Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.
Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur.
"Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
"Kemana saja kau selama ini, Sophie? Tidak 'kah kau merindukan wajah tampanku?" Jaden merentangkan tangannya. Sophia terkekeh, ia berhambur memeluk Jaden yang sudah ia anggap sebagai saudara.
"Maaf," ucap Sophia, ia segera melepaskan pelukannya. Keduanya duduk di salah satu bangku kosong di dekat rak kaca yang dipenuhi roti dan kue.
"Tidak apa, yang penting kau sudah ada di sini menatap wajah tampanku."
"Berhenti memuji dirimu sendiri, Jaden. Kau tidak tampan sama sekali!" Aurin berucap tanpa menatap Jaden dengan tangan yang tidak berhenti bekerja.
"Oh, benarkah? Kalau begitu jelaskan kenapa banyak sekali foto candid diriku pada ponselmu, Aurin?" Pertanyaan Jaden membuat Aurin terdiam seketika, ia meletakan roti yang sedang ia pegang dengan asal lalu berjalan menuju dapur dengan gugup.
Sementara Sophia dan Jaden tertawa melihat tingkah Aurin, pipinya memerah.
"Kau mengetahuinya?" Jaden mengangkat satu alisnya. "Mengetahui apa?"
"Ayolah, aku yakin kau sudah tahu kalau Aurin sangat menyukaimu," ucap Sophia menepuk bahu Jaden sambil terkekeh.
"Ya, aku mebgetahuinya. Apa itu mengerikan?" Sophia terkikik geli, ia menggelengkan kepalanya. "Lebih mengerikan pembunuh berantai daripada mengetahui seseorang menyukaimu," ucapnya dengan nada bercanda.
"Kau tahu tentang pembunuhan berantai itu, Sophie?"
Sophia mengangguk. "Aku melihatnya dalam TV dan internet. Sungguh mengerikan dia memutilasi korbannya dan membuangnya begitu saja."
"Benarkah?"
Sophia kembali mengangguk. "Ya, aku juga melihat berita bahwa di dahi para korban mutilasi terdapat berlian yang menancap. Polisi bilang hal itu menjadi bukti kalau pelaku pembunuhan adalah orang yang sama."
Jaden tertawa kecil. "Wah, sepertinya kau mengikuti perkembangan kasus itu."
Sophia mendekatkan wajahnya pada telinga Jaden. "Sebenarnya aku penasaran dengan pelakunya, jadi aku sangat mengikuti perkembangannya," ucap Sophia sambil berbisik. Jaden kembali tertawa sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Astaga, kau ini." Jaden kembali mengatur napasnya.
"Aurin bilang kau berhenti kulian, apa itu benar, Jaden?"
Jaden menganggukan kepalanya. "Ya memang, sesuatu terjadi begitu saja." Jaden memperlihatkan wajah murung, membuat Sophia refleks mengelus tangannya.
"Memangnya apa yang terjadi?"
"Jaden kembali bekerja!"
Teriakan Tuan Headen menahan Jaden yang hendak bicara. Ia berdiri dari duduknya. "Aku harus kembali bekerja, Sophie."
"Tidak apa, aku juga akan pulang," ucap Sophia ikut berdiri dari duduknya.
"Sekarang?" Sophia mengangguk. "Kalau begitu akan aku panggilkan Aurin," lanjut Jaden sembari berjalan menuju dapur.
Beberapa detik kemudian Aurin keluar dari dapur, ia membersihkan bajunya yang terkena tepung sambil berjalan.
"Kau akan pulang sekarang?" Sophia mengangguk.
"Sekarang bahkan belum memasuki jam makan siang, Sophie. Kenapa kau ingin pulang?"
"Aku mengantuk," ucap Sophia membuat Aurin mencebikan bibirnya.
"Dasar ibu hamil. Kalau begitu akan aku antar kau sampai ke depan."
"Okay." Sophia mengambil tasnya yang ada di atas kursi. Berjalan keluar toko diikuti oleh Aurin dari belakang. Namun, langkahnya terhenti di pinggir jalan saat tidak menemukan mobil hitam yang tadi mengantarnya.
"Ada apa, Sophie?"
"Mobilnya tidak ada," tunjuk Sophia ke dekat tiang tempat mobilnya tadi terparkir.
"Coba kau hubungi sopirnya."
