“OSAA!!!”
Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.
Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.
“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.
Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.
“Kita pulang dulu,” jawabku datar pada mereka. Untungnya air mataku sudah terhapus dari wajah. Aku gak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya pada mereka. Walau aku menolak Raka mentah-mentah, seenggaknya aku masih bisa jaga aib dia dan masih menerimanya sebagai teman, walau susah.
Derap langkah kami lanjutkan untuk kembali ke penginapan. Jalanku dituntun oleh mereka berdua yang untungnya berinisiatif mencariku kala genting seperti ini. Gak kebayang kalau aku gak ketemu mereka tadi, bisa-bisa nyasar ke mana-mana.
“Asalamualaikum,” salam terucap dari mulut mungil tak bergincu Aisyah. Pintu penginapan dibukakan Alma dengan perlahan, menghasilkan suara “Cklek” yang mengalihkan pandangan orang yang ada di dalamnya. Agra, wajahnya teralih dari tumpukan kertas dengan gelombang huruf yang tersusun di dalamnya.
“Dari mana aja lo, Sa?” Gak biasanya, kali ini Agra bertanya padaku sampai merubah posisi duduk selonjornya menjadi tegak menatapku yang amburadul bermandi pasir bertato luka. “kaki lo, badan lo, kenapa? Luka-luka gitu?”
“Aisshh ... jangan bising dong, Gra,” keluhku dengan nada mendayu-dayu kesal. Agra yang baru kuterima sebagai seorang penyelamat hubunganku dengan Papa waktu di rumah, sekarang kembali kucuekin bagai benalu. Sifat sensitif kembali tergambar dalam benak.
Bahkan Aisyah dan Alma sekalipun gak berani bertanya setelah Agra kusembur tanpa masalah. “Mana Raka?” Masih berani, Agra seolah menentangku dengan menanyakan Raka yang jelas-jelas habis buatku kecewa.
“GAK USAH TANYA GUE!!!” amukku dengan nada lancang mengaum di depan Agra yang gak punya salah. Brak! Meja kaca berangka kayu di hadapan kubogem dengan kepalan tangan membuat Aisyah dan Alma yang duduk sedikit lebih jauh dariku terkejut. Namun Agra santai saja, malah pandangannya gak beralih menatapku yang tiba-tiba kesetanan ini. Kaca gak pecah, tanganku baik-baik saja, tapi hatiku meledak menghantam siapa saja yang gak bersalah.
Sejenak terlintas dipikiranku rasa rindu yang amat sangat. Rindu pada cinta pertama dalm hidupku. Pria pertama yang menjadi kekasih. Papa. Rasanya kepingin menelepon Papa yang jauh di sana, ingin mengadu keluh-kesah, tapi rasanya belum bisa, mengadu pada Papa tentang kebusukkan Raka yang dari dulu ia percayakan untuk menjaga diriku dalam pergaulan.
Agra mengibaskan tangannya ke arah Alma dan Aisyah yang sedang bengong menatapku bingung. Kemudian mereka berdua pergi memasuki kamar, meninggalkanku dan Agra di ruang tamu yang sepi. Berbagai perabotan dan material kayu dan babu dalam ruangan itu membuat setiap langkah kaki berdentum.
Wajahnku terus murung, menatap berbagai macam bentuk luka goresan hingga besotan terlukis di permukaan kulitku yang kuning langsat. Agra beranjak dari duduk, mengambil kotak P3K, dan menghampiriku kembali di ruang tamu.
Agra menggenggam pergelangan kakiku, menyelonjorkannya di atas sofa tempat kami duduk. Rasanya kaku, karena besotan juga ada di lututku. Tangannya membuka isi kotak putih P3K di atas meja, mengambil segumpal kapas, dan meneteskan 2-3 tetes cairan bening alkohol di atasnya.
“Aw!” Kapas terus digosokkan Agra ke luka-luka di kakiku. Sesekali aku menggeliat ngilu-ngilu perih karena alkohol mengenai lukaku.
