"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda.
"Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban.
"Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund.
"Terima kasih," ucap Sophia saat dokter itu beranjak dari ranjang.
"Sudah kewajiban saya, Nyonya. Saya harap Anda lekas sembuh," ucapnya sebelum meninggalkan kamar tempat Sophia berbaring.
Sementara Edmund mengikuti dokter itu, mengantarkannya sampai ke depan pintu apartemen. Dia mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu pergi. Sebelum kembali ke kamar, Edmund memerintahkan seorang pelayan untuk membeli obat yang sudah ditulis oleh dokter. Sembari menunggu, Edmund memutuskan sarapan terlebih dahulu. Beberapa menit berlalu, pelayan yang diperintahkan membeli obat untuk Sophia telah kembali.
"Ini obatnya, Tuan," ucap pelayan itu sambil menyerahkan tas kecil transparan berisi obat kepada Edmund.
"Terima kasih," ucap Edmund sambil mengakhiri sarapannya dan langsung mengambil obat itu sebelum berlari kecil menuju kamarnya.
Tangan Edmund membuka pintu kamar, melangkah mendekati Sophia yang sedang duduk berbaring.
Sophia tersentak kaget saat Edmund duduk di samping ranjang, lalu mengangkat kaki Sophia dan meletakannya di paha pria itu.
"Apa yang kau lakukan?" Sophia hendak menarik kakinya dari pangkuan Edmund, tapi pria itu menahannya. Tangan Edmund mengambil salep dari dalam tas transparan itu dan mengoleskannya pada kaki Sophia.
Edmund sangat hati-hati mengoleskannya, dia takut kalau Sophia akan merasakan rasa sakitnya lagi. Sebenarnya pria itu masih ragu berdekatan dengan Sophia. Bayangan saat malam di mana Edmund menyetubuhi perempuan ini masih terbayang hingga membuatnya selalu bersikap dingin. Dia tidak ingin membuat Sophia semakin tersiksa dengan kebaradaannya, Edmund pikir dengan memberi jarak di antara keduanya akan membuat perempuan ini senang. Namun, kejadian semalam menunjukan pada Edmund bahwa dia tidak boleh mengabaikan Sophia. Dia takut terjadi sesuatu pada calon bayinya, mengingat Sophia yang sedikit ceroboh.
"Kau tidak akan pergi bekerja?" Sophia bertanya, memecah keheningan.
"Dan meninggalkan kau yang ceroboh?" Sophia mendengus kesal saat mendengar jawaban Edmund yang terlihat mengejeknya."Aku dulu mempunyai trauma saat berenang, waktu itu aku dan keluargaku sedang berlibur di pantai. Aku sangat senang bermain air, hingga tanpa aku sadari, ombak membawaku ke tengah laut. Padahal aku sudah belajar berenang sebelumnya, tapi rasa panik itu mengalahkan segalanya. Aku menelan banyak air laut, dadaku terasa sangat sesak sekali. Saat aku bangun, aku sudah berada di rumah sakit."
"Seharusnya saat kau bangun, kau sudah berada di pemakaman. Haha ... Aaa! Sakit." Edmund memegangi pinggang yang dicubit oleh Sophia. Kemudian mereka berdua tertawa bersama selama beberapa saat. Edmund memasukan kembali salep pada tas kecil, lalu mengeluarkan vitamin yang harus Sophia minum. Edmund membuka vitamin itu dari bungkusnya, lalu memgambil gelas berisi air yang ada di atas nakas di samping Sophia.
"Minum ini," ucap Edmund memberikan telapan tangan kanannya yang berisi vitamin, sementara tangan kirinya memegang gelas.
Tanpa bicara, Sophia mengambil vitamin itu dan meminumnya. Edmund tersenyum kecil, tangannya meletakan tas yang dia pegang di atas nakas, bersamaan dengan Sophia yang menyimpan gelas kosong.
"Kau bayi yang kuat," ucap Edmund menundukan kepalanya sambil mengelus perut Sophia.
"Dia masih belum bisa mendengar. Kau tahu itu bukan?"
Edmund mengangkat kepala dan menatap Sophia. Dia menganggukan kepala, menjawab pertanyaan Sophia.
