Share

[Bab 2] Olm

last update Last Updated: 2021-09-01 09:09:28

perilaku, bahkan keceriaanku hilang. Pohon beringin belakang rumah yang biasanya hampir setiap bangun tidur aku lamunin, kini tidak pernah lagi kupandang setiap pagi. Seolah aku benci warna. Padahal hatiku yang tidak siap untuk tak melihat warna suatu hari nanti. Warna gelap yang kutakutkan akan menjadi warna yang selalu mengisi hariku nantinya. Aku masih tidak menyangka.

Pagi itu aku masih di dalam kamar. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut putih tebal selaras dengan warna sprei kasur. Mataku masih bengkak. Kadang air mata mengalir dari kelopak sembari melamun masa depan nanti. Karena sudah pasti, kebutaan akan terjadi. Itu sebabnya aku tidak suka dengan ramalan masa depan. Bagiku takdir itu misterius, sulit untuk ditebak, agar orang tidak berburuk sangka pada takdir dan tinggi hati padanya.

Tok-tok-tok

Aku mendengar suara ketukkan pintu kamar yang sedikit meredam karena posisiku yang sedang dalam dekapan selimut. Kemudian suara seseorang menyertainya. "Nak, bangun. Udah siang, nih." Udah jelas itu Papa. Dia mengacaukan keheningan.

Dengan malas dan sedikit kesal, aku bangkit dari tempat tidur dan mendekat ke pintu kamar yang permukaannya tertempel huruf balok kayu berbentuk namaku di sana. Jalanku masih sempoyongan, lalu kubuka pintunya perlahan.

"SURPRISE! " Eh, bukan hanya Papa yang ada di balik pintu, ternyata mereka datang. Aku melihat siapa yang ada dihadapanku. Ternyata mereka adalah Alma, Aisyah, dan Agra. Mereka adalah teman SMA-ku yang sudah beberapa bulan tidak bertemu semenjak lulus sekolah. Alma dan Aisyah anak kota, rumahnya jauh dari puncak. Sedangkan Agra, dia anak puncak, sama denganku. Namun dia anak rumahan, jadi jarang ketemu.

"Loh? Kok kalian ada di sini?" tanyaku ambigu dengan muka bantal serta pajamas ungu yang kusut. Rambutku yang hanya sebahu tampak berantakan bagai sapu ijuk yang gimbal.

"Nah, heran kan lo. Kita ... gituloh," seru Alma mencairkan suasana pagi yang sendu. Menurutku dari dulu dia memang heboh orangnya. Sampai sekarang tetap saja sama. Dengan giginya yang dipagar serta senyumnya hingga kelihatan gusi, pasti semua orang bakal tahu sifat orang ini. Rambutnya masih tergurai ikal sepinggul serta kulitnya yang putih membuat aku kadang iri sama orang model begini.

"Osa, sayangku. Ini kami bawain kue vegetarian sama ada juga pizza daging asap kesukaan elo. Habisnya kami bingung mau beliin lo apa. Lo kan pemakan segala. Hihihi," sambung Aisyah sembari menyodorkan banyak makanan ke aku. Kalau tadi aku iri dengan kecantikan Alma, sekarang aku iri oleh Aisyah yang dari dulu sifatnya baik sekali. Dia humble, juga setia kawan. Kerudung hitamnya yang menutupi badan sudah jelas menggambarkannya sebagai wanita muslimah yang baik. Ditambah bros putihnya yang mengkilap menancap anggun di dada kirinya semakin membuat Aisyah lebih rupawan.

"Gue gak bawa banyak. Nih, kompas, biar lo ngerti jalan pulang," sergah Agra datar saja sambil memberikan sebuah kompas berwarna perak padaku. Agra memang berbeda dari yang lain orangnya. Dia pemegang win strike juara kelas tiga kali berturut-turut di sekolah. Tapi dia anak IPA dulunya. Tidak sekelas denganku. Agra memang tampilanya nolep. Terbukti dengan model rambut Bowl Cut dengan OED (Outfit Every Day) sederhananya yang hampir setiap hari digunakan—Sweater. Matanya tajam, kalau sudah melirik pasti aku salah tingkah. Dia ngeselin. Kadang juga sok logis orangnya.

