Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.
Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya.
"Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina.
"Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan maaf padaku." Bibir Sophia mengerucut kesal, sudah beberapa kali Martina mengucapkan kata maaf semenjak dia datang tadi siang.
"Tapi kau harus kehilangan harta paling berhargamu karena Nenek." Martina menatap sendu Sophia. Ia mengetahui apa yang terjadi pada Sophia dari Rose. Bukan hanya itu, setelah Martina menjalani operasi, pria bernama Edmund mengakui semuanya pada Martina.
Awalnya ia marah, ingin sekali Martina melampiaskan semua amarahnya pada pria yang telah merusak cucunya. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan, karena Edmund bersedia menanggung kesalahannya. Pria itu bertanggung jawab dengan apa yang telah ia lakukan. Meskipun begitu, Martina masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri yang selalu menyusahkan Sophia dan menyebabkan cucunya harus bekerja banting tulang.
"Pria itu datang setelah Nenek menjalani operasi. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa dia melakukan dosa yang sangat besar dan telah menghancurkan masa depan seseorang. Pria itu mengakuinya, Sophie." Martina terdiam sesaat, ia menarik napasnya untuk menahan air mata. "Jadilah istri yang baik untuknya. Nenek yakin dia pria yang tepat untukmu," lanjut Martina mengusap pelan kepala Sophia.
"I-iya, Nek." Sophia berucap dengan ragu-ragu, tetapi segera mengganti ekspresi wajahnya saat melihat Martina yang tersenyum padanya.
"Mungkin kau masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu, tapi Nenek yakin, kau akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu, Sophie."
"Terima kasih, Nek." Sophia menghapus air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Dia menunduk sesaat lalu kembali lagi menatap Martina.
"Aku lapar, Nek," ujar Sophia sambil tersenyum memamerkan giginya yang rapi.
"Astaga, Nenek lupa. Ayo kita siapkan makan malam." Martina berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur. "Apa yang ingin kau makan, Sophie?"
"Sesuatu yang spesial." Sophia ikut bergabung dengan Martina yang sedang mengeluarkan beberapa sayuran dari dalam kulkas.
Sophia seakan kembali lagi ke masa lalu, di mana dia selalu memasak makan malam bersama neneknya yang diiringi tawa. Keduanya memasak dengan penuh kegembiraan. Martina masih sama seperti dulu, ia selalu memerintah Sophia ketika berada di dapur, karena dapur adalah daerah kekuasaan Martina sejak dulu.
Hari ini Martina akan membuat succotash, yaitu sajian dengan bahan utama jagung dan berbagai macam sayuran. Sesuai perintah dari Martina, Sophia memotong-motong paprika merah dan tomat. Setelah menyelesaikannya, Sophia mencuci sayuran yang ia potong bersama dengan kacang-kacangan yang sudah di siapkan Martina.
Butuh waktu beberapa menit untuk memasak succotash, hingga akhirnya mereka selesai dan segera menyajikannya di atas dua buah piring, masing-masing untuk Martina dan Sophia.
"Kemarilah, Sophie. Kita makan sama-sama," ucap Martina sambil duduk di salah satu kursi. Sophia mencuci tangan, kemudian berjalan ke arah Martina dan duduk di samping wanita tua itu. Matanya terkunci pada makanan yang ada di hadapan, dia tersenyum sesaat sebelum mulai memakannya.
"Ini enak," ucap Sophia sambil mengunyah makanan.
"Makanlah dengan pelan." Martina mengelus pelan kepala Sophia dengan penuh kasih sayang, menatap cucu satu-satunya yang sangat ia kasihi.
Makan malam mereka dipenuhi dengan kehangatan. Sophia sangat senang dengan kembalinya kesehatan Martina. Diaa tidak pernah berhenti memanjatkan doa kepada Tuhan untuk kesehatan neneknya, Sophia tidak ingin satu-satunya orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya.