“Pasirnya kasar. Pasti waktu sore lo manjat tebing dan susah turun ketika malam tiba.” Mataku beralih ke wajahnya yang tunduk berfokus pada luka. “Alkohol ini gunanya buat membersihkan bekas luka baru, biar steril dari kotoran.”
Lagi-lagi, sifat random Agra kembali. Padahal selama perjalanan dia tampak cuek padaku, malah berasa cringe. Tapi sekarang dia malah care kayak waktu pertama aku didiagnosis glaukoma.
“Lo itu masih labil, sama kayak gue waktu umur 18 tahun. Tapi waktu itu labilnya gue masih bisa dikontrol. Gak kayak elo yang baru dapet masalah dikit udah ngamuk-ngamuk, ngelampiasin ke orang yang gak salah. Dasar olm.” Seolah mengabaikan omelan Agra, aku malah terkejut dan baru tahu kalau umurnya gak sebaya denganku.
“Loh, umur lo berapa rupanya sekarang?” tanyaku memecahkan kesedihan dan melupakan sejenak masalah barusan.
“Dua puluh tahun.” Ternyata beda 2 tahun denganku, bahkan dengan Raka yang badannya lebih besar sekalipun.
“Ceritanya panjang kalo lo nanya kenapa kita bisa satu angkatan waktu sekolah. Nanti aja, gue gak suka diburu-burui. Tunggu sekuel cerita ini selanjutnya,” katanya lebih dulu menjawab pertanyaanku yang belum sempat terlontar. Entah sekuel apa yang dia maksud.
“Sekarang gue nanya, kejadian apa yang buat lo sampai kayak gini?” Agra kembali bertanya setelah semua lukaku dibersihkan dan diberi Betadine padanya.
“Sama kayak elo, gue gak suka diburu-burui.”
“Ok ok. Kalo itu jawaban lo. Kalau gue nanti udah dapet jawabannya dan tahu siapa yang buat lo luka-luka gini, gue gak bakal tinggal diam. Siapa pun orangnya yang berani ngelukai olm, gue bakal turun tangan sekalipun badan gue lebih kecil dari orang itu,” tegas Agra mengubah ekspresi wajahnya. Tangannya menggeram melihatku terluka seperti ini. Janjinya untuk turun tangan dan terus mencari tahu siapa pelakunya, membuat wajah lugu Agra menjadi kaku dan beringas. Seandainya dia tahu yang berbuat Raka, sudah dapat dipastikan hubungan kami akan semakin berantakan. Antara Agra dengan Raka. Mana yang harus kupilih?
~~~~~
Gerutu derasnya ombak membangunkanku yang pulas di ranjang penginapan Misool Eco Resort. Vila mewah modern tempat kami menginap berisi empat ruang kamar dengan view yang berbeda. Dua kamar yang berhadapan langsung dengan pantai dan dua kamar lagi yang tertutup. Semalam kuputuskan untuk tidur di kamar depan yang berhadapan dengan pantai sendirian. Ingin menenangkan diri dari kejadian semalam.
Alma dan Aisyah tidur berdua di kamar yang bermodel sama denganky. Sedangkan Agra tepar di ruang tamu karena semalaman dia membaca buku tebalnya.
Raka, semalam sewaktu aku dan Agra masih mengobrol di ruang tamu, ia kembali. Entah dari mana. Aku gak sudi menatap wajahnya, ia pun menundukkan pandang dan berjalan lurus ke kamar. Seolah gak ada kejadian apa- apa. Rasa syok dan marah masih terbirat di hatiku. Rasanya ingin mengusir dia dari sini dan menjauhi aku selamanya, tapi itu gak mungkin untuk sekarang, karena aku sudah berjanji lebih dulu untuk mengajak mereka berlibur.
Pagi itu pukul 08.30, pantai biru berlian yang cerah tampak dipenuhi oleh wisatawan yang sedang menikmati spot diving dan snorkeling. Aku keluar dari kamar dengn tergopoh-gopoh karena luka di lutut kanan masih terus berdenyut. Masih basah.
Melewati Alma yang sedang menikmati jasa pijat di ruang tamu sambil tidur tengkurap, kemudian menggapai pintu keluar vila. “Mau ke mana?” tanya Agra seolah menghadangku dari belakang.