Sophia mengambil ponsel dari tasnya, baru juga dirinya akan menghubungi Benjamin, sebuah mobil hitam berjenis ferrari berhenti di depan Sophia dan Aurin. Setelah mesinnya mati, pemiliknya keluar sambil membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Kemejanya digulung hingga siku membuatnya semakin tampan.
Edmund berjalan mendekati Sophia. Begitu ia sampai di hadapan istrinya, Edmund mendapatkan tamparan dari Aurin. Mata Edmund beralih menatap perempuan yang berdiri di samping Sophia.
"Itu untuk kau yang menghancurkan masa depan sahabatku," ucap Aurin dengan berapi-api. Tanpa diduga Aurin kembali melayangkan tamaparan pada Edmund.
"Dan itu untuk benih yang kau tanam," lanjut Aurin dengan tangan yang menunjuk wajah Edmund.
"Aurin, jangan seperti ini," ucap Sophia setengah berbisik. Aurin menatap sekilas sahabatnya, mengatur napasnya sebelum kembali melangkah menuju ke dalam toko untuk meredakan rasa marahnya.
"Apa kau tid-"
"Ayo pulang." Edmund memotong ucapan Sophia, ia menarik tangan istrinya dan membawanya ke dalam mobil.
"Maaf, amarah Aurin terkadang tidak bisa dikendalikan."
"Tidak apa," ucap Edmund menyalakan mesin mobil dan memasuki jalan raya.
"Kenapa kau yang menjemputku? Kemana Benjamin?"
"Dia pergi ke rumah sakit, istrinya meninggal."
"Oh astaga," gumam Sophia, ia mengalihkan pandangannya dari Edmund. Menatap ke arah depan selama beberapa saat. Ketika Sophia mengingat kejadian pagi tadi, saat seorang mengantarkan belanjaan untuknya. Matanya kembali menatap Edmund yang sedang menyetir.
"Ed."
"Ya?" Edmund menatap Sophia sekilas. "Ada apa?"
"Pagi tadi ada seorang pegawai Coast Plaza mengantarkan pesanan atas nama Sara."
Edmund terdiam, beberapa detik Sophia tidak mendapatkan jawaban. Kecepatan mobil yang dikemudikan Edmund menurun.
"Apa kau tinggal serumah dengan Sara?" Sophia bertanya dengan pelan.
"Tidak. Sara memesan pada Coast Plaza untuk mengirim bahan makanan ke apartemenku sejak tahun lalu karena aku malas belanja," ucap Edmund, ia menaikan kembali kecepatan mobilnya.
Hening beberapa saat.
"Aku akan meminta pihak Coast Plaza menghentikan pengiriman tiap bulannya, jadi kau bisa berbelanja sendiri."
Sophia hanya menganggukan kepalanya. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh tentang seseorang yang bernama Sara, tapi wajah Edmund yang terlihat marah membuat Sophia mengurungkan pertanyaannya.
"Kau akan makan siang di rumah?"
Edmund menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku memiliki banyak pekerjaan," ucapnya menjadi akhir percakapan mereka di dalam mobil.
Edmund kembali ke kantornya setelah mengambil berkas yang tertinggal di apartemen. Meninggalkan Sophia yang masih memiliki banyak pertanyaan tentang Sara dan juga nasib pernikahannya di kemudian hari.
***
Saat jam mulai memasuki waktu makan malam, Sophia segera menyiapkan makanan untuk Edmund. Pria itu belum pulang dari kantor, Sophia pikir Edmund akan pulang saat jam makan malam. Namun, ketika jam sudah menunjukan pukul 10 malam, Edmund belum juga pulang.
Wajar saja seorang istri mengkhawatirkan suaminya yang belum pulang ke rumah, itulah yang Sophia rasakan saat ini. Ia duduk di sofa sambil menonton tv, sesekali Sophia melihat ponselnya, melihat apakah Edmund mengirimkan pesan untuknya atau tidak.
Lima belas menit berlalu, Sophia masih setia menunggu Edmund. Akhirnya ia memutuskan menelpon Edmund untuk menanyakan keberadaannya saat ini. Sayangnya Edmund tidak mengangkat panggilan Sophia, hal itu terjadi selama 2 menit.
