Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.
Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya begitu merepotkan suaminya. Bahkan untuk menggosok gigi saja, Edmund yang melakukannya. Saat itu dia benar-benar tidak memiliki tenaga, rasanya kepala Sophia mau pecah jika bergerak sedikit saja. Namun, yang paling Sophia ingat adalah percakapan terakhirnya bersama Edmund, ketika pria itu meninggalkannya setelah mengecup kening.
Sophia membalikkan badan begitu mendengar langkah kaki mendekat. "Selamat pagi," sapa Edmund sambil duduk di kursi.
"Pagi," balas Sophia. Dia segera menyusun telur mata sapi, roti, daging asap, sosis dan bayam dalam piring untuk Edmund dan dirinya sendiri. Sophia duduk di hadapan suaminya sambil menyimpan sarapan itu di atas meja makan.
"Kau akan pergi bekerja?"
Edmund mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."
Suapan pertama masuk ke mulut Edmund, dia terdiam beberapa detik, merasakan enaknya masakan istrinya. Sophia makan sambil memandang Edmund, hari ini pria itu memakai pakaian formal dengan dasi yang sudah terpasang rapi. Sophia melamun sambil mengunyah telur mata sapi. Dia memikirkan akan beridam diri di apartemen saat Edmund pergi ke kantor. Pasti akan bosan duduk diam sendiri."Apa kau baik-baik saja, Sophie?"
"Ya, aku baik-baik saja." Sophia berucap sambil menancapkan garpu pada daging.
"Semalam kau pasti kelelahan, jadi istirahatlah. Aku akan memanggil pelayan Mommy."
"Apa?" Sophia minum beberapa teguk. "Tidak usah, aku baik-baik saja. Lagi pula aku akan merasa sangat bosan jika hanya diam saja," lanjut Sophia memakan kembali sarapannya.
Edmund menganggukkan kepala. "Baiklah, tapi jaga dirimu, jangan sampai kelelahan."
"Aku mengerti."
"Dan juga, Sophie." Edmund menjeda ucapannya cukup lama, membuat Sophia penasaran.
"Dan juga apa?"
"Perhatikan minuman yang akan kau minum, alkohol tidak baik untuk wanita hamil."
Perkataan Edmund menghentikan mulut Sophia yang sedang mengunyah, kemudian mengangguk paham.
Edmund menyelesaikan sarapannya dengan cepat.
"Kau sudah minum susu?" Sophia menaikan satu alis, dia memakan suapan terakhir lalu menggelengkan kepala.
Edmund beranjak dari duduk, berjalan menuju pantry dan membuka salah satu kabinet. Tangannya mengambil sesuatu dari dalam sana. Kening Sophia berkerut ketika yang dibawa Edmund adalah kotak susu untuk ibu hamil.
"Kau yang membelinya?"
Edmund menatap Sophia sekilas sebelum menggeleng. "Mommy yang membelinya," ucap Edmund sambil menuangkan air hangat pada gelas lalu diisi dengan susu bubuk.
Sophia yang sudah menyelesaikan sarapannya segera membereskan piring, dia berjalan melewati Edmund yang masih mengaduk susu. Sophia menyusun piring itu ke dalam mesin pencuci, menyetel pengaturan sesuai yang Rose ajarkan padanya dulu.
"Kemarilah, Sophie."
Kaki Sophia melangkah menuju pantry, menerima segelas susu yang sudah Edmund buat. Senyuman tercetak di wajah Sophia, dia meminum susu itu dengan cepat sampai habis. Edmund terkekeh ketika melihat bekas susu membentuk garis putih yang nampak seperti kumis pada wajah istrinya.
"Kenapa kau tertawa?"
Tangan Edmund merogoh saku celana, mengambil sebuah saputangan. Tanpa bicara, dia mengelap bibir Sophia. Saat tangannya mengelap bibir Sophia, dia meraih tangan istrinya. Udara panas mulai menyelimuti tubuh perempuan itu saat Edmund menatap dengan intens. Tangan Edmund yang sedang menggenggamnya juga membuat tubuh Sophia semakin kaku.