“Mau nyebur.”
“Jangan dulu, tunggu sembuh dulu luka lo.”
“Kenapa sih, Gra? Udahlah, luka dikit doang kok lu yang repot,” protesku yang bersihkeras ingin segera menikmati sejuknya air pantai.
“Nanti luka lo gak sembuh-sembuh, Sa. Makin basah kena air, makin sakit juga.” Memang ada benarnya juga perkataan Agra, lagi pun, kaki kananku masih kaku, masih pincang dibawa jalan, gimana mau dibawa diving nanti?
Aku menghela napas jengkel, padahal udah sejak lama aku ingin sekali ngerasain berenang di alam terbuka, ketika sampai di sini, ada saja kendala. “Kita kan seminggu di sini, ini masih hari kedua kita di Pulau Misool, mending lo cari kesibukan lain selain ke air,” sambung Aisyah yang dari tadi sibuk memotret pemandangan dengan kamera Alma.
“Mending nanti kita ke resto seafood deket sini, pada belum makan, kan? Terserah kalian mau makan apa di sana,” saran Alma yang masih menggelepar di ranjang dipijit oleh pelayan khusus. Matanya terpejam merasakan setiap tekanan yang diberikan pada punggung badut kota itu.
“Ya iyalah, kan yang bayar juga ujung-ujungnya gue.”
“Kan elo yang ngajak kami.” Skakmat!
Aisyah cengengesan saja mendengar perdebatan dua kaleng rombeng ini. “Hahaha ... walaupun kami gak tahu soal masalah lo, tapi kayaknya lo udah move on dari kejadian semalam ya, Sa.” Bukan aku yang cepet ngelupain masa lalu, tap yang dikata Agra benar, aku labil, emosiku masih sulit dikontrol.
~~~~~
Resto makanan laut yang jaraknya gak jauh dari penginapan kami kunjungi. Tampak kanopi-kanopi tradisional yang terbuat dari jerami dan ilalang membentuk atap tradisional khas Papua, honai, berjejer rapi dengan kursi yang mengelilingi meja di tengahnya. Ada pun meja kayu panjang dengan kursi yang juga panjang terpampang menghadap langsung ke pantai, cocok untuk keluarga besar. Untuk yang ingin tempat privasi, resto juga menyediakan ruangan in-door dengan tema tradisional khas Papua.
Berbagai macam furniture seperti angklung yang menggantung di atas atap resto membuatnya berbunyi merdu ketika angin menghampir. Untuk dekorasi terbuka, mereka menata berbagai macam tanaman hijau di pekarangan restoran.
Para pelayan hilir-mudik berjalan melayani pesanan dengan sopan sesuai aturan SOP. Sebagian besar para pelayan berkulit hitam dan berambut keriting. Berbagai macam keberagaman di tempat ini aku nikmati dengan sepenuh hati. Wajah sumringah pelayan dalam menjalankan tugasnya tampak tulus walau beban berat di pundak.
Berbagai cara penyajian makanan tersedia. Mulai dari order biasa dengan jasa para waiters atau dengan metode buffet yang sudah disajikan di atas meja panjang dengan berbagai macam jnis makanan, dari makanan western, asia, hingga tradisional semuanya siap dihidangkan oleh pramusaji.
Dengan tangan yang menopang piring putih dan tubuh menghadap jejeran makanan yang tersedia di meja buffet, aku bertanya ini-itu pada pramusaji pria di hadapan. "Ini ikan apa namanya, Pak?" tanyaku sambil menunjuk ikan yang dibungkus dengan daun talas di hadapanku.
"Ikan bungkus, makanan khas Papua," jawabnya formal sambil menjulurkan telapak tangannya ke arah ikan yang kumaksud.
"Kalau yang kayak pie ini apa namanya?" lanjut Alma bertanya pada pelayan sembari menangkat hidangan manis yang mirip seperti pie dengan atasan stroberi, keju, coklat, dan lainnya.
