Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.
Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
Kenapa ia hanya bertelanjang dada? gumam Sophia dalam hati sambil membuka selimut yang membelit tubuh.
"Aaa!"
Seketika Edmund membuka mata saat mendengar seseorang berteriak. Ditatapnya Sophia yang sedang duduk di atas ranjang sambil menahan selimut yang hampir melorot.
"Ke-kenapa aku tidak pakai baju? Kau-kau memperkosaku lagi?!" Suara Sophia semakin meninggi. Dia mulai histeris ketika Edmund bangun dan mendekat. Tangannya melemparkan bantal dan guling ke arah Edmund.
"Berhenti melempar bantal padaku." Tangan Edmund mencoba menahan semua serangan dari Sophia hingga perempuan itu tidak lagi melemparkan apa pun padanya. Edmund menatap tajam Sophia sambil bergerak mendekat.
"Jangan mendekat!" Sophia kembali meneriaki Edmund, matanya membulat saat pria itu menahan selimut yang ia kenakan. Dia berusaha menarik selimut itu agar bisa terus bergerak mundur, menciptaka jarak antara dirinya dan Edmund.
"Berhenti menarik selim-aaah!" Teriakan Sophia memenuhi kamar saat pantatnya tidak lagi menyentuh permukaan ranjang. Dia memejamkan mata, siap untuk terjatuh ke bawah, tetapi Edmund dengan sigap memegang pinggang Sophia hingga posisi mereka berpelukan dengan kepala yang hampir menyentuh lantai. Edmund menarik Sophia ke tengah ranjang. Sophia membelitkan selimut ke tubuhnya dengan cepat.
"Aku sudah pernah melihatnya lebih dari itu." Ucapan Edmund membuat pipi Sophia memanas.
"Kau brengsek!" Sophia menendang kaki Edmund dengan kesal. "Teganya kau memperkosaku lagi." Dia langsung membenamkan wajah di sela-sela lutut yang menekuk.
"Hei, kenapa kau menangis? Aku tidak memperkosamu, bodoh."
Sophia menegakkan kembali kepalanya, isak tangisnya kini telah reda. Dia menatap Edmund dengan tidak percaya. "Tidak?" Sophia kembali memastikan apa yang baru saja ia dengar.
Edmund menganggukkan kepala. "Aku tidak melakukan apa pun padamu," ucap Edmund dibalas tatapan curiga oleh mata Sophia. Perempuan itu menatap tubuhnya di balik selimut kemudian menatap kembali Edmund dengan tajam.
"Lalu kenapa aku hanya memakai BH dan celana pendek saja? Dan kau juga, kenapa hanya ...." Ucapan Sophia tergantung begitu melihat tubuh Edmund. Dia baru sadar kalau dari tadi pria itu tidak menutupi tubuhnya. Lagi-lagi Sophia kembali menelan ludah kasar. Dia menggelengkan kepala, menghapus pikiran aneh dalam otaknya. Sedetik kemudian, dia kembali menatap Edmund dengan tajam.
"Kau pasti melakukan sesuatu padaku, ‘kan? Lihat saja tubuhmu yang bertelanjang dada."
Edmund terkekeh pelan sebelum mendekat ke arah Sophia dan memukul pelan kening perempuan itu. Bibir Sophia mengaduh kesakitan sambil memegang kening.
"Memorimu jelek, Sophia. Coba kau ingat kembali apa yang telah terjadi," ucap Edmund sambil berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Sophia yang masih mematung kebingungan.
Mata Sophia menatap ke atas, mencoba mencari tahu apa yang terjadi semalam. Lalu, kilas kejadian semalam itu tiba-tiba masuk dalam pikiran Sophia.
Edmund kembali ke balkon ketika mendengar suara orang berenang. Dia berpikir Sophia sedang berenang di tengah malam seperti ini. Dan jika itu benar, Edmund sudah siap mengeluarkan amarahnya pada Sophia. Bayi yang ada dalam kandungan bisa celaka, itu yang dikhawatirkannya.
