Setelah hari itu, kebebasanku semakin terenggut oleh Pak Tama. Ceileh bahasanya, tetapi ini aku tak lagi bercanda. Kalian tahu bukan bagaimana random dan nekadnya seorang Gartama Wirasesa. Iya, apa pun yang dia mau maka akan selalu dikejarnya sampai tetes darah penghabisan. Terdengar begitu cringe, tetapi memang seperti itulah Tama yang aku kenal. Selama ini orang hanya tahunya jika si bos kampret itu adalah orang yang sempurna. Big no.Agak lain memang Gartama Wirasesa.Seperti hal yang dia lakukan sekarang. Pria tua itu kini tengah sibuk menyuruh bawahannya untuk memindahkan semua baju dan barang-barang milikku yang ada di lemari ke dalam sebuah koper. Pindahkah? Tepatnya, aku dipaksa tinggal di penthouse milik pak tua itu. Alasannya klise. Dia takut jika suatu saat Nyonya Anggun akan melakukan sidak dadakan ke apartemen anaknya, sementara mereka tinggal terpisah. Jadi, demi memperlancar sandiwara mereka maka aku harus tinggal di sana. Itu kata Pak Tama. "Apa ada barang lain yan
Uang 200 juta itu tidak banyak. Heh, kata siapa? Mungkin bagi mereka yang uangnya tak berseri, mengeluarkan segitu tidak ada artinya. Akan tetapi, bagi diriku yang hanya seorang bawahan dan punya cicilan apartemen yang harganya lumayan mencekik membuatku sulit untuk bisa mengumpulkannya.Ditambah rekeningku sekarang memang hanya tersisa saldo sedikit saja dan ini pun akan kugunakan untuk bertahan hidup selama 2 minggu ini. Gajian masih pertengahan bulan lagi sehingga membuat aku harus hemat jika tak ingin mati kelaparan. "Maaf, Ma. Aku gak ada uang segitu," ujarku terdengar memelas. Siapa tahu si ibu Astuti ini mau sekali saja berbaik hati kepada anaknya. "Kamu gak usah bohongin mama, Na! Kamu ini kan simpenan bosmu, jadi mana mungkin duit segitu tidak ada!" ujarnya begitu lancar."Apa?" Sontak aku berdiri dari posisi dudukku. Aku langsung menyugar rambutku frustasi atas tuduhan dari ibu.Belum sempat aku kembali aku bicara, ibu sudah kembali berseloroh, "Apa kamu baru saja berteria
"Yakh, kenapa Bapak memukul keningku?" Aku protes saat sentilan yang kudapatkan, bukan jawaban manis ala-ala drakor atau novel romance lain yang biasa kubaca.Pria itu mendengkus, lalu mencubit hidungku. Aku yang melihat itu semakin dibuat cemberut. "Tadi kening, sekarang hidung. Lama-kelamaan wajahku habis ditempelin tangan Bapak," ujarku ketus.Pak Tama di depanku justru malah tertawa. Mana renyah banget lagi ketawanya. Apa selucu itu setelah berhasil mengerjaiku. "Pak!" Tanpa sadar aku merengek.Setelah puas menertawakanku, tangannya kini kembali menarik pinggangku hingga kini aku merasa sudah menempel pada tubuhnya. Duh, bahasanya. Pokoknya, jarak kami sudah begitu dekat hingga aku bisa merasakan terpaan napasnya yang menderu di leherku."Naina, mana mungkin aku mengambil kesucian seorang perempuan, apalagi itu kamu. Kamu terlalu berharga untuk kunodai," tuturnya lembut, bahkan tangan pria tua itu kini tengah mengusap rambutku.Duh, ini Pak Tama sebenarnya makan apa, sih? Kok, mul
Haduh mana mungkin aku memanggil nama kecilnya, bisa ambyar hatiku. "Ok, karena kamu diam. Berarti, aku anggap jika kamu setuju dengan apa yang sudah kita bicarakan. Jadi, karena hari ini kita sudah sah menjadi sepasang kekasih maka kita harus merayakannya. Menurut kamu gimana?""Eh, tunggu dulu, Pak! Enak aja main setuju saja." "Apa lagi, Naina? Bukankah semua sudah selesai?" Aku langsung melipat kedua tangan di depan dada. Kupandang wajah Pak Tama dengan tatapan serius. "Itu maksudnya apa ngasih bonus 20 juta? Bapak jangan buat nama saya diselidiki oleh pihak KPK karena ada transferan masuk yang cukup besar?"Kali ini aku sudah berdiri, berkacak pinggang di depan Pak Tama yang justru melihatku dengan gaya cool dan sialnya selalu tampan. "Kapan sih itu orang kagak tampan? Sumpah, aku tuh bosen banget lihat dia yang selalu, always ganteng paripurna itu," batinku."Naina, kenapa kamu harus bawa KPK di sini? Yang itu tak ada hubungannya dengan mereka. Lagian, aku membantumu ikhlas da
