“Apa itu? Kelihatannya kamu panik banget? Ayolah!” Devan menyembunyikannya, tapi tinggi Davin yang lebih darinya, mampu merebutnya. Davin pura-pura tidak melihatnya. Dia mulai menjalankan sandiwaranya.
***Meyyis***
POV AUTHOR
Davin berusaha merebut gambar flip-flop itu. Dia akhirnya berhasil dan tertawa setelahnya. “Kau menyukai Shasha?” Davin pura-pura tidak tahu.
“Maaf, aku bisa jelaskan. Itu anu ….” Davin menepuk pundak sang kakak kembar.
“Tidak apa-apa, Van. Aku akan membantumu. Kebetulan, aku dekat dengannya, ‘kan? Kamu harus berterima kasih. Aku akan mendekatkan dia untukmu. Ah, papa gimana?” Davin berusaha mengalihkan perhatian Devan.
“Belum siuman. Tadi Om Irwan datang ke kamar dan menyuruhku pulang. Jelita tidur di sini?” Davin mengangguk. Mereka bersisihan. Davin be
“Kau benar. Setidaknya kita harus mempelajari semua kemungkinan dan pencegahan adanya penyakit jantung bawaan ini. Aku juga masih tidak percaya bahwa papa menderita penyakit jantung. Apalagi lemah katup.” Devan mengangguk. Dia tahu, kembarannya itu akan melakukan segala car ajika sudah merasa tertarik dan terusik dengan salah satu kasus Kesehatan. Davin memang sangat berbakat dalam dunia Kesehatan. Maka dari itu, cocok jika cita-citanya menjadi dokter.POV AUTHOREsok harinya, Davin lebih menjauh dari Shasha. Dia tidak datang ke kelas, tapi menyuruh Devan untuk datang. Dia memberi tahu semua yang disukai Shasha. Devan yang menganggap bahwa ucapan Davin yang tidak mencintai Shasha itu benar, nurut saja waktu Davin menyuruh menemui Shasha.“Sha, ini.” Devan mengulurkan air mineral dan beberapa makanan kecil.“Terima kasih. Tidak perlu.” Shasha meninggalkan Devan dan
“Shasha.” Jelita kaget. Sebab dia tahu, jika Davin juga mencintai Shasha.“Apa ini ajang sebuah pengorbanan? Kakak tidak tanya perasaan Kak Shasha?” Davin mengangguk.“Aku atau Devan, sama saja.” Jelita menelan ludahnya.***Meyyis***POV DAVIN“Kak, kamu itu. Kalau biasanya kamu mengalah sama Kak Devan aku diam. Tapi kali ini?” Jelita mendengus. Aku tersenyum sama sepupuku tersebut.“Udah jangan cemberut. Aku saja baik-baik saja, kamu repot. Ayo pulang. Jalan, Pak!” Jelita masih manyun saja. Biarlah, paling juga sebentar lagi baikkan.“Aku akan bilang sama Kak Devan yang sebenarnya.” Aku menoleh ke arah Jelita.“Jangan macem-macem, kalau berani kamu mengatakannya, kakak nggak akan bicara sama kamu lagi.” Jelita merasa serba salah mungk
Pulang. Ngambek.”“Ngambek kenapa?Biasa gue goda.” Devan tertawa.“Dasar bocah. Biar aku telepon.” Devan mengambil ponselnya, namun nomor Jelita tidak aktif.***Meyyis***POV DEVANAku bahagia hari ini. Shasha lebih dekat denganku. Acara mincing di belakang sekolah, menjadi momen yang tidak terlupakan. Aku akan mengikuti semua arahan Davin. Dia memang saudaraku yang paling baik. Tentu saja, karena hanya dia saudaraku.“Kamu tidak kepo dengan apa yang aku lakukan tadi?” tanyaku.“Untuk apa? Jadi kambing congek? Nggaklah! Itu pribadi kalian berdua. Kecuali kalau ada masalah baru aku akan turut campur.” Aku tertawa mendengarnya. Davin memang tidak pernah kepo dengan urusanku. Padahal aku selalu ingin kepo urusannya. Dia mempunyai cara sendiri, jika ingin tahu k
Setelah bersih, keluar dari kamar mandi ganti baju. Aku mendengar mama mengetuk pintu kamar Davin. Adikku itu tidak menyahut, ck, aku benar-benar merasa bersalah membuat dia marah. Tapi sungguh tidak bermaksud.***Meyyis***POV DAVINAku seperti pecundang yang tidak berani menampakkan diri. Devan semakin lama semakin dekat dengan Shasha, aku segera harus menarik diri dari kedekatan apa pun dengannya. Lagi pula, sebentar lagi akan lulus. Boleh dikatakan, tidak akan bertemu dia lagi. Aku memandangnya dari jarak sekarang. Sudah cukup bahagia, melihat dia baik-baik saja. Biarkan rasa dan cinta ini luruh dengan seluruh pandangan yang terkubur.Aku memilih pulang sebelum ada orang lain yang menyadari bahwa aku mengikutinya. Selamat tinggal Sha, aku akan mengingatmu menjadi seseorang yang paling aku cintai, cinta pertama yang tidak pernah sampai pada pangkalnya. Jelita tiba-tiba duduk di samping kemudi.
