Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.
Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat.
"Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah.
"Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.
Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
"Antar aku ke toko amazing bread and cookies."
"Baik, Nona."
Benjamin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mata Sophia memandang gedung-gedung pencakar langit. Dagunya bertumpu pada tangan kanannya agar nyaman menatap keluar. Mobil yang Sophia tumpangi melewati sebuah gedung tempat Sophia dan Edmund bertemu dulu, itu tempat Edmund bekerja. Gedung itu lebih besar dari gedung di sekitarnya, di depannya terdapat sebuah air mancur beserta patung seorang pria botak yang sedang membaca.
Mata Sophia beralih pada sisi kiri mobil, melihat orang-orang yang sedang berlalu lalang sibuk bekerja. Ia kembali mengingat bagaimana sibuknya dahulu. Seringkali Sophia tidak sempat makan siang karena sibuk.
Sophia memejamkan matanya sesaat lalu menyandarkan pundaknya pada kursi mobil.
"Apa kau sudah lama bekerja pada Edmund, Ben?"
"Sekitar 2 tahun, Nona," jawab Benjamin dengan menatap Sophia dari kaca.
"Kalau begitu apa kau mengenal seseorang bernama Sara?"
"Ya, Nona Sara dulunya tunangan Tuan Edmund. Saya sebelumnya bekerja sebagai supir pribadi Nona Sara."
Sophia menarik napasnya dalam, mencoba meredam rasa marah yang akan membuncah. Akhir-akhir ini emosinya sulit dikendalikan, moodnya terkadang turun drastis. Seperti seorang bipolar, perasaan Sophia selalu berubah ketika mendengar sesuatu yang bersangkutan dengan Sara.
"Supir pribadi?" Benjamin mengangguk. "Lalu apa alasan mereka berpisah?" Lanjut Sophia dengan rasa penasarannya yang masih tinggi.
"Maaf, Nona, tapi saya kurang tahu. Yang saya ingat hubungan mereka baik-baik saja, saya bahkan belum pernah melihat keduanya bertengkar," ucap Benjamin sembari menepikan mobilnya.
"Baiklah, terima kasih tumpangannya, Ben. Kau bisa pergi," ucap Sophia dengan tangan yang memegang pintu mobil, bersiap untuk keluar.
"Sama-sama, Nona. Tapi Tuan Edmund menyuruh saya menunggu anda ketika berpergian." Benjamin menolak secara halus.
"Ini mungkin akan cukup lama, kau sebaiknya pulang saja. Aku akan menghubungimu begitu selesai," ucap Sophia meyakinkan, tapi Benjamin tetap pada pendiriannya.
"Tidak apa, Nona. Saya akan menunggu."
"Baiklah," ucap Sophia dengan lemah, ia membuka pintu mobil dan menutupnya kembali setelah keluar. Dengan langkah lebar, Sophia berjalan menuju toko kue tempat Aurin bekerja. Saat Sophia membuka pintu toko, lonceng yang menempel pada pintu berbunyi, menjadi pesan pada pegawai bahwa seorang pelanggan telah datang.
"Selamat datang di- Sophia!" Aurin berteriak begitu keras ketika melihat sosok pelanggan yang baru saja membuka pintu, sontak saja beberapa pengunjung melihat ke arahnya.
Merasa malu, Aurin membungkukan badannya berberapa kali pada pengunjung di sana, kemudian ia menarik pelan tangan Sophia dan berjalan menuju dapur, tempat mereka bekerja bersama. Aurin langsung memeluk Sophia begitu mereka sampai di tempat mengadon kue.
"Astaga, Sophie, aku begitu merindukanmu." Aurin melepas pelukannya, kedua tangannya memegang pundak Sophia. "Kemana saja kau selama ini?"
"Aku tidak ke mana-mana, Aurin. Aku selalu berada di Los Angeles," ucap Sophia dengan nada bercanda.
"Kau mengundurkan diri, Sophia. Apartemen yang kau tempati kosong, tidak tahukah kau bagaimana aku mengkhawatirkanmu?"
Melihat wajah sendu Aurin membuat Sophia merasa bersalah, ia memeluk kembali Aurin. "Maaf," ucap Sophia pelan.
"Jangan menangis, aku tidak apa-apa. Sungguh." Sophia melepas pelukannya, menatap mata Aurin yang mulai berkaca-kaca.
"Aku mengkhawatikanmu, Sophie."
"Aku tahu, maaf," ucap Sophia diakhiri dengan senyuman, Aurin ikut tersenyum.
"Aku menuntut penjelasan!" Nada bicara Aurin meninggi.
"Baik, baik, kau sebaiknya izin dulu terhadap Tuan Headen. Aku ingin kita bicara berdua di Taman."
"Baiklah, aku akan meminta izin pria berkumis itu," ucap Aurin sambil tersenyum, ia melangkahkan kakinya menuju ruangan Tuan Headen untuk meminta izin.
Sementara Sophia melihat-lihat sekeliling dapur. Beberapa pekerja baru yang tidak Sophia kenal menyapanya. Sophia tersenyum, lalu kembali melihat sekeliling mencari seseorang.
"Apa Jaden masih bekerja di sini?" Sophia bertanya pada salah satu pekerja yang sedang mengocok telur.
"Ya, dia masih bekerja di sini. Tapi pagi tadi dia izin tidak bisa masuk."
Sophia mengangguk-anggukan kepalanya. Saat Sophia hendak kembali bertanya, Aurin datang ke arahnya sambil tersenyum. "Ayo," ucapnya sambil menggandeng tangan Sophia, keluar dari toko kue lewat jalan belakang.
mereka berdua berjalan beriringan menuju sebuah taman yang tidak jauh dari toko Tuan Headen. Jaraknya hanya beberapa puluh meter sajas. Aurin menarik tangan Sophia begitu ia melihat mobil ice cream di pinggir taman, keduanya duduk di salah satu kursi setelah memesan ice cream yang mereka mau.
"Jadi, kemana saja kau selama ini?" Kedua tangan Aurin bersedekap di atas meja putih yang ada di depannya.
"Sebenarnya saat ak-"
"Ini pesanan anda, Nona. Semoga kalian menikmatinya," ucap seorang pelayan memotong ucapan Sophia, ia menyimpan dua ice cream di atas meja.
"Terima kasih." Pelayan itu mengangguk pada Aurin sebelum melangkahkan kakinya kembali.
"Lanjutkan ceritamu," ucap Aurin, ia menyuapkan sesendok penuh ice cream ke dalam mulutnya.
Sophia menarik napasnya dalam, ia mulai menceritakan kejadian yang ia alami sembari memakan ice cream. Semuanya Sophia ceritakan dengan perlahan, tidak ada tambahan maupun pengurangan adegan dalam ceritanya.
Tangan Aurin mengepal, manahan amarah yang bisa meledak kapan saja. Sophia adalah orang yang Aurin sayangi, ia sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri. Aurin tidak terima dengan kejadian yang menimpa Sophia, meskipun ia berkata pria yang memperkosanya tanggung jawab, tetap saja amarah Aurin masih belum reda.
"Jadi, dia menikahimu?" Sophia mengangguk.
"Dan kalian akan bercerai ketika bayi itu lahir?" Sophia kembali mengangguk membuat Aurin tersenyum miris.
"Kau gila, Sophia. Pernikahan ini tidak ada untungnya sama sekali untuk dirimu!"
Kening Sophia berkerut. "Apa maksudmu?"
"Dasar, bodoh. Apa kau pernah memikirkan nasib anakmu setelah ia lahir kedunia? Kau akan bercerai dengan pria kaya itu, lalu anakmu akan menjadi korban, ia tidak bisa memiliki memiliki keluarga yang sempurna." Sophia menunduk, jari-jarinya saling bertautan.
"Lalu apa kau tahu bagian terburuknya, Sophie? Hak asuh anakmu akan jatuh pada ayahnya, kau tidak akan bisa tinggal bersamanya."
Tubuh Sophia menegang, ia mengangkat pandangannya. Menatap Aurin yang memandang kasihan padanya. "Aku akan mendapatkan hak asuh anakku. Dia akan tetap bersamaku, sampai kapanpun." Sophia memeluk perutnya yang masih datar dengan erat.
"Tidak 'kah kau ingat siapa yang kau hadapi, Sophia? D'allesandro! Mereka tidak akan membiarkan anak itu jatuh ke tanganmu."
Sophia menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mencoba mengatur napasnya agar tidak menjatuhkan air mata.
"Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Aurin. Yang aku pikirkan saat itu adalah nenek, aku tidak memikirkan bayi ini." Sophia mengelus perutnya yang masih datar, lalu kembali menatap Aurin. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Aurin menghembuskan napasnya kasar. "Aku tidak suka bicara seperti ini, Sophie. Tapi jika kau tidak ingin berpisah dengan anakmu, menangkanlah hati pria itu. Buat dia menjadikanmu seorang istri yang sangat dibutuhkan, dengan begitu takkan ada perceraian. Dan kau bisa terus bersama dengan anakmu," saran Aurin.
Sophia terdiam sesaat, perkataan Aurin terulang kembali dalam pikirannya. "Tapi, bagaimana dengan wanita bernama Sara itu?" Mata bulat Sophia menatap Aurin bingung.