Kencan adalah hal yang paling sangat ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan, apalagi bagi mereka yang baru saja meresmikan hubungan. Pasti so sweet banget, dong.Diberikan bunga saat ngapel, atau juga bisa coklat. Lalu, dijemput menggunakan motor agar bisa duduk berbocenggan dengan tangan si cewek memeluk sang cowok di depannya. Dih, bayangin aja udah senyum-senyum gaje, apalagi kalau itu nyata. Makin tantrumlah itu jantung.Akan tetapi, berbeda dengan pasangan lain yang memulai hubungan mereka menggunakan kata-kata manis nan puitis, sementara aku dan Tama justru mengawalinya dengan sebuah sandiwara, kemudian hutang, dan berujung menjadi sepasang kekasih.Gila bukan? Ya, itulah kami.Cinta? Apa itu? Bentuknya seperti apa?Tolong, jangan tanyakan hal seperti itu kepadaku! Aku saja tidak tahu menahu akan itu. Diriku terlalu sibuk mencari nafkah untuk diri sendiri. Ditambah hutangku yang ratusan juta itu. Sungguh membuatku terlalu malas memikirkannya. Malang nian nasibku selama ini. An
"Kamu mau 'kan, kencan sama aku?" tanya Tama lqgi. "Ok, aku mau. Tapi, ada syaratnya.""Apa itu?""Aku mau di kencan pertama kita, kamu ajak aku keliling naik motor. Bagaimana?" Peduli setan dengan apa yang akan Tama pikirkan tentang pengajuan syaratku. Lagian, suruh siapa ngajakin kencan anak gadis yang belum pernah deket sama cowok, yaitu resikonya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupku, di usia kepala 3 aku baru mengalami yang namanya kencan. Jika dingat-ingat, semasa aku hidup, tidak ada satu pun lelaki yang mendekati, ataupun berusaha mengajakku kencan. Apa aku sejelek itu hingga tak ada satu pun lelaki yang mau mengajakku kencan?Setelah kejadian siang tadi di ruangan Tama, aku memilih kembali ke meja kerja. Pria itu sebenarnya belum menyanggupi persyaratan yang aku buat, tetapi karena suatu alasan membuatku tak bisa berlama-lama di sana.Kini, jam pulang kerja sudah selesai beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, pria tua di dalam sana belum juga keluar ruangan. Aku menghela
"Cie, yang kemarin habis kencan!"Aku langsung menarik tangan Nadia untuk masuk ke dalam lift. Kami baru saja menikmati makan siang bersama, sednagkan Tama sedang rapat dengan klien didampingi oleh Gilang. Entah alasannya apa, tetapi pria itu terlihat masam saat akan berangkat tadi.Aku juga sudah menanyakan, tetapi dia bilang baik-baik saja. Jadi, di sinilah aku sekarang, kantin. Namun, Nadia justru membuatku hampir kena serangan jantung karena berkata dengan begitu polosnya di depan banyak orang. "Gak usah berisik, deh! Lagian, kamu itu sengaja yah, bikin aku makin dibenci sama karyawan sini, yah?" Aku mendengkus. Nadia lalu memeluk lenganku dan membiarkan kami berdiri layaknya sepasang kekasih yang sedang tengkar. "Maaf, Bestie. Soalnya, sedari tadi pagi udah kutahan di tenggorokan. Jadi, waktu udah kelar ngisi bensin auto tancap gas, sampai lupa nginjek rem.""Alasan!"Kurasakan tanganku terus digelendoti oleh Nadia dan sebenarnya aku sedikit kesulitan. Tubuh Nadia sedikit beris
Menurut kalian, apa hal yang paling menakutkan di dunia ini?Punya pacar kaya, baik, royal, tapi punya calon mertua yang super duper bawel?Atau,Punya calon suami dingin, nyebelin, suka ninggalin pas lagi sayang-sayangnya, tapi calon mertua super duper baik pakai telor?Duh, kayaknya kok hidupku ribet banget, yah. Mau dapat cowok saja rasanya susah seperti mau kencan sama bias. Oh, mending berhalu yang pastinya gak bikin sakit hati. Jika dalam dunia nyata, justru ternyata lebih perih dan pahit.Taehyung~ah, tarik aku ke duniamu!Jiah, mulai lagi kan kegilaanku. Semua bermula dari kejadian tadi siang di kantor. Saat itu nyonya Anggun yang main nyelonong masuk ruangan Tama memergoki aku dan Tama sedang dalam posisi yang pasti akan membuat orang tua salah paham. Tapi, please! Kami tidak melakukan hal lain, selain main pangku-pangkuan saja. Jika pun hendak bertindak lebih, salahkan saja Tama Kacrut itu. Dia yang mesum. Dia juga yang selalu membuatku terbang, tetapi juga sering dihempas
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu