending kita ke destinasi lain  yang ada di dekat sini. Daripada nunggu luka lo kering, kan gak lucu kalau kita habisin waktu trip di sini cuma nunggu luka lo sembuh?" Akhirnya ada bidadari yang mampu menyelamatkanku dari belenggu kebosanan ini.

"Destinasi apa yang ada di sini selain nyebur ujung-ujungnya?" Aku mendongak ke Aisyah yang berdiri di dekat sofa tempatku menggelepar. Lagian mana ada destinasi lain di Pulau Misool ini kalau gak lain dan gak bukan segala hal yang berkaitan dengan air.

Icha menggeleng sambil tersenyum seolah berkata, "Astaga, goblok banget ini orang". Tapi kayaknya gak gitu, sih, Aisyah kan religius banget.

"I-iya, sih. Soalnya di sini banyak pantai. Tapi kan gak harus nyebur juga, gue juga gak nyebur kok. Paling foto-foto doang." Tuh benar kan kataku. Memang pantai-pantai di sini indah-indah, tapi masalahnya ini nih, luka yang tambah perih kalau kena air, apalagi air asin.

"Ya udah, daripada enggak sama sekali. Tapi di mana?"

"Pantai Kal ... lek, ya di Pantai Kalek aja, soalnya di sana sunyi, gak ramai pengunjung," sergah Alma yang kesusahan mengucap nama pantai itu ketika searching di G****e.

Aku mengangguk saja tanda setuju. Habisnya, mau gimana lagi, salah besar kalian liburan ke Raja Ampat jika pantang kena air. 

Tanpa basa-basi kami bertiga pergi ke lokasi tujuan dengan berjalan kaki. Untungnya hari ini cuaca mendukung-gak dingin-gak juga panas. Sejenak pikirku tentang keberadaan Agra teralihkan. Semoga anak itu gak tenggelam aja.

~~~~~

"Lo tahu, Sa, Cha, dulu waktu gue awal-awal masuk dunia model di SMP, gue punya temen yang mukanya mirip banget kayak Osa." Alma merangkul bahuku sambil berjalan pelan menuju lokasi. "Apalagi liat lo pakai baju pantai gini, plus topi pantai gini nih, jadi keinget dia." Topi floopy krim yang kupakai dipegang oleh Alma sambil terus bercerita.

"Ah, ngawur lo. Mana mungkin gue ikut terjun ke dunia menor kayak gitu. Ogah!"

"Lah, kan gue bilang mirip, kok elo yang merasa, sih."

"Ya terus-terus, siapa namanya?"

"Oh my salamander Osa ... di dunia model atau entertainment, kami gak pakai nama asli buat nyebutin diri, ya gue gak tahu nama aslinya. Kalau nama samarannya gue tahu."

"Siapa?"

"The Clausa Baron."

Aku melongo menghadap Alma yang ada di sisi kiriku, mencoba menelaah nama panggilan orang yang katanya mirip aku itu. "The Clausa Baron?" Nama samaran yang Inggris banget. Pasti orang itu lebih narsis dari Alma. Bibirku cuma bisa nyengir mendengar nama seperti itu. 

"Iya, tapi bentar dulu, lo jangan salah kaprah bilang kalau dia star syndrome, dia itu malah sebaliknya, dia pemalu juga tertutup banget. Jadi anak-anak yang main di circle kami nyebut dia 'The Clausa Baron' yang artinya 'bangsawan yang tertutup', seriusan gue gak bohong." Aku menaikkan pundak, gak mau tahu bualan badut kota ini. Lagian mana mungkin ada kembaran yang mirip denganku yang kepribadiannya berbeda. Pemalu? Kalau malu-maluin sudah pasti itu aku.

"Tapi kasihan sih lihat hidupnya." Alma melanjutkan ceritanya dengan nada merendah, menatap ke depan, dan melepas rangkulannya dari pundakku. Aku menoleh, kemudian menunduk kembali sembari menyapu pasir putih pantai yang hangat. "Dia memang cantik, Sa. Tapi kayaknya ada yang gak beres dari hidupnya, kayak dipaksa gitu sama ibunya."

Dipaksa? Haduh ... semakin gak beres aja cerita ini orang. Udah kayak di film-film sinetron, kawin paksa, kerja paksa. Entahlah. 

"Dia yatim, ayahnya udah meninggal. Tapi untung ibunya orang kaya raya, jadi gak begitu menderita." Aku diam saja menatap wajahnya yang sayu karena ceritanya sendiri. Sampai keisengan terlintas di pikiranku.

"Kalau lo sebutannya apa?" tanyaku sambil tersenyum sebelah.

Seketika raut wajah badut kota berganti, menjadi lebih berenergi. "Kalau gue sering disebut 'Pretty Pinky', karena gue suka merah muda."

"Pfftt ... pretty dari mananya? Kalau Prett aja gue setuju itu. Hahahaha ...." Sontak ketika mendengar nama samaran Alma aku langsung tertawa terbahak-bahak. Aisyah yang di sebelahku menutup mulutnya yang ikut tertawa kecil.

"Lo itu cocoknya disbut 'Alma Si Badut Kota'."

Ia merengut kesal mendengar ejekkanku. Aisyah menyikutku sambil terus menahan tawa. Akhirnya badut kota itu mengehentikan kotekkannya. kami lanjut berjalan tanpa ada satu gelombang suara pun terdengar, kecuali embusan lembut angin. Tapi tiba-tiba pikiran anehku mengingat sesuatu sehabis mendengar cerita Alma. Apa mungkin dia ....? Ah! Mana mungkin, kata Agra jangan sok tahu, sok asal nebak. Dasar olm.