“Kamu lihat! Sudah ada Devan. Aku hanya akan mendukungnya dari jarak jauh.” Aku memejamkan mata, kemudian mengikuti mobil Devan yang melaju. Jelita tidak komen apa pun. Dia memilih diam. Aku sebenarnya takut kalau dia mulai diam saja. Lebih baik cerewet dan mengomel. Tapi saat ini aku fokus mengikuti Devan saja.***Meyyis***POV DAVINJujur saja, saat melihat Devan mengantar dia pergi ke rumah sakit, aku sangat ingin mengikutinya. Namun bagaimana? Aku sudah berjanji tidak akan menemuinya lagi. minimal, sampai Shasha bisa mencintai Devan. Tida tahu kenapa? Aku percaya bahwa cinta bisa berubah seiring waktu. Bukankah batas antar cinta dan benci itu sangat tipis? Aku memilih untuk berkemas saja.“Kak, kau beneran akan pergi? Aku kira, kau bukan pergi karena studimu. Tapi kau kabur ‘kan?” Aku tidak menggubris yang dikatakan Jelita. Papa datang dengan kursi roda. Memang, papa
“Boy, jangan banyak berpikir kalau kamu belum menemukan jawaban dari kesamaan yang papa ungkapkan. Kalau sudah yakin dengan pilihamu, papa mendukung.” Aku mengangguk. Pesawat akan terbang pukul dua. Ini masih pukul sepuluh pagi. Mungkin, akan menemani papa sebentar sebelum aku meninggalkan negara ini. Aku yakin, akan bisa melupakan Shasha. Bukankah hati manusia itu mudah sekali berubah? Terlebih, saat jarak memisahkan. Mungkin sekarang akan sakit. Tapi tidak untuk nanti. Lebih baik aku menemani papa jalan-jalan saja.***Meyyis***POV SHASHAAku tidak tahu, mengapa Davin tiba-tiba menjauhiku. Apakah ada salah yang tidak sengaja tercipta antara kita? Atau hanya perasaan saja? Sepertinya, Davin menghindar setelah kakaknya Devan lebih dekat. Apakah yang ada di balik maksud itu? Dalam diam, mencari kata yang tepat dari alasan yang tidak pernah terucap.Seperti siang itu, dengan Langkah bahagia
Saat mama dan papa bertengkar dulu, hanya kakek yang selalu menenagkanku. Tapi, kakek harus mengembuskan napas terakhir, entah penyebabnya apa? Aku bahkan tidak mengetahui penyebabnya. Tiba-tiba sudah berada di rumah sakit, dinyatakan meningggal.Aku mengurai pelukan mama, pamit untuk masuk ke kamar. Lelah hati, lelah diri, membuat otakku juga seakan membeku.***Meyyis***POV DAVINAku datang ke kota Jerman untuk menimba ilmu. Lebih tepatnya lari dari seluruh perasaan. Tidak mungkin, harus berebut dengan saudara kembarku sendiri. Biarkan, Shasha memilih dia. Hati ini juga akan bahagia untuk mereka. Hanya mama dan papa yang akan kuhubungi. Untuk Devan, biar tidak mendengar kabar Shasha, lebih baik tidak menghubunginya.Kota ini sangat cantik. Banyak ragam peninggalan budaya abad kejayaan yang menakjubkan. Sebelum besok sibuk dengan urusan kuliah, lebih baik sekarang memilih bersan
“Besok aku akan mulai menyibukkan diri. Harus lulus lebih cepat, supaya papa berhenti bekerja” Giliranklu untuk menjadi tulang punggung. Doakan aku Ma, Pa.” Aku membuka galeri berisi foto mesra mereka berdua. Senyumnya sangat bahagia. Ingin mengabadikan senyum itu agar tetap lestari.***Meyyis***POV SHASHAAku tidak tahan lagi. Sebelumnya, walaupun Davin selalu menghindar, aku masih bisa melihatnya. Masih bisa menemuinya. Namun, sudah dua minggu, dia tidak terlihat. Aku harus tanyakan sama Devan kalau dia berkunjung. Rasanya tidak sabar menunggu Devan berkunjung. Aku memang sudah kehilangan kewarasn. Mengapa sampai segelisah ini saat tidak bertemu dengannya? Tidak lama, Devan datang membawa banyak makanan seperti biasa.“Terima kasih kamu sudah datang. Tapi, tidak usah repot-repot. Kamu selalu datang memberiku makanan.” Devan menggeleng.&ldqu