Di saat Sophia mulai lelah berdiri sambil menghubungi Edmund, tiba-tiba saja pintu apartemen terbuka. Pandangan Sophia beralih pada sosok pria yang kini berstatus sebagai suaminya, Sophia menyimpan ponselnya di atas sofa dengan mata masih memperhatikan Edmund.
"Kenapa kau pulang terlambat, Ed?"
Edmund yang baru saja menutup pintu menatap Sophia dengan datar. "Aku banyak pekerjaan."
"Lalu kenapa kau tidak mengangkat panggilanku?"
"Ponselku dalam mode silent," ucap Edmund mulai melangkahkan kakinya.
"Baiklah, tak apa. Apa kau sudah makan malam?"
Edmund menggeleng.
"Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Tunggu sebentar, aku akan memanaskannya."
"Tidak usah," ucap Edmund menghentikan langkah Sophia menuju dapur. "Aku tidak ingin makan," lanjutnya melewati Sophia yang sedang berdiri.
Perempuan itu memejamkan matanya, menghirup udara di sekitarnya agar amarahnya mereda. Sayangnya bayangan saat dirinya lelah memasak dan menunggu Edmund membuat amarah Sophia semakin meningkat. Ia membalikan badannya, menatap Edmund yang berjalan mendekati tangga.
"Tidak bisakah kau menghargaiku? Aku menyiapkan makan malam untukmu, menunggumu pulang hingga selarut ini!"
Edmund menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik melihat Sophia yang menatapnya kesal.
"Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu, Sophie."
"Ya, kau memang tidak memintanya. Tapi aku menghargaimu sebagai suamiku, Ed. Aku istrimu, pernikahan kita sah, tidak bisakah kau memperlakukanku selayaknya seorang istri?!"
"Dengar, Sophia, aku sedang lelah saat ini, jangan memancing emosiku" ucap Edmund dengan penuh penekanan. Mencoba memberitahu Sophia lewat nada bicaranya bahwa ia sedang berusaha menahan amarah.
"Oh, kau lelah? Kalau begitu lupakan saja." Sophia melangkah hendak mendahului Edmund menuju kamar, tapi tangannya di cekal oleh Edmund dan membuat langkah Sophia tertahan.
"Aku tidak ingin ada pertengkaran di rumah ini."
"Kalau begitu cobalah untuk menghargai dan menganggapku sebagai seorang istri," ucap Sophia sambil mencoba melepaskan tangan Edmund yang mencekalnya.
"Akan aku turuti keinginanmu."
Ketika Sophia membuka mulut untuk membalas perkataan Edmund, bibirnya lebih dulu dibungkam oleh ciuman Edmund. Sebuah ciuman yang memaksa, pria itu menahan tangan Sophia yang meronta.
"Apa yang kau lakukan?!" Sophia berteriak begitu Edmund melepaskan ciumannya, matanya mulai berair, Sophia mengingat kembali malam saat Edmund memperkosanya. Ia ketakutan.
"Aku menganggapmu sebagai seorang istri, Sophie."
Dan Edmund kembali mendaratkan bibirnya pada bibit Sophia. Menahan rontaan istrinya ketika Edmund membawa tubuh Sophia berbaring di sofa yang ada di sana.
Bodohnya sophia melupakan perkataan ibu mertuanya. Jika Edmund sedang lelah atau marah, hindari dia. Biasanya sifat Edmund akan berbeda dari biasanya. Sulit dikendalikan. Itu yang Rose ucapkan beberapa hari yang lalu.
Namun Edmund lebih bodoh, ia melupakan Sophia yang sedang mengandung anaknya. Sophia marah-marah karena memang khawatir, terlepas dari itu mood Sophia selalu naik turun akibat kehamilannya. Seharusnya Edmund menyadari hal itu, seharusnya ia bisa mengendalikan diri dan mencoba memenuhi keinginan Sophia dengan cara lain.