Hari demi hari Sophia lewati di kediaman Martina, tidak ada hari tanpa tawa di antara keduanya. Hingga tidak terasa, tiga hari telah berlalu. Selama tiga hari itu pula Rose seorang pelayan dari mansion datang membawakan makanan. Wanita itu tidak bisa datang karena banyak urusan, tetapi selalu menyempatkan diri untuk menelepon Sophia.
Berbeda dengan Edmund, Sophia belum juga berkomunikasi dengannya. Rose mengatakan bahwa urusan anaknya belum selesai, pria itu masih sibuk dengan pekerjaan, dengan sidang-sidang yang harus dihadiri. Sophia sendiri bingung sidang apa yang sedang Edmund lakukan.
"Angkat telurnya, Sophie, itu sudah matang." Suara Martina membuyarkan pikiran Sophia. Dia segera melakukan apa yang diperintahkan Martina, mengangkat telur lalu menyimpannya dalam piring di atas meja, menjadi salah satu menu sarapan pagi ini. Sandwich telur.
"Kemarilah, Nek, kita sarapan bersama."
Martina mengelap tangan setelah mencuci piring, lalu ikut bergabung bersama Sophia yang sudah duduk. Keduanya berdoa sebelum memakan sarapan yang telah mereka buat, tapi suara ketukan pintu menahan suapan pertama Sophia.
"Biar aku saja, Nek." Sophia berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati pintu. "Edmund," cicit Sophia saat melihat orang yang berdiri di depan pintu. Pria itu menatap Sophia lekat, bukan menatap tajam, tapi tatapan yang hangat. Bahkan ada sedikit senyuman yang tercetak pada bibir ptia itu.
"Siapa, Sophie?"
Sophia menengok ke belakang sesaat, melihat Martina yang berjalan ke arahny, kemudian kembali menatap Edmund. Pria itu memakai kaos yang ditutupi jaket. Celana jins yang panjang membuat penampilannya tampak lebih muda. Rasanya Sophia sulit bicara, dia hanya diam menatap pria yang mulai membentuk senyuman lebar saat Martina mendekat.
"Selamat pagi, Nek" Edmund menyapa Martina saat wanita tua itu sudah sampai di depan pintu.
"Astaga, Edmund. Kemarilah, masuk ke dalam." Martina menggeser tubuh Sophia dan mempersilahkan Edmund masuk. Sophia yang tersadar dari lamunannya kembali menutup pintu dan menyusul Edmund dan Martina yang sudah berjalan ke arah meja makan.
"Apa kau sudah sarapan, Nak?" Edmund menatap Martina yang berada di sampingnya. Ia tersenyum kecil lalu menggelengkan kepala.
"Kalau begitu ikutlah sarapan bersama kami."
"Baiklah." Edmund duduk di kursi.
"Ambilkan air minum untuk Edmund, Sophie!"
"Baik, Nek." Sophia yang selesai menutup pintu berjalan ke arah dapur untuk mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Sophia ikut bergabung bersama Martina dan Edmund, dia duduk di antara mereka berdua.
"Buatkan sandwich untuknya," ucap Martina pada Sophia yang dibalas anggukan, dan mengambil selembar roti.
"Ingin memakai telur?"
"Tidak, selai strawberry saja," jawab Edmund menatap Sophia yang mulai mengoleskan selai merah itu pada selembar roti. Setelah siap, Sophia meletakkannya pada piring lalu disodorkan kepada pria itu.
"Bagaimana kabar ibumu, Ed?"
"Mom baik-baik saja, Nek."
"Oh, syukurlah. Apakah kau kemari untuk menjemput Sophia?" Edmund menganggukkan kepala. "Ya, aku datang untuk menjemputnya."
Sophia berhenti mengunyah makanan dan menatap Edmund yang memulai memakan roti yang ia buat. "Untuk apa kau menjemputku?"
