POV DEVAN
Aku tahu emosi Shasha sangat tidak menentu. Dia menggesek biolanya sangat keras sehingga dawainya sampai putus. Kalau gadis lain, mungkin akan menjerit karena jemarinya terluka. Tapi tidak dengan Shasha. Dia hanya meringis sedikit. Aku akan mendekatinya, tapi terlambat. Davin sudah mendekat terlebih dahulu. Sukurlah, lebih baik aku pergi saja.
“Hati-hati!” Davin memegang tangannya dan memasukkannya ke mulut. Dadaku semakin bergejolak. Apakah aku cemburu? Tapi Davin memang akrab dengan Shasha dari pertama kali dia datang. Selakanya, Davin belum pernah akrab dengan wanita mana pun. Apakah dia jatuh cinta dengan Shasha? Kalau iya, apakah aku dan dia memang memiliki selera yang sama? Sepertinya, perlu melakukan wawancara kecil.
Aku ke belakang sekolah saja. Sepertinya, aliran sungai yang airnya mulai keruh itu, cukup membuatku tenang sejenak. Bayangan Davin dan Shasha terus saja tidak mau lepas dari pik
“Ma, bagaimana papa?” tanyaku.“Sudah lebih baik. Papa mengalami serangan jantung mendadak.” Aku mengerutkan kening. Papa tidak pernah mengeluh apa pun, selain itu dia menerapkan gaya hidup sehat. Pasti ada yang tidak beres.***Meyyis***POV DavinAku mencari Shasha kemana-mana tapi tidak ketemu. Bahkan kata teman satu kelasnya, dia tidak masuk kelas seharian ini. Biasanya, Shasha lebih suka ngadem di perpus sambil baca buku. Ke perpus, tidak ada. Kemana sebenarnya dia. Saat melewati ruang musik, pintu terbuka sedikit. Siapa yang ceroboh membuka ruang musik? Aku membukanya. Membelalakan mata, ketika menyadari ada Shasha yang terluka karena dawai biola. Sebenarnya kenapa bisa terluka? Dawai biola jarang melukai pemakainya.“Hati-hati!” Aku panik. Langsung memasukkan jari yang terluka ke mulut tanpa persetujuannya. Tapi, ini sangat berbahaya, jik
Aku lihat, mama tidak nafsu makan. Sebaiknya, aku menyuapinya sama ketika ada papa. Saat mama mulai malas makan, lelaki dewasa itu akan memanjakannya. “Ah, mama bisa makan sendiri.” Aku menggeleng.“Biarkan lelakimu ini menyuapimu.” Aku menirukan gaya papa. Mata mama berembun.“Kau ini, jangan merayu mama. Kamu sendiri, makanlah!” Eliana menyuapi Davin. Mereka makan saling menyuapi.“Ma, jangan khawatir. Papa tidak akan bermasalah. Bukankah dia lelakimu yang sangat kuat? Om Irwan pasti akan mencarikan cara.” Eliana mengangguk.“Sekarang mama tidur. Davin mau mengerjakan tugsa sekolah. Bukankah putra kembar mama ini harus mengerjakan dua?” Eliana mengelus puncak kepala Davin.“Ya sudah, terima kasih, Sayang.” Davin mengangguk. Dia mengerjakan pekerjaan rumah miliknya, juga milik Devan. Untuk gambar flip-flop y
“Apa itu? Kelihatannya kamu panik banget? Ayolah!” Devan menyembunyikannya, tapi tinggi Davin yang lebih darinya, mampu merebutnya. Davin pura-pura tidak melihatnya. Dia mulai menjalankan sandiwaranya.***Meyyis***POV AUTHORDavin berusaha merebut gambar flip-flop itu. Dia akhirnya berhasil dan tertawa setelahnya. “Kau menyukai Shasha?” Davin pura-pura tidak tahu.“Maaf, aku bisa jelaskan. Itu anu ….” Davin menepuk pundak sang kakak kembar.“Tidak apa-apa, Van. Aku akan membantumu. Kebetulan, aku dekat dengannya, ‘kan? Kamu harus berterima kasih. Aku akan mendekatkan dia untukmu. Ah, papa gimana?” Davin berusaha mengalihkan perhatian Devan.“Belum siuman. Tadi Om Irwan datang ke kamar dan menyuruhku pulang. Jelita tidur di sini?” Davin mengangguk. Mereka bersisihan. Davin be
