Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.
Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.
Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu karena dirinya mengetahui bahwa para tamu dilarang membawa kamera ataupun ponsel. Penjaga di mana-mana. Sementara tidak ada satupun wartawan di pesta pernikahannya, padahal Sophia tahu keluarga D'allesandro tidak pernah berhenti diliput oleh publik. Perempuan itu berpikir bahwa suaminya mungkin malu memiliki istri sepertinya.
Hati Sophia semakin sakit jika memikirkan hal itu terus. ia menghela napas. Kepalanya menunduk, menatap mini dress yang melekat pada tubuhnya. Sebenarnya Sophia masih mengenakan gaun pengantin, hanya saja ekornya yang panjang dilepas. Rose juga membuka rambutnya yang dicepol, membiarkannya terurai menutupi bahu yang terbuka.
"Hai, Sophia." Kepala Sophia menoleh pada seseorang yang menyapanya.
"Hai." Sophia menjabat tangan perempuan itu.
"Aku Grace, temannya Edmund. Selamat atas pernikahanmu."
"Terima kasih."
"Kau mau bergabung bersama kami? Di sana ada Edmund, jadi tidak perlu khawatir," ucap Grace dengan ramah.
"Tidak, terima kasih. Aku sedikit lelah."
"Ah, ya, aku mengerti. Kalau kau butuh teman panggil saja aku, oke?"
Sophia menganggukkan kepala sembari tersenyum. Grace mengambil minuman yang ada di meja dekat Sophia, ia melangkahkan kaki sambil melambaikan tangan pada temannya yang sedang berjoget.
Sophia kembali duduk.Saat tenggorokannya terasa kering, dia mengambil salah satu minuman di atas meja, tanpa melihat apa yang ia ambil kemudian meminumnya begitu saja.
Saat minuman berwarna kekuningan itu melewati tenggorokkan , wajah Shopia merengut, merasa aneh dengan minuman itu.
"Apa ini?" Sophia menyimpan kembali gelas yang masih menyisakan setengah minumannya.
Tiba-tiba saja kepala Sophia terasa pusing, dia memegang kening sambil memejamkan mata. Dan saat mata Sophia kembali terbuka, dia melihat seorang wanita merangkul tangan Edmund yang sedang bercengkrama dengan seorang pria. Mata Sophia menyipit, tidak terima ketika seseorang merangkul suaminya seperti itu. Entah keberanian dari mana, dia melangkahkan kaki ke tengah keramaian, beberapa kali terhenti saat rasa pusing itu semakin terasa. Namun, Sophia kembali melangkah dengan cepat dan menarik tangan wanita yang merangkul Edmund.
"Jangan memeluknya," ucap Sophia sambil merentangkan kedua tangan, menghadap wanita itu. Sementara Edmund terkejut dengan kelakuan Sophia, dia membalikan tubuh perempuan itu.
"Apa kau baik-baik saja?" Edmund mengusap kening Sophia. Matanyamenyipit saat melihat raut wajah Sophia yang tidak biasa.
"Edmund ... aku ingin tidur." Sophia tiba-tiba berhambur ke pelukan pria itu, melingkarkan tangannya pada pinggang Edmund.
"Sepertinya dia minum alkohol, Ed. Sebaiknya kau membawanya pulang." Salah satu teman Edmund mengusulkan.
Saat Sophia mendongkakan wajah Edmund, pria itu baru mencium aroma alkohol dari istrinya. Wajah Sophia kembali menunduk, menggesekan wajahnya pada dada bidangnya.
"Maaf, kawan. Aku harus pergi," ucap Edmund pada teman-temannya. Ia melepaskan pelukan Sophia dan langsung menggendongnya, Sophia yang terkejut langsung melingkarkan tangannya di leher Edmund.
Telinga Edmund dapat mendengar gumaman tidak jelas dari mulut Sophia, dia mengangkap beberapa kata yang membuatnya heran. Seperti kata suamiku, milikku, wanita gila dan tidur. Sepertinya Sophia benar-benar kelelahan malam ini.
"Kenapa kau minum alkohol, Sophia?" Gerutu Edmund mendudukan Sophia di dalam mobil, ia memakaikan sabuk pengaman pada istrinya. Mata Edmund menatap sejenak wajah Sophia yang menutup mata dan tidak berhenti bergumam.
Begitu Edmund menyalakan mobil, dia langsung melajukan kendaraan menuju apartemen dengan cepat. Matanya melirik Sophia, tangannya membenarkan letak rambut yang menutupi wajah perempuan itu dengan perlahan, kemudian membenarkan kepala Shopia yang sedikit miring.
Sesampainya di gedung apartemen, dia menggendong istrinya dan membawa masuk. Edmund membaringkan Sophia di kamar, kemudian mengelus kepala perempuan itu sebelum beranjak pergi untuk mengganti baju. Setelahnya Edmund menghubungi dokter untuk memeriksa keadaan Sophia.
