"Of course. I'm fine," jawab Alicia dengan nada acuh. Sikap Alicia memang sedikit unik, ia selalu menjaga jarak dengan siapa pun termasuk Ford yang merupakan model sekaligus kekasihnya.
Ford mendekati Alicia dan membelai rambutnya. Gerakannya sangat lembut dan penuh kasih sayang. "Kau marah kepadaku?" "Apa hakku marah kepadamu?" "Ayolah, kau sangat manis jika marah, sayangku." Ford bangkit dari duduknya. Ia berdiri di samping Alicia yang duduk dengan posisi malas di kursi. "Kau manajerku sekaligus kekasihku jadi kau berhak memanfaatkan kekasihmu ini, tepatnya kau bisa memeras tenagaku sesukamu," ucap Alicia dengan nada ketus. Selalu begitu, Ford sama sekali tidak terkejut dengan mulut pedas kekasihnya. "Kau kasar sekali sayangku, kita adalah pasangan yang paling serasi. Suatu saat kita akan membangun bisnis kita, membangun sebuah agensi model melebihi Le Model," kata Ford dengan nada bersungguh-sungguh. Alicia mencebik. Ia memutar bola matanya dengan enggan, Ford adalah kekasihnya tetapi pria itu selalu seolah memiliki hak penuh atas diri Alicia. Ia selalu mengambil keputusan tanpa menanyakan terlebih dulu apakah Alicia bersedia atau tidak menerima pekerjaan hanya karena Ford mampu membujuk semua pihak yang memakai jasa Alicia. Alicia satu-satunya model yang mengajukan syarat di dalam pemotretan, tidak sulit ia hanya tidak ingin wajahnya di di ekspos secara keseluruhan. Awalnya banyak yang menolak tetapi semakin lama justru semakin banyak yang tertarik dengan foto Alicia, foto yang tidak pernah memperlihatkan wajah Alicia secara keseluruhan dan Alicia mulai mendapatkan ketenaran di Rusia karena kecantikannya yang seolah memiliki label : Bukan untuk konsumsi publik. "Bagaimana jika kita pergi ke club malam ini untuk merayakan kontrak barumu?" Ford membungkukkan badannya, ia mengecup pipi Alicia pelan lalu perlahan ia menyusuri leher jenjang Alicia menggunakan bibirnya yang sensual. "Kau menghabiskan uangku," jawab Alicia dengan nada enggan, tubuhnya kaku selaku kayu karena sentuhan Ford. "Terkadang kita juga perlu bersenang-senang, sayangku," ucap Ford dengan nada sangat halus dan terdengar sedang menggoda Alicia. Kembali bibir Alicia mencebik, ia tahu persis jika mereka pergi ke club bukan Ford yang membayar tagihan minum mereka tetapi Alicia yang harus kehilangan uangnya untuk beberapa botol alkohol yang di pesan Ford dan teman-temannya. "Uang itu hasil kerja keras kita sayang, aku memasarkanmu dan kau bekerja dengan baik." Ketika bibir Ford hendak menyentuh bibir Alicia secepat kilat Alicia berpaling dan memundurkan tubuhnya. "Oh, maaf sayangku. Kau masih belum siap?" Alicia mengatupkan bibirnya, dadanya naik turun. "Ford, aku tidak ingin ada kontak fisik terlalu jauh dalam hubungan kita," katanya. Ford mendengus kesal, bagaimanapun juga ia adalah pria dewasa normal yang memerlukan..., anggap saja pelampiasan hasrat. Sementara kekasihnya seperti mengalami cacat sexual. Jangankan untuk berhubungan badan, bahkan jika Ford hendak mencium bibirnya, Alicia segera memasang perlindungan diri. Kekasihnya terang-terangan menolak bahkan sekedar ciuman di bibir, Alicia tidak mengizinkan Ford untuk mencobanya apalagi jika lebih. Entah cara pemikiran kuno seperti apa yang ada di dalam kepala Alicia, menurut Ford, Alicia adalah gadis kuno karena menganut paham no sex before married. Mereka hidup di benua Eropa, hal-hal seperti itu sudah di anggap lazim bukan sesuatu yang tabu. Bahkan jika seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan masih perawan tentu saja gadis itu di anggap aneh. "Bagaimana jika kita pergi ke supermarket? Aku ingin memasak," kata Alicia sambil berusaha bangkit dari duduknya dan mematahkan