Kesepakatan itu dibuat tanpa adanya penandatanganan di atas kertas, hanya ucapan saja. Edmund menyetujui permintaan Sophia, tetapi dia meminta Sophia untuk berhenti bekerja di mana pun dengan alasan bayi yang ada dalam kandungan. Keduanya melewati perdebatan panjang dalam mobil mengenai hal itu hingga akhirnya Sophia tidak bisa melawan, dia mengangguk pasrah setelah telinganya panas mendengar perkataan Edmund.
Pandangan Sophia terpaku ke luar jendela mobil, sementara Edmund fokus menyetir. Keduanya dalam perjalanan menuju rumah orangtua Edmund. Sebenarnya ada rasa takut pada diri Sophia. Dia takut akalu kedua orangtua Edmund menolak dirinya sebagai menantu dalam keluarga D'allesandro.
Beberapa jam dalam mobil mereka lewati dengan keheningan hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah mansion. Sophia tersadar dari lamunannya, dia keluar dari mobil saat Edmund membukakan pintu untuknya. Sophia terpaku dengan apa yang dilihatnya. Mansion ini begitu megah dan mewah. Terlihat beberapa pelayan yang berlalu-lalang melakukan pekerjaan. Mereka memakai pakaian yang sangat rapi dan terlihat mahal untuk ukuran seorang pelayan. Sophia berdiri mematung dan tidak menyadari kalau Edmund sudah melangkah terlebih dahulu. Saat tahu Edmund tidak ada di sampingnya, Sophia mengedarkan pandangan dan menangkap Edmund sudah jauh di depannya. Sophia berlari hingga langkahnya sejajar dengan Emund.
"Bisakah kau tidak berlari ?" Edmund menatap Sophia kesal tanpa menghentikan langkahnya. Tatapan Sophia beralih pada Edmund, memandangnya tak kalah kesal.
"Bisakah kau tidak meninggalkanku begitu saja?" Edmund menghentikan langkah dan menatap Sophia dingin. Mata mereka beradu tanpa gentar.
"Apa?" Sophia mengangkat dagunya seolah menantang.
"Bi-"
"Selamat datang, Señor." Perkataan Edmund terpotong pria tua yang berjalan mendekatinya. Namanya Bernand, pria tua yang mengabdikam dirinya pada keluarga D'allesandro.
"Apa orangtuaku ada di dalam?" Pandangan Edmund pada Sophia terputus.
"Iya, Señor. Mereka ada di taman belakang" Bernand membungkukkan badan ketika Edmund kembali melangkah diikuti seorang perempuan muda.
Edmund berjalan memutari mansion untuk menuju taman belakang. Dia menarik pinggang Sophia saat matanya terus saja melihat ke sana-ke mari tanpa memperhatikan langkahnya.
"Apa yang kau lakukan?" Sophia mencoba melepaskan tangan Edmund yang melingkar pada pinggangnya, tapi pria itu malah semakin mengeratkannya.
"Diamlah," ucap Edmund memelototi Sophia. Perempuan itu malah berdecak kesal, mata Sophia menatap ke depan. Tepatnya pada seorang wanita yang duduk membelakangi sambil menelpon.
"Mommy." Rose membalikkan badan saat mendengar panggilan yang ia kenal. Dia tersenyum ketika melihat putra semata wayangnya datang.
"Ed, kemarilah," ucap Rose sambil berdiri dan merentangkan tangannya. Edmund tersenyum, melepaskan lingkaran tangan pada Sophia dan berjalan cepat untuk memeluk Rose. Kerutan tercetak jelas saat dia melihat seorang perempuan yang menunduk sambil memainkan kuku jarinya.
"Itukah korbanmu malam itu, Nak ?" Edmund melepaskan pelukan Rose, menatap kesal ibunya.
"Kemarilah," ucap Edmund pada Sophia saat ia duduk di kursi yang ada di samping Rose. Dengan langkah pelan, Sophia berjalan mendekati Edmund dan duduk di sampingnya.
"Hai, Sayang. Aku Roselaine, siapa namamu?" Tangan Rose memegang tangan Sophia, menatapnya lembut dengan senyuman yang tidak luntur dari wajahnya.
"Sophia, Nyonya. Anda bisa memanggilku Sophie," ucap Sophia dengan pelan. Rasa lega menyelimuti hatinya saat Rose memperlakukannya dengan baik.
"Mom, Sayang. Panggil aku Mom." Sophia menatap mata Rose dengan tatapan berbeda dari sebelumnya, dia teringat pada ibunya yang telah meninggal. Tanpa disadari, air matanya jatuh dan dengan cepat tangannya mengusap kasar air mata itu.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kau menangis?" Tangan Rose ikut terangkat menghapus air mata Sophia.
"T-tidak, Mom. Aku hanya merasa senang menyebut kata itu lagi," ucap Sophia kembali memamerkan senyumannya. Rose yang mendengar itu memeluk Sophia dan mengusap punggungnya pelan.
