"Hei, ada apa dengan teriakanmu itu?" tanyanya dengan wajah tak bersalah."Bapak yang bikin aku berteriak," balasku ketus. Tiba-tiba, dia menyentil lagi keningku. "Apa di dalam otakmu yang kecil itu selalu berpikiran mesum terus, eoh?"Sambil mengusap kening, aku mendengkus. Sialan banget ini orang. "Sakit, Pak!" Hanya keluhan saja yang berani kuungkap, untuk segala umpatan dan pengelakanku hanya kusimpan dalam hati."Dasar manja!" sarkasnya."Dih! Siapa juga yang manja sama situ. Orang sakit beneran juga." Aku menggerutu sambil melihat ke arah luar jendela. Kelakuan Pak Tama memang serandom itu. Setelah membuat anak gadis orang baper, maka mulutnya bisa dalam sekejap akan membuatku ilfill. Belum lagi tangannya yang selalu hobi main sentil kening, itukan sakit. Dasar Pak Tua kuampret.Ketika pangkuanku terasa ringan dan si pelaku ternyata sudah kembali duduk sendiri. Aku pun langsung menggeser dudukku. Kakiku dibiarkan bertumpu pada satu kaki lainnya seolah mencegah ada kepala yang
Setelah hari itu, kebebasanku semakin terenggut oleh Pak Tama. Ceileh bahasanya, tetapi ini aku tak lagi bercanda. Kalian tahu bukan bagaimana random dan nekadnya seorang Gartama Wirasesa. Iya, apa pun yang dia mau maka akan selalu dikejarnya sampai tetes darah penghabisan. Terdengar begitu cringe, tetapi memang seperti itulah Tama yang aku kenal. Selama ini orang hanya tahunya jika si bos kampret itu adalah orang yang sempurna. Big no.Agak lain memang Gartama Wirasesa.Seperti hal yang dia lakukan sekarang. Pria tua itu kini tengah sibuk menyuruh bawahannya untuk memindahkan semua baju dan barang-barang milikku yang ada di lemari ke dalam sebuah koper. Pindahkah? Tepatnya, aku dipaksa tinggal di penthouse milik pak tua itu. Alasannya klise. Dia takut jika suatu saat Nyonya Anggun akan melakukan sidak dadakan ke apartemen anaknya, sementara mereka tinggal terpisah. Jadi, demi memperlancar sandiwara mereka maka aku harus tinggal di sana. Itu kata Pak Tama. "Apa ada barang lain yan
Uang 200 juta itu tidak banyak. Heh, kata siapa? Mungkin bagi mereka yang uangnya tak berseri, mengeluarkan segitu tidak ada artinya. Akan tetapi, bagi diriku yang hanya seorang bawahan dan punya cicilan apartemen yang harganya lumayan mencekik membuatku sulit untuk bisa mengumpulkannya.Ditambah rekeningku sekarang memang hanya tersisa saldo sedikit saja dan ini pun akan kugunakan untuk bertahan hidup selama 2 minggu ini. Gajian masih pertengahan bulan lagi sehingga membuat aku harus hemat jika tak ingin mati kelaparan. "Maaf, Ma. Aku gak ada uang segitu," ujarku terdengar memelas. Siapa tahu si ibu Astuti ini mau sekali saja berbaik hati kepada anaknya. "Kamu gak usah bohongin mama, Na! Kamu ini kan simpenan bosmu, jadi mana mungkin duit segitu tidak ada!" ujarnya begitu lancar."Apa?" Sontak aku berdiri dari posisi dudukku. Aku langsung menyugar rambutku frustasi atas tuduhan dari ibu.Belum sempat aku kembali aku bicara, ibu sudah kembali berseloroh, "Apa kamu baru saja berteria
"Yakh, kenapa Bapak memukul keningku?" Aku protes saat sentilan yang kudapatkan, bukan jawaban manis ala-ala drakor atau novel romance lain yang biasa kubaca.Pria itu mendengkus, lalu mencubit hidungku. Aku yang melihat itu semakin dibuat cemberut. "Tadi kening, sekarang hidung. Lama-kelamaan wajahku habis ditempelin tangan Bapak," ujarku ketus.Pak Tama di depanku justru malah tertawa. Mana renyah banget lagi ketawanya. Apa selucu itu setelah berhasil mengerjaiku. "Pak!" Tanpa sadar aku merengek.Setelah puas menertawakanku, tangannya kini kembali menarik pinggangku hingga kini aku merasa sudah menempel pada tubuhnya. Duh, bahasanya. Pokoknya, jarak kami sudah begitu dekat hingga aku bisa merasakan terpaan napasnya yang menderu di leherku."Naina, mana mungkin aku mengambil kesucian seorang perempuan, apalagi itu kamu. Kamu terlalu berharga untuk kunodai," tuturnya lembut, bahkan tangan pria tua itu kini tengah mengusap rambutku.Duh, ini Pak Tama sebenarnya makan apa, sih? Kok, mul