suasana canggung yang tentu saja membentang di antara mereka berdua. Ford menggaruk kulit lehernya yang sama sekali tidak terasa gatal, alisnya tampak sedikit berkerut. "Kau bisa pergi sendiri, jangan bawa Halifa, ia masih memiliki beberapa urusan pekerjaan," kata Ford. "Baiklah. Sampai jumpa besok, Ford," ucap Alicia sambil bergegas melangkah menuju pintu lalu menarik gagang pintu dan meninggalkan ruangan itu. "Hati-hati berken...." belum selesai Ford mengucapkan kalimatnya gadis yang ia anggap sebagai kekasihnya itu telah menghilang dari pandangannya. Ford menggelengkan kepalanya kemudian ia kembali duduk di kursi kerjanya. Meraih ponselnya dan jemarinya menari di atas ponselnya untuk menulis pesan. **** London. William memasuki mansion mewah yang ditempati keluarganya. Seharusnya ia juga tinggal di sana tetapi sejak dua tahun yang lalu ia memilih tidak lagi tinggal di sana karena ia lebih sering tinggal di pent house milikinya. "Sidney...." William menyapa Sydney Johanson adiknya. Gadis bermanik mata berwarna hazel dan berparas amat manis itu sedang duduk di ruang keluarga sendirian sambil membuka sebuah tabloid fashion di tangannya. Mendengar suara memanggil namanya, Sidney mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. "Willy, kapan kau kembali dari Moscow?" "Aku baru saja mendarat," jawab William sambil melepaskan mantel yang membungkus tubuhnya dan meletakkannya di atas sofa begitu saja. "Kau ingat rumahmu rupanya," ejek Sidney sambil terkekeh, gadis itu mengejek kakaknya yang jarang kembali ke tempat tinggal mereka. Sidney kemudian itu mengubah posisi duduknya menjadi bersila dia atas sofa. "Hasil pameran perhiasan asistenmu yang akan menjelaskan aku tidak mengerti hal itu," kata William dengan nada kesal. "Kau memang saudara yang baik, terima kasih telah membantuku." "Cih...." William berdecih karena harus berkorban waktu dan tenaga untuk adiknya yang satu ini. "Di mana saudaramu yang pemalas itu?" William menanyakan dia mana Leonel Johanson berada. Leonel dan Sidney, mereka adalah saudara kembar. Seharusnya andai saja Grace tidak pergi meninggalkan keluarga itu mereka bisa dikatakan kembar tiga, sayangnya Grace lebih memilih meninggalkan keluarga Johanson, menanggalkan nama belakang lalu kini menghilang entah kemana. Mengingat Grace selalu sukses membuat perasaan William ingin mencekik lehernya hingga gadis itu memohon ampun, menangis lalu meminta maaf. Sayangnya Grace tidak pernah melakukan itu meski William menyiksanya di masa lalu. Sidney kembali memfokuskan pandangannya ke arah tabloid yang di yang berada di tangannya. "Di mana lagi dia, tentu saja di kamarnya. Tidur dan bermain game adalah hidupnya," gerutu Sidney. Gadis itu tampak menggemaskan saat menggerutu membuat William tersenyum simpul, adiknya secantik ibunya. Bahkan bisa di katakan adiknya adalah perwujudan ibunya ketika muda, memang begitu. William telah sering melihat foto-foto ibunya ketika muda dan memang benar Sidney adalah perwujudan ibunya. "Lalu, di mana Alexa?" William menayangkan keberadaan adik bungsunya yang bernama Alexa Johanson. "Dia ada di kamarnya," jawab Sidney. Ia mendongakkan kepalanya menatap kakaknya kemudian melanjutkan ucapannya, "dia berulang kali menanyakan keberadaanmu, rupanya dia sangat merindukanmu." "Aku akan menemui Alexa nanti setelah aku bertemu Leonel," kata William sambil berlalu meninggalkan Sydney menuju kamar di mana Leonel berada. Benar kata Sydney, Leonel sedang duduk sambil memegang stik gamenya, rambutnya tampak berantakan tetapi tidak mengurangi ketampanan wajahnya. Manik matanya yang berwarna biru tampak begitu fokus mengarah ke layar televisi di depannya. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu bahkan tidak menyadari kehadiran William. Dengan satu gerakan William mencabut kabel penghubung televisi dan listrik hingga membuat layar televisi menjadi gelap seketika. "Shit!" maki Leonel. "Apa yang kau lakukan? Kau mengganggu kesenanganmu saja." Ia menatap kakaknya dengan tatapan kesal. Leonel yang kesenangannya terganggu dengan kasar ia mengacak-ngacak rambut di atas kepalanya hingga rambutnya yang berantakan semakin terlihat tidak karuan sementara sebelah tangannya masih memegang stik gamenya. William tersenyum melihat tingkah adiknya yang pemalas itu. "Apa kau tidak memiliki pekerjaan? Kau hanya bermain game dan tidur sepanjang hari," tanyanya. "Untuk apa aku membayar karyawan dan sekretaris jika aku masih harus bekerja dan berdiam di perusahaan sepanjang hari?" Leonel meletakkan stik game di lantai kemudian ia menguap dengan lebar dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk meregangkan otot-otot tubuhnya. William berjalan menjauhi adiknya, kamar Leonel benar-benar minim udara segar dan cahaya matahari. Tangannya membuka gorden jendela yang masih tertutup rapat agar cahaya matahari masuk. Kamar adiknya itu lebih mirip seperti gua yang di huni oleh seekor ular phyton, ular itu hanya keluar dari sarang ketika ia merasa lapar. William bahkan tidak yakin adiknya itu pernah terpapar sinar matahari lebih dari lima belas menit dalam sehari. "Aku memiliki tugas untukmu," kata William."Aku memiliki tugas untukmu," kata William. Ia mendekati di mana adiknya berada. "Berikan saja kepada sekretarisku," jawab Leonel cepat. Ia tidak memerlukan waktu lama jika hanya untuk mengajukan penolakan. "Kau bahkan belum bertanya tugas apa yang akan aku berikan kepadamu." "Arhg...! Aku enggan, pekerjaan itu pasti melelahkan. Aku tahu siapa dirimu," ucap Leonel sambil mengempaskan tubuhnya sendiri ke atas ranjang dengan posisi tertelungkup. "Kau ini pemalas sekali." William memukul pelan adiknya menggunakan bantal. Leonel membalikkan badannya, ia kembali menguap dan berucap, "Santai itu perlu, tapi malas itu wajib." Semua orang di rumah itu tahu prinsip hidup Leonel, ia tidak akan sudi berpikir terlalu banyak, ia tidak akan mau melakukan sesuatu yang dianggapnya terlalu menguras tenaga dan pikirannya. Setiap hal yang di lakukannya di hitung dengan cermat agar tidak merugikan dirinya, tidak mengganggu waktunya bermain game dan tidak mengurangi jatah tidurnya. Hidup
Chapter 7 MOSCOW. "Ck...." Alicia meletakkan pensil di tangannya kemudian ia menutup buku agenda di depannya. Wajahnya tampak kesal karena lagi-lagi Ford memanggilnya untuk datang ke dalam ruangan kerjanya, Alicia tahu Ford selalu memanggilnya berkaitan dengan kontrak baru yang berhasil didapatkannya yang akhir-akhir ini membuat Alicia kewalahan. Ford seolah tidak peduli dengan waktu dan tenaganya. Sekarang Alicia merasa bukan lagi seperti seorang wanita biasa yang memiliki waktu santai dan bersenang-senang, bahkan Alicia merasa tidak bisa lagi menggambar dengan tenang karena waktunya nyaris habis untuk pekerjaannya dan setibanya di tempat tinggalnya ia kelelahan lalu tertidur. Alicia memasuki ruangan kerja Ford kemudian duduk di kursi tepat di depan meja kerja Ford. "Ada apa kau memanggilku?" tanyanya sedikit ketus. "Sayangku, kuucapkan selamat kepadamu, kau benar-benar mengejutkan. Kau tahu, Alicia? Aku baru saja menyetujui sebuah kontrak baru untukmu." Mata Ford tampak berkil