Edmund memutar bola matanya malas. "Drama," ucapnya tanpa suara. "Berhentilah saling memeluk." Edmund berucap sambil menatap kesal pada Rose dan Sophia yang masih saja saling memeluk.
Rose yang marah pada Edmund menatapnya tajam kemudian menjitak kepalanya karena merusak momen. Terpaksa pelukannya dengan Sophia terlepas.
"Berhentilah memukulku, Mommy," geram Edmund sambil memegang kepala. Sophia tersenyum kecil melihat adegan itu.
"Kami akan menikah dua minggu lagi, Mom."
"Apa?!" Rose dan Sophia berteriak secara bersamaan.
"Apa kalian belum membersihkan kotoran telinga?" Edmund menatap heran kedua wanita yang kini menatapnya tajam. Akibat pertanyaan anehnya, Edmund dihadiahi injakan kaki oleh Rose.
"Mom, berhentilah membuatku terlihat konyol," ucap Edmund mengelus kakinya yang diinjak oleh Rose.
"Kenapa terburu-buru? Mommy belum menyiapkan apa pun, kau harus menunggu sebulan lagi." Rose mengangkat tangannya, menunjuk wajah Edmund.
"Tidak bisa, Mommy," ucap Edmund penuh penekanan. Dia meminum teh yang dibawakan pelayan untuknya.
"Ayolah, Ed. Kau pewaris tunggal, jadi pesta pernikahanmu harus dipersiapkan jauh hari." Rose mengambil cangkir yang sedang Edmund pegang dan menyimpannya kembali di atas meja. Tidak sabaran adalah salah satu sifat Rose yang menurun pada Edmund.
"Dia sedang mengandung, Mom. Jika ditunda lebih lama, perutnya akan terlihat. Pikirkan apa kata orang-orang nanti," ucap Edmund mengelap bibirnya.
Sophia menundukkan kepala, nada bicara Edmund seakan merendahkannya. Seperti memosisikan dirinya sebagai orang rendah yang akan membuat malu keluarga Edmund. Sementara Rose memperlihatkan wajah yang begitu senang.
"Puji Tuhan, kau mengandung, Sophie?" Rose memegang tangan Sophia dengan senyuman yang tidak luntur dari wajahnya. Perlahan wajah Sophia yang tadinya sendu kembali bersinar. Dia mengangguk pelan. "Sudah memeriksanya?" Sophia mengangguk kembali sebagai jawaban.
"Baguslah. Tapi, Ed. Mom tidak bisa menyiapkan pernikahanmu secepat itu," ucap Rose menatap Edmund yang memasang wajah malas.
"Dua minggu waktu yang cukup, jadi persiapkan dari sekarang, Mom." Edmund berdiri dari duduknya.
"Mau ke mana?" Rose ikut berdiri sambil memegang tangan Edmund.
"Tentu saja pulang," jawab Edmund melepaskan tangan Rose. Dia memegang tangan Sophia dan memaksanya berdiri saat sedang meminum teh.
"Secepat itu? Kau tidak ingin menemui Daddy dan menjelaskan semua ini?" Edmund tersenyum kecil. Bukannya menjawab, dia malah mencium pipi Rose.
"Mohon bantuannya, Ratu," ucap Edmund berjalan kembali menuju mobilnya dengan tangan Sophia yang ia genggam sepanjang jalan.
Rose hanya menarik napasnya pelan, dia berjalan masuk ke dalam mansion. Menaiki tangga untuk menemui suaminya yang sedang bermain piano. Rose membuka perlahan pintu ruangan, Sergío langsung menghentikan permainannya saat mengetahu kehadiran istrinya.
"Ada apa, Sayang ?" Sergío memutar badan dengan tangan tersilang di dada.
Rose langsung duduk di pangkuan Sergío, membuat pria itu otomatis melingkarkan tangannya pada pinggang Rose. Hanya ini satu-satunya cara Rose agar Sergío tidak membunuh Edmund yang telah melakukan hal memalukan.
"Kau tahu Edmund memperkosa seorang wanita beberapa minggu yang lalu?" Sergío mengangguk, menatap wajah Rose dengan intens. "Sebenarnya, wanita itu ... wanita itu ...."
"Hamil?" Rose membulatkan matanya dan menatap Sergío yang tersenyum miring.
"Kau tahu?" Tangan Rose mendorong pelan dada suaminya, pria itu tertawa dengan keras.
"Tentu saja aku tahu, Sayang," ucap Sergío membenarkan posisi duduk Rose di pangkuannya.
"Lalu kenapa kau tidak memarahinya ?"