"Ya, tapi aku hanya ingin dia tahu aku ayahnya sejak awal."
"Dia sudah tau itu," ucap Sophia memberikan senyuman kecil pada Edmund.
"Aku akan pergi untuk beberapa hari." Edmund menegakkan badan dan menatap Sophia dengan serius.
"Ke mana?"
"Zurich. Ada yang harus aku selesaikan di sana." Sophia menganggukkan kepala mengerti, lalu menghela napas pelan.
"Beberapa pelayan akan menemanimu. Kalau ada apa-apa, hubungi Mommy atau aku. Mengerti?"
"Mengerti"
"Aku sudah memberitahu Mommy kalau kau tidak bisa fitting baju pengantin hari ini. Jadi istirahatlah" Edmund kembali meletakkan kaki Sophia di atas ranjang. "Jangan berbuat hal ceroboh, ingatlah ada nyawa yang harus kau jaga, Sophie."
"Aku mengerti." Ucapan Sophia tercekat saat wajah Edmund begitu dekat dengannya.
"Kapan kau berangkat?"
"Nanti malam," jawab Edmund sambil berdiri dan merogoh ponsel yang ada dalam saku celana. "Aku keluar sebentar," lanjutnya tidak mengalihkan tatapan dari ponsel.
"Edmund."
Langkah kaki Edmund terhenti saat Sophia memanggilnya. Dia membalikkan badan dan menatap manik hijau yang sedang menatapnya. "Aku ingin buah," ujar Sophia ketika Edmund menaikan satu alis.
"Baiklah, tunggu sebentar." Edmund kembali melangkahkan kaki, keluar dari kamar sambil menempelkan ponsel di telinga.
Sophia dapat mendengar Edmund mengatakan halo pada seseorang yang ia telepon. Setelah pintu benar-benar tertutup, tangan Sophia mengambil remote televisi yang ada di atas nakas.
Menit demi menit berlalu, Sophia mulai bosan. Dia akhirnya merebahkan diri, menaikkan selimut sampai ke pinggang dan mencoba memejamkan mata dengan suara dari televisi sebagai pengantar tidur.
Saat Sophia benar-benar akan tertidur, dia merasakan tubuhnya berguncang dengan seseorang yang memanggil namanya. Perlahan matanya terbuka dan mendapati Edmund.
"Aku sudah membawakan buah yang kau inginkan. Kau ingin memakannya sekarang?" Edmund bertanya dengan nada yang halus.
"Mana buahnya?" Sophia bertanya dengan mata melihat sekeliling. Dia duduk di atas ranjang dan menatap Edmund yang tidak membawa buah apa pun.
"Buahnya ada di taman, kupikir bagus jika kau menghirup udara segar."
"Oh, baiklah." Sophia mencoba untuk menurunkan kaki ke atas lantai, tetapi pria itu lebih dulu menggendong tubuhnya hingga membuatnya terpekik kaget. Tangannya langsung melilit di leher Edmund dan mulutnya tidak mengeluarkan sepatah kata. Mata Sophia melihat ke arah kolam yang dibatasi oleh pintu kaca saat mereka sudah sampai."Astaga,"desis Sophia saat matanya melihat begitu banyak buah di atas meja di depan kolam renang.
Edmund menggeser pintu kaca yang menghubungkan teras dengan bagian dalam rumah. Dia langsung menurunkan Sophia di atas kursi. Tepat di hadapan perempuan itu terdapat berbagai macam buah-buahan dengan jenis yang tidak sedikit.
"Ini terlalu banyak," ucap Sophia sambil menatap Edmund yang ikut duduk di sampingnya.
Pria itu mengambil buah apel lalu mengupasnya. "Aku tidak tahu mana yang kau inginkan, Sophie."
"Bagaimana jika aku tidak bisa menghabiskannya?" Edmund menghentikan tangannya yang sedang mengupas, tatapannya beralih pada Sophia yang masih menatapnya tidak percaya.
"Aku tidak memaksamu untuk menghabiskannya, cukup pilih mana yang kau inginkan" Edmund kembali mengupas apel merah hingga bersih kemudian memotong apel itu, lalu menyuapkan salah satu potongan apel pada mulutnya menggunakan ujung pisau yang tajam.
"Baiklah." Sophia berucap dengan pelan. Tangannya mengambil strawberry yang ada dalam keranjang, lalu memakannya beberapa biji.
"Mulai nanti malam kau tidur di kamarku. Aku sudah menyuruh beberapa orang memindahkan barangmu."Perkataan Edmund membuat Sophia menghentikan kunyahan. "Kenapa aku harus tidur di kamarmu?"
"Tidak ada bantahan, Sophie. Aku hanya ingin mengawasimu agar calon anakku baik-baik saja, lagi pula beberapa hari ini aku tidak akan ada di sini," ucap Edmund sebelum minum segelas air.
"Baiklah."
Edmund tersenyum samar saat tidak mendengar bantahan dari mulut perempuan itu
"Ngomong-ngomong siapa yang menata buah ini di sini?" Sophia bertanya dengan tangan yang mengambil buah pir.
"Pelayan di mansion Mommy yang membawa dan menatanya di sini." Edmund berucap dengan tangan yang mengambil ponsel di meja, keningnya berkerut saat membaca pesan masuk.
"Aku harus pergi, Sophie. Para pelayan sudah datang, kau bisa memanggil mereka jika memerlukan sesuatu."
"Baiklah." Mata Shopia menatap punggung Edmund yang menjauh hingga hilang saat menuruni tangga.
***
Ini sudah seminggu sejak Edmund pergi ke Zurich, Sophia hanya diam di apartemen dengan ditemani beberapa pelayan yang sangat ramah padanya. Tiga hari sekali seorang dokter yang dulu memeriksanya juga datang untuk mengecek kondisi Sophia.Begitu pula dengan Rose, dia selalu menyempatkan dirinya datang ke apartemen Sophia dengan membawa makanan yang diinginkan calon menantunya. Dalam seminggu ini Sophia tidak bisa menemui neneknya karena kondisi kaki yang belum pulih sempurna. Akan tetapi, Shopia lega saat mendengar Rose mengunjungi Martina. Setidaknya ada seseorang yang melihat kondisi Martina untuknya.
Awalnya Rose berniat membawa Sophia ke mansion-nya, tapi ditolak secara halus oleh perempuan itu. Sudah pasti ia akan canggung jika tinggal seatap dengan calon mertuanya, apalagi Sophia yang belum pernah sekalipun bertemu dengan Tuan Sergío. Pria paruh baya yang memiliki wajah tidak ramah, itu yang dikatakan internet padanya.
"Kau sudah siap, Sophie?" Tubuh Sophia berbalik dan menatap Rose yang ada di ambang pintu dengan penampilan yang sudah rapi.
"Sudah, apakah menurut Mommy pakaian ini cocok untukku?" Mata Sophia menatap dirinya sendiri sebelum beralih menatap Rose yang tersenyum sambil melangkah mendekatinya.
"Kau bagus memakai pakaian apa pun, Nak. Wajahmu cantik," ucap Rose menyisipkan anak rambut Sophia, mengelus rambut cokelat itu dengan lembut seolah perempuan ini adalah anaknya sendiri.
"Terima kasih," ujar Sophia dengan pipi yang bersemu.
"Ayo kita berangkat." Rose menarik pelan tangan Sophia agar perempuan itu berjalan beriringan dengannya.
Mereka berdua berjalan keluar dari apartemen yang selama ini ditempati Sophia, menaiki lift dan akhirnya memasuki mobil yang sudah terparkir di depan gedung apartemen. Sophia kembali bertanya pada Rose, ke mana tujuan mereka sebenarnya. Namun Rose tidak menjawab, ia hanya memberikan senyuman kecil yang hangat pada Sophia.
"Sebenarnya kita ke mana, Mommy? Aku benar-benar penasaran," ucap Sophia untuk yang ke sekian kalinya, matanya menatap Rose yang sibuk menatap ponsel.
"Anggap saja kita merayakan kesembuhan kakimu, Sayang. Mommy ingin memberi kejutan untukmu."
"Kejutan apa?"
"Oh ayolah, itu bukan kejutan jika diberitahu."