Chapter 8 Dengan perasaan tidak menentu Grace mengemudikan mobilnya menuju tempat tinggalnya. Sesampainya di dalam kamar Grace menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan memejamkan mata, sementara pikirannya kembali mengembara pada dua tahun yang lalu di mana ia dan William kembali dari pesta makan malam. Sepanjang acara perjamuan makan malam Grace beberapa kali meneguk anggur di gelasnya karena orang-orang di sekitarnya yang terus mendentingkan gelas kepada Grace, ia tidak mungkin menolak karena khawatir dianggap tidak sopan. Apa lagi perjamuan itu di hadiri oleh orang-orang penting sehingga Grace sebisa mungkin menerima ajakan mereka bersulang. Lagi-lagi demi kesopanan. Paginya Grace membuka mata kepalnya terasa berdenyut dan merasakan ada sesuatu yang tidak benar, bukan hanya kepalanya yang berdenyut tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Pinggangnya juga berada di dalam kungkungan lengan kekar seorang pria, lebih parahnya lagi mereka berdua tidak mengenakan pakaian. Grace
Chapter 9Setelah membiarkan William memeluknya beberapa saat, Grace mengubah posisinya menjadi duduk. Telapak tangannya menutupi bagian depan dadanya. "Di mana pakaianku?""Kau tidak memerlukan itu," jawab William yang juga telah mengubah posisinya."Willy, aku harus kembali ke asrama," kata Grace lirih."Tempatmu di sini, tinggal bersamaku," ujar William dengan nada diktator.Grace menghela napasnya. Demi Tuhan, William sekarang adalah orang yang paling dibenci oleh Grace tetapi pria itu bersikap seolah ia tidak memiliki dosa apa pun kepada Grace.Suatu saat aku akan membalas semua perbuatanmu kepadaku, William. Tidak peduli kau seorang Johanson. Bahkan jika langit terbelah dua sekalipun aku tidak akan pernah memaafkanmu.Tanpa memedulikan ucapan William, Grace menurunkan kakinya bermaksud melangkah menuju kamar mandi. Namun, baru saja satu langkah ia tak mampu lagi melanjutkan langkahnya karena area sensitif di antara kedua pahanya terasa sangat sakit. Ia terduduk dan tangisnya kem
Chapter 10Grace membuka matanya, wajah yang pertama dilihatnya adalah wajah William. Rupanya ia terlalu lama mengguyur tubuhnya di bawah shower segingga mengakibatkan malamnya ia mulai mengalami flu dan demam. Pagi harinya ia tidak bisa pergi ke perusahaan untuk bekerja. Entah bagaimana tiba-tiba ia telah berada di tempat tinggal William, Grace yakin William menggunakan cara licik untuk memasuki kamar asramanya kemudian membawa tubuhnya yang tertidur nyenyak kerena pengaruh obat ke tempat tinggalnya."Syukurlah, kau bangun." William meraba kening Grace untuk mengecek suhu tubuhnya. "Aku akan mengambilkan makanan dan obat untukmu," katanya.Grace hanya menatap William yang pergi menjauh darinya dan menghilang di balik pintu, tidak lama pria yang kini paling ia benci kembali ke kamar sambil di tangannya membawa segelas air dan semangkuk bubur sereal. Dengan sabar William menyuapkan makanan ke mulut Grace. Terlepas dari apa yang terjadi di antara mereka William sebenarnya sama sekali ti
"Grace...!" Aida memanggil Grace dengan suara cempreng yang sedikit nyaring. Gadis itu datang saat Grace baru saja mendudukkan bokongnya di bangku ruang kelas. Grace menoleh ke arah sumber suara, ia melambaikan tangannya ke arah Aida yang memanggilnya. Tampak Aida berlari kecil mendekati Grace. "Ms. Albert memanggilmu, sekarang." Aida memberitahu sahabatnya. "Ms. Albert?" Grace memiringkan kepalanya. "Ya." Aida menjawab pertanyaan Grace dengan nada acuh. "Untuk apa? Seingatku kita tidak memiliki tugas." Grace mengerutkan keningnyamenata, ia menatap wajah Aida. "Benar, kita tidak memiliki tugas. Sepertinya perawan tua itu telah menentukan di mana tempat magangmu," jawab Aida sambil meletakkan tasnya di atas meja. "Magang?" Grace menepuk jidatnya sendiri tanpa bangkit dari duduknya. "Aku melupakannya. Bagaimana dengan tempat magangmu? Apa kau juga telah tahu di mana kau ditempatkan?" "Ya, aku mendapatkannya," jawab Aida. "Barusan." "Di mana?" sepertinya Grace lebih