Mereka pun aku persilakan masuk ke dalam kamar. Ya, namanya anak cewe pasti nongkrongnya di kamar. Eh, si Agra malah ikut.

Aku ambil beberapa buah piring dan berbagai jus buah yang kubawa dari dapur. Aisyah dan Alma ikut membantu membawa gelas. Sedangkan Agra malah gantiin posisiku duduk di kosen jendela kamar sambil meratapi pohon beringin belakang rumah.

"Gue udah denger dari bokap lo soal kondisi mata lo. Kalem aja sih, Sa. Jangan dibawa ke pikiran. Setahu gue, lo kan ceria orangnya. Kita gila bareng juga. Please, jangan depresi dulu." Alma membuka pembicaraan sambil menuangkan jus apel dalam gelasnya. Alisnya yang hitam pekat—karena digambar dengan pensil alis—tampak melengkung jelas.

Aisyah yang sedang memotong kue vegetarian yang berwarna hijau juga ikut menyemangatiku dengan berkata, "Bener banget itu, Sa. Lo gak boleh berpikir gitu. Iman lo yang harusnya dikuatin buat menghadapi ini semua. Ini tantangan, bukan siksaan." Kata-kata yang dilontarkan Aisyah mengena dalam sanubariku.

Aku yang mendengar motivasi dari mereka hanya termenung menatap kosong ke depan—menatap ke arah mereka yang juga duduk di lantai kamar bersama. Mulai sadar. Tapi pikiranku kembali teralihkan dengan kata-kata dokter semalam. Suatu saat nanti, mataku hanya sekedar hiasan.

"Tapi ... suatu saat nanti gue gak bakal bisa lihat kalian lagi. Gue juga gak bisa ngelihat dunia lagi," gumamku pelan sembari mengaduk jus beri dalam gelas menggunakan telunjuk kanan.

"Melihat itu jangan cuma dari mata. Manusia punya hati, punya perasaan, juga punya kepekaan. Gue yakin lo bisa survive di kondisi baru lo nantinya." Lagi-lagi Aisyah membuyarkan pikiran jelekku.

"Iya bener tuh kata Aisyah," sambung Alma menyetujui pembicaraan Aisyah.

Pembicaraan menyerempet ke mana-mana. Pembahasan mengenai penglihatanku perlahan teralihkan dengan hebohnya obrolan kami—emak-emak rempong—yang membahas soal kakak kelas sewaktu sekolah yang jadi idaman saat itu. Kami bertiga tersenyum, tertawa, bahkan sama-sama gila. Sedangkan Agra memilih untuk keluar kamarku dan berteduh di bawah rimbunnya pohon beringin yang dikelilingi oleh rerumputan hijau. Tangannya seperti mengukir sesuatu di batang pohon gahar itu. Entah ngapain dia, mungkin jadi Isaac Newton sang pencetus Teori Gravitasi.

"Eh, itu si Agra ngapain di pohon?" tanya Aisyah padaku sembari menunjuk ke arah Agra yang masih duduk bersandar pada batang pohon.

"Chk, lo kayak gak tahu aja si Agra, dia kan penyendiri. Emang orang jenius kalau mikir gitu. Kalau kita langsung terobos aja, ya nggak?" timpal Alma sambil ikut memperhatikan Agra. Aku tertawa getir dengan candaan garing Alma. Tapi kurasa benar juga. Ngapain banyak berkhayal dan berpikir, lebih baik bekerja dan memandang realita.

Pagi itu lumayan cerah, bukan hanya cuaca saja, namun juga hati dan pikiranku seolah terbuka. Alma, Aisyah, dan Agra adalah teman-temanku yang selalu paham kondisiku satu sama lain. Kami beragam. Tapi kami sepemikiran dan sehati. Eh, kalau Agra aku tidak begitu yakin.

Hingga senja pun menggeser teriknya siang. Matahari mulai berada di ufuk barat langit. Untaian cahayanya mulai memerah. Langit mulai meredup. Alma dan Aisyah akan kembali ke rumah mereka masing-masing dengan diantar oleh supir Papa menuju pusat kota—kampung halaman mereka.