Beberapa menit kemudian bel apartemen berbunyi, Edmund segera mempersilahkan dokter Anne untuk memeriksa Sophia.
"Nyonya tidak apa-apa, Tuan, begitu pula dengan bayinya. Dia hanya minum sedikit minum alkohol yang kandungannya rendah, mungkin karena sedang mengandung dan kelelahan, Nyonya tampak seperti orang yang mabuk berat," ucap Anne, dokter pribadi Edmund begitu selesai memeriksa keadaan Sophia.
"Jadi, sampai kapan dia akan bertingkah seperti itu?" Edmund menunjuk Sophia yang sedang berguman dengan dagunya.
"Tidak akan lama, Tuan."
"Baiklah, terima kasih, Anne."
"Sama-sama, Tuan." Anne keluar dari kamar Edmund.
Setelah Anne keluar, Edmund duduk di tepi ranjang sambil memandang istrinya. Kening Edmund berkerut ketika melihat gaun pengantin masih melekat pada tubuh Sophia. Saat Edmund hendak berdiri untuk mengambil baju Sophia, istrinya itu bangun terlebih dahulu dan melangkahkan kaki dengan tidak beraturan.
Ketika Sophia akan terjatuh, Edmund menangkapnya dengan sigap. "Kau mau apa? Kembalilah tidur." Dia mencoba membawa Sophia kembali ke atas ranjang, tetapi perempuan itu berontak dan melepaskan tangan Edmund dari tubuh sambil merengek kecil.
"Lepaskan aku, ini gerah," ucapnya sambil kembali berjalan dengan sempoyongan.
"Bisakah kau diam, Sophia? Berulang kali kau hampir jatuh," gerutu Edmund, tangannya kembali ditepis saat hendak menyentuh Sophia.
"Jangan menyentuhku, Edmund. Aku gerah."
Dengan terpaksa, Edmund menarik tangan Sophia dan membaringkannya kembali di atas ranjang. Sophia menggerutu tidak jelas begitu Edmund menekan kepalanya agar berbaring, tetapi perempuan itu kembali bangkit dan duduk. Menatap Edmund dengan mata yang menyipit.
"Aku gerah, Edmund." Sophia membuka bajunya dengan tidak sabaran. "Gaun ini membuat dadaku sesak," lanjutnya sambil melemparkan gaun yang sudah terlepas dari tubuh.
Edmund menatap datar Sophia yang kembali membaringkan tubuh dan hanya memakai celana dalam saja. Perempuan itu kembali bergumul di bawah selimut setelah menggerutu tidak jelas. Helaan napas keluar dari mulut Edmund, dia melangkahkan kaki untuk mengambil baju Sophia dari lemari lalu memakaikannya dengan perlahan.
"Astaga," desah Edmund ketika melihat wajah Sophia yang masih dipenuhi make up. Setelah memakaikan baju, dia mengangkat istrinya menuju kamar mandi. Mendudukkan tubuh istrinya di wastafel dan menyandarkannya pada cermin. Satu tangan Edmund menahan tubuh Sophia agar tetap duduk tegak.
Edmund membasahi tisu lalu mengusapkannya pada wajah Sophia. Perempuan itu tersentak kaget, membuka mata sesaat saat merasakan sensasi dingin itu dan kembali menutup wajah dengan cepat. Perempuan itu tidak tidur sepenuhnya.
Saat wajah Sophia sudah bersih dari make up, Edmund mengambil sikat gigi berwarna merah muda.
"Buka mulutmu, Sophie. Kau harus sikat gigi."
"Apa?" Sophia membuka mata yang terasa berat, lalu tertutup lagi sebelum terbuka sepenuhnya.
"Buka, Sophie."
"Iya, iya," ucap Sophia sambil menggerutu tidak jelas. Dia menuruti permintaan suaminya dan membiarkan pria itu membersihkan giginya.
"Sophie, sadarlah dulu. Kumur-kumur, kau harus membersihkan busa di dalam mulutmu," ucap Edmund dengan satu tangan yang membasuh sikat gigi.
"Sophia buka mulutmu," desis Edmund mulai kesal.
"Baik, baik." Sophia menuruti apa yang Edmund katakan.
Edmund mengembuskan napas lega, lalu membopong kembali Sophia ke dalam kamar dan menidurkannya di atas ranjang. Dia ikut masuk ke dalam selimut setelah mematikan lampu kamar.
Sophia terus bergerak dalam tidurnya, hal itu mengganggu Edmund. Dia membalikkan tubuh, menghadap istrinya yang memandang punggungnya dengan mata sedikit tertutup.
"Kenapa kau bangun? Kemarilah, kau harus tidur." Edmund menarik tubuh Sophia ke dalam pelukannya.
"Berapa umurmu, Edmund?" Sophia mendongKa, menatap Edmund dengan bibir yang mengerucut.
"Berhenti bicara, kau harus tidur."