"Cuci ini untukku," ucap Edmund membuka telapak tangan Sophia yang sedang ia genggam lalu memberikan saputangan kotor.
Mata Sophia mengerjap beberapa kali, ekspektasi yang sudah ia susun dalam pikirannya kini hilang dalam sekejap. Bodohnya Sophia kalau berpikir Edmund akan melakukan sesuatu padanya. Nyatanya pria itu hanya akan menyuruhnya mencuci saputangan kotor.
"Jaga dirimu baik-baik, hubungi aku jika kau perlu sesuatu."
Sophia hanya mengangguk lemah, menatap Edmund yang sedang mengancingkan jas. Pria itu tampak kesulitan mengaitkan kancing terakhir. Sophia maju selangkah dan membantu Edmund mengaitkan kancing itu.
"Bolehkan aku keluar?" Sophia mendongak, menatap mata Edmund.
"Ke mana?"
"Menemui temanku."
"Tentu," ucap Edmund sambil mengangguk. Dia merogoh kembali saku celana untuk mengambil dompet.
"Pakai kartu kredit ini untuk kebutuhanmu." Edmund menyerahkan satu kartu kredit berwarna hitam pada Sophia.
"Baiklah, terima kasih."
"Hubungi Ben jika kau akan pergi, ia akan menjadi supir pribadimu."
"Nomornya?"
"Akan kukirim nanti."Edmund melihat jam tangan, dahinya berkerut saat mengetahui bahwa dia sudah terlambat.
"Aku harus pergi, Sophie." Edmund melangkahkan kaki menuju pintu apartemen.
"Hati-hati di jalan."
****
Sophia merebahkan tubuh di atas kasur, bersih-bersih di apartemen yang luas sangat melelahkan. Matanya terasa sangat berat. Sophia ingin tidur, tetapi dia masih penasaran akan sesuatu. Dia mengambil laptop yang diberikan Rose saat Edmund berada di Zurich.
Sophia membuka salah satu situs pencarian untuk mengetahui sesuatu. Setelah terbuka, dia menuliskan kata kunci Edmund D'allesandro. Tidak sampai lima detik, beberapa artikel muncul di layar. Sophia mengklik salah satu artikel yang menurutnya menarik.
Jika mendengar kata D'allesandro Corp, maka tidak akan lepas pada pria tampan bernama Edmund D'allesandro. Seorang pewaris tunggal berumur 32 tahun yang lahir di Buenos Aires, Argentina dari pasangan Roselaine D'allesandro seorang perancang busana dan Sergío D'allesandro seorang pengusaha. Sejak kecil Edmund dibesarkan di Argentina bersama kedua orangtuanya. Saat menginjak bangku sekolah, dia dan kedua orangtuanya pindah ke Los Angeles untuk memperluas bisnis.
Edmund menjadi anak tercerdas d isekolahnya, terutama dalam bidang sains. Dia lulus kuliah dengan predikat terbaik pada umur delapan belas tahun. Pria tampan yang digilai banyak wanita saat ini, masuk dalam kategori '20 hottest men' oleh majalah Time tiap tahunnya ....
Halaman terkait :
* D'allesandro Corp mendapat tuntutan dari salah satu rumah sakit di Zurich.
* Rugi $ 1,2 Milyar, William Blackstone dituntut penjara seumur hidup oleh D'allesandro Corp.
* Keluarga D'allesandro disebut keluarga paling berpengaruh di dunia.
Paling sering dikunjungi :
* Pewaris D'allesandro corp menikah diam-diam?
Sophia terus melihat artikel yang terkait hingga menemukan artikel lama yang membuatnya tertarik. Jari Sophia menekan dengan tidak sabar.
Tidak ada bosan-bosannya membicarakan tentang model cantik yang berasal dari Rusia, Sara Aleksandrovak, terutama dalam hal asmara. Dalam gosip yang beredar, Sara bertunangan dengan Edmund D'allesandro seorang pengusaha muda. Hal tersebut terlihat dalam postingan instagram Sara yang memperlihatkan foto dirinya bersama Edmund di sebuah acara resmi. Dalam foto tersebut, Sara dan Edmund memperlihatkan tangan kirinya yang memakai cincin berlian ....