Begitu menggeser pintu kaca menuju teras, Edmund membulatkan mata saat melihat Sophia sedang meronta-ronta di dalam air. Dengan cepat, dia masuk ke dalam kolam, menggapai pinggang Sophia dan membawanya ke permukaan. Dia menidurkan Sophia di pinggir kolam renang, pahanya dijadikan bantalan untuk kepala Sophia yang kini memejamkan matanya.
"Bangunlah, Sophia! Jangan membuatku semakin bersalah." Edmund menepuk pipi Sophia yang memutih berkali-kali. Raut wajah pria itu memperlihatkan kekhawatiran, takut sesuatu yang buruk terjadi pada perempuan ini. Jika itu benar terjadi, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Kini Edmund sedang berusaha membuat Sophia bangun, memberi napas buatan berulang-ulang.
Edmund mendesah lega ketika Sophia terbatuk-batuk memuntahkan air dari mulut. Refleks, Edmund mencium kening Sophia beberapa saat sebelum menggendong perempuan itu ke kamarnya. Sementara Sophia belum bisa sadar sepenuhnya, tubuhnya lemas tidak memiliki tenaga.
Perlahan dia membaringkan tubuh Sophia di sofa untuk membuka seluruh pakaiannya. Akan tetapi, gerakan Edmund terhenti saat akan melepas celana dalam Shopia.
Terkutuklah tata krama, ucap pikiran Edmund sambil membuka seluruh pakaian perempuan itu. Dia mengambil pakaian hangat miliknya untuk dikenakan pada tubuh Sophia. Setelah selesai, dia memindahkan perempuan itu ke atas ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal dan menyalakan pemanas ruangan.
Desahan lega keluar dari bibir Edmund. Dia segera mengganti bajunya yang basah. Pikiran Edmund terlalu penuh oleh Sophia sehingga dia memutuskan untuk menghubungi dokter pribadinya untuk memastikan keadaan Sophia dan bayi yang ada dalam kandungannya. Namun, saat Edmund hendak melangkahkan kaki, salah satu tangannya ditahan oleh Sophia yang membuka sedikit matanya.
"Aku kedinginan," ucap Sophia dengan bibir pucat yang bergetar.
"Tunggu sebentar, aku akan panggilkan dokter." Edmund mengelus rambut Sophia dan hendak pergi menelepon, tetapi Shopia mengeratkan genggaman.
"Dingin," ucap Sophia dengan matanya yang mulai kembali tertutup.Melihat Sophia yang sangat lemah membuat Edmund semakin khawatir. Dia memutuskan naik ke atas ranjang, ikut masuk ke dalam selimut dan mendekap erat tubuh Sophia.
"Dingin," ucap Sophia dengan lirih.
Edmund merasakan tubuh Sophia bergetar kedinginan, rasa khawatirnya kembali bertambah. Dia melepaskan pelukan dan membuka kaosnya. Edmund juga membuka baju hangat yang menempel pada tubuh Sophia.
"Apa yang kau lakukan?" Suara Sophia hampir tidak terdengar, matanya kembali tertutup.
"Membuat dirimu hangat," ucap Edmund kembali masuk ke dalam selimut, memeluk erat tubuh Sophia. Kulit mereka saling bersentuhan, menghantarkan rasa hangat yang menggelitik. Pelukan Edmund semakin erat dan mengusap punggung telanjang Sophia dengan lembut. Dia mengaitkan kakinya pada kaki Sophia. Bukan hanya itu, tangan Edmund juga menggenggam erat tangan Sophia untuk menghantarkan rasa hangat.
Seketika rasa hangat dan nyaman memenuhi tubuh Sophia. Dia menggesekan kepala pada dada Edmund mencari posisi yang enak. Hingga akhirnya dia memejamkan mata setelah mendapat kehangatan yang ia butuhkan, kesadarannya benar-benar hilang berganti dengan mimpi. Elusan tangan Edmund pada punggung Sophia melambat, ia ikut terlelap mengikuti jejak Sophia.
"Oh Tuhan, aku mengingatnya sekarang!" Sophia menggulung dirinya dalam selimut saat mengingat kejadian itu. "Aku akan kembali ke kamarku." Dia menjepit selimut pada kedua lengannya. Namun, saat kakinya menginjak lantai, Sophia meringis kesakitan. Luka akibat pecahan kaca itu kembali basah.
