Home / Romansa / Olm, Osa Si Salamander / [Bab 5] Perasaan Melebihi Teman

Share

[Bab 5] Perasaan Melebihi Teman

Author: Naufal Wichaksana Hardiwinata
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mentari pagi masih bertengger di indahnya negeri Timur. Untaiannya menyinari segala macam objek yang ada di bumi, menghangatkannya, kemudian memberi manfaat darinya. Sinar ultraviolet yang hinggap di permukaan kulit kuning langsatku membuat gerah tubuh-mengubah panasnya menjadi vitamin D yang akan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Dulu sewaktu aku masih kelas 2-3 SD, ketika hari libur Papa selalu ingatkan aku untuk selalu keluar rumah ketika pagi hari tiba. Papa juga selalu mengajakku menjelajah perkebunannya ketika pagi tiba. Mungkin dari situlah awal mula aku menyukai alam-walau terkadang alam sedikit menyebalkan. 

Di pagi yang cerah ini, aku sudah bersiap-siap dengan setelan baju kaos putih dengan hiasan teks sablon berwarna hijau bertuliskan "Me and My Nature" . Gak lupa celana jins biru bercampur abu-abu nge-press dari pinggang hingga pergelangan kaki. Sepatu kets hijau muda dengan lis putih bermerk Nike membungkus kaki. Entah kenapa, OOTD simple seperti ini menjadi setelan favorit aku ketika ingin berpergian. Gak suka yang macam-macam.

Kududukkan bokong teposku di atas kursi santai yang terpajang di samping halaman hotel sambil berjemur di pagi hari. Mataku yang akan menjadi hiasan nantinya kututupi dengan kacamata coklat yang menghalang serangan sinar matahari berbahaya jika terkena mata. Sesekali kuangkat tangan kananku dan menghadapkan wajah oval dan menatap ke arahnya yang bermaksud mengecek waktu. Waktu menunjukkan pukul 8:15 WIT, masih setengah jam lagi untukku dan teman-teman mempersiapkan diri sebelum perjalanan ke pelabuhan berlangsung.

Ketika aku sedang sibuk mendalami isi pikiran sendiri, terdengar suara hentakkan sendal yang menapakki jalanan mewah halaman hotel. Ritme hentakkan konstan, perlahan namun semakin terdengar mendekat ke arahku. Kuarahkan pandanganku ke kiri melihat seseorang yang gak asing lagi olehku, dia Raka. Tampak setelan baju pantai berwarna merah dengan corak bunga-bunga berwarna putih bertebaran terhempas angin. Dua kancing atasnya terbuka, memperlihatkan dada busung eksotis Raka dengan tahi lalat tertempel di sana. Celana pendek putih dengan sendal hotel menghiasi bawahan Pemuda Puncak itu. Rambutnya yang kering ikal namun lemas tampak berterbangan mengikuti alunan angin pagi. 

Ia menatapku silau, tersenyum ke arahku sambil memperlihatkan lesung pipitnya. "Udah dari tadi,Sa?" tanyanya sambil menundukkan pandangan padaku yang sedang duduk di kursi panjang tempat itu. 

"Lumayan, lah," jawabku singkat sembari menebar senyum kecil padanya. Kepalaku menengadah ke arahnya dan menatapnya dengan kacamata hitamku. Sejenak kami berdiam, kemudian sepersekian detik ia melanjut, "Boleh aku duduk?"

Aku hanya mengangguk, menepuk-nepuk tangan kiriku ke arah kursi kayu yang mengilat karena pernis, memberi isyarat padanya untuk duduk. Dengan senag hati dia tempatkan tubuhnya bersebelahan denganku yang hanya dipisah oleh kekosongan 5-6 senti saja. 

"Jadi ... bagaimana kondisi mata kamu?" Seperti biasa, tutur kata anak puncak yang terkenal lembut tanpa campuran bahsa gaul digunakan oleh Raka. Walau tutur katanya lembut, tapi nada suara yang ia keluarkan tegas. Ngebas.

Aku merubah posisi dudukku, menempatkan kedua tangan ke arah sisi kosong di antara kedua pahaku, lalu menjawab, "Hmm ... ok, lah. Masih sama kayak pertama aku didiagnosis. Masih suka sempoyongan kalo malam." 

"Kamu gak usah takut hal seperti itu."

"Bener kata lo. Gue juga udah terbiasa."