~~~~~

Deru-deras ombak gak begitu terdengar kuat di Pantai Kalek tempat kami sekarang menikmati sebutir keindahan Pulau Misool. Tempat di sini bersih, gak ada sampah sedikit pun, mungkin karena pengunjung gak terlalu sering ke pantai ini, atau malah mereka gak tahu pantai ini? Tapi baguslah, sunyi, tenang, seperti dunia milik kami bertiga. Tapi feeling-ku merasa ada orang keempat di tempat ini, tapi siapa?

Pasir di tempat ini lebih cerah, gak banyak jejak kaki orang lalu-lalang di tempat ini kecuali kami bertiga. Pohon kelapa menjulang tinggi dan menunduk di puncaknya, membuat bayangannya meneduhkan panas. Hamparan lautan luas nan panjang membuat gradasi bermacam warna yang menandakan kedalamannya, mulai dari hijau, biru, hingga biru pirus, serta toska berpadu melungkis dunia. Untungnya hari ini cuaca gak begitu terik dan gak juga begitu mendung. Jadi pas untuk berfoto dengan panorama alam terbuka.

Ckrek ... ckrek. Berbagai macam gaya diposekan oleh Alma dengan eloknya. Wajahnya berubah-ubah setiap kali telunjuk Aisyah menjepret ke arahnya. Congornya maju-mundur, pinggulnya belok sana-sini, hingga lehernya seolah berputar 360 derajat terus-terusan berganti pose.

"Woy, foto sama-sama kek, lo keasyikan foto sendiri," ketusku sambil menyayukan mata karena angin kencang menerbangkan pasir pantai.

Alma cengengesan saja. Akhirnya kami bergantian menjepretkan diri dengan pose beraneka ragam. Untuk foto bertiga kami gunakan timer 10 detik lalu menaruh kamera Canon milik Alma di atas dipan kayu yang teronggok di bawah pohon kelapa. Dan tiga ... dua ... satu .... Ckrek! Jepretan terakhir kami setelah ribuan pose kami tunjuk tanpa menenal malu. 

Dengan tidak sabar aku berlari dan langsung mengambil kamera tersebut untuk melihat hasilnya. Kepala kami bertiga saling berhimpitan demi melihat layar kamera yang kecil. Kami tertawa melihat pose gila masing-masing. Hingga Aisyah baru menyadari ada yang janggal dari foto kami bertiga yang berlatar tebing itu. 

"Astaghfirullah, Penampakkan!" Dengan panik Aisyah menunjuk ke atas tebing dalam kamera yang kupegang.

"Bukan penampakkan, itu A-Agra." Aku mendongakkan kepala, beralih dari layar kamera menuju atas tebing yang menjulang. Ternyata Agra di sana, di atas tebing itu duduk bersilang membaca buku tebalnya.