"Ini kue lontar, makanan yang dulu dibawa penjajah Belanda ke Papua dan langsung diterima dengan baik sehingga mashyur di lidah masyarakat lokal." Pelayan kembali menjawab dengan sedikit menjelaskan sejarah kue lontar yang diadaptasi dari namanya lontart.
Kini saatnya Aisyah bertanya, "Oh, ini sagu lempeng, kan?" Aisyah menunjuk ke arah makanan yang mungkin gak asing lagi di lidah orang Indonesia sekalipun.
Kemudian pelayan mengangguk dan menimpal, "Sagu lempeng merupakan makanan yang benar-benar identik dengan Papua. Mempunyai bentuk seperti batangan persegi panjang dan warnanya merah kecoklatan atau porna. Apabila digigit, akan terasa bahwa teksturnya sangat keras, hampir mirip dengan kue bagea. Sebab, terbuat dari tepung sagu yang dicetak dengan besi, lalu dipanggang. Proses itu bisa mengurangi kadar air, sehingga menghambat pertumbuhan jamur dan mikroba. Karena kue ini dapat bertahan lama." Kali ini si pelayan serba tahu itu menjelaskan tentang proses pembuatan sagu lempeng. Benar-benar profesional.
Setelah banyak cincong dan membuat mulut pramusaji berbusa, akhirnya pilihan makanan kami bulatkan. Aku mengambil seekor lobster jumbo bakar, ikan bungkus, dan minuman lemon teh segar. Alma mencapit udang sambal, kue lontar, dan segelas cocktail. Aisyah memilih sup kambing karena dia alergi terhadap makanan laut. Minumnya hanya air putih.
Aku berniat baik pada Agra yang tetap stay duduk di meja. Ingin mengambilkannya makanan, namun makanan apa yang dia suka? Aku tak tahu, kuputuskan untuk sejenak meninggalkan Alma dan Aisyah untuk kembali ke meja dan bertanya pada Agra. Hitung-hitung minta maaf padanya yang semalam kusembur tanpa sebab.
"Gra, lo mau ma ...." Ucapanku menggantung, Agra gak ada di meja tempat tadi kami berkumpul. Ke mana dia? Kusapukan penglihatan ke seluruh penjuru arah, hanya sekumpulan orang yang sedang huru-hara menikmati liburan mereka. Gak ada Agra. Gak bisa kutebak, apa yang ada dipikiran random-nya. "Aissshh ... ke mana lagi anak itu?"
Masih penasaran, tatakan yang berisi makanan dan minuman yang kubawa tadi kuletakan di atas meja, meninggalkannya, dan pergi mencari Agra. Aku keluar dari restoran.
Gak terasa, sampailah aku di garis pantai. Mataku kembali menyelidik ke kanan dan kiri hamparan luas pasir pantai. Tetap gak ada anak itu. Raib. Bukan masalah khawatir anak itu raib kek, hilang kek, atau apalah itu. Tapi entah kenapa diriku yang lain menggerakkan aku untuk mencarinya.
Lima menit berlalu, mungkin Alma dan Aisyah juga bingung aku ke mana. Langkahku tak berhenti mengacaukan pasir pantai, terus membuat jejak sendal vila di atasnya. Kudongakkan kepala ke atas dan menyerong sedikit ke kanan, menatap tebing batu kecil yang di atasnya tampak bayangan dua orang yang berhadapan. Voila! Ternyata itu Agra dan Raka yang saling bertatap muka. Penglihatanku gak mungkin salah. Hari ini masih siang, masih terang, kacamata yang kugantung di lingkar leher baju kaosku kugunakan untuk memperjelas pandang. Apa yang mereka lakukan di atas sana?
Sial, aku gak bisa mendengar apa pun dari bawah sini. Embusan angin yang tak henti-henti membuat gelombang suara mereka tak sampai ke pendengaranku. Belum lagi pasang-surut air laut yang merambah naik-turun ke daratan pantai. Ricuh.
Pikiran burukku membayang, aku takut Agra yang serba tahu sudah mengetahui permasalahanku dengan Raka dan ia berniat untuk melabrak. Jangan ditanya dari mana anak itu tahu permasalahanku, waktu itu aja ketika aku banyak masalah dia bisa jadi juru selamat dan memperbaikki hubungan aku sama Papa yang kala itu bentrok soal pendidikan. Tapi tetap saja, itu kan pikiran liarku.
Rasa penasaranku terus membumbung tinggi, hingga kuputuskan untuk mendaki tebing tempat mereka berkompromi. Walau masih ada rasa trauma memanjat tebing, tapi setidaknya tebing kali ini gak begitu tinggi. Juga hitung-hitung latihan mendaki untuk ke Puncak Jayawijaya nanti.
Untungnya pakaian yang kukenakan hari ini gak seribet kemarin. Kaos putih oblong dan celana denim abu-abu bercampur biru membuatku leluasa mendaki tebing. Kugapai celah-celah tebing dengan kedua tanganku, menginjakkan kaki ke permukaannya, naik-naik-naik, dan sampai. Kini aku sejajar dengan mereka. Agra membelakangiku menatap Raka sambil melipat kedua tangannya ke dada. Sedangkan Raka yang melihatku di balik tubuh Agra berucap, "O-Osa?" Wajah kakunya terkejut.
Agra membalikkan badannya, menghadapku yang nekat memanjat tebing sendirian. "Lo ngapain di sini?" ucapnya datar dengan alis yang merengut. Aku bertanya kembali padanya-untuk apa dia menjumpai Raka? Padahal dia sendiri gak suka banyak bicara dengan Raka.
"Itu Osa, tanyakan padanya apa aku ada nyakitin fisiknya?" potong Raka berbicara tegas pada Agra. Entah apa yang mereka bahas, mungkin aku ketinggalan pembicaraan mereka. Tapi pikiran liarku menebak-sepertinya Agra sedang menginterogasi Raka soal kejadian semalam ketika aku pulang dengan penuh luka.
"Semalam, apa benar lo diapa-apain sama dia?" tanya Raka garang menatapku dengan tangan kiri menunjuk ke arah belakang-ke arah Raka. Benar saja, dia sedang menganalisis masalahku. Selalu saja anak ini ikut campur urusanku, padahal dia bukan siapa-siapaku.
"Eng ... eng ... enggak, kok. Gue gak ada masalah apa-apa sama Raka, gue gak diapa-apain," jawabku terbata-bata sambil memandang takut wajah serius Agra.
"Tapi kan semalam lo pergi sama dia, ke mana dia rupanya?" tanyanya dengan nada tegas, wajah putihnya kembali memerah, urat lehernya membayang. Dia marah tampaknya.
"Memang semalam kami pergi berdua, tapi habis itu dia entah pergi ke mana. Luka-luka di badan gue karena semalam nekat manjat tebing sendirian." Kali ini aku menjawab pertanyaan Agra lancar saja, karena emosiku juga mulai tersulut karena keikutcampurannya dalam urusanku.
"Tebing mana yang lo daki?"
"Gak tahu, lupa gue namanya, pokoknya yang di deket danau berbentuk hati."
"Hmmm ... it's not make sense, bagaimana bisa lo tahu tempat itu padahal lo sendiri gak tahu namanya, padahal tempat itu sangat populer di Pulau Misool. Danau Love Karawapop, itu nama danaunya." Agra mulai menganalisisku, menatapku tajam, dan mengelus dagunya dengan ibu jari dan telunjuknya. "Kalau pun lo tahu tempat itu, lo gak bakal berani pergi sendirian, lo juga pastinya nyadar kalau hari mulai gelap saat itu. Sudah pasti ada orang lain yang nemenin lo, kan?
"Menurut gue, lo pergi ke danau tersebut bersama dia." Agra menunjuk kembali jemarinya menuduh Raka dan melanjutkan, "Mungkin lo di ajak sama dia ke sana, berdua saja. Tempat itu terkenal romantis, dengan keindahan danaunya yang berbentuk love. Gue tahu maksud dan tujuannya mengajakmu ke sana, tapi apa gak lebih baik lo ngaku aja, Sa? Gue tahu kok, lo gak diapa-apain secara fisik, tapi hati lo mungkin dilukai oleh keegoisannya." Benar saja, Agra berhipotesa lagi dan membuat aku dan Raka diam seribu bahasa. Gak mungkin kutepis, semua analisisnya benar, wawasannya secara nyata mungkin nihil, tapi secara teori dia bisa menerawang dan mengetahui seluk-beluk danau itu. Buku seolah ia jadikan jendela dunia.
"Lo itu teralalu ngikut campur urusan gue ya, Gra. Jangan belagu sok tahu, sok jadi yang paling pintar, dan menjadikan apa pun yang lo rasa menarik lo hakimin. Lo bukan siapa-siapa gue, kita gak ada hubungan keluarga, dan gue juga gak terlalu deket sama lo!" Karena sudah kepalang basah, namun kekerasan kepalaku merajai segalanya, akhirnya dengan terpaksa aku membentak Agra dengan mengalihkan persoalan. Menurutku dia terlalu berlebihan mencampuri urusanku sampai seperti ini, padahal dia bukan siapa-siapa. Itu kenapa aku gak suka bergaul dengan anak nolep kayak dia.
"Lihat, kamu dengar, kan? Bersikaplah realistis, bro," sambung Raka dengan senyum miring yang menandakan emosinya sedang teraduk menjadi satu.
Sejenak kami terdiam, membiarkan angin bersenandung merdu di antara ketegangan. Agra mengembalikan ekspresi keruhnya menjadi datar kembali, membalikkan badan dari Raka, berjalan melewatiku, dan turun dari tebing itu dengan santainya. Percekcokan berakhir.
"Sa ...." Raka mendekatiku dengan wajah berharap, aku menjauhinya dengan wajah kesal dan membalas, "Diem lo! Lo kira gue belain lo apa? Jangan banyak berharap. Brengsek!" AKu kembali menuruni tebing dengan awas.
Dua hari berturut-turut, kesedihan dan kemarahan menghantui jiwaku. Semalam Raka yang kupupuskan harapannya, sekarang Agra yang malah kuacuhkan perhatiannya. Rasanya benar-benar serba salah, ingin menyalahkan Raka tapi memang perasaan tidak bisa dibantah, ingin menyalahkan Agra tapi apa yang dikatakan benar, juga ingin menyalahkan diriku namun aku juga punya hak memilih. Bingung. Apakah aku harus menyalahkan semesta yang tak bersuara untuk meredam emosi segala rasa? Entahlah.
~~~~~
Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya.Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan P
"Gimana kalau kita nyebur aja di pantai ini?" seru Alma dari bawah tebing menawarkan kami."Setuju!" Mendengar tawaran Alma, sejenak aku melupakan koreng di kaki dan langsung menuruni tebing dengan sembrono. Aisyah yang mendongak menatapku turun tampak berkspresi seolah merasa ngilu dengan gerakkan gesitku menuruni tebing. Takut terbesot lagi."Ya Allah, Sa. Kan udah janji tadi buat gak nyebur ke pantai, nanti luka lo gak sembuh-sembuh," keluh Aisya kepadaku yang mengingkari janji buat gak berenang.Dengan beradu argumen sebentar denganku, akhirnya Aisyah menyerah dan mengalah untuk membiarkanku berenang bersama Alma di pantai di hadapan. Bagaimana bisa aku menolak untuk tidak menyentuh air pada liburan yang didominasi oleh lautan jernih ini?"Hufftt ... yaudah deh, terserah. Tapi kalian kan gak bawa baju ganti?""Tenang aja, kita pulang basah-basahan.""Kalian aja, gue gak ikut." Aisyah memilih untuk tidak ikut berenang. Ia meng
"Ah ...." Lega rasanya sehabis berenang di pantai pagi tadi, kemudian malamnya berendam dalambathtubberisi air hangat dengan wewangian yang menenangkan. Lilin-lilin aromaterapi menemani kesenyapan meditasiku. Taburan kelopak bunga mawar mengambang di permukaan air hangat yang kurendami. Aku tenggelam dalam keheningan. Pikiranku kembali cemerlang.Dor-dor-dor. Daun pintu berwarna putih bersih di hadapan terketok. Sepertinya ada seseorang di sisi lain pintu itu. "Sa, buruan mandinya, udah waktunya makan malam. Jangan lama-lama, ntar badan lo keriput." Aisyah sepertinya bukan hanya manajer pribadiku saja, tapi dia juga sudah menjadi orang tuaku.Aku bersahut panjang kepadanya, berkata bahwa sebentar lagi aku selesai mandi.Tubuh mungilku yang bermandikan busa dan bunga kubangkitkan, melangkah keluar daribathtub,kemudian membasuh diri dengan air mengalir. Tidak terasa, ternyata sudah lebi
"Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini.Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu."Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku.Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merenge
"Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini. Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu. "Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku. Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merengek p
Rumah ini sangat tidak nyaman untuk standar manusia di dunia. Lapuknya kayu yang menjadi material utama bahan pembangun, membuatnya berisiko ambruk kapan saja. Atap berbahan seng yang terdengar nyaring ketika hujan, juga sudah tampak berlubang, meloloskan cahaya matahari siang ke permukaan semen tak berkeramik rumah itu. 'Rumah reot', 'Rumah Gubuk', 'Rumah Bobrok', mungkin sebutan itu lebih tepat daripada menyebutnya sebagai 'Rumah Manusia'.Listrik yang menjad alternatif penerangan untuk berbagai macam keperluan, kini tidak kelihatan secercah cahaya pun di setiap sudutnya. Bau amis ikan semilir tercium ke penciuman setiap orang yang bertamu. Bagaimana tidak, rumah guru muda yang punya cita-cita mulia ini berbelakangan langsung dengan penangkaran ikan.
"Haduh! Langitnya mulai gelap, Gra." Aku memerhatikan horizon dunia, menatap mentari mulai meninggalkan bumi untuk berganti dengan bulan.Pasir pantai yang tadinya terasa hangat, kini menyejuk disebabkan hawa malam itu yang sangat rendah. bayi-bayi penyu seluruhnya sudah melanglang buana menuju lautan lepas, menuju tanpa batas.Aku yang sedari tadi mulai gusar karena pandangan terganggu, terus mengeluh pada Agra."Tenang aja," gumam Agra sambil merogoh saku dalam switer tebalnya. "Nih, untung gue bawa lampu."Dua buah lampu teplok kecil ia keluarkan dari baju tebalnya yang sedari ta
"Udah, deh. Gak usah dipikirin orang kayak dia. Mending hari ini kita sama-samadiving,gimana? Soalnya sudah hari kelima kita di sini, tapi tujuan gue buat menyelam selalu tersendat." Setelah menceritakan kejadian tadi malam, aku cepat-cepat beralih topik pembicaraan.Tanpa pikir panjang, aku menarik kedua pergelangan perempuan seusiaku itu, membawa mereka ke luar, menuju pantai.~~~~~Cuaca hari ini begitu mendukung. Langit cerah dengan cemerlangnya laut biru saling beradu, seolah mencari siapa dari mereka yang paling agung. Tebing-tebing batu yang terjal tampak jelas di sepanjang mata memandang. Udaranya tidak berdebu, karena angin lalu hanya bertiup kecil.Gerombolan burung belibis beterbangan, berpatroli ke sana-kemari dengan gemulainya. Makhluk-makhluk darat seperti: kepiting, kerang, siput laut, terdampar pasrah di permukaan pasir yang basah. Di ujung sana, di laut lepas, tampak beberapa orang sedang berenang dengan riangnya. Tap
Sebuah lembaran-lembaran kelam tentang The Clausa Baroon kembali terkembang. Kenangan-kenangan usang yang sudah lama terkunci kini kembali tersingkap. Alam yang terus tumbuh dari masa ke masa, kini terbang bersama angin menuju masa lalu. Masa itu ....Kisah Olm, Osa si Slamander sudah tertutup. Konflik batin dan konflik sosial menjadi tantangan Osa untuk menemukan takdir dirinya sebenarnya. Dan sekarang, dia sudah mendapatkan semuanya: kemelaratan dan kepuasan.Osa telah kehilangan semua teman-teman dekatnya: Raka yang merantau ke Australia, Aisyah yang telah meninggal dunia di masa pendakian, Alma menuntut pendidikan lebih di Paris, dan Agra hilang secara misterius. Semua itu tidak lepas dari pengaruh Osa.Namun seorang yang sama sepertinya muncul di tengah-tengah kesedihan, membuat kesedihan akan penglihatan Osa yang telah hilang, kembali menyiratkan kebahagiaan walau secuil.Banyak pertanyaan-pertanyaan dan kegantungan yang ditinggalkan Agra dan papa d