"Pokoknya aku janji, Sa. Kamu bakal kujaga seperti apa pun keadaannya. Karena aku temen kamu dari kecil, aku yang lebih tahu isi hatimu. Aku bakal jadi teman baikmu." Aku mengangguk paham, kemudian membuang pandangan ke depan-kembali menatap kosong.

Pagi itu, disaksikan oleh angsana sepoi, oleh mentari yang menyinari, dan pepohonan hijau yang menumbuhi daunya, Raka mengucap janji. Janji untuk selalu melindungiku bagaimana pun keadaannya.  Janji akan menjadi teman baikku. Hanya itu.

Kami kembali berdiam diri, mendalami sanubari, dan mulai sibuk oleh pikiran hati. 

Dalam diam nan senyap itu, kembali terdengar hiruk-pikuk suara gesekkan rumput yang menghiasi pekarangan hotel. Kemudian suara gesekkan rumput berubah menjadi suara hentakkan sepatu ke tanah. Sontak aku menolehkan kepala memandang belakang, melihat pria soft boy dengan OED (Outfite Every Day) yang itu-itu aja-yang dengan santainya melewati kami.

Pandangannya lurus ke depan, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke kantung baju model hoodie-nya yang berwarna hitam bertuliskan "Thinker". Celana model chino bersesuaian dengan warna sepatu yang ia kenakan, abu-abu.

"Eh, lo mau ke mana?" tegurku sambil tetap menolehkan kepalaku ke arahnya. Beberapa detik dia gak menjawab, malah melanjutkan perjalanan dengan santainya. 

"Woy! Jawab!" terusku dengan nada ngegas padanya yang seolah mengacangin pertanyaanku. Padahal dia belum ngomong, tapi udah bikin kesel aja.

"Kalo lo masih diem di situ, gak bakal kita nyampe ke tujuan," jawabnya sambil berjalan menuju halaman depan hotel.

Sejenak aku bingung, kemudian Raka menimpal, "Udah jam 08:30, kayaknya kita harus segera ke pelabuhan." Aku terkejut, beranjak dari tempat duduk, dan meningggalkan Raka di sana. 

Seolah mati dikejar waktu, aku berlari menuju kamar untuk membenahi barang bawaanku di sana. Wajah panik tegambar dengan air wajah yang mulai tumbuh di sekitar dahi. Namun di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Alma dan Aisyah yang sudah menenteng tas dan koperku di pintu hotel.

"Udah gue bawain nih perkakas lo."

sergah Alma sambil menahan tanganku yang sibuk berlari. Aku terhenti, melihat Alma dan Aisyah yang juga sudah bersiap-siap.

"Gue udah check out kamar kita dan kamar Agra. Sekarang kita tinggal tunggu taksi aja buat ke pelabuhan," sambung Aisyah sembari menggendong tas bawaannya yang di gantung di kedua pundaknya di dada.

Aku mengambil alih tas dan koperku dari tangan Alma-lalu bersama mereka, kami pergi meninggalkan hotel dan langsung menuju halaman depan tempat itu.

Sesampainya di halaman depan hotel yang menghadap langsung dengan jalan raya, Alma terlihat sibuk menentukan titik jemput dari taksi online yang ia pesan melalui HP-nya. 

"Dapet! Swiss-Belhotel Sorong," seru Alma yang sudah menemukan titik jemput bagai menemukan uang gopek di tengah jalan. Bajunya yang selalu nyentrik dengan warna cerah membuat banyak orang yang lewat melirik padanya. Alma berdiri di pinggir jalan dengan lenggok tubuh bak model internasional. Dari dulu kalau ditanya cita-cita oleh guru sewaktu SMA, Alma pasti menjawab "Ingin menjadi model, Buk", atau terjun di dunia entertainment. Walaupun aku kurang suka sama gayanya yang nyentrik bagai badut jalanan, tapi dia seolah gak peduli dengan penilaian aku. Pasti selalu konsisten dengan keinginannya itu-sekalipun banyak orang mencercah gayanya. 

Di sampingku duduk wanita muslimah yang rupawan sedang sibuk bersenandung selawat memuji-muji junjungan umat muslim dunia, Nabi Muhammad SAW. Bibirnya komat-kamit sambil memangku tas  hijau daun sambil memeluknya. Aku ingat, ketika pertama kali masuk di SMA, waktu itu ketika hendak pulang sekolah, aku dan murid yang lain menyalami Pak Yanto selaku guru terakhir pelajaran penjas hari itu. namun Aisyah gak mau, malah menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada dan menolak bersalaman dan sangat jarang bicara dengan Pak Yanto. Sampai-sampai Pak Yanto mengira Aisyah itu sombong. Pada saat itulah ketika pelajaran olahraga, Pak Yanto seolah gak memedulikan Aisyah yang bersikap Islami. 