"Thanks, ya. Kapan-kapan main ke sini lagi aja. Gue gak keberatan, kok." Kami bertiga berpelukkan, seolah akan berpisah benua. Kemudian kami beranjak ke luar rumah, menunggu datangnya mobil yang akan mengantarkan mereka pulang.

Mobil pun tiba, lag-lagi kami berpelukkan. Alma dan Aisyah mengelus punggungku seolah menguatkan. "Stay strong ya, Sa. Lo harus kuat. Kita bakal temenin lo kapan aja. Nanti kita gila bareng lagi, ya." Alma meneguhkan kembali sambil memegang tangan kananku. Gigi kawatnya terlihat jelas ketika ia tersenyum.

"Semangat! Jangan tinggalin ibadah." Kemudian Aisyah yang memegang tangan kiriku sembari menyemangati. Alis tebalnya mengernyit ke atas. Wajahnya menenangkan.

Mereka pun masuk ke dalam mobil dan berangkat pulang. Kupandangi mereka yang perlahan menjauh dari rumah hingga lenyap dari pandangan. Aku yang masih dengan pajamas ungu tampak semangat lagi, walaupun tidak mandi pagi, tapi auraku segar kembali. Hari itu penuh makna.

Sore itu aku segera bergegas ke kamar untuk mengambil handuk, merapikan tempat tidur, dan menutup jendela. Di tengah perjalanan, aku baru teringat sesuatu. Agra, di mana dia? Kurasa dia sudah pulang lebih dulu sejak siang tadi. Anak itu memang aneh, datang bisa kapan saja, pergi pun kapan saja dia mau. Tidak pamit.

Sesampainya aku ke kamar, ketika ingin menutup jendela, alangkah terkejutnya aku melihat sesosok siluet yang dengan santainya nongkrong di kosen jendelaku. "KYYAA!!" Aku pun menjerit sekuatnya. Handuk putih yang aku sandang di bahu kanan kulibaskan ke arah orang tersebut.

"Woy, apa-apaan ini!? Gak jelas banget lo!" Rupanya itu Agra. Dia memberontak—mencoba menghindari sabetanku. Sudah dibilang, dia itu tidak bisa ditebak. Suka-sukanya saja nemplok sana-sini di rumah orang.

"Lah, elo kenapa masih ada di sini? Geser buruan! Ngagetin aja. Emang aneh orang kayak elo, ya. Seenaknya aja berkeliaran di rumah orang," tegasku kesal melihat tingkah laku anehnya. Urat dileherku hilang timbul saat mengomel dengan intonasi lantam.

"Banyak nanya. Lo mau ngapain rupanya?" tanyanya balik padaku.

"Mandi, lah. Udah sana lo cabut dari rumah gue!"

"Entar dulu, gue mau ngomong sama lo. Dari pagi kalian keenakan ngerumpi, sampai gue gak bisa ngomong ke elo." Agra menahanku yang akan bergegas mandi. Dia tetap terpaku di kosen jendela, badannya yang diisi tebalnya sweater menghadapku.

"Ngomong apa? Buruan!" bentakku kesal. Alisku kini membentuk huruf V.

"Gini-gini, bentar lagi elu kan gak bisa melihat, ya. Buta lah sebutannya. Jadi mending lo-" Belum kelar bicara, aku menyela Agra yang kembali mengingatkanku perihal penyakitku. "Ih ... lo kok jahat banget, sih, Gra?" Suaraku gemetar mendengar omongan lancang dari mulut Agra. Dia jenius, tapi tidak bisa memahami perasaan orang.

"Chk ... bukan gitu maksud gue. Makanya denger dulu gue ngomong, Sa. Mending di sisa penglihatan lo ini, lo pergunakan buat hal yang bermanfaat. Gue kasih saran lo buat ngejar mimpi, terutama yang bersangkutan sama penglihatan. Puas-puasin gitu," tegas Agra dengan ekspresi serius. Kakinya yang bening karena jarang keluar rumah tampak menggantung dari kerangka jendela.