---
Ig : @alzena2108Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Sophia mengerjapkan mata begitu sinar matahari masuk ke celah-celah gorden. Suara debur ombak terdengar jelas membuat kelopak matanya semakin terangkat. Dia melihat jam kemudian kembali menyelimuti dirinya hingga batas leher dan memejamkan mata.Semalam dia tidak bisa tidur, Sophia hanya diam sendirian sementara Edmund pergi ke Moscow karena tuntutan pekerjaan. Wanita mana yang tidak kesal ditinggalkan suaminya ketika keduanya selesai berciuman. Edmund tidak ingin Sophia kelelahan, dia memaksa istrinya untuk menginap satu hari di hotel.Sebelum pergi, Edmund memeluknya erat dan memberikan ciuman pada perutnya. Edmund benar-benar mengkhawatirkan keadaan Sophia, apalagi akhir-akhir ini istrinya sering kali merasa mual.Awalnya Edmund berniat menyuruh Rose untuk menemani Sophia, tetapi la
"Itu pekerjaan yang ringan, Mom. Sophie hanya melayani pembeli."Rose menyipitkan mata. "Sebenarnya apa alasanmu ingin bekerja, Sayang? Uang yang Edmund berikan pasti cukup memenuhi kebutuhanmu."Kepala Sophia menggeleng. "Bukan karena itu, Sophie tidak terbiasa hanya diam di apartemen.""Kalau begitu akan Mommy masukan kau ke kelas melukis atau menjahit, bagaimana?" tawar Rose kemudian meminum minumannya."Sophie tidak ingin hal seperti itu. Lagi pula bekerja bukanlah hal yang buruk," ucap Sophia dengan bibir mengerucut, membuat Rose gemas dan mencubit pipi menantunya."Memang bukan hal yang buruk, tapi kau akan kelelahan.""Sophie
"Aku sungguh minta maaf, Sophie," ucap Clara teman satu pekerjaan Sophia."Tidak apa-apa. Aku akan menontonnya sendiri." Sophia tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer."Bagaimana kalau kita menontonnya besok saja?" Tangan Clara menghentikan Sophia yang sedang mengetik. Dengan malas, Sophia menatap Clara yang ada di sampingnya."Kita sudah membeli tiketnya, sayang kalau dilewatkan, Clara."Tadinya mereka berdua akan menonton film bersama. Namun, rencana itu harus gagal karena Clara akan berkencan dengan pacarnya."Baiklah." Clara kembali ke mejanya yang ada di belakang Sophia. "Apa kau sudah selesai, Sophie?""Tentu saja." S
"Bagaimana hasilnya?"Perempuan itu membalikkan badan saat mendengar suara Clara."Cukup baik," ucap Sophia kembali memasukan barang-barangnya ke dalam dus. "Bagaimana denganmu, Clara?""Tidak begitu baik, klien yang aku temui itu sangat cerewet. Dia membuatku melewatkan makan siang," ucap Clara duduk di kursi milik Sophia."Tapi, Sophie, kenapa kau mengemasi barang-barangmu?""Ini waktunya jam pulang.""Aku tahu, tapi kau membereskan barang-barangmu seolah akan berhenti bekerja." Clara menyangga dagunya dengan tangan."Aku memang berhenti bekerja dari sini."
"Bagaimana penampilanku, Ed?" Sophia membolak-balik tubuhnya di hadapan cermin.Edmund sedang memakai kemeja menatap istrinya heran. Sedari tadi Sophia terus saja menanyakan pertanyaan yang sama."Kau terlihat cantik, Sophie.""Terima kasih, biar aku yang pilihkan," ucap Sophia saat Edmund hendak memilih dasi.Piliham Sophia jatuh pada dasi berwarna abu-abu dengan motif garis. Dia segera memakaikannya pada Edmund saat selesai mengancingkan lengan kemejanya."Jas mana yang akan kau pakai?""Itu," ucap Edmund menujuk jas berwarna abu yang menggantung rapi dengan jas lainnya."Jadi, p
Malam yang gelap kini harus mengalah membiarkan matahari mengambil bagiannya, dia mengintip perlahan di ufuk timur untuk membangunkan seseorang yang masih tertidur. Belum juga cahaya matahari menerobos masuk ke gorden, perempuan yang sedang tertidur itu lebih dulu membuka matanya.Dia mengedarkan pandangan mencari suaminya, tapi suara gemercik air membuat Sophia yakin kalau Edmund ada di kamar mandi. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat jam yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi, yang artinya dia baru tertidur selama 4 jam.Tidak tahan dengan rasa kantuk yang terus menggoda, akhirnya Sophia kembali menjatuhkan kepalanya di atas bantal. Menaikan selimut untuk menutupi tubuh polosnya, mata Sophia kembali terpejam.Sophia tidak menyesal membiarkan Edmund menyentuhnya, dia
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."