Keduanya terdiam dalam lamunan masing-masing. Sophia sibuk menerka ke mana Rose akan membawanya, sementara Rose memikirkan bagaimana ekspresi Sophia saat melihat apa yang telah ia siapkan.
Mobil yang membawa Sophia dan Rose berhenti, sopir pribadi Rose keluar terlebih dahulu, memutari mobil dari depan dan membukakan pintu untuk Rose dan Sophia. Saat keluar mobil, mulut Sophia terbuka lebar karena melihat gedung yang sangat besar di hadapannya. Gedung itu berwarna putih, di atasnya terdapat ukiran nama D'allesandro yang terbuat dari kaca.
Rose menuntun Sophia agar tidak jatuh saat mereka mulai menaiki tangga menuju pintu masuk, di sana seorang pria berjas abu sudah menunggu kedatangan keduanya."Selamat datang, Señora," sambut pria itu sambil membukakan pintu besar yang ada di sampingnya.
"Astaga." Sophia menutup mulutnya yang terbuka begitu masuk beberapa langkah ke dalam gedung itu.
Matanya tidak bisa berhenti menjelajahi keindahan swarovski yang bergantungan di langit-langit. Warna biru muda terpancar dari kristal-kristal itu saat lampu menyorotnya. Bukan hanya itu, Sophia juga terkejut begitu melihat altar yang sudah siap di ujung matanya.
"Mom, ini sangat—" Sophia menghela napas sebelum melanjutkan perkataannya, "Menakjubkan," ucapnya sambil menatap Rose.
"Ini untuk pernikahanmu, Sayang. Mom harap kau suka," ucap Rose sambil membawa perempuan itu berkeliling.
"Temanya adalah One Thousand of Light. Berjuta cahaya dalam satu malam, jadi Mom ingin kau senantiasa mengingat semua ini," lanjut Rose sambil melangkah menuju sebuah pintu putih di ujung ruangan. Kaki Sophia ikut melangkah, tetapi tatapanya terus terpaku pada dekorasi pernikahannya. Begitu banyak kristal, lampu dan cahaya. Hanya satu yang belum terpasang, yaitu bunga.
"Mom, apakah ini tidak berlebihan?" Sophia bertanya saat mereka memasuki pintu putih.
"Berlebihan? Tentu saja tidak, Sophie. Ini pernikahan pertama dan terakhir Edmund dan dirimu." Sophia tersenyum tipis mendengar ucapan Rose. Kepalanya menunduk sesaat sebelum kakinya berhenti melangkah.
"Kau tidak lupa bukan pernikahanmu hanya tinggal empat hari lagi?"
"Ti-tidak, Mommy," jawab Sophia dengan memaksakan senyuman.
"Surprise! Ini gaun pengantinmu, Sophia." Rose membentangkan tangannya di samping gaun yang menempel di tubuh manequin.
Sophia membulatkan mata begitu melihat gaun pengantin yang dimaksud Rose. Gaun itu bergaya A-lines tanpa lengan dengan rok depan hanya selutut, sementara ekor belakang gaun itu menjuntai sangat panjang. Swarovski bertaburan di sekitar pinggang dan ekor gaun itu.
Mata Sophia semakin naik menatap kepala manequin itu, dia kembali dikejutkan dengan mahkota yang dihiasi kristal putih.
"Mommy sudah menyiapkan ini untukmu, Sophie. Maaf tidak menanyakan pendapatmu terlebih dahulu. Jadi, apakah kau menyukai gaunnya?" Mata Rose berbinar saat menunggu jawaban Sophia. Namun, perempuan itu masih saja terpaku dengan gaun yang dibuatkan Rose untuknya.
"Sophie menyukainya, Mom. Tapi, Mommy, ini sangat ...."
"I know, I know. Seharusnya kita tambahkan swarovski di beberapa titik lagi, ‘kan?" Rose berkata antusias sambil mengguncangkan pelam tubuh Sophia.
"Sebenarnya, Mommy, aku terlihat—"
"Dia terlihat seperti pembersih altar dengan gaunnya yang panjang daripada menikah," ucap seseorang dari arah belakang. Sontak saja Sophia dan Rose membalikkan badan, mereka menatap seseorang yang ada di ambang pintu.
"Edmund?"
--
Ig : @alzena2108"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."