Aku lagi-lagi terdiam, tidak tahu lagi mau ngomong apa. Tidak punya semangat untuk melakukn apa yang disarankan Agra. Kemudian Agra melanjutkan pembicaraan, ia kembali bertanya, "Gini, deh. Lo punya cita-cita?"

"Gak punya, kalau harapan banyak," jawabku singkat sambil berdiri berhadapan dengan Agra yang masih santai di atas sana. Wajahku tidak sudi melihat muka anak itu.

"Aduh ... Sa. Malang banget hidup lo. Kayak olm."

"Apaan lagi sih itu? Jangan berbelit-belit dong, Gra. Aku mau mandi nih."

"Gue gak bisa diburu-burui. Gue harus jelasin semuanya ke elo. Karena gue peduli sama lo. Sekarang, ikut gue ke pohon beringin belakang rumah lo." Perkataan yang buat aku terkejut adalah ketika untuk pertama kalinya dia bilang kalau dia peduli sama aku. Tapi tetap saja, aku bingung maksudnya apa.

Hari semakin gelap, azan baru saja berkumandang. Matahari tertelan bumi. Apa tujuannya buat mengajakku ke pohon beringin? Entahlah, aku ikut saja. Tanganku siap nampol kalau dia macam-macam.

Aku pun ikut dengannya menuju pohon beringin belakang rumah. Aku tahu, penglihatanku di malam hari hanya 20 persen, makanya jalanku agak sempoyongan. Tanganku meraba tiang-tiang lampu taman yang terpancang di sekitar pekarangan halaman belakang rumahku. Arahku berjalan hanya dituntun oleh tiang-tiang itu. Namun tanpa diduga, Agra menggenggam tanganku dan menuntunku ke arah pohon beringin. Lagi dan lagi, aku tidak bicara sepatah kata pun, tidak mungkin nolak, ditambah aku mulai panik dihantui malam gelap.

"Udah nyampe. Lo duduk di sini, gue nyalakan lampu." Agra melepas genggaman tanganku. Aku duduk di bawah rindangnya pohon beringin itu bersamanya. Kemudian Tik! Suara tombol lampu tidurku yang dipegang Agra menyala.

"Loh? Kok ada sama lo lampu tidur gue?" tanyaku kepadanya yang sedang memegang lampu tidurku yang berwarna merah dan berbentuk bunga mawar.

"Aku pinjam."

"Iishh ... serah lu, deh. Nanti pulangin, ya. Lo mau ngomong apa rupanya? Buruan!"

Agra mengubah posisi duduknya dari bersandar pada batang pohon kini ia duduk tegak menyila menghadapku sambil terus memegang lampu tidur.

"Ini olm ," kata Agra sambil menunjuk batang pohon beringin di samping kami yang terukir dan membentuk gambar binatang menyerupai belut. Dia sepertinya yang mengukir gambar itu. "Jadi olm itu amfibi yang seperti salamander. Olm itu gak punya penglihatan yang baik, tapi dia sangat peka terhadap suasana sekitarnya. Gue berharap, lo bisa mengambil pelajaran dari olm." 

"Lah, gini doang lo sampai ngajak gue ke pohon beringin malam-malam?" Yang benar saja, dia sampai mengajakku ke pohon beringin itu hanya untuk memperlihatkan wujud olm yang dimaksud padaku. Ukiran yang dibuatnya pun tanpa seizinku atau Papa selaku tuan rumah. Tiba-tiba sudah tergambar saja di batang pohon itu.

"Gue cuma menguji kepekaan lo aja sama cahaya. Lumayan bagus, sih. Gue salut sama cewek pekaan kayak elu."

"Udah? Gue mau mandi, nih."