Grace Elizabeth, hanya itu. Tidak ada nama keluarga di belakangnya. Kecantikannya di dapatkan dari silsilah keluarga ayah kandungnya yang merupakan bangsawan di Eropa. Gadis itu memiliki manik mata berwarna biru kehijauan, rambutnya kuning kemerahan, kulitnya seindah batu pualam, bibirnya berwarna merah alami seolah menandakan itu memiliki cita rasa yang manis. Melepaskan nama keluarga yang melekat di belakang namanya adalah pilihan terbesar dalam hidupnya. Ibu yang melahirkan Grace hingga kini masih mendekam di dalam penjara bersama komplotannya. Di dunia ini yang Grace tahu, seekor singa tidak akan memangsa anaknya. Tetapi, berbeda dengan ibu kandung Grace. Wanita itu biadab, wanita itu sangat kejam. Sekejam Wilona, wanita yang membeli bayi Grace kemudian menukarnya dengan bayi Sidney Johanson. Grace Elizabeth Johanson, itu namanya dulu. Nama yang sangat indah, nama yang di berikan oleh kedua orang tua yang menyayangi Grace dengan penuh cinta kasih dan sayang selayaknya putri
Selama bekerja menjadi karyawan magang Grace mengubah penampilannya. Ia selalu menggunakan rambut palsu berwarna hitam dengan model sebahu, ia juga menggunakan kacamata cukup tebal untuk menyamarkan penampilannya. Bukan hanya itu, pakaian yang ia kenakan juga sangat longgar dan tidak modern. Tetapi, semua bayangan ketakutan Grace ternyata hanya ketakutannya, faktanya di lapangan semua baik-baik saja. Hingga satu bulan ia berada di Johanson Corporation, ia sama sekali tidak pernah bertemu dengan keluarga Johanson. Grace ditempatkan di bagian keuangan, tidak banyak yang dikerjakan, para karyawan juga memperlakukan Grace selayaknya karyawan magang dan Grace berusaha bekerja dengan baik. Akan tetapi ketenangan Grace selama satu bulan bekerja buyar seketika. Hidupnya sebagai karyawan magang yang damai berubah menjadi awal kisah hidupnya yang seperti layaknya seorang gadis yang bermain sebuah drama sambil menaiki sebuah roller coaster di mulai dari kepala ruangan memanggilnya dan mengat
Chapter 10Grace membuka matanya, wajah yang pertama dilihatnya adalah wajah William. Rupanya ia terlalu lama mengguyur tubuhnya di bawah shower segingga mengakibatkan malamnya ia mulai mengalami flu dan demam. Pagi harinya ia tidak bisa pergi ke perusahaan untuk bekerja. Entah bagaimana tiba-tiba ia telah berada di tempat tinggal William, Grace yakin William menggunakan cara licik untuk memasuki kamar asramanya kemudian membawa tubuhnya yang tertidur nyenyak kerena pengaruh obat ke tempat tinggalnya."Syukurlah, kau bangun." William meraba kening Grace untuk mengecek suhu tubuhnya. "Aku akan mengambilkan makanan dan obat untukmu," katanya.Grace hanya menatap William yang pergi menjauh darinya dan menghilang di balik pintu, tidak lama pria yang kini paling ia benci kembali ke kamar sambil di tangannya membawa segelas air dan semangkuk bubur sereal. Dengan sabar William menyuapkan makanan ke mulut Grace. Terlepas dari apa yang terjadi di antara mereka William sebenarnya sama sekali ti
Chapter 9Setelah membiarkan William memeluknya beberapa saat, Grace mengubah posisinya menjadi duduk. Telapak tangannya menutupi bagian depan dadanya. "Di mana pakaianku?""Kau tidak memerlukan itu," jawab William yang juga telah mengubah posisinya."Willy, aku harus kembali ke asrama," kata Grace lirih."Tempatmu di sini, tinggal bersamaku," ujar William dengan nada diktator.Grace menghela napasnya. Demi Tuhan, William sekarang adalah orang yang paling dibenci oleh Grace tetapi pria itu bersikap seolah ia tidak memiliki dosa apa pun kepada Grace.Suatu saat aku akan membalas semua perbuatanmu kepadaku, William. Tidak peduli kau seorang Johanson. Bahkan jika langit terbelah dua sekalipun aku tidak akan pernah memaafkanmu.Tanpa memedulikan ucapan William, Grace menurunkan kakinya bermaksud melangkah menuju kamar mandi. Namun, baru saja satu langkah ia tak mampu lagi melanjutkan langkahnya karena area sensitif di antara kedua pahanya terasa sangat sakit. Ia terduduk dan tangisnya kem