“Kau benar. Setidaknya kita harus mempelajari semua kemungkinan dan pencegahan adanya penyakit jantung bawaan ini. Aku juga masih tidak percaya bahwa papa menderita penyakit jantung. Apalagi lemah katup.” Devan mengangguk. Dia tahu, kembarannya itu akan melakukan segala car ajika sudah merasa tertarik dan terusik dengan salah satu kasus Kesehatan. Davin memang sangat berbakat dalam dunia Kesehatan. Maka dari itu, cocok jika cita-citanya menjadi dokter.POV AUTHOREsok harinya, Davin lebih menjauh dari Shasha. Dia tidak datang ke kelas, tapi menyuruh Devan untuk datang. Dia memberi tahu semua yang disukai Shasha. Devan yang menganggap bahwa ucapan Davin yang tidak mencintai Shasha itu benar, nurut saja waktu Davin menyuruh menemui Shasha.“Sha, ini.” Devan mengulurkan air mineral dan beberapa makanan kecil.“Terima kasih. Tidak perlu.” Shasha meninggalkan Devan dan
“Shasha.” Jelita kaget. Sebab dia tahu, jika Davin juga mencintai Shasha.“Apa ini ajang sebuah pengorbanan? Kakak tidak tanya perasaan Kak Shasha?” Davin mengangguk.“Aku atau Devan, sama saja.” Jelita menelan ludahnya.***Meyyis***POV DAVIN“Kak, kamu itu. Kalau biasanya kamu mengalah sama Kak Devan aku diam. Tapi kali ini?” Jelita mendengus. Aku tersenyum sama sepupuku tersebut.“Udah jangan cemberut. Aku saja baik-baik saja, kamu repot. Ayo pulang. Jalan, Pak!” Jelita masih manyun saja. Biarlah, paling juga sebentar lagi baikkan.“Aku akan bilang sama Kak Devan yang sebenarnya.” Aku menoleh ke arah Jelita.“Jangan macem-macem, kalau berani kamu mengatakannya, kakak nggak akan bicara sama kamu lagi.” Jelita merasa serba salah mungk
Pulang. Ngambek.”“Ngambek kenapa?Biasa gue goda.” Devan tertawa.“Dasar bocah. Biar aku telepon.” Devan mengambil ponselnya, namun nomor Jelita tidak aktif.***Meyyis***POV DEVANAku bahagia hari ini. Shasha lebih dekat denganku. Acara mincing di belakang sekolah, menjadi momen yang tidak terlupakan. Aku akan mengikuti semua arahan Davin. Dia memang saudaraku yang paling baik. Tentu saja, karena hanya dia saudaraku.“Kamu tidak kepo dengan apa yang aku lakukan tadi?” tanyaku.“Untuk apa? Jadi kambing congek? Nggaklah! Itu pribadi kalian berdua. Kecuali kalau ada masalah baru aku akan turut campur.” Aku tertawa mendengarnya. Davin memang tidak pernah kepo dengan urusanku. Padahal aku selalu ingin kepo urusannya. Dia mempunyai cara sendiri, jika ingin tahu k
Setelah bersih, keluar dari kamar mandi ganti baju. Aku mendengar mama mengetuk pintu kamar Davin. Adikku itu tidak menyahut, ck, aku benar-benar merasa bersalah membuat dia marah. Tapi sungguh tidak bermaksud.***Meyyis***POV DAVINAku seperti pecundang yang tidak berani menampakkan diri. Devan semakin lama semakin dekat dengan Shasha, aku segera harus menarik diri dari kedekatan apa pun dengannya. Lagi pula, sebentar lagi akan lulus. Boleh dikatakan, tidak akan bertemu dia lagi. Aku memandangnya dari jarak sekarang. Sudah cukup bahagia, melihat dia baik-baik saja. Biarkan rasa dan cinta ini luruh dengan seluruh pandangan yang terkubur.Aku memilih pulang sebelum ada orang lain yang menyadari bahwa aku mengikutinya. Selamat tinggal Sha, aku akan mengingatmu menjadi seseorang yang paling aku cintai, cinta pertama yang tidak pernah sampai pada pangkalnya. Jelita tiba-tiba duduk di samping kemudi.
“Kamu lihat! Sudah ada Devan. Aku hanya akan mendukungnya dari jarak jauh.” Aku memejamkan mata, kemudian mengikuti mobil Devan yang melaju. Jelita tidak komen apa pun. Dia memilih diam. Aku sebenarnya takut kalau dia mulai diam saja. Lebih baik cerewet dan mengomel. Tapi saat ini aku fokus mengikuti Devan saja.***Meyyis***POV DAVINJujur saja, saat melihat Devan mengantar dia pergi ke rumah sakit, aku sangat ingin mengikutinya. Namun bagaimana? Aku sudah berjanji tidak akan menemuinya lagi. minimal, sampai Shasha bisa mencintai Devan. Tida tahu kenapa? Aku percaya bahwa cinta bisa berubah seiring waktu. Bukankah batas antar cinta dan benci itu sangat tipis? Aku memilih untuk berkemas saja.“Kak, kau beneran akan pergi? Aku kira, kau bukan pergi karena studimu. Tapi kau kabur ‘kan?” Aku tidak menggubris yang dikatakan Jelita. Papa datang dengan kursi roda. Memang, papa