"Agra ...!" jeritku senang dan langsung mendaki tebing tempat anak itu berada. Alma dan Aisyah menunggu di bawah sambil terus menatap ngeri aku yang manjat tebing laksana monyet berayun, hinggap sana-sini, merangkak, merayap, dan akhirnya sampai ke puncak. Untungnya gak ada luka baru disepanjang aku memanjat tebing. Mungkin aku sudah ahli mendaki.

Aku duduk di sebelah Agra yang masih terus berfokus pada buku tebalnya. "Gra, lo ke mana aja semalam? Kok gak balik ke vila?" tanyaku menggebu-gebu dengan napas tersengal karena manjat tebing tadi.

Agra gak menoleh sedikit pun, bahkan gak berganti pose. "Gra ... jawab dong. Chk, Agra ...." Baru setelah kupukul-pukul pundaknya, dia menoleh sinis padaku. Aku meleot seketika, pandangan Agra sangat tajam, apalagi ketika merengut begini.

"Lo mau apa?" jawabnya pedas sambil memangku buku tebanya di teklapak tangan kirinya.

Aku teringat pembicaraan Aisyah semalam di ruang makan, aku harus segera minta maaf ke Agra karena kesalahanku waktu itu. "Gue ... gue minta maaf, Gra."

"Soal apa?"

"Soal kemarin di atas tebing. Semua omongan lo waktu itu benar, Raka udah buat aku kecewa dengan pernyataannya."

Agra merubah posisi duduknya serupa denganku-kaki digantung menjulang ke bawah dari atas tebing. Buku tebal yang masih terbuka ia lipat salah satu halaman kemudian menutupnya. 

"Bukan masalah," katanya datar. Pandangan ia tujukan ke depan, rambut bowl cute-nya tersibak angin.

"Jadi lo udah gak marahan nih sama gue?" Wajahku mulai sumringah.

"Bahkan gak pernah."

"Yes! Ngomong-ngomong semalam lo ke mana? Kok gak balik ke vila?"

"Gak perlu tahu."

"Aishh ... yang bikin gue sebel sama lo yaitu gak pernah ngasih kepastian yang jelas." Wajahku yang sumringah kesal kembali. Muka sok cool-nya muncul lagi. 

"Kenapa gue ngasih kepastian buat hidup yang gak pasti ini?" Aku melongo mendengar kalimat puitisnya, kemudian berpikir, benar juga apa katanya. "Tapi syukurlah lo udah mau ngakuin kelihaian gue dalam berhipotesa."

Dengan segala keterpaksaan demi menjaga perasaan orang random ini, aku menjawab dengan senyum palsu padanya. "I-iya, hehehe ... lo keren."

"Jadi mana sekarang si Raka itu? Pasti dia gak pulang juga kan ke vila?" Agra mengalihkan pembicaraan, mencoba menganalisa di mana Raka. Benar saja, analisanya benar, gak sepertiku yang menerka-nerka dengan berpatokan pada kepekaan.

Kali ini dengan lebih transparan dan terbuka aku menceritakan posisi Raka sekarang. Dia tinggal di Misool Selatan bersama temannya, kataku pada Agra yang mendengar aku bercerita.

"Tragedinya lucu, cocok dibikin film berjudul, 'Tragedi Tiga Tebing', soalnya awal mula konflik lo sama Raka di atas tebing, puncaknya kemarin di atas tebing juga, dan sekarang antiklimaksnya." Agra tertawa kecil atas beberapa tragedi yang terjadi padaku. Kalau kupikir-pikir benar juga, setiap kejadian pasti terjadi di atas tebing. Hahaha, sebuah kebetulan yang pas. 

Kuterus memandangi wajahnya, senyum kecilnya entah kenapa menenangkan. Rasanya ... ah! apaansih!

"Woy! Kalau lo pada masih mau pacaran jangan di sini! Emangnya kami penonton bioskop apa, liatin kalian cinta-cintaan di panggung tebing ini?." Ada yang protes dari bawah sana. Astaga! Aku lupa ada Alma dan Aisyah yang menunggu, terlalu keasyikan bicara.

