Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.
Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.
Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya Sophia kesiangan. Dengan cepat, Sophia menyingkap selimut dan berlari keluar dari kamarnya. Akan tetapi, dia langsung melupakan tujuannya. Sophia terkesima dengan apartemen Edmund yang begitu mewah. Kaki Sophia melangkah menjelajahi lantai dua, mulutnya terbuka saat Sophia berjalan menuju teras di mana terdapat taman dan kolam renang outdoor. Sophia lebih terkesima lagi saat ia bisa melihat pemandangan kota dari atas.
Apartemen yang mewah batin Sophia sambil mengangguk-anggukan kepala dan kembali ke dalam.
Saat mengingat Edmund, Sophia segera berlari pelan menuruni tangga. Matanya menjelajahi lantai satu sambil memanggil-manggil nama Edmund. Teriakan Sophia berakhir ketika melihat sebuah ponsel di atas meja makan.
Kaki Sophia mendekat ke arah meja makan, di mana sudah tersedia sandwich dan segelas susu di samping ponsel itu. Sophia mengaktifkan ponsel itu, keningnya berkerut saat foto dirinya menjadi wallpaper ponsel pink itu. Tiba-tina saja tubuh Sophia tersentak kaget saat ponsel itu berdering, nama Edmund rertera pada layar ponsel itu.
Dengan ragu Sophia menggeser layar ponsel untuk mengangkat panggilan itu. "Hallo," ucapnya pelan sambil menempelkan ponsel pada telinganya.
'Syukurlah, aku pikir kau masih tidur.' Edmund terdiam sejenak. 'Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Makanlah sandwich yang ada di atas meja, jangan lupa minum susunya,' lanjut Edmund dalam telpon.
Sophia menganggukan kepalanya seolah Edmund ada di depannya. "Baiklah."
'Ponsel itu untukmu, hubungi aku jika ada sesuatu. Mengerti?'
"Mengerti," ucap Sophia dengan pelan.
'Jangan pergi ke mana pun, tetaplah di apartemen sampai aku pulang.'
"Baik." Sophia berucap dengan malas, Edmund langsung menutup panggilan telponnya.
Setelah selesai dengan sarapannya, Sophia kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah itu dia membersihkan bagian-bagian kotor di apartemen milik Edmund. Tidak memerlukan waktu lama untuk membersihkannya, hanya dengan waktu singkat semuanya lebih rapi dari sebelumnya.
Sophia duduk di depan televisi sambil meminum jus limun segar dari dalam kulkas. Beberapa kali dia menekan remote televisi, mencari acara yang menarik. Desahan pelan keluar dari mulut Sophia sambil melempar remote dengan asal karena merasa bosan. Diam di apartemen seharian sama sekali bukan keahliannya.
Mata Sophia beralih menatap jam kemudian tersenyum sesaat sebelum naik ke kamar untuk memakai jaket. Sophia memutuskan untuk keluar dari apartemen sebentar. Senyuman lebar tercetak pada wajahnya begitu Sophia sudah menaiki taksi untuk menuju apartemennya yang lama.
*****
Kaki Sophia langsung berlari kecil saat menaiki tangga menuju apartemennya yang ada di atas. Dia datang untuk mengambil barang-barangnya yang mungkin masih bisa dipakai, mengingat Edmund sudah menyiapkam semua keperluannya. Meskipun begitu, Sophia rasa ada beberapa barang yang bisa dibawanya ke apartemen tersebut.
"Sophia, kaukah itu?"
Langkah Sophia terhenti ketika mendengar suara seseorang yang ia kenal. Perlahan dia membalikkan badan. Senyuman tercetak jelas pada wajah Sophia saat tetangganya mendekat.
"Kenapa kau kembali ke mari, Sophia?" Wanita tua yang menjadi tetangga Sophia selama beberapa bulan itu kembali bertanya dengan wajah yang heran.
"Ada apa memangnya, Mrs. Malloy ? Tentu saja aku kembali ke apartemenku," ucap Sophia dengan nada bicara sedikit naik, merasa aneh dengan tatapan yang diberikan oleh lawan bicaranya.
"Tapi bukannya apartemenmu sudah ditempati orang lain, Sophia?"
"Ditempati orang lain?!" Mata Sophia memelotot terkejut dengan ucapan Mrs. Malloy.
"Ya, kemarin sore beberapa orang datang membawa barang-barang milikmu. Saat aku bertanya pada salah satu dari mereka, katanya kau pindah ke apartemen suamimu," jelas Mrs. Malloy dengan mata tidak lepas dari wajah Sophia yang mulai tersenyum tidak percaya.
"Oh iya, aku lupa. Permisi, Mrs. Malloy,"ucap Sophia kembali berjalan menuruni tangga dengan perlahan, raut wajahnya memperlihatkan Sophia sedang berpikir keras. Tentu saja memikirkan apa yang dikatakan oleh Mrs. Malloy.
Mengurungkan niatnya untuk mengambil barangnya yang masih bisa terpakai. Memikirkan seseorang yang mengaku suaminya, Sophia yakin orang itu adalah Edmund.
Kaki Sophia tidak berhenti berjalan hingga sampai di pet shop tempatnya bekerja. Mulut Sophia terbuka lebar saat melihat tulisan sold out pada pintu depan toko itu. Rasa aneh mulai menyelimuti Sophia. Dia mendekat ke arah kaca toko, membungkuk dan mengintip ke dalam. Barang-barang dalam toko itu kini tidak ada lagi dan semakin membuat Sophia semakin heran. Dia menegakkan kembali tubuhnya dan mengambil ponsel pemberian Edmund dari dalam saku celananya. Helaan napas keluar dari mulut Sophia saat mengingat bahwa dia tidak memiliki nomor ponsel Gunner. Dia memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya, dan mengurungkan niat untuk menyampaikan pengunduran dirinya di pet shop ini. Akhirnya pagi ini Sophia pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Martina. Sebelum datang ke rumah sakit, dia mampir ke toko kue tempatnya bekerja. Dia ke sana juga untuk menyampaikan pengunduran dirinya di toko roti itu, sesuai dengan perintah Edmund yang menyuruhnya untuk berhenti bekerja.
Sebenarnya Sophia tidak biasa hanya duduk manis tanpa melakukan pekerjaan apa pun, dia ingin tetap bekerja di tempat terdahulunya. Namun, untuk saat ini Sophia belum berani menentang Edmund. Tubuhnya beberapa kali bereaksi ketakutan saat Edmund berdekatan dengannya. Ingatan saat Edmund memperkosanya masih terpatri jelas dalam pikiran. Berulang kali Sophia mencoba menghapus ingatan itu, tapi tidak semudah itu. Semuanya butuh proses.
"Sophie!" Sophia menghentikan langkah ketika seseorang memanggilnya.
"Ada apa, Dokter?" Sophia bertanya dengan nada pelan, menatap dr. Allarcik yang masih mengatur napas setelah berlari. Tubuhnya sedikit membungkuk menahan rasa lelah.
"Kenapa kau … tidak … datang kemarin sore?" Suara dr.Allarick terputus-putus. Tangannya membenarkan letak rambut sebelum berdiri tegak menatap Sophia.
"Memangnya kenapa? Sesuatu terjadi pada nenekku?" Raut wajah Sophia berubah menjadi khawatir.
"Tidak, Sophie. Nenekmu kemarin menjalani operasi," ucap dr. Allarick dengan suara yang sudah normal kembali. Menatap wajah Sophia yang masih belum menghilangkan raut wajah khawatirnya.
"Operasi? Operasi apa?"
"Transplantasi hati, itu membuat kondisi Ny. Martina jauh lebih baik dari sebelumnya. Semua ini berkat kau," ucap dr. Allarick sambil menepuk pundak Sophia.
"Puji Tuhan, terima kasih. Berapa biaya yang harus aku bayar, Dok ?" Wajah bahagia tercetak jelas pada wajah Sophia. Sinar matanya kini menunjukkan harapannya telah kembali.
Dr. Allarick menggelengkan kepala. "Kau tidak perlu membayarnya, Sophie. Tuan Edmund D'allesadro membebaskan semua biaya untuk pengobatan nenekmu," ucapnya dengan senyuman kecil menghiasi.
Namun, wajah Sophia tidak memperlihatkan raut kebahagiaan saat dr.Allarick memberitahu siapa yang bertanggung jawab untuk neneknya. Mata Sophia malah menatap kosong, seakan memikirkan sesuatu dengan sangat keras.
"Apa kau baik-baik saja, Sophie?" Tangan dr. Allarick terulur, menyentuh bahu Sophia yang membawanya kembali dari kesadaran.
"Y-ya, aku baik-baik saja. Di mana nenekku sekarang, Dok ?" Mata Sophia beralih menatap mata sang dokter.
"Masih di lantai atas. Dia masih belum sadarkan diri," ucap dr. Allarick menutup percakapan mereka. Sophia langsung berpamitan untuk menemui Martina.
Beberapa jam berlalu dan tidak terasa hari sudah sore. Sophia diam menemani Martina sepanjang hari. Matanya menatap seseorang yang sangat berharga untuknya, seseorang yang selalu dijadikan alasan Sophia agar dirinya tetap hidup. Tatapan Sophia beralih pada perutnya yang datar, hatinya merutuki dirinya sendiri yang pernah berniat menggugurkan kandungannya. Pikiran Sophia berkelana, ia mengingat lagi perkataan mediang ibunya bahwa semua anak membawa keberuntungan, dan akhirnya sekarang Sophia merasakan keberuntungan itu.
Perasaan Sophia pada Edmund sedikit berubah. Dia sangat berterima kasih pada orang yang telah menyelamatkan nyawa neneknya. Sekarang yang harus Sophia lakukan hanyalah menghapus sedikit demi sedikit ingatan menakutkan saat Edmund memperkosanya. Dia merasa tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, antara dia dan Edmund adalah sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Edmund mendapatkan bayinya dan Sophia bisa menyelamatkan orang terkasihnya.
Suara dering ponsel menyadarkan lamunan Sophia. Dengan cepat, dia merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Menghela napasnya berat sebelum menerima panggilan dari Edmund.
"Halo," sapa Sophia.
“Di mana kau? Bukankah sudah kubilang diam di apartemen?!” Terdengar suara Edmund sedikit membentak dari seberang sana, membuat Sophia menjauhkan sesaat ponsel itu dari telinganya.
Dia berdecak kemudian menempelkan kembali ponselnya. "Aku di rumah sa—"
“Mommy menunggumu di apartemen dari tadi siang. Tidakkah kau punya sopan santun?!” Suara Edmund semakin meninggi, otomatis tangan Sophia meremas ujung baju.
"Benarkah?"
“Sekarang pulang!”
***
IG : @ALZENA2108
"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada
Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa
"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."