"Mereka sudah berpisah, Sophie. Kini kau berada satu tingkat di atas wanita yang bernama Sara itu."
Sophia terus berpikir, tindakan apa yang akan ia ambil selanjutnya. Langkah mana yang akan pilih setelah ini.
Tanpa mereka sadari, seorang pria tersenyum kejam di balik pohon yang tidak jauh dari tempat Sophia dan Aurin. Pria itu mendengar semuanya dari awal, tentang masalah Sophia dan juga saran Aurin. Apa yang pria itu dengar akan membantunya menjalankan rencana yang sudah ia susun dengan mudah.
***
IG : @ALZENA2108
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Sophia mengerjapkan mata begitu sinar matahari masuk ke celah-celah gorden. Suara debur ombak terdengar jelas membuat kelopak matanya semakin terangkat. Dia melihat jam kemudian kembali menyelimuti dirinya hingga batas leher dan memejamkan mata.Semalam dia tidak bisa tidur, Sophia hanya diam sendirian sementara Edmund pergi ke Moscow karena tuntutan pekerjaan. Wanita mana yang tidak kesal ditinggalkan suaminya ketika keduanya selesai berciuman. Edmund tidak ingin Sophia kelelahan, dia memaksa istrinya untuk menginap satu hari di hotel.Sebelum pergi, Edmund memeluknya erat dan memberikan ciuman pada perutnya. Edmund benar-benar mengkhawatirkan keadaan Sophia, apalagi akhir-akhir ini istrinya sering kali merasa mual.Awalnya Edmund berniat menyuruh Rose untuk menemani Sophia, tetapi la
"Itu pekerjaan yang ringan, Mom. Sophie hanya melayani pembeli."Rose menyipitkan mata. "Sebenarnya apa alasanmu ingin bekerja, Sayang? Uang yang Edmund berikan pasti cukup memenuhi kebutuhanmu."Kepala Sophia menggeleng. "Bukan karena itu, Sophie tidak terbiasa hanya diam di apartemen.""Kalau begitu akan Mommy masukan kau ke kelas melukis atau menjahit, bagaimana?" tawar Rose kemudian meminum minumannya."Sophie tidak ingin hal seperti itu. Lagi pula bekerja bukanlah hal yang buruk," ucap Sophia dengan bibir mengerucut, membuat Rose gemas dan mencubit pipi menantunya."Memang bukan hal yang buruk, tapi kau akan kelelahan.""Sophie
"Aku sungguh minta maaf, Sophie," ucap Clara teman satu pekerjaan Sophia."Tidak apa-apa. Aku akan menontonnya sendiri." Sophia tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer."Bagaimana kalau kita menontonnya besok saja?" Tangan Clara menghentikan Sophia yang sedang mengetik. Dengan malas, Sophia menatap Clara yang ada di sampingnya."Kita sudah membeli tiketnya, sayang kalau dilewatkan, Clara."Tadinya mereka berdua akan menonton film bersama. Namun, rencana itu harus gagal karena Clara akan berkencan dengan pacarnya."Baiklah." Clara kembali ke mejanya yang ada di belakang Sophia. "Apa kau sudah selesai, Sophie?""Tentu saja." S
"Bagaimana hasilnya?"Perempuan itu membalikkan badan saat mendengar suara Clara."Cukup baik," ucap Sophia kembali memasukan barang-barangnya ke dalam dus. "Bagaimana denganmu, Clara?""Tidak begitu baik, klien yang aku temui itu sangat cerewet. Dia membuatku melewatkan makan siang," ucap Clara duduk di kursi milik Sophia."Tapi, Sophie, kenapa kau mengemasi barang-barangmu?""Ini waktunya jam pulang.""Aku tahu, tapi kau membereskan barang-barangmu seolah akan berhenti bekerja." Clara menyangga dagunya dengan tangan."Aku memang berhenti bekerja dari sini."
"Bagaimana penampilanku, Ed?" Sophia membolak-balik tubuhnya di hadapan cermin.Edmund sedang memakai kemeja menatap istrinya heran. Sedari tadi Sophia terus saja menanyakan pertanyaan yang sama."Kau terlihat cantik, Sophie.""Terima kasih, biar aku yang pilihkan," ucap Sophia saat Edmund hendak memilih dasi.Piliham Sophia jatuh pada dasi berwarna abu-abu dengan motif garis. Dia segera memakaikannya pada Edmund saat selesai mengancingkan lengan kemejanya."Jas mana yang akan kau pakai?""Itu," ucap Edmund menujuk jas berwarna abu yang menggantung rapi dengan jas lainnya."Jadi, p
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."