Teringat juga pada suatu ketika ada perlombaan tilawah al Quran di sekolah-dan di hari itu pertama kalinya Aisyah mengeluarkan talenta dan suara merdunya lewat karya sastra Tuhan itu. Suaranya menggelegar sampai-sampai banyak yang terharu. Pak Yanto nangis tersendu-sendu mendengar lantunan ayat yang dibacakan Aisyah. Mungkin dia baru paham pergaulan Aisyah.

Pria itu jongkok di pinggir jalan bersebelahan dengan tiang lampu jalan. Raka, si Anak Desa yang tampak pekerja keras membuatku paham arti realita sesungguhnya darinya. Dia selalu menekuni hobinya dari masa SD dulu, yaitu berdagang. Bahkan sejak kelas empat SD, dirinya sudah berani berjualan gorengan ke sekolah untuk ditawari pada guru dan teman-temannya, termasuk aku. Masih terngiang-ngiang sorakkannya waktu mempromosikan dagangan pada orang sekolah, "Gorengan ... gorengan .... Makan lima jangan harap bisa bayar dua", hahaha ... kira-kira begitulah.

Sedangkan Agra, masih duduk bersilang kaki sambil menopang dagu dengan tangan kanannya. Mungkin dia berteori dalam pikir. Aku gak punya banyak kenangan dengannya, yang jelas, dialah murid yang paling keras kepala di SMA. Seingetku, waktu ada olimpiade khusus di sekolah, dia pernah berdebat dengan guru yang juga menjadi juri kala itu-karena dituduh salah menjawab pertanyaan dari mereka. Perdebatan sengit terjadi di antara dirinya seorang dengan banyak guru yang menghakiminya. Dan akhirnya perdebatan dimenangkan oleh Agra setelah searching di G****e soal pertanyaan mengenai sejarah Majapahit. Para guru malu tak terkira kala itu hanya dengan seorang murid yang jago berteori. Kami bersorak kagum padanya. Namun wajahnya datar saja walau dipuji.

Tanpa kusadari, ternyata taksi sudah tiba di hadapan. Seperti formasi sebelumnya, Raka duduk di kursi depan sebelah supir, aku, Alma, dan Aisyah duduk di kursi tengah bertiga. Sedangkan Agra menyendiri di belakang. Perjalanan menuju ke pelabuhan kami langsungkan. Gas ditancapkan supir dan setir dikendalikannya sesuai arah. Melintas jalan menerpa angin. Brrrmm....

~~~~~

Pemandangan beralih dari banyaknya bangunan sipil berganti latar menjadi hamparan laut yang mempesona berwarna biru berlian. Terlihat juga jejeran kapal boat berwarna putih yang terparkir di pinggiran daratan tempat kami menginjak. Angin lalu-lalang menerpa panasnya hari itu. Sampailah kami di pelabuhan Sorong.

Taksi meninggalkan kami berlima di tempat itu untuk menjemput tumpangan selanjutnya. Secara bersamaan pula mata kami kriep-kriep karena teriknya mentari serta embusan angin yang tak terkendali. Agra menutup kepalanya dengan topi yang melengkapi hoodie-nya. Alma mengenakan topi rasta yang ia bawa, begitupun Aisyah yang menggunakan topi model bucket yang menutup hijab. Raka juga ikut melindungi kepalanya dengan topi biasa atau model topi baseball berwarna merah menyelaraskan baju. 

PUK! Dari belakang seseorang memasangkan topi model floopy berwarna krem dengan pita hijau mengelilingi bulatnya topi ke atas kepalaku. Aku terkejut dan langsung berbalik pandang. Ternyata Agra, ia membuka tas miliknya. Kayaknya dia yang kasih.

"Gra, lo punya topi beginian?" tanyaku sambil memegang ujung topi itu sambil meraba teksturnya.

"Dapet dari hotel, itu merchandaise," jawabnya datar yang kemudian beralih pandang ke bentangan lautan di hadapan.

"Btw, makasih, ya." Aku berterima kasih padanya sambil menebar senyum. Dia datar saja.

Kami bergegas menuju tempat kapal berlabuh, di sana banyak para penjaga yang siap melayani perjalanan menuju Kepulauan Raja Ampat. Tampak juga para penumpang lain yang sudah lebih dulu berlayar di tengah teriknya hari itu.

"Pak,  kami mau trip ke Pulau Missol. Bisakah kami menyewa jasa kapal untuk ke sana?" tanya Raka kepada seorang pria yang umurnya kisaran 40 tahun. Dengan napas terengah-engah karena panasnya hari itu, ia menjawab pertanyaan Raka di atas kapal yang bergoyang karena gelombang kecil ombak, "Boleh, ada dua pilihan untuk menuju sana," pria itu menaikki dipan kayu yang menjadi pembatas daratan dengan lautan-kemudian berdiri berhadapan dengan kami dan melanjutkan, "Pertama ada kapal lambat, kisaran waktu tempuh 4 jam. Perorangnya 100.000 rupiah. Untuk kapal cepat, waktu tempuh 

2 jam dengan perorangnya 130.000 rupiah.

Raka mengangguk paham, kemudian dia menoleh kebelakang-ke arahku yang sedang mendengarkan pembicaraan. 

"Mau yang mana? Cepat atau lambat?" tawar Raka padaku.

"Yang cepet aja, biar cepet nyampe," jawabku singkat ingin cepat-cepat berangkat. Agra, Alma, dan Aisyah terlihat mengerutkan mata mencoba menghalang silaunya matahari. Wajah putih Agra memerah oleh panas, sedangkan Alma terlindungi oleh pondasi make-up. 

Dengan persetujuanku, akhirnya kami berangkat menuju Pulau Misool dengan menaikki kapal boat yang dipandu oleh dua penjaga dan seorang nakhkoda kapal yang menuntun kami ke tujuan. Kapal berlayar.