Haduh mana mungkin aku memanggil nama kecilnya, bisa ambyar hatiku. "Ok, karena kamu diam. Berarti, aku anggap jika kamu setuju dengan apa yang sudah kita bicarakan. Jadi, karena hari ini kita sudah sah menjadi sepasang kekasih maka kita harus merayakannya. Menurut kamu gimana?""Eh, tunggu dulu, Pak! Enak aja main setuju saja." "Apa lagi, Naina? Bukankah semua sudah selesai?" Aku langsung melipat kedua tangan di depan dada. Kupandang wajah Pak Tama dengan tatapan serius. "Itu maksudnya apa ngasih bonus 20 juta? Bapak jangan buat nama saya diselidiki oleh pihak KPK karena ada transferan masuk yang cukup besar?"Kali ini aku sudah berdiri, berkacak pinggang di depan Pak Tama yang justru melihatku dengan gaya cool dan sialnya selalu tampan. "Kapan sih itu orang kagak tampan? Sumpah, aku tuh bosen banget lihat dia yang selalu, always ganteng paripurna itu," batinku."Naina, kenapa kamu harus bawa KPK di sini? Yang itu tak ada hubungannya dengan mereka. Lagian, aku membantumu ikhlas da
Kencan adalah hal yang paling sangat ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan, apalagi bagi mereka yang baru saja meresmikan hubungan. Pasti so sweet banget, dong.Diberikan bunga saat ngapel, atau juga bisa coklat. Lalu, dijemput menggunakan motor agar bisa duduk berbocenggan dengan tangan si cewek memeluk sang cowok di depannya. Dih, bayangin aja udah senyum-senyum gaje, apalagi kalau itu nyata. Makin tantrumlah itu jantung.Akan tetapi, berbeda dengan pasangan lain yang memulai hubungan mereka menggunakan kata-kata manis nan puitis, sementara aku dan Tama justru mengawalinya dengan sebuah sandiwara, kemudian hutang, dan berujung menjadi sepasang kekasih.Gila bukan? Ya, itulah kami.Cinta? Apa itu? Bentuknya seperti apa?Tolong, jangan tanyakan hal seperti itu kepadaku! Aku saja tidak tahu menahu akan itu. Diriku terlalu sibuk mencari nafkah untuk diri sendiri. Ditambah hutangku yang ratusan juta itu. Sungguh membuatku terlalu malas memikirkannya. Malang nian nasibku selama ini. An
"Kamu mau 'kan, kencan sama aku?" tanya Tama lqgi. "Ok, aku mau. Tapi, ada syaratnya.""Apa itu?""Aku mau di kencan pertama kita, kamu ajak aku keliling naik motor. Bagaimana?" Peduli setan dengan apa yang akan Tama pikirkan tentang pengajuan syaratku. Lagian, suruh siapa ngajakin kencan anak gadis yang belum pernah deket sama cowok, yaitu resikonya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupku, di usia kepala 3 aku baru mengalami yang namanya kencan. Jika dingat-ingat, semasa aku hidup, tidak ada satu pun lelaki yang mendekati, ataupun berusaha mengajakku kencan. Apa aku sejelek itu hingga tak ada satu pun lelaki yang mau mengajakku kencan?Setelah kejadian siang tadi di ruangan Tama, aku memilih kembali ke meja kerja. Pria itu sebenarnya belum menyanggupi persyaratan yang aku buat, tetapi karena suatu alasan membuatku tak bisa berlama-lama di sana.Kini, jam pulang kerja sudah selesai beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, pria tua di dalam sana belum juga keluar ruangan. Aku menghela
"Cie, yang kemarin habis kencan!"Aku langsung menarik tangan Nadia untuk masuk ke dalam lift. Kami baru saja menikmati makan siang bersama, sednagkan Tama sedang rapat dengan klien didampingi oleh Gilang. Entah alasannya apa, tetapi pria itu terlihat masam saat akan berangkat tadi.Aku juga sudah menanyakan, tetapi dia bilang baik-baik saja. Jadi, di sinilah aku sekarang, kantin. Namun, Nadia justru membuatku hampir kena serangan jantung karena berkata dengan begitu polosnya di depan banyak orang. "Gak usah berisik, deh! Lagian, kamu itu sengaja yah, bikin aku makin dibenci sama karyawan sini, yah?" Aku mendengkus. Nadia lalu memeluk lenganku dan membiarkan kami berdiri layaknya sepasang kekasih yang sedang tengkar. "Maaf, Bestie. Soalnya, sedari tadi pagi udah kutahan di tenggorokan. Jadi, waktu udah kelar ngisi bensin auto tancap gas, sampai lupa nginjek rem.""Alasan!"Kurasakan tanganku terus digelendoti oleh Nadia dan sebenarnya aku sedikit kesulitan. Tubuh Nadia sedikit beris