Waktu terus bergulir menuju akhir perjalanan. Sebuah lorong hampa diisi dengan limit-limit batas dari usaha untuk menjadi insan terbaik semesta. Pohon beringin yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang, kini semakin menua—menggugurkan daun-daun kering yang penuh dengan memori masa lampau.Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian. Masa sudah berubah, kenangan setahun yang lalu sudah mulai terkubur bersama sisa memori lainnya. Aisyah sudah tenang di sisi-Nya. Raka sedang berjuang di negeri asing tempatnya bermuara. Alma melanjutkan pendidikannya di kota di mana Menara Eifel berada. Hanya satu orang yang masih berada di sisiku: Agra."Coba kamu mutar, jalan ke sini sedikit ... ke situ ... sekarang, berhenti!" Tidak! Ini bukanlah kisah romantis dengan adegan memberi kejutan. Melainkan aku sedang berada di Puncak Carstensz Pyramid. Iya! Aku melihat salju abadi itu di sekeliling, dan kak Yewen yang menuntunku sampai ke sini.Aku melihat Kak Yewen dan para penda
Pagi ini, rintik-rintik sendu tercurah dari gerimis di langit Papua. Aku dan Agra sedang menatap kosong ke arah makan Aisyah. Aisyah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Papua, karena dia adalah gadis sebatang kara tanpa keluarga.Rerumputan hijau di tengah pemakaman membuat semerbak aroma hujan yang jatuh ke atasnya terasa sedap dihirup. Aku terduduk lemas di tanah sambil terus menangisi Aisyah yang sudah tidak di bumi. Agra berdiri mematung sambil memegangi payung agar aku tidak kehujanan."Se-seandainya aja gu-gue gak seegois ini," isak tangis membuat suaraku meringis tidak jelas. "Kalau saja pendakian itu gue batalin, pasti Aisyah enggak kayak gini."Agra mulai berjongkok di samping sambil mengelus-elus pundakku. "Jangan pernah menyesal untuk hal yang udah berlalu. Sebab, lo gak akan bisa membatalkan kejadian itu dengan menyesal." Dia mendeham suaranya yang sedikit serak, lalu melanjutkan, "Sa, gue tahu keinginan lo buat trip ini sama muli
Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2. Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton. "Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih. "Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirah
"Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lenjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah—si Bongsor—nyelonongmasuk ke tenda kami. AIsyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian—tidak mandi—kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuk wajah.Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan."Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing—termasuk Kak Yewen.Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju me
"Ayo Sa, buruan. Kita udah ketinggalan mereka." Tiba-tiba saja seseorang mengacaukan pikiranku yang sedang membayang. "Eh, i-iya...." Aisyah menarik tanganku agar segera bergegas. Langkah kaki kami percepat, menyusul para pendaki lain yang sudah lumayan jauh di depan sana. Semak-semak rimbun berkeresak ketika kami melewatinya. Napasku semakin berembun. Dan sekarang rambutku kini mulai mengering dan dingin—kaku. Semakin jalan menanjak, semakin berkabut pula udara. Untungnya kami sudah kembali ke barisan. Bulu kudukku semakin merinding kala kami tiba di Sungai Ugimba. Kali ini sebagian besar permukaan sungai sudah membeku. Bantaran sungainya san
Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal. Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katanya percaya diri. Aisyah memakai jaketgorte texhijau tua, dengan bulu-bulu lembut berwarna krim di lehernya. Jilbabnya yang
Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal.Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katan
"Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala.""Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu ke mana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jayawijaya itu sangat tinggi.""Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin.Bye!"Tut ....Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu bukanlah hanya sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau ke