Chapter 8 Dengan perasaan tidak menentu Grace mengemudikan mobilnya menuju tempat tinggalnya. Sesampainya di dalam kamar Grace menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan memejamkan mata, sementara pikirannya kembali mengembara pada dua tahun yang lalu di mana ia dan William kembali dari pesta makan malam. Sepanjang acara perjamuan makan malam Grace beberapa kali meneguk anggur di gelasnya karena orang-orang di sekitarnya yang terus mendentingkan gelas kepada Grace, ia tidak mungkin menolak karena khawatir dianggap tidak sopan. Apa lagi perjamuan itu di hadiri oleh orang-orang penting sehingga Grace sebisa mungkin menerima ajakan mereka bersulang. Lagi-lagi demi kesopanan. Paginya Grace membuka mata kepalnya terasa berdenyut dan merasakan ada sesuatu yang tidak benar, bukan hanya kepalanya yang berdenyut tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Pinggangnya juga berada di dalam kungkungan lengan kekar seorang pria, lebih parahnya lagi mereka berdua tidak mengenakan pakaian. Grace
Chapter 7 MOSCOW. "Ck...." Alicia meletakkan pensil di tangannya kemudian ia menutup buku agenda di depannya. Wajahnya tampak kesal karena lagi-lagi Ford memanggilnya untuk datang ke dalam ruangan kerjanya, Alicia tahu Ford selalu memanggilnya berkaitan dengan kontrak baru yang berhasil didapatkannya yang akhir-akhir ini membuat Alicia kewalahan. Ford seolah tidak peduli dengan waktu dan tenaganya. Sekarang Alicia merasa bukan lagi seperti seorang wanita biasa yang memiliki waktu santai dan bersenang-senang, bahkan Alicia merasa tidak bisa lagi menggambar dengan tenang karena waktunya nyaris habis untuk pekerjaannya dan setibanya di tempat tinggalnya ia kelelahan lalu tertidur. Alicia memasuki ruangan kerja Ford kemudian duduk di kursi tepat di depan meja kerja Ford. "Ada apa kau memanggilku?" tanyanya sedikit ketus. "Sayangku, kuucapkan selamat kepadamu, kau benar-benar mengejutkan. Kau tahu, Alicia? Aku baru saja menyetujui sebuah kontrak baru untukmu." Mata Ford tampak berkil
"Aku memiliki tugas untukmu," kata William. Ia mendekati di mana adiknya berada. "Berikan saja kepada sekretarisku," jawab Leonel cepat. Ia tidak memerlukan waktu lama jika hanya untuk mengajukan penolakan. "Kau bahkan belum bertanya tugas apa yang akan aku berikan kepadamu." "Arhg...! Aku enggan, pekerjaan itu pasti melelahkan. Aku tahu siapa dirimu," ucap Leonel sambil mengempaskan tubuhnya sendiri ke atas ranjang dengan posisi tertelungkup. "Kau ini pemalas sekali." William memukul pelan adiknya menggunakan bantal. Leonel membalikkan badannya, ia kembali menguap dan berucap, "Santai itu perlu, tapi malas itu wajib." Semua orang di rumah itu tahu prinsip hidup Leonel, ia tidak akan sudi berpikir terlalu banyak, ia tidak akan mau melakukan sesuatu yang dianggapnya terlalu menguras tenaga dan pikirannya. Setiap hal yang di lakukannya di hitung dengan cermat agar tidak merugikan dirinya, tidak mengganggu waktunya bermain game dan tidak mengurangi jatah tidurnya. Hidup
