Aku menelan ludah gugup. Baru juga senang-senang sama si doi, tapi setengah jam kemudian aku justru mendapatkan panggilan dari emaknya si doi buat datang ke sebuah cafe. Datang, dong, aku sebagai calon menantu yang baik dan tidak sombong. Tapi, eh, tapi, aku justru harus kecewa. “Duduklah!” ujar Tante Anggun, mempersilakan.Aku tersenyum meringis ketika tanganku diabaikan oleh Tante Anggun. Sabar-sabar, anggap aja mungkin tanganku ini sedang tak beruntung bisa bersalaman dengan camer.“Cih! Sok cantik!”Keningku mengernyit dalam. “Apaan, sih, ini orang? Lagian, kenapa harus ada wanita itu, aih? Kan, aku jadi makin kesal. Tapi, ah, sudahlah.”Kini, aku hanya bisa diam dan mendengarkan setiap ucapan Tante Anggun. “Langsung aja ya, Na. Jujur, Tante itu gak ada masalah sama kamu,” ujarnya mengawali.“Tapi, kamu tahu sendiri, kalau keadaan kami itu lagi gak baik-baik saja. Kami sudah kehilangan semuanya, bahkan, kami harus tinggal di tempat yang jelas sangat jauh dari kata mewah,” urai
“Nona … Tuan?” Suara terkejut si Nenek Lampir dan juga wajah shock Tante Anggun sama sekali tidak digubris olehku. Sosok Adrianlah yang membuatku mengernyit. “Maksudnya apa?” Adrian tidak membalas, tangannya justru mempersilakan diriku untuk segera bangun dan mengikutinya yang kini sudah berjalan lebih dahulu. Namun, aku masih merasa jika ada seseorang yang terus mengikuti ke mana pun aku pergi, tetapi aku abaikan.“Apa kamu tidak berniat untuk mengatakan apa pun padaku?” tanyaku. Sialnya, makhluk si pemilik burung di depanku sama sekali tidak berniat untuk menjawab, ataupun menanggapi pertanyaanku. Njir, kenapa ,sih, kalau laki ganteng selalu saja pendiam dan nyebelin? Apa ketika Tuhan menciptakan mereka, stock kata-kata untuk mereka kehabisan? Atau memang akunya saja yang tidak berarti untuk mereka?Ngenes abis, sih, nasibku.“Silakan, Non!” Adrian membuka pintu mobilnya untukku.Aku mendengkus, masuk ke mobil tanpa suara. Keadaan langit sudah berubah gelap, dan aku belum sempat
Aku segera menelpon Tama, diangkat, tapi pria itu mengatakan jika sedang rapat di kantor. Alhasil, aku langsung memesan ojol untuk mengantarku bertemu dengan sang kekasih.Perasaanku masih kesal, apalagi mengingat kejadian di depan restoran tadi, sungguh aku benar-benar muak dan juga ingin kembali mendatanginya untuk mencakar, menjambak, dan menendang miliknya yang tidak berguna itu.Apa dia pikir dengan keadaan keluarganya yang kaya itu bisa membuatku takut? Big no! Dia salah pilih lawan. Mungkin jika wanita lain masih mau nerima duit dia, padahal hanya akan dijadikan pemuas nafsunya doang.“Sudah sampai, Mbak,” ucap si ojol kepadaku.“Eh, udah nyampe, Bang?” tanyaku linglung.Ojol itu terkikik. “Ngelamun Mulu sih, mbaknya. Makanya gak sadar, kalau udah sampai.”Aku tertawa canggung. Untung juga ini ojol jujur, baik, dan tidak sombong nggak nyulik ane.Ok, karena si ojol ini orang baik maka aku akan memberikan dia tip. “Ini Bang uangnya. Makasih, yah!”“Loh, ini kebanyakan, Mbak? Ora
“Tunggu dulu dong, Sayang! Maaf, maaf kalau aku udah bikin kamu bete. Aku hanya shock tadi. Please, jangan marah, yah!” Kurasakan tangannya menarik lenganku, memintaku untuk menatapnya, tetapi aku lebih memilih untuk melihat ke arah lain“Na, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kamu mencintaiku dan aku pun sama, juga mencintaimu. Sayang, maaf,” katanya lembut.Aku masih menolak untuk melihatnya. Jujur, bete banget aku sama si makhluk ganteng di depanku. Emang dia doang yang bisa ngomel-ngomel, aku juga bisa, tapi aku malas.“Na, please!” Kurasakan embusan napas panjang mengenai rambutku, tetapi aku tidak peduli. Sekali lagi bahuku dipegang olehnya. “Apa, sih, Mas?” tanyaku, kesal.Untung keadaan masih sepi di lantai bawah, paling hanya ada satpam doang. Sepertinya yang lain masih pada sibuk di depan komputer, tapi bagus, deh. Tidak ada yang lihat drama picisan ini.Beda hal, kalau kami masih di sini setengah jam lagi, pasti karyawan lain akan melihat kami berdua yang sedang tengkar