Syukurlah, slek yang terjadi padaku dan Agra gak berkepanjangan. Untungnya hari ini kami ke pantai, kalau tidak, mungkin aku gak bakal ketemu Agra. Lega rasanya, bisa berada di sisi si random ini walau gak jelas perasaanku padanya apa.

Tapi feeling-ku lagi-lagi merasa mengganjal, seolah ada hal yang tidak mengenakkan yang akan terjadi padaku. Suatu hal yang berkaitan dengan Raka. Semoga itu hanya perasaan bodohku saja, aku gak boleh mempercayai sepenuhnya tentang feeling. 

~~~~~  

Bab terkait

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 9] Perasaan atau Hanya Pertolongan?

    "Gimana kalau kita nyebur aja di pantai ini?" seru Alma dari bawah tebing menawarkan kami."Setuju!" Mendengar tawaran Alma, sejenak aku melupakan koreng di kaki dan langsung menuruni tebing dengan sembrono. Aisyah yang mendongak menatapku turun tampak berkspresi seolah merasa ngilu dengan gerakkan gesitku menuruni tebing. Takut terbesot lagi."Ya Allah, Sa. Kan udah janji tadi buat gak nyebur ke pantai, nanti luka lo gak sembuh-sembuh," keluh Aisya kepadaku yang mengingkari janji buat gak berenang.Dengan beradu argumen sebentar denganku, akhirnya Aisyah menyerah dan mengalah untuk membiarkanku berenang bersama Alma di pantai di hadapan. Bagaimana bisa aku menolak untuk tidak menyentuh air pada liburan yang didominasi oleh lautan jernih ini?"Hufftt ... yaudah deh, terserah. Tapi kalian kan gak bawa baju ganti?""Tenang aja, kita pulang basah-basahan.""Kalian aja, gue gak ikut." Aisyah memilih untuk tidak ikut berenang. Ia meng

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-16
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 10] Ego

    "Ah ...." Lega rasanya sehabis berenang di pantai pagi tadi, kemudian malamnya berendam dalambathtubberisi air hangat dengan wewangian yang menenangkan. Lilin-lilin aromaterapi menemani kesenyapan meditasiku. Taburan kelopak bunga mawar mengambang di permukaan air hangat yang kurendami. Aku tenggelam dalam keheningan. Pikiranku kembali cemerlang.Dor-dor-dor. Daun pintu berwarna putih bersih di hadapan terketok. Sepertinya ada seseorang di sisi lain pintu itu. "Sa, buruan mandinya, udah waktunya makan malam. Jangan lama-lama, ntar badan lo keriput." Aisyah sepertinya bukan hanya manajer pribadiku saja, tapi dia juga sudah menjadi orang tuaku.Aku bersahut panjang kepadanya, berkata bahwa sebentar lagi aku selesai mandi.Tubuh mungilku yang bermandikan busa dan bunga kubangkitkan, melangkah keluar daribathtub,kemudian membasuh diri dengan air mengalir. Tidak terasa, ternyata sudah lebi

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-17
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 11] Pelajaran dari Misool Selatan

    "Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini.Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu."Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku.Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merenge

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-18
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 11] Pelajaran dari Misool Selatan

    "Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini. Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu. "Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku. Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merengek p

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-20
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 12] Kesederhanaan Senja

    Rumah ini sangat tidak nyaman untuk standar manusia di dunia. Lapuknya kayu yang menjadi material utama bahan pembangun, membuatnya berisiko ambruk kapan saja. Atap berbahan seng yang terdengar nyaring ketika hujan, juga sudah tampak berlubang, meloloskan cahaya matahari siang ke permukaan semen tak berkeramik rumah itu. 'Rumah reot', 'Rumah Gubuk', 'Rumah Bobrok', mungkin sebutan itu lebih tepat daripada menyebutnya sebagai 'Rumah Manusia'.Listrik yang menjad alternatif penerangan untuk berbagai macam keperluan, kini tidak kelihatan secercah cahaya pun di setiap sudutnya. Bau amis ikan semilir tercium ke penciuman setiap orang yang bertamu. Bagaimana tidak, rumah guru muda yang punya cita-cita mulia ini berbelakangan langsung dengan penangkaran ikan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-21