~~~~~

Trip pertama di Raja Ampat kami tujukan ke Pulau Missol, pulau pertama yang direkomendasi Raka untuk kami kunjungi. Dalam perjalanan, beberapa kali kuputar tubuhku menyisiri birunya lautan yang membentang bak sprei yang dikibaskan. Kilauan biru berlian bercampur dengan elegannya warna hijau zamrud-menjadikan tempat ini ramai dikunjungi turis lokal juga mancanegara.

"WOOAAAHHH ...." Mulutku gak bisa mingkem melihat pemandangan sekitar dari atas kapal yang kami tumpangi. Angin lalu-lalang berembus lembut dari segala penjuru. Topi floopy  krim yang kugunakan hampir saja terbang-namun masih sempat kutahan dengan kedua tangan. 

Pulau-pulau kecil mulai kelihatan dari kejauhan. Menyembul-nyembul ke arah langit membentuk bebatuan terjal. Gak lupa di pinggir bebatuan pulau itu tumbuh berbagai macam tumbuhan hijau. Kapal yang kami tumpangi berkelok, menghindari bebatuan yang membentuk tebing. 

"WUUEEKK ...." Aku menoleh ke belakang, menatap Alma yang duduk sambil menahan sesuatu di mulutnya. Benar saja, bagai CocaCola dicampur permen Mentos  yang kemudian dikocok, Alma muntah di dalam kantung plastik kresek berwarna hitam yang Aisyah genggam.

"Lo napa?" tanyaku yang sebenarnya udah tahu kenapa. Aku nyengir sambil sesekali memperbaiki kacamata hitam yang kugunakan longgar posisi.

"Mabuk laut." Aisyah mengelus-elus tengkuk hingga punggung Badut Kota Alma dengan tangan kanannya. Sedangkan Agra yang duduk sedikit memojok dengan mereka mulai mengusuk-ngusuk kepalanya. Sudah dua kali ia menyaksikan persalinan asam lambung itu dalam waktu dekat ini. 

Semenit kemudian, aku duduk bersebelahan dengan Agra yang dengan santainya menyaksikan pemandangan lautan di bawah atap kapal yang teduh. Sejenak suasana menjadi tenang karena kapal melaju lurus tanpa belokkan. 

Alma yang katanya ingin berfoto ria di atas kapal malah tepar di pangkuan Aisyah yang untungnya penyabar. Raka sibuk berkacak pinggang berdiri di pinggiran kapal dan merelakan kulitnya dibakar sinar matahari begitu saja. Sedangkan aku masih duduk di sebelah Agra, berharap ia membuka pembicaraan denganku, namun tak kunjung peka. 