Martina terkekeh mendengar pertanyaan Sophia, ia menepuk pundak cucunya sambil berkata, "Astaga, Sophia terkadang melupakan hal yang besar, Edmund." Martina menghela napasnya sesaat. "Besok kau akan menikah, Sophie. Tidakkah kau mengingatnya?"
Saat itu pula Sophia menelan ludah kasar sambil menghela napas. Dia benar-benar melupakan hari besar itu.
***Rose menatap Sophia penuh dengan kekaguman. Kecantikan Sophia mengalahkan cahaya sworovski yang begitu banyak, layaknya ribuan safir pada gaunnya. Riasan wajah yang tidak terlalu tebal menambah kesan elegan. Hanya satu kekurangannya; tinggi badan yang kurang ideal.
Pintu terbuka dan menampilkam Sergío dengan jas hitam yang semakin menambah ketampanannya. Di usianya yang sudah tua, Sergío tampak semakin gagah. Pantas saja Rose selalu membicarakan Sergío yang semakin tampan. Faktanya memang seperti itu.
"Kau cantik, Sophie," puji Sergío dan mengisyaratkan agar Sophia melingkarkan tangannya pada tangannya. Perempuan itu tersenyum dan melakukan apa yang diperintahkan Sergío. Mereka melangkah keluar dari ruangan, sementara Rose sudah memasuki ruangan pesta terlebih dahulu.
Sophia sudah siap memasuki gedung dengan Sergío yang akan membawanya menuju altar. Sergío selalu ingin mengantarkan seseorang ke altar pernikahan, tapi sayangnya Rose tidak melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan. Itu sebabnya dia menawarkan diri untuk mengantarkan Sophia menuju altar.
Pintu gedung terbuka, pandangan pertama Sophia jatuh pada seorang pria dengan tuxedo hitam yang berdiri dengan tampannya di depan altar.
Perlahan tapi pasti, Sophia berjalan menuju Edmund. Rasa gugup menyelimuti perempuan itu. Setetes keringat mengalir di pipi, dadanya berdetak kencang. Momen ini membuat Sophia gugup. Apalagi saat semua mata tertuju padanya, Sophia sangat benci menjadi pusat perhatian. Pegangannya pada tangan Sergío semakin menguat, mencoba mencari kekuatan untuk menghadapinya. Matanya menunduk, tidak kuat menatap mata tajam milik Edmund. Sergío dapat merasakannya, kegugupan Sophia.
"Tranquila chica, te ves estúpida si estás nervioso así, (Jangan gugup, kau terlihat bodoh jika seperti ini.)" ucap Sergío dengan logat Spanyol yang kental. Bahasa itu sangat sulit dipahami perempuan itu karena dia hanya tahu satu kata bahasa Spanyol yaitu 'Sí'.
Sementara di sisi lain, Edmund terpesona luar biasa. Kecantikan Sophia mampu membuatnya tidak berkedip beberapa saat. Gaun yang Sophia pakai hanya sebatas paha dan tanpa lengan, sementara ekornya begitu panjang. Edmund menelan ludah kasar saat Sophia semakin mendekat.
Sesampainya di hadapan Edmund, Sergío menyerahkan Sophia. Tangannya disambut hangat oleh pemilik mata safir itu. Edmund dapat merasakan dinginnya tangan perempuan itu, kemudian sedikit meremasnya, seolah memberitahu bahwa ia harus tenang.
Ucapan pendeta bagaikan radio yang melewati terowongan di telinga Sophia. Tidak terdengar jelas. Suara pendeta dikalahkan oleh rasa gugup itu sendiri. Hingga tiba saatnya ikatan janji setia suami istri, peluh Sophia kian menjadi-jadi. Demi Tuhan, dia tidak menyangka bahwa menikah akan segugup ini.