"Of course. I'm fine," jawab Alicia dengan nada acuh. Sikap Alicia memang sedikit unik, ia selalu menjaga jarak dengan siapa pun termasuk Ford yang merupakan model sekaligus kekasihnya. Ford mendekati Alicia dan membelai rambutnya. Gerakannya sangat lembut dan penuh kasih sayang. "Kau marah kepadaku?" "Apa hakku marah kepadamu?" "Ayolah, kau sangat manis jika marah, sayangku." Ford bangkit dari duduknya. Ia berdiri di samping Alicia yang duduk dengan posisi malas di kursi. "Kau manajerku sekaligus kekasihku jadi kau berhak memanfaatkan kekasihmu ini, tepatnya kau bisa memeras tenagaku sesukamu," ucap Alicia dengan nada ketus. Selalu begitu, Ford sama sekali tidak terkejut dengan mulut pedas kekasihnya. "Kau kasar sekali sayangku, kita adalah pasangan yang paling serasi. Suatu saat kita akan membangun bisnis kita, membangun sebuah agensi model melebihi Le Model," kata Ford dengan nada bersungguh-sungguh. Alicia mencebik. Ia memutar bola matanya dengan enggan, Ford adala
Dua tahun kemudian di Moscow. William baru saja tiba di Moscow karena ibunya yang sangat cerewet itu memintanya untuk datang ke kota itu untuk mewakili ibunya dalam rangka menghadiri sebuah pameran perhiasan. Seharusnya ini adalah tugas Sydney karena pekerjaan ini adalah bidangnya. Tetapi, nyatanya Sidney adik gadisnya itu justru memiliki urusan yang lebih penting. Urusan yang katanya tidak bisa ditinggalkan. Jadilah William harus mengalah untuk menghadiri pameran perhiasan yang bertabur dengan berlian, benda yang sama sekali tidak ia mengerti meski ia telah didampingi oleh satu asisten ibunya yang sangat terlatih di dalam bidang perhiasan. William berulang kali menguap karena merasa bosan menyaksikan orang-orang yang terkagum-kagum melihat desain perhiasan yang bertabur berlian di depannya. Bagi William melihat perhiasan mewah bukan hal yang aneh karena sejak kecil ia terbiasa melihat ibu dan neneknya, mereka menggambar rancangan perhiasan kemudian berangkainya menjadi berwujud
Satu bulan kemudian, yang Grace takutkan belum terjadi. Sepertinya William belum mengenalinya, sepertinya begitu meski ia sendiri sebenernya tidak yakin. William yang sekarang menjadi bos di tempatnya magang hanya menumpuk dokumen-dokumen pekerjaan yang tidak ada habisnya di meja kerjanya membuat Grace bekerja begitu keras, hampir setiap malam Grace harus lembur karena pekerjaan yang diberikan oleh William benar-benar tidak bisa di ajak berkompromi. Ingin rasanya Grace mengumpat dan memaki-maki William setiap hari karena menjadikannya seperti seekor sapi perah. Bagaimana tidak? Setiap hari ia harus pulang pukul sembilan malam dan pukul tujuh pagi ia harus berada di perusahaan kembali. Atasannya memperlakukannya dengan sikap dingin, gemar memerintah seenaknya, kaku, tidak pernah mengajaknya berbicara dengannya dan bersahabat. William juga selalu menatap Grace dengan tatapan yang mengisyaratkan permusuhan seolah-olah Grace memiliki kesalahan, bukankah William tidak mengenalinya hing
Selama bekerja menjadi karyawan magang Grace mengubah penampilannya. Ia selalu menggunakan rambut palsu berwarna hitam dengan model sebahu, ia juga menggunakan kacamata cukup tebal untuk menyamarkan penampilannya. Bukan hanya itu, pakaian yang ia kenakan juga sangat longgar dan tidak modern. Tetapi, semua bayangan ketakutan Grace ternyata hanya ketakutannya, faktanya di lapangan semua baik-baik saja. Hingga satu bulan ia berada di Johanson Corporation, ia sama sekali tidak pernah bertemu dengan keluarga Johanson. Grace ditempatkan di bagian keuangan, tidak banyak yang dikerjakan, para karyawan juga memperlakukan Grace selayaknya karyawan magang dan Grace berusaha bekerja dengan baik. Akan tetapi ketenangan Grace selama satu bulan bekerja buyar seketika. Hidupnya sebagai karyawan magang yang damai berubah menjadi awal kisah hidupnya yang seperti layaknya seorang gadis yang bermain sebuah drama sambil menaiki sebuah roller coaster di mulai dari kepala ruangan memanggilnya dan mengat