"Gra ...." Akhirnya kesabaranku habis, aku duluan yang membuka pembicaraan dengannya.

"Hmm ...."

"Lo suka pemandangannya?"

"Iya."

"Terus, kenapa lo jarang keluar rumah? Kan pemandangan luar lebih bagus dibanding rumah?" tanyaku sambil meneroboskan kepala ke hadapannya. Berharap diperhatikan.

"Ada hal yang gak lo tahu."

"Apa? Halah ... bilang aja lo sibuk berteori yang nggak-nggak, kan? Takut inilah itulah, lo kan penakut."

"Orang kayak lo mana paham apa-apa, sok nerka-nerka."

"Loh, gue kan olm, kan lo sendiri yang bilang gue itu olm, amfibi yang pekaan. Gue bisa ngertiin orang tanpa orang itu harus memberitahu."

"Lo itu lebih ke sok tahu, gak semua hal yang lu tebak bener, kan? Inget! Jangan sampe orang pada gak suka sama lo karena tingkah lo yang sok tahu." Ia menasihatiku dengan nada lembut, namun entah kenapa ngena di hati.

"Ya maaf, tapi lo jangan marah ya sama gue," ucapku penuh harap padanya.

"Selagi lo bisa jaga perasaan orang," jawabnya yang masih buatku bingung. Memang sih, kalau dipikir-pikir, aku orangnya sok tahu, sok nebak-nebak dengan patokan Osa si Pekaan atau Osa si Salamander. Yah, aku harap aku gak bakal nyakitin hati orang-orang yang kusayang. Papa, Agra, Raka, Alma, dan Aisyah.

Kapal melaju menyeret lautan, langit cerah mendukung jalannya kapal berlayar. Siluet pulau Misool yang asimetris mulai kelihatan di ujung moncong kapal. Perlahan mendekat dan siluet berubah menjadi tubuh asli pulau itu yang menjulang tinggi dan berjenjang panjang. 

Petualangan sebenarnya baru dimulai. Petualangan yang nantinya akan membawa pengalaman dan wawasan tentang bumi Timur Indonesia, tentang pelajaran hidup, bahkan tentang perselisihan dan sesuatu yang gak terduga bakal terjadi. Sesuatu yang aku saja gak kepikiran.   

Sampailah kami di salah satu dari empat pulau terbesar di Kepulauan Raja Ampat. Dengan wajah sumringah, kutapakki cerahnya pasir putih tempat itu.

"Keren bangeett!!" seruku sambil melompat-lompat kegirangan dan berputar tak tentu arah. Koper yang kutenteng kubiarkan tergeletak pasrah di atas tumpukan pasir lembut Pulau Misool.

Alma yang baru terbangun dengan rambut amburadul dan jalan sempoyongan planga-plongo menyaksikan gradasi warna tempat itu. Tangannya sibuk menggenggam kamera bermerek Canon yang dikalungkan di leher Badut Kota itu.

Dengan topi bucket-nya yang menutupi hijab, Aisyah berulang kali mengucap syukur pada Yang Maha Pencipta yang ditandai dengan mulut bergumam pelan mengucap "Masya Allah".

Raka tampak berlenggak panggul dengan senyum Pepsodent-nya yang memperlihatkan gigi rapi nan sejajar. Wajahnya tampak senang-walau dengan napas terengah-engah karena dibakar oleh teriknya matahari.

"Keren ya, Gra," ucapku yang berdiri bersebelahan dengan Agra. Agra yang bolak-balik menoleh ke kanan dan ke kiri akhirnya berhenti setelah mendengar ucapanku.

"Iya."

"Iya apanya?"

"Iya, keren."

"Tuh, lah. Kan udah gue bilang, alam itu indah, gak ada yang perlu ditakuti dari alam."

"Chk." Mendengar nasihat dariku, Agra mengecap, seolah mengingatkanku dengan perkataannya barusan di atas kapal. Jangan sok tahu.

Aku terdiam sejenak, bingung dengan jawabannya, kemudian baru ngeh. "Eh, so-sorry." Aku baru ingat, gak boleh berlagak sok tahu, sok pekaan, ok! Kemudian aku mencoba beralih pembicaraan padanya yang masih berdiam seolah beradaptasi dengan situasi.