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 13] Harga Diri

    "Haduh! Langitnya mulai gelap, Gra." Aku memerhatikan horizon dunia, menatap mentari mulai meninggalkan bumi untuk berganti dengan bulan.Pasir pantai yang tadinya terasa hangat, kini menyejuk disebabkan hawa malam itu yang sangat rendah. bayi-bayi penyu seluruhnya sudah melanglang buana menuju lautan lepas, menuju tanpa batas.Aku yang sedari tadi mulai gusar karena pandangan terganggu, terus mengeluh pada Agra."Tenang aja," gumam Agra sambil merogoh saku dalam switer tebalnya. "Nih, untung gue bawa lampu."Dua buah lampu teplok kecil ia keluarkan dari baju tebalnya yang sedari ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-22
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 13] Perjalanan Bawah Laut

    "Udah, deh. Gak usah dipikirin orang kayak dia. Mending hari ini kita sama-samadiving,gimana? Soalnya sudah hari kelima kita di sini, tapi tujuan gue buat menyelam selalu tersendat." Setelah menceritakan kejadian tadi malam, aku cepat-cepat beralih topik pembicaraan.Tanpa pikir panjang, aku menarik kedua pergelangan perempuan seusiaku itu, membawa mereka ke luar, menuju pantai.~~~~~Cuaca hari ini begitu mendukung. Langit cerah dengan cemerlangnya laut biru saling beradu, seolah mencari siapa dari mereka yang paling agung. Tebing-tebing batu yang terjal tampak jelas di sepanjang mata memandang. Udaranya tidak berdebu, karena angin lalu hanya bertiup kecil.Gerombolan burung belibis beterbangan, berpatroli ke sana-kemari dengan gemulainya. Makhluk-makhluk darat seperti: kepiting, kerang, siput laut, terdampar pasrah di permukaan pasir yang basah. Di ujung sana, di laut lepas, tampak beberapa orang sedang berenang dengan riangnya. Tap

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-23
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 14] Random Relation

    Random RelationSLURP!!"Ah ...." Sungguh nikmat menyedot air kelapa muda langsung dari buahnya.Duduk santai dilindungi teduhnya pondok tradisional beratap jerami kering, membuatku merasa di surga yang sesungguhnya. Sayup-sayup temaramnya angin siang membuat mata mengerjap ngantuk. Pandanganku terus disuguhkan keindahan alam pulau ini. Pohon-pohon bakau yang merambat gersang, membuat kontras warna yang begitu sempurna."Lima belas menit lagi kita balik," tegas si nakhoda abal-abal. Dia sibuk membenarkan mesin kapal yang aku pun tidak tahu di mana letak kerusakannya."Sial! Gue gak bawa baju ganti sepotong pun." Pandanganku yang tertutup kacamata hitam beralih, menatap Agra yang masih telanjang dada.Aku tidak memedulikannya. Urusan bajunya yang basah, ya itu urusannya. Orang angkuh dan songong seperti dia memang pantas dipermalukan sekali-kali, agar tidak semena-mena bicara sama orang. L

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24

Bab terbaru

  • Olm, Osa Si Salamander   [Epilog]

    Sebuah lembaran-lembaran kelam tentang The Clausa Baroon kembali terkembang. Kenangan-kenangan usang yang sudah lama terkunci kini kembali tersingkap. Alam yang terus tumbuh dari masa ke masa, kini terbang bersama angin menuju masa lalu. Masa itu ....Kisah Olm, Osa si Slamander sudah tertutup. Konflik batin dan konflik sosial menjadi tantangan Osa untuk menemukan takdir dirinya sebenarnya. Dan sekarang, dia sudah mendapatkan semuanya: kemelaratan dan kepuasan.Osa telah kehilangan semua teman-teman dekatnya: Raka yang merantau ke Australia, Aisyah yang telah meninggal dunia di masa pendakian, Alma menuntut pendidikan lebih di Paris, dan Agra hilang secara misterius. Semua itu tidak lepas dari pengaruh Osa.Namun seorang yang sama sepertinya muncul di tengah-tengah kesedihan, membuat kesedihan akan penglihatan Osa yang telah hilang, kembali menyiratkan kebahagiaan walau secuil.Banyak pertanyaan-pertanyaan dan kegantungan yang ditinggalkan Agra dan papa d

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 21] Limit Akhir

    Waktu terus bergulir menuju akhir perjalanan. Sebuah lorong hampa diisi dengan limit-limit batas dari usaha untuk menjadi insan terbaik semesta. Pohon beringin yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang, kini semakin menua—menggugurkan daun-daun kering yang penuh dengan memori masa lampau.Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian. Masa sudah berubah, kenangan setahun yang lalu sudah mulai terkubur bersama sisa memori lainnya. Aisyah sudah tenang di sisi-Nya. Raka sedang berjuang di negeri asing tempatnya bermuara. Alma melanjutkan pendidikannya di kota di mana Menara Eifel berada. Hanya satu orang yang masih berada di sisiku: Agra."Coba kamu mutar, jalan ke sini sedikit ... ke situ ... sekarang, berhenti!" Tidak! Ini bukanlah kisah romantis dengan adegan memberi kejutan. Melainkan aku sedang berada di Puncak Carstensz Pyramid. Iya! Aku melihat salju abadi itu di sekeliling, dan kak Yewen yang menuntunku sampai ke sini.Aku melihat Kak Yewen dan para penda

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 20] Pulang dan Mulai Kehidupan baru

    Pagi ini, rintik-rintik sendu tercurah dari gerimis di langit Papua. Aku dan Agra sedang menatap kosong ke arah makan Aisyah. Aisyah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Papua, karena dia adalah gadis sebatang kara tanpa keluarga.Rerumputan hijau di tengah pemakaman membuat semerbak aroma hujan yang jatuh ke atasnya terasa sedap dihirup. Aku terduduk lemas di tanah sambil terus menangisi Aisyah yang sudah tidak di bumi. Agra berdiri mematung sambil memegangi payung agar aku tidak kehujanan."Se-seandainya aja gu-gue gak seegois ini," isak tangis membuat suaraku meringis tidak jelas. "Kalau saja pendakian itu gue batalin, pasti Aisyah enggak kayak gini."Agra mulai berjongkok di samping sambil mengelus-elus pundakku. "Jangan pernah menyesal untuk hal yang udah berlalu. Sebab, lo gak akan bisa membatalkan kejadian itu dengan menyesal." Dia mendeham suaranya yang sedikit serak, lalu melanjutkan, "Sa, gue tahu keinginan lo buat trip ini sama muli

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 19] Terima Kasih, Icha!

    Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2. Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton. "Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih. "Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirah

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 18] Konflik Cemburu dan Kesetiakawanan

    "Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lenjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah—si Bongsor—nyelonongmasuk ke tenda kami. AIsyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian—tidak mandi—kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuk wajah.Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan."Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing—termasuk Kak Yewen.Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju me

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 17] Teman Cahaya

    "Ayo Sa, buruan. Kita udah ketinggalan mereka." Tiba-tiba saja seseorang mengacaukan pikiranku yang sedang membayang. "Eh, i-iya...." Aisyah menarik tanganku agar segera bergegas. Langkah kaki kami percepat, menyusul para pendaki lain yang sudah lumayan jauh di depan sana. Semak-semak rimbun berkeresak ketika kami melewatinya. Napasku semakin berembun. Dan sekarang rambutku kini mulai mengering dan dingin—kaku. Semakin jalan menanjak, semakin berkabut pula udara. Untungnya kami sudah kembali ke barisan. Bulu kudukku semakin merinding kala kami tiba di Sungai Ugimba. Kali ini sebagian besar permukaan sungai sudah membeku. Bantaran sungainya san

  • Olm, Osa Si Salamander   Mendidih dalam Beku

    Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal. Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katanya percaya diri. Aisyah memakai jaketgorte texhijau tua, dengan bulu-bulu lembut berwarna krim di lehernya. Jilbabnya yang

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 16] Mendidih dalam Beku

    Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal.Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katan

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 15] Menantang Langit

    "Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala.""Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu ke mana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jayawijaya itu sangat tinggi.""Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin.Bye!"Tut ....Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu bukanlah hanya sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau ke

DMCA.com Protection Status