"Yap! Itu aja," tandas Agra menyudahi pembicaraan. Matanya dipejamkan, senyumnya melebar. "Sebenarnya masih ada yang mau gue tanya, tapi gue gak mau buru-buru. Lain waktu gue tanyain lagi. Nih, gue pulangin lampu lo. Masuk rumah dan mandi. Gue yakin umur lo panjang, soalnya olm bisa hidup satu abad." Pembicaraan selesai. Agra pergi. Aku pulang dengan bingung atas tingkah lakunya yang random.

~~~~~

Related chapters

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 3] Pilihan Hidup

    Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu udara sejuk dan mencekam mengisi ragam dunia. Gorden jendela tersibak-sibak lasak seperti hatiku yang gelisah untuk mengutarakan sesuatu pada Papa.Seusai berpakaian dan termenung sembari menyiapkan mental, aku putuskan untuk berbaur pada Papa menyiapkan hidangan malam. Terlihatlah pria yang menjadi Papa sekaligus Mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami tidak menggunakan penyedap atau MSG, hampir semuanya serba organik.Papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jusbloody mary.Tampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.

    Last Updated : 2021-09-01
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 4] Merealisasikan Harapan

    Seminggu berlalu. Waktu yang lama kutunggu untuk segera berangkattravelingakhirnya pun tiba. Pagi itu sangat bercahaya, pepohonan dan berbagai macam tumbuhan hijau bersinar layaknya batu zamrud yang menawan. Cahaya yang menyehatkan hinggap di permukaan tubuh para pejuang pagi yang sedang sibuk berolahraga untuk meningkatkan kesehatan. Ada juga para pekerja yang sudah mulai beraktivitas demi seberkah rezeki yang tak mau disia-siakan. Untuk para kaum rebahan, mereka sedang mengeram telur di sarangnya.Sedangkan aku yang semalaman tidak bisa tidur, sedang sibuk membenahi barang bawaan untuktraveling. Koper hijau besar kuisi dengan berbagai macam kebutuhan hidup. Mulai pakaian, peralatan kebersihan, hingga obat-obatan kutata rapi di dalamnya.Untuk tas hitam besar khusustraveling, aku isi dengan peralatan elektronik seperti laptop,charger,danheadshet.Hari itu aku menggunakan setela

    Last Updated : 2021-09-02
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 5] Perasaan Melebihi Teman

    Mentari pagi masih bertengger di indahnya negeri Timur. Untaiannya menyinari segala macam objek yang ada di bumi, menghangatkannya, kemudian memberi manfaat darinya. Sinar ultraviolet yang hinggap di permukaan kulit kuning langsatku membuat gerah tubuh-mengubah panasnya menjadi vitamin D yang akan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.Dulu sewaktu aku masih kelas 2-3 SD, ketika hari libur Papa selalu ingatkan aku untuk selalu keluar rumah ketika pagi hari tiba. Papa juga selalu mengajakku menjelajah perkebunannya ketika pagi tiba. Mungkin dari situlah awal mula aku menyukai alam-walau terkadang alam sedikit menyebalkan.Di pagi yang cerah ini, aku sudah bersiap-siap dengan setelan baju kaos putih dengan hiasan teks sablon berwarna hijau bertuliskan"Me and My Nature". Gak lupa celana jins biru bercampur abu-abu nge-pressdari pinggang hingga pergelangan kaki. Sepatu kets hijau muda dengan li

    Last Updated : 2021-09-03
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 6] Perasaan Melebihi Teman 2

    Mobil menempuh jalanan Pulau Misool yang dipenuhi pasir-pasir putih yang tak terhingga jumlahnya. Aku sibuk menikmati pemandangan sekitar dari kaca jendela mobil. Hamparan padang laut yang biru bercampur dengan hijauemeraldbuatku tak beralih pandang. Di sebelah kanan tampak jajaran hutan mangrove yang hijau nan mempesona. Tebing-tebing menjulang tinggi tampak seolah mengapung ke udara. Gradasi berbagai macam warna menjadikan suasana pulau itu bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi."Numpang duduk." Penghayatanku terpecah oleh kedatangan Agra yang duduk di sebelahku."Eh, Agra-" Dengan sigap Agra langsung memotong pembicaraanku yang niatnya akan berlangsung panjang lebar. "Apa? Ngajakdiving, snorkeling?Ogah!""Idih, kenapa?" Sejenak aku bingung. Alis kukerutkan dan bertanya pada diri sendiri: Kenapa bisa orang nolep gini sombong? "Ooo ... lo gak bisa berenang ya?" Tanda tanya di atas kepalaku akhirnya pergi. Seperti bias

    Last Updated : 2021-09-04
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 7] Hipotesa Agra

    “OSAA!!!”Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.

    Last Updated : 2021-09-15
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 8] Tragedi Tiga Tebing

    Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya.Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan P

    Last Updated : 2021-09-15
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 9] Perasaan atau Hanya Pertolongan?

    "Gimana kalau kita nyebur aja di pantai ini?" seru Alma dari bawah tebing menawarkan kami."Setuju!" Mendengar tawaran Alma, sejenak aku melupakan koreng di kaki dan langsung menuruni tebing dengan sembrono. Aisyah yang mendongak menatapku turun tampak berkspresi seolah merasa ngilu dengan gerakkan gesitku menuruni tebing. Takut terbesot lagi."Ya Allah, Sa. Kan udah janji tadi buat gak nyebur ke pantai, nanti luka lo gak sembuh-sembuh," keluh Aisya kepadaku yang mengingkari janji buat gak berenang.Dengan beradu argumen sebentar denganku, akhirnya Aisyah menyerah dan mengalah untuk membiarkanku berenang bersama Alma di pantai di hadapan. Bagaimana bisa aku menolak untuk tidak menyentuh air pada liburan yang didominasi oleh lautan jernih ini?"Hufftt ... yaudah deh, terserah. Tapi kalian kan gak bawa baju ganti?""Tenang aja, kita pulang basah-basahan.""Kalian aja, gue gak ikut." Aisyah memilih untuk tidak ikut berenang. Ia meng

    Last Updated : 2021-09-16
  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 10] Ego

    "Ah ...." Lega rasanya sehabis berenang di pantai pagi tadi, kemudian malamnya berendam dalambathtubberisi air hangat dengan wewangian yang menenangkan. Lilin-lilin aromaterapi menemani kesenyapan meditasiku. Taburan kelopak bunga mawar mengambang di permukaan air hangat yang kurendami. Aku tenggelam dalam keheningan. Pikiranku kembali cemerlang.Dor-dor-dor. Daun pintu berwarna putih bersih di hadapan terketok. Sepertinya ada seseorang di sisi lain pintu itu. "Sa, buruan mandinya, udah waktunya makan malam. Jangan lama-lama, ntar badan lo keriput." Aisyah sepertinya bukan hanya manajer pribadiku saja, tapi dia juga sudah menjadi orang tuaku.Aku bersahut panjang kepadanya, berkata bahwa sebentar lagi aku selesai mandi.Tubuh mungilku yang bermandikan busa dan bunga kubangkitkan, melangkah keluar daribathtub,kemudian membasuh diri dengan air mengalir. Tidak terasa, ternyata sudah lebi

    Last Updated : 2021-09-17

Latest chapter

  • Olm, Osa Si Salamander   [Epilog]

    Sebuah lembaran-lembaran kelam tentang The Clausa Baroon kembali terkembang. Kenangan-kenangan usang yang sudah lama terkunci kini kembali tersingkap. Alam yang terus tumbuh dari masa ke masa, kini terbang bersama angin menuju masa lalu. Masa itu ....Kisah Olm, Osa si Slamander sudah tertutup. Konflik batin dan konflik sosial menjadi tantangan Osa untuk menemukan takdir dirinya sebenarnya. Dan sekarang, dia sudah mendapatkan semuanya: kemelaratan dan kepuasan.Osa telah kehilangan semua teman-teman dekatnya: Raka yang merantau ke Australia, Aisyah yang telah meninggal dunia di masa pendakian, Alma menuntut pendidikan lebih di Paris, dan Agra hilang secara misterius. Semua itu tidak lepas dari pengaruh Osa.Namun seorang yang sama sepertinya muncul di tengah-tengah kesedihan, membuat kesedihan akan penglihatan Osa yang telah hilang, kembali menyiratkan kebahagiaan walau secuil.Banyak pertanyaan-pertanyaan dan kegantungan yang ditinggalkan Agra dan papa d

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 21] Limit Akhir

    Waktu terus bergulir menuju akhir perjalanan. Sebuah lorong hampa diisi dengan limit-limit batas dari usaha untuk menjadi insan terbaik semesta. Pohon beringin yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang, kini semakin menua—menggugurkan daun-daun kering yang penuh dengan memori masa lampau.Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian. Masa sudah berubah, kenangan setahun yang lalu sudah mulai terkubur bersama sisa memori lainnya. Aisyah sudah tenang di sisi-Nya. Raka sedang berjuang di negeri asing tempatnya bermuara. Alma melanjutkan pendidikannya di kota di mana Menara Eifel berada. Hanya satu orang yang masih berada di sisiku: Agra."Coba kamu mutar, jalan ke sini sedikit ... ke situ ... sekarang, berhenti!" Tidak! Ini bukanlah kisah romantis dengan adegan memberi kejutan. Melainkan aku sedang berada di Puncak Carstensz Pyramid. Iya! Aku melihat salju abadi itu di sekeliling, dan kak Yewen yang menuntunku sampai ke sini.Aku melihat Kak Yewen dan para penda