"Gra."

"Hmmm ...."

"Nanti kita diving, ya. Oh iya, snorkeling juga, terus nanti kita jalan-jalan keliling pulau, terus liat bayi penyu yang baru netas. Oh! Liat olm juga, Gra. Gimana?" omelku yang banyak mau. Kepalaku yang lonjong semakin lonjong karena kebanyakkan ngomong "Oh".

"Susah nyari olm."

"Napa?"

"Olm itu hidupnya di gua. Mereka jarang berkeliaran, bahkan bisa gak gerak sama sekali selama 7 tahun lamanya." Agra menjelaskan dengan datarnya. Urat lehernya hilang-timbul saat menjelaskan karena tubuhnya yang gak berlemak, membuat anak itu seolah tinggal tulang dan kentut saja. Untungnya ditolong baju tebal yang jadi setelan sehari-harinya.

"Serius jarang gerak? Terus, kapan geraknya?" Dengan bebal aku menanyakan hal yang sudah dijawab oleh Agra. Kurang puas dan gak nyangka aja olm begitu.

"Beneran. Olm gerak waktu mau nyari makan aja, atau ketika mau kawin atau berkembang biak."

"Sama kek gue, dong?" Tanpa berpikir, congorku nyerobot asal saja.

"Hah!?" Raka yang sibuk menjepret Alma terkejut.

"Lah!?" Alma yang sedang berpose manja di depan kamera ikut terkejut.

"Asragfhirullah, Sa?" Aisyah beristigfar menatap bingung ke arahku.

"Naah! Keceplosan, kan." Agra memendelikkan matanya sambil menunjuk ke arahku. Lagi-lagi aku jadi pusat perhatian karena asal ngomong.

"Eh... be-becanda doang, yaelah." Aku menyodorkan telapak tangan seolah menangkis pikiran aneh mereka kepadaku dan mencoba menenangkan diri sendiri.

Di sela ketegangan yang melandaku karena asal nyeplos, untungnya aku tertolong dengan kedatangan rombongan wisatawan lain dengan lima kapal boat seolah ingin mengepung kami. Aku berbalik pandang, melihat mereka yang ikut riang menuruni kapal dengan antusias. Tampak juga beberapa wisatawan berambut pirang, berkulit putih, bahkan memiliki gestur tubuh yang asing. Mungkin mereka turis mancanegara.

Selang sepersekian menit, datanglah dua buah mobil berjenis mini coaster berwarna merah dan putih dari arah yang berlawanan. Para pemandu wisata turun dari mobil, kemudian memberi arahan pada kami dengan bahasa Inggris.

Setelah arahan diberikan, aku, Agra, Alma, Aisyah, dan Raka, serta beberapa orang lainnya memasuki mobil yang berwarna putih. Sisanya menaikki mobil berwarna merah. Ada yang membedakan tujuan kedua mobil itu tertuju, untuk mini coaster merah akan menuju ke South Beach. Sedangkan mobil putih yang kami tumpangi akan tertuju ke North Lagoon, tempat untuk melakukan olahraga diving dan snorkeling.

Related chapters

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 6] Perasaan Melebihi Teman 2

    Mobil menempuh jalanan Pulau Misool yang dipenuhi pasir-pasir putih yang tak terhingga jumlahnya. Aku sibuk menikmati pemandangan sekitar dari kaca jendela mobil. Hamparan padang laut yang biru bercampur dengan hijauemeraldbuatku tak beralih pandang. Di sebelah kanan tampak jajaran hutan mangrove yang hijau nan mempesona. Tebing-tebing menjulang tinggi tampak seolah mengapung ke udara. Gradasi berbagai macam warna menjadikan suasana pulau itu bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi."Numpang duduk." Penghayatanku terpecah oleh kedatangan Agra yang duduk di sebelahku."Eh, Agra-" Dengan sigap Agra langsung memotong pembicaraanku yang niatnya akan berlangsung panjang lebar. "Apa? Ngajakdiving, snorkeling?Ogah!""Idih, kenapa?" Sejenak aku bingung. Alis kukerutkan dan bertanya pada diri sendiri: Kenapa bisa orang nolep gini sombong? "Ooo ... lo gak bisa berenang ya?" Tanda tanya di atas kepalaku akhirnya pergi. Seperti bias

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 7] Hipotesa Agra

    “OSAA!!!”Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 8] Tragedi Tiga Tebing

    Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya.Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan P

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 9] Perasaan atau Hanya Pertolongan?