Sophia kembali mengempaskan pantat pada ranjang lalu berguling ke belakang untuk merebahkan lagi tubuhnya. Dengan cepat, dia menyembunyikan lagi wajah di balik selimut saat mendengar pintu kamar mandi Edmund terbuka.
Rasa malu mengingat kejadian semalam membuat Sophia tidak mau menatap wajah Edmund. Beberapa menit dia tetap dalam posisi seperti itu, meringkuk menyembunyikan seluruh bagian tubuh. Saat merasakan seseorang menarik selimut yang dikenakan, dia langsung menyembulkan kepala dan menatap orang itu dengan malu-malu.
"Buka selimutnya," perintah Edmund sambil menarik Sophia agar duduk di atas ranjang.
"Kau mau apa?" Kedua tangan Sophia tersilang di dada.
"Apa kau tidak akan memakai baju seharian? Aku tahu kau masih lemas, itu sebabnya aku mencoba membantumu." Edmund mengatakan kalimat itu dengan serius, membuat Sophia terhipnotis untuk membuka selimut yang menutupi tubuhnya.
Dia membiarkan Edmund melihat bagian atas tubuhnya dan memakaikan baju ke tubuh Sophia dengan penuh kelembutan. Saat mata Sophia menatap Edmund yang sedang mengancingkan baju depannya, dia tidak melihat percik gairah dalam mata itu. Sophia hanya melihat sebuah ketulusan.
Setelah memakaikan baju, Edmund turun ke lantai bawah untuk membuat sarapan. Sementara Sophia masih diam di kamar pria itu. Matanya menjelajahi seluruh bagian kamar yang bisa ia lihat. Satu hal yang membuat Sophia heran, kali ini tidak ada lagi foto-foto yang terpajang di dinding kamar. Hanya ada lukisan besar yang menggantikannya.
Mata Sophia segera beralih ke arah pintu saat mendengar pintu itu terbuka, menatap Edmund yang berjalan ke arahnya dengan membawa baki berisi makanan. Pria itu duduk di samping ranjang, dekat dengan Sophia yang duduk bersandar.
"Buka mulutmu," ucap Edmund sambil menyodorkan sendok berisi bubur gandum pada mulut Sophia.
Kepala Sophia malah menggeleng dan bibirnya terkatup rapat, tidak menerima suapan dari Edmund. "Aku bisa sendiri."
"Buka mulutmu, Sophie." Edmund berucap penuh penekanan, membuat Sophia sedikit ketakutan. Perempuan itu membuka mulutnya, membiarkan Edmund menyuapi sarapan hingga bubur gandum itu habis.
Tangan Edmund kini memegang segelas susu dan memberikannya pada Sophia. "Hari ini aku meminta Mommy mengirim beberapa pelayan untuk membantu pekerjaanmu." Sophia menghentikan gerakan meminum susunya dan menatap Edmund. "Hanya beberapa hari sampai kau sembuh." Dia melanjutkan perkataannya saat mulut Sophia hendak terbuka.
Shopia mengangguk dan meminum susunya hingga habis. "Terima kasih," ucap Sophia memberikan gelas kosong pada Edmund. Pria itu mengambilnya lalu meletakkannya di nakas.
"Jadi bagaimana kau bisa berenang tengah malam tadi?" Edmund mendekatkan tubuh pada Sophia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Sebenarnya aku pu—"Ucapan Sophia terpotong saat mendengar bunyi bel, memutus pembicaraan di antara mereka berdua. Edmund segera turun ke lantai bawah sambil membawa peralatan bekas makan Sophia. Dengan cepat, dia membuka pintu apartemen dan tersenyum saat melihat siapa yang datang. Ternyata itu beberapa pelayan yang Rose kirim. Edmund mempersilahkan kelima pelayan itu untuk masuk.
"Selamat pagi, Tuan," sapa mereka sambil menundukan kepalanya sebelum masuk ke dalam.
"Pagi," jawab Edmund dengan ramah. Tangan Edmund yang hendak menutup pintu terhenti karena mendengar suara langkah kaki mendekat dari koridor, Edmund melangkah keluar dari pintu, dia tersenyum saat melihat seorang dokter berjalan menuju apartemennya.
***
IG : @ALZENA2108
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa
"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."