"Edmund." Sophia merengek saat tidak mendapatkan jawaban dari Edmund.
"32 tahun, sekarang tidur."
"Apa kau seorang pedofil, Edmund? Aku baru saja berusia delapan belas tahun beberapa bulan yang lalu." Edmund menatap Sophia yang bergumam, tetapi dapat ia dengar dengan jelas.
"Kepalaku terasa pusing, Ed. Mataku berkunang-kunang. Aku melihat banyak bintang di atas kepalamu." Sophia terus mengoceh, membicarakan apa saja yang ia ingat dengan mata yang mulai kembali terpejam.
Ocehan Sophia terhenti saat Edmund mengecup keningnya. Mata Sophia kembali terbuka, menatap Edmund dengan sadar.
"Kenapa?" Edmund bertanya saat Sophia memandangnya dengan intens. Perlahan tangannya menyentuh dagu Edmund kemudian bergerak menuju pipi. Dia tersenyum kecil ketika menyentuh pipi itu. "Kau pria tua yang tampan." Edmund terkekeh pelan mendengar perkataan Sophia. Istrinya ikut terkekeh kemudian menyembunyikan wajah di ceruk leher Edmund.
"Kau punya mimpi?" Sophia mengaangguk menjawab pertanyaan Edmund. "Apa itu?"
Kepala shopia mendongak. "Aku ingin kuliah, memiliki karier yang bagus dan ...."
"Dan?"
"Dan menikah dengan seseorang yang aku cintai, memiliki banyak anak dan menjadi keluarga yang bahagia. Seperti ayah dan ibuku."
Dada Edmund terasa dihantam batu besar, salah satu impian istrinya adalah pernikahan yang didasari atas nama cinta. Dia mungkin bisa saja mengabulkan impian pertama Sophia, tapi tidak untuk yang ketiga. Edmund tidak bisa menjamin pernikahan mereka akan bahagia.
Tiba-tiba saja Edmund mencium kening Sophia lama sebelum menjauhkan tubuhnya. Pria itu turun dari atas ranjang dan berjalan keluar kamar tanpa sepatah kata, meninggalkan Sophia yang masih terdiam sambil menatap kosong pintu kamarnya.
Malam itu Edmund dan Sophia tidak bisa tidur, keduanya sama-sama melewati malam yang panjang dalam keheningan, dalam ruang yang berbeda.
***
IG : @ALZENA2108
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Sophia mengerjapkan mata begitu sinar matahari masuk ke celah-celah gorden. Suara debur ombak terdengar jelas membuat kelopak matanya semakin terangkat. Dia melihat jam kemudian kembali menyelimuti dirinya hingga batas leher dan memejamkan mata.Semalam dia tidak bisa tidur, Sophia hanya diam sendirian sementara Edmund pergi ke Moscow karena tuntutan pekerjaan. Wanita mana yang tidak kesal ditinggalkan suaminya ketika keduanya selesai berciuman. Edmund tidak ingin Sophia kelelahan, dia memaksa istrinya untuk menginap satu hari di hotel.Sebelum pergi, Edmund memeluknya erat dan memberikan ciuman pada perutnya. Edmund benar-benar mengkhawatirkan keadaan Sophia, apalagi akhir-akhir ini istrinya sering kali merasa mual.Awalnya Edmund berniat menyuruh Rose untuk menemani Sophia, tetapi la
"Itu pekerjaan yang ringan, Mom. Sophie hanya melayani pembeli."Rose menyipitkan mata. "Sebenarnya apa alasanmu ingin bekerja, Sayang? Uang yang Edmund berikan pasti cukup memenuhi kebutuhanmu."Kepala Sophia menggeleng. "Bukan karena itu, Sophie tidak terbiasa hanya diam di apartemen.""Kalau begitu akan Mommy masukan kau ke kelas melukis atau menjahit, bagaimana?" tawar Rose kemudian meminum minumannya."Sophie tidak ingin hal seperti itu. Lagi pula bekerja bukanlah hal yang buruk," ucap Sophia dengan bibir mengerucut, membuat Rose gemas dan mencubit pipi menantunya."Memang bukan hal yang buruk, tapi kau akan kelelahan.""Sophie
"Aku sungguh minta maaf, Sophie," ucap Clara teman satu pekerjaan Sophia."Tidak apa-apa. Aku akan menontonnya sendiri." Sophia tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer."Bagaimana kalau kita menontonnya besok saja?" Tangan Clara menghentikan Sophia yang sedang mengetik. Dengan malas, Sophia menatap Clara yang ada di sampingnya."Kita sudah membeli tiketnya, sayang kalau dilewatkan, Clara."Tadinya mereka berdua akan menonton film bersama. Namun, rencana itu harus gagal karena Clara akan berkencan dengan pacarnya."Baiklah." Clara kembali ke mejanya yang ada di belakang Sophia. "Apa kau sudah selesai, Sophie?""Tentu saja." S
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."