    "Gimana kalau kita nyebur aja di pantai ini?" seru Alma dari bawah tebing menawarkan kami."Setuju!" Mendengar tawaran Alma, sejenak aku melupakan koreng di kaki dan langsung menuruni tebing dengan sembrono. Aisyah yang mendongak menatapku turun tampak berkspresi seolah merasa ngilu dengan gerakkan gesitku menuruni tebing. Takut terbesot lagi."Ya Allah, Sa. Kan udah janji tadi buat gak nyebur ke pantai, nanti luka lo gak sembuh-sembuh," keluh Aisya kepadaku yang mengingkari janji buat gak berenang.Dengan beradu argumen sebentar denganku, akhirnya Aisyah menyerah dan mengalah untuk membiarkanku berenang bersama Alma di pantai di hadapan. Bagaimana bisa aku menolak untuk tidak menyentuh air pada liburan yang didominasi oleh lautan jernih ini?"Hufftt ... yaudah deh, terserah. Tapi kalian kan gak bawa baju ganti?""Tenang aja, kita pulang basah-basahan.""Kalian aja, gue gak ikut." Aisyah memilih untuk tidak ikut berenang. Ia meng

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 10] Ego

    "Ah ...." Lega rasanya sehabis berenang di pantai pagi tadi, kemudian malamnya berendam dalambathtubberisi air hangat dengan wewangian yang menenangkan. Lilin-lilin aromaterapi menemani kesenyapan meditasiku. Taburan kelopak bunga mawar mengambang di permukaan air hangat yang kurendami. Aku tenggelam dalam keheningan. Pikiranku kembali cemerlang.Dor-dor-dor. Daun pintu berwarna putih bersih di hadapan terketok. Sepertinya ada seseorang di sisi lain pintu itu. "Sa, buruan mandinya, udah waktunya makan malam. Jangan lama-lama, ntar badan lo keriput." Aisyah sepertinya bukan hanya manajer pribadiku saja, tapi dia juga sudah menjadi orang tuaku.Aku bersahut panjang kepadanya, berkata bahwa sebentar lagi aku selesai mandi.Tubuh mungilku yang bermandikan busa dan bunga kubangkitkan, melangkah keluar daribathtub,kemudian membasuh diri dengan air mengalir. Tidak terasa, ternyata sudah lebi

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 11] Pelajaran dari Misool Selatan

    "Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini.Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu."Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku.Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merenge

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 11] Pelajaran dari Misool Selatan

    "Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini. Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu. "Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku. Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merengek p

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 12] Kesederhanaan Senja

    Rumah ini sangat tidak nyaman untuk standar manusia di dunia. Lapuknya kayu yang menjadi material utama bahan pembangun, membuatnya berisiko ambruk kapan saja. Atap berbahan seng yang terdengar nyaring ketika hujan, juga sudah tampak berlubang, meloloskan cahaya matahari siang ke permukaan semen tak berkeramik rumah itu. 'Rumah reot', 'Rumah Gubuk', 'Rumah Bobrok', mungkin sebutan itu lebih tepat daripada menyebutnya sebagai 'Rumah Manusia'.Listrik yang menjad alternatif penerangan untuk berbagai macam keperluan, kini tidak kelihatan secercah cahaya pun di setiap sudutnya. Bau amis ikan semilir tercium ke penciuman setiap orang yang bertamu. Bagaimana tidak, rumah guru muda yang punya cita-cita mulia ini berbelakangan langsung dengan penangkaran ikan.

Latest chapter

  • Olm, Osa Si Salamander   [Epilog]

    Sebuah lembaran-lembaran kelam tentang The Clausa Baroon kembali terkembang. Kenangan-kenangan usang yang sudah lama terkunci kini kembali tersingkap. Alam yang terus tumbuh dari masa ke masa, kini terbang bersama angin menuju masa lalu. Masa itu ....Kisah Olm, Osa si Slamander sudah tertutup. Konflik batin dan konflik sosial menjadi tantangan Osa untuk menemukan takdir dirinya sebenarnya. Dan sekarang, dia sudah mendapatkan semuanya: kemelaratan dan kepuasan.Osa telah kehilangan semua teman-teman dekatnya: Raka yang merantau ke Australia, Aisyah yang telah meninggal dunia di masa pendakian, Alma menuntut pendidikan lebih di Paris, dan Agra hilang secara misterius. Semua itu tidak lepas dari pengaruh Osa.Namun seorang yang sama sepertinya muncul di tengah-tengah kesedihan, membuat kesedihan akan penglihatan Osa yang telah hilang, kembali menyiratkan kebahagiaan walau secuil.Banyak pertanyaan-pertanyaan dan kegantungan yang ditinggalkan Agra dan papa d