Sophia menutup laptopnya tak suka. Ternyata wanita yang digilai Edmund adalah seorang model yang sangat cantik. Tidak heran jika Edmund tergila-gila. Karena penasaran, Sophia kembali membuka laptop dan terus mencari artikel tentang Edmund dan Sara. Namun, tidak ada, Sophia tidak menemukannya. Hanya ada artikel yang menuliskan bahwa mereka putus hubungan, tetapi tidak menjelaskan apa alasannya.
Saat Edmund menyetubuhinya, pria itu berulang kali menyebut nama Sara. Menandakan wanita itu sangat berpengaruh pada hidup suaminya.
"Apa Sara akan kembali?" Sophia bergumam kecil, ia menutup pintu apartemen dan berjalan dengan lesu menuju kamarnya.
--
Ig : @alzena2108Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Sophia mengerjapkan mata begitu sinar matahari masuk ke celah-celah gorden. Suara debur ombak terdengar jelas membuat kelopak matanya semakin terangkat. Dia melihat jam kemudian kembali menyelimuti dirinya hingga batas leher dan memejamkan mata.Semalam dia tidak bisa tidur, Sophia hanya diam sendirian sementara Edmund pergi ke Moscow karena tuntutan pekerjaan. Wanita mana yang tidak kesal ditinggalkan suaminya ketika keduanya selesai berciuman. Edmund tidak ingin Sophia kelelahan, dia memaksa istrinya untuk menginap satu hari di hotel.Sebelum pergi, Edmund memeluknya erat dan memberikan ciuman pada perutnya. Edmund benar-benar mengkhawatirkan keadaan Sophia, apalagi akhir-akhir ini istrinya sering kali merasa mual.Awalnya Edmund berniat menyuruh Rose untuk menemani Sophia, tetapi la
"Itu pekerjaan yang ringan, Mom. Sophie hanya melayani pembeli."Rose menyipitkan mata. "Sebenarnya apa alasanmu ingin bekerja, Sayang? Uang yang Edmund berikan pasti cukup memenuhi kebutuhanmu."Kepala Sophia menggeleng. "Bukan karena itu, Sophie tidak terbiasa hanya diam di apartemen.""Kalau begitu akan Mommy masukan kau ke kelas melukis atau menjahit, bagaimana?" tawar Rose kemudian meminum minumannya."Sophie tidak ingin hal seperti itu. Lagi pula bekerja bukanlah hal yang buruk," ucap Sophia dengan bibir mengerucut, membuat Rose gemas dan mencubit pipi menantunya."Memang bukan hal yang buruk, tapi kau akan kelelahan.""Sophie
"Aku sungguh minta maaf, Sophie," ucap Clara teman satu pekerjaan Sophia."Tidak apa-apa. Aku akan menontonnya sendiri." Sophia tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer."Bagaimana kalau kita menontonnya besok saja?" Tangan Clara menghentikan Sophia yang sedang mengetik. Dengan malas, Sophia menatap Clara yang ada di sampingnya."Kita sudah membeli tiketnya, sayang kalau dilewatkan, Clara."Tadinya mereka berdua akan menonton film bersama. Namun, rencana itu harus gagal karena Clara akan berkencan dengan pacarnya."Baiklah." Clara kembali ke mejanya yang ada di belakang Sophia. "Apa kau sudah selesai, Sophie?""Tentu saja." S
"Bagaimana hasilnya?"Perempuan itu membalikkan badan saat mendengar suara Clara."Cukup baik," ucap Sophia kembali memasukan barang-barangnya ke dalam dus. "Bagaimana denganmu, Clara?""Tidak begitu baik, klien yang aku temui itu sangat cerewet. Dia membuatku melewatkan makan siang," ucap Clara duduk di kursi milik Sophia."Tapi, Sophie, kenapa kau mengemasi barang-barangmu?""Ini waktunya jam pulang.""Aku tahu, tapi kau membereskan barang-barangmu seolah akan berhenti bekerja." Clara menyangga dagunya dengan tangan."Aku memang berhenti bekerja dari sini."
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."