Aku pun menjelaskan kejadiannya. Di mana si pria itu–aku malas menyebutkan namanya– mencoba merayuku, lalu memintaku untuk menerimanya menjadi kekasih.Yang membuatku semakin gondok dengannya adalah, di saat mulut pria itu mengatakan jika umur Kakek Darman udah gak bakalan lama lagi.Bangke gak, tuh! Njir! Kalau inget soal tadi pagi, bawaannya pengen nyunatin itu orang punya burung. Kesel banget.“Kurang ajar!” teriak Tama.“Astaga, kaget aku, Mas!” Aku langsung memegang bagian dada ketika dengan tiba-tiba Tama menggebrak meja. “Mas, ih!” Aku menepuk bahunya, protes.Tama hanya melihatku sekilas, lalu pria itu justru berdiri dan kembali memakai jas miliknya. Aku segera menahan lengannya. “Loh, kamu mau ke mana, Mas?” “Aku harus samperin itu orang. Berani sekali menggoda calon istriku dan juga menyumpahi Tuan Darman. Aku gak terima!” Tatapan matanya terlihat begitu dingin dan siap membumi hanguskan siapa pun yang sudah mengusik dirinya.“Ih, Mas ngapain, sih!” Aku segera memeluknya,
Aku menggigit bibir bawahku, sudah lama ingin sekali ku utarakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, selalu saja ada salah satu hal yang membuatku kembali urung mengungkapkannya.Apakah sekarang waktunya?“Naina!” panggil Tama, meraup tanganku untuk digenggamnya. Dia lalu memintaku untuk menatapnya karena aku sempat melihat ke arah lain. “Harus dengan cara apa agar kamu mau membuka mulutmu?”Hela napas panjang aku embuskan dari mulut. Sepertinya Tama memang harus tahu. “Jika kamu tak mau–” Aku segera meletakkan jari telunjuk tepat di depan bibir Tama. Menatapnya dengan ekspresi tak enak hati.“Biarkan aku berbicara.” Tama mengangguk dan aku mulai berkata, “Beberapa waktu lalu, aku sempat datang ke rumah kalian. Niat hati ingin bicara baik-baik. Tapi–”“Apa mama mengusirmu? Atau, jangan-jangan mama melukaimu? Mana … sebelah mana?” Tama justru dengan heboh memeriksa seluruh tubuhku. “Mas!” Aku meniup poniku kesal. “Dengerin dulu, dong!”Sepertinya lelaki satu ini sama sekali tak mau m
Ada yang tahu kenapa aku bisa ada di sini? Gak ada? Sama. Aku pun juga tidak mengerti kenapa aku bisa terdampar kembali di rumah sederhana ini. Rumah dari kekasih hatiku, Tama.Aku menelan ludah gugup saat merasakan tatapan menusuk dari arah depanku. Aku berusaha terlihat biasa saja, walau dalam hati kini tengah ketar-ketir sendiri.Sesekali, aku meremas, mengusap tanganku yang terasa basah oleh keringat. “Ini Tama sengaja banget apa gimana, sih? Kok, aku malah ditinggalin berdua doang sama mamanya!” batinku, gelisah.“Ngapain kamu ke sini?” Nah, lho!Suara Tante Anggun terdengar begitu sarkas hingga membuatku tak berkutik. Namun, jika aku terus diam seperti ini, masalah kami tak akan pernah usai. Restu dari beliau pun tak akan pernah turun.Aku harus maju!Ya, aku harus maju!Kuangkat kepalaku, menatap sosok ibu dari pria yang aku cintai, Anggun lie. Wajahnya yang masih begitu cantik di usia senja, membuatku salut padanya. “Eh, kok, malah sibuk ngurusin wajah orang lain. Come on, N
Sudah lebih dari 10 menit tak ada yang membuka suara. Tanganku sudah berkeringat, bahkan aku merasakan keringat sudah membasahi bagian punggungku. Aku melirik ke arah Tama dan pria itu juga sedari tadi hanya duduk diam. Aku mendengkus. Katanya dia mau bicara pada Kakek, tapi dia malah hanya diam saja. Aku jadi ragu.“Jadi, apa saya boleh tahu kenapa cucu saya ada di rumahmu, Tama?” Suara Kakek memecah keheningan dengan sebuah pengakuan yang ternyata mampu membuat seorang Tante Anggun memekik kaget. “C-cucu? D-dia cucu Anda?” Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Tante Anggun sekarang. Karena aku memilih untuk melihat ke arah Kakek. Aku meremas tanganku sendiri. Ada perasaan takut yang membuatku tak bisa berpikiran.Aku bisa mendengar Kakek berdecih. “Kenapa Anda menatap cucu saya dengan tatapan seperti itu? Atau, air mata cucuku tadi karena ulah Anda?” Skakmat!“Kakek.” Aku langsung duduk bersimpuh di kaki Kakek. Kepalaku menggeleng sambil menatapnya memelas. “Tolong jangan katakan