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 21] Limit Akhir

    Waktu terus bergulir menuju akhir perjalanan. Sebuah lorong hampa diisi dengan limit-limit batas dari usaha untuk menjadi insan terbaik semesta. Pohon beringin yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang, kini semakin menua—menggugurkan daun-daun kering yang penuh dengan memori masa lampau.Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian. Masa sudah berubah, kenangan setahun yang lalu sudah mulai terkubur bersama sisa memori lainnya. Aisyah sudah tenang di sisi-Nya. Raka sedang berjuang di negeri asing tempatnya bermuara. Alma melanjutkan pendidikannya di kota di mana Menara Eifel berada. Hanya satu orang yang masih berada di sisiku: Agra."Coba kamu mutar, jalan ke sini sedikit ... ke situ ... sekarang, berhenti!" Tidak! Ini bukanlah kisah romantis dengan adegan memberi kejutan. Melainkan aku sedang berada di Puncak Carstensz Pyramid. Iya! Aku melihat salju abadi itu di sekeliling, dan kak Yewen yang menuntunku sampai ke sini.Aku melihat Kak Yewen dan para penda

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 20] Pulang dan Mulai Kehidupan baru

    Pagi ini, rintik-rintik sendu tercurah dari gerimis di langit Papua. Aku dan Agra sedang menatap kosong ke arah makan Aisyah. Aisyah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Papua, karena dia adalah gadis sebatang kara tanpa keluarga.Rerumputan hijau di tengah pemakaman membuat semerbak aroma hujan yang jatuh ke atasnya terasa sedap dihirup. Aku terduduk lemas di tanah sambil terus menangisi Aisyah yang sudah tidak di bumi. Agra berdiri mematung sambil memegangi payung agar aku tidak kehujanan."Se-seandainya aja gu-gue gak seegois ini," isak tangis membuat suaraku meringis tidak jelas. "Kalau saja pendakian itu gue batalin, pasti Aisyah enggak kayak gini."Agra mulai berjongkok di samping sambil mengelus-elus pundakku. "Jangan pernah menyesal untuk hal yang udah berlalu. Sebab, lo gak akan bisa membatalkan kejadian itu dengan menyesal." Dia mendeham suaranya yang sedikit serak, lalu melanjutkan, "Sa, gue tahu keinginan lo buat trip ini sama muli

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 19] Terima Kasih, Icha!

    Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2. Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton. "Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih. "Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirah

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 18] Konflik Cemburu dan Kesetiakawanan

    "Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lenjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah—si Bongsor—nyelonongmasuk ke tenda kami. AIsyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian—tidak mandi—kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuk wajah.Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan."Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing—termasuk Kak Yewen.Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju me

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 17] Teman Cahaya

    "Ayo Sa, buruan. Kita udah ketinggalan mereka." Tiba-tiba saja seseorang mengacaukan pikiranku yang sedang membayang. "Eh, i-iya...." Aisyah menarik tanganku agar segera bergegas. Langkah kaki kami percepat, menyusul para pendaki lain yang sudah lumayan jauh di depan sana. Semak-semak rimbun berkeresak ketika kami melewatinya. Napasku semakin berembun. Dan sekarang rambutku kini mulai mengering dan dingin—kaku. Semakin jalan menanjak, semakin berkabut pula udara. Untungnya kami sudah kembali ke barisan. Bulu kudukku semakin merinding kala kami tiba di Sungai Ugimba. Kali ini sebagian besar permukaan sungai sudah membeku. Bantaran sungainya san

  • Olm, Osa Si Salamander   Mendidih dalam Beku

    Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal. Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katanya percaya diri. Aisyah memakai jaketgorte texhijau tua, dengan bulu-bulu lembut berwarna krim di lehernya. Jilbabnya yang

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 16] Mendidih dalam Beku

    Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal.Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katan

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 15] Menantang Langit

    "Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala.""Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu ke mana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jayawijaya itu sangat tinggi.""Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin.Bye!"Tut ....Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu bukanlah hanya sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau ke

DMCA.com Protection Status