"Saya, Edmund D'allesandro menerima engkau, Sophia Alberta menjadi satu-satunya istri dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, sejak hari ini dan seterusnya; dalam suka dan duka, semasa kelimpahan dan kekurangan, di waktu sakit dan di waktu sehat, untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai, seperti Kristus mengasihi Jemaat-Nya sampai kematian memisahkan kita. Menurut titah kudus Tuhan dan iman, saya percaya kepada-Nya. Aku ucapkan janji setiaku kepadamu." Edmund berkata dengan begitu lancar, penuh penekanan dengan mata yang menatap Sophia meyakinkan.
"S-saya, Sophia Al-Alberta menerima Engkau, Edmund D'allesandro menjadi satu-satunya suami dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, sejak hari ini dan seterusnya; dalam suka dan duka, semasa kelimpahan dan kekurangan, di waktu sakit dan di waktu sehat, untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai, seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya sampai kematian memisahkan kita. Menurut titah kudus Tuhan dan iman, saya percaya kepada-Nya. Aku ucapkan janji setiaku kepadamu."
Selanjunya Pendeta mempersilakan kedua mempelai bertukar cincin, saat momen itu terjadi, semua tamu bertepuk tangan dengan begitu meriah.
"Lakukan sekarang, Edmund. Kau kalah taruhan semalam!" teriak seseorang yang ada di jajaran para tamu.
Kening Sophia berkerut saat wajah Edmund mendekat padanya, matanya berkedip beberapa kali. Dia tidak memiliki kekuatan untuk melangkah mundur.
"Aku akan menciummu, Sophie," ucap Edmund saat wajah mereka hampir bersentuhan. Mendengar hal itu, Sophia terkejut. Namun, matanya seolah terhipnotis, dia memejamkan mata ketika wajah pria itu kembali mendekat.
Jantung Sophia berdetak kencang, siap menerima ciuman Edmund pada bibirnya. Sayangnya, Sophia tidak merasakan bibir Edmund menyentuh bibirnya. Dia malah merasakan dahinya basah oleh benda kenyal yang hangat. Saat itu pula Sophia sadar, Edmund mencium keningnya.
"Bienvenido a la familia D'alessandro, (Selamat datang di keluarga D'allesandro)," ucap Edmund di depan bibir Sophia saat membuka mata.
---
IG : @ALZENA2108
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Sophia mengerjapkan mata begitu sinar matahari masuk ke celah-celah gorden. Suara debur ombak terdengar jelas membuat kelopak matanya semakin terangkat. Dia melihat jam kemudian kembali menyelimuti dirinya hingga batas leher dan memejamkan mata.Semalam dia tidak bisa tidur, Sophia hanya diam sendirian sementara Edmund pergi ke Moscow karena tuntutan pekerjaan. Wanita mana yang tidak kesal ditinggalkan suaminya ketika keduanya selesai berciuman. Edmund tidak ingin Sophia kelelahan, dia memaksa istrinya untuk menginap satu hari di hotel.Sebelum pergi, Edmund memeluknya erat dan memberikan ciuman pada perutnya. Edmund benar-benar mengkhawatirkan keadaan Sophia, apalagi akhir-akhir ini istrinya sering kali merasa mual.Awalnya Edmund berniat menyuruh Rose untuk menemani Sophia, tetapi la
"Itu pekerjaan yang ringan, Mom. Sophie hanya melayani pembeli."Rose menyipitkan mata. "Sebenarnya apa alasanmu ingin bekerja, Sayang? Uang yang Edmund berikan pasti cukup memenuhi kebutuhanmu."Kepala Sophia menggeleng. "Bukan karena itu, Sophie tidak terbiasa hanya diam di apartemen.""Kalau begitu akan Mommy masukan kau ke kelas melukis atau menjahit, bagaimana?" tawar Rose kemudian meminum minumannya."Sophie tidak ingin hal seperti itu. Lagi pula bekerja bukanlah hal yang buruk," ucap Sophia dengan bibir mengerucut, membuat Rose gemas dan mencubit pipi menantunya."Memang bukan hal yang buruk, tapi kau akan kelelahan.""Sophie
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."