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 20] Pulang dan Mulai Kehidupan baru

    Pagi ini, rintik-rintik sendu tercurah dari gerimis di langit Papua. Aku dan Agra sedang menatap kosong ke arah makan Aisyah. Aisyah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Papua, karena dia adalah gadis sebatang kara tanpa keluarga.Rerumputan hijau di tengah pemakaman membuat semerbak aroma hujan yang jatuh ke atasnya terasa sedap dihirup. Aku terduduk lemas di tanah sambil terus menangisi Aisyah yang sudah tidak di bumi. Agra berdiri mematung sambil memegangi payung agar aku tidak kehujanan."Se-seandainya aja gu-gue gak seegois ini," isak tangis membuat suaraku meringis tidak jelas. "Kalau saja pendakian itu gue batalin, pasti Aisyah enggak kayak gini."Agra mulai berjongkok di samping sambil mengelus-elus pundakku. "Jangan pernah menyesal untuk hal yang udah berlalu. Sebab, lo gak akan bisa membatalkan kejadian itu dengan menyesal." Dia mendeham suaranya yang sedikit serak, lalu melanjutkan, "Sa, gue tahu keinginan lo buat trip ini sama muli

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 19] Terima Kasih, Icha!

    Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2. Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton. "Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih. "Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirah

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 18] Konflik Cemburu dan Kesetiakawanan

    "Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lenjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah—si Bongsor—nyelonongmasuk ke tenda kami. AIsyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian—tidak mandi—kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuk wajah.Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan."Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing—termasuk Kak Yewen.Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju me

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 17] Teman Cahaya

    "Ayo Sa, buruan. Kita udah ketinggalan mereka." Tiba-tiba saja seseorang mengacaukan pikiranku yang sedang membayang. "Eh, i-iya...." Aisyah menarik tanganku agar segera bergegas. Langkah kaki kami percepat, menyusul para pendaki lain yang sudah lumayan jauh di depan sana. Semak-semak rimbun berkeresak ketika kami melewatinya. Napasku semakin berembun. Dan sekarang rambutku kini mulai mengering dan dingin—kaku. Semakin jalan menanjak, semakin berkabut pula udara. Untungnya kami sudah kembali ke barisan. Bulu kudukku semakin merinding kala kami tiba di Sungai Ugimba. Kali ini sebagian besar permukaan sungai sudah membeku. Bantaran sungainya san

  • Olm, Osa Si Salamander   Mendidih dalam Beku

    Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal. Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katanya percaya diri. Aisyah memakai jaketgorte texhijau tua, dengan bulu-bulu lembut berwarna krim di lehernya. Jilbabnya yang

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 16] Mendidih dalam Beku

    Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal.Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katan

  • Olm, Osa Si Salamander   [Bab 15] Menantang Langit

    "Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala.""Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu ke mana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jayawijaya itu sangat tinggi.""Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin.Bye!"Tut ....Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu bukanlah hanya sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau ke

DMCA.com Protection Status