"Untuk apa? Itu pencapaian terbaik dalam hidupnya." Sergío kembali tertawa hingga membuat Rose jengkel. Dia mencubit keras pinggang suaminya. Sergío hanya bisa tersenyum kecil saat kebiasaan Rose kembali muncul. "Lalu apa kau tahu di mana keberadaan Sara, Sayang ?" Kali ini Sergío bungkam, dia memilih membalikkan badannya menghadap piano dengan Rose yang masih di pangkuannya. Jemarinya kembali memainkam alunan nada yang membuat Rose melupakan pertanyaannya.
***
Sophia menaiki mobil Edmund untuk kembali pulang. Tatapannya tetap melihat ke luar jendela mobil dan mengingat pertemuannya dengan Rose. Wanita itu terkejut dengan kehamilannya lalu bagaimana dengan ayah Edmund? Apakah ayah Edmund setuju dengan bayi yang akan memasuki keluarga D'allesandro.
"Apa kita akan benar-benar menikah?" tanya Shopia memecah keheningan.
Edmund menoleh sekilas kemudian mengecilkan volume radio. "Tentu saja."
"Bagaimana kalau ayahmu tidak setuju?" Edmund memperlambat laju mobil, tatapannya seperti sedang memikirkan sesuatu. Beberapa saat Sophia menunggu jawaban, Edmund menatapnya dengan lekat.
"Mustahil. Dia menginginkan seorang cucu." Edmund memandang Sophia dengan wajah kakunya. Terlihat kalau dia juga sedikit mengkhawatirkan hal itu.
"Baiklah," ucap Sophia kembali memandang keluar jendela. Perjalanan kembali hening seperti sebelumnya. Matanya memandang pohon-pohon lebat yang menghiasi jalanan hingga Sophia tersadar, jalan yang mereka lewati berbeda dari sebelumnya.
"Kenapa kita ke sini?" Sophia mengerutkan keningnya saat mobil yang dibawa Edmund berhenti memasuki basement apartemen dan berhenti di sana. Edmund keluar dari mobil dan diikuti Sophia yang masih menatapnya penuh tanya.
"Kemana kita ?" Edmund tetap tidak menjawab satupun pertanyaan Sophia, ia malah berjalan terlebih dahulu.
Merasa diabaikan, Sophia menghentikan langkahnya dan menatap punggung Edmund yang mulai menjauh. Edmund memutar badan saat mengetahui Shopia tidak mengikutinya. Dia menatap Sophia dengan kesal kemudian dia berjalan kembali ke arah Sophia dan langsung menyeret tangannya.
"Lepaskan aku, brengsek! Kau mau membawaku ke mana?" Sophia berusaha melepaskan genggaman tangan Edmund. Dia takut jika Edmund melakukan hal yang aneh kepadanya.
Edmund membawa Sophia ke sebuah apartemen di lantai paling atas. Genggaman tangannya tidak lepas, meskipun Sophia masih mencoba kabur.
Tangan Edmund terlepas setelah membawa Sophia masuk ke dalam apartemen miliknya. Dengan cepat, Edmund menutup kembali pintu saat Sophia mencoba lari.
"Kau akan tinggal di sini," ucap Edmund sambil melangkah pergi meninggalkan Sophia di dekat pintu.
"Aku tidak mau. Kau tidak bisa mengatur hidupku!" Teriak Sophia berapi-api.
Edmund yang pusing mendengar suara Sophia kembali ke tempat Sophia berdiri. Sophia tersentak kaget saat tubuhnya melayang. Edmund menggendongnya. Sophia mencoba meronta, tetapi itu tidak mempengaruhi apa pun. Edmund menaiki tangga menuju lantai atas, menurunkan Sophia di sebuah kamar, dan meninggalkannya sendirian dengan pintu tertutup.
Sophia terkejut ketika menyadari bahwa kamar ini mirip dengan kamarnya saat di apartemen kumuhnya. Hanya saja barang-barangnya berubah menjadi lebih bagus dan baru. Sophia membuka lemari pakaian dan terkejut. Dia tidak percaya ternyata semua bajunya ada di sini.
Dia sudah merencanakan ini sejak awal. Dasar brengsek, gerutu Sophia dalam hati. Dia duduk di kursi rias, menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Lama-lama matanya terasa sangat berat dan dia memutuskan untuk meletakkan kepalanya di atas meja rias.
Sementara itu, Edmund yang sudah mengganti pakaian berjalan ke arah kamar Sophia. Tubuhnya bersandar di ambang pintu saat melihat perempuan yang sudah membuatnya sakit kepala itu tertidur. Padahal Edmund berniat membuatkan makam malam untuknya.
Halaan napas berat keluar dari mulut Edmund, dia berjalan perlahan ke arah Sophia. Tubuh Edmund berjongkok, menatap wajah Sophia yang sedang menutup mata. Tangan Edmund terangkat untuk menyisipkam rambut panjang yang menghalangi wajah cantik Sophia. Bibirnya tertarik ke atas saat bisa melihat dengan jelas wajah perempuan yang sedang mengandung anaknya.
Kulit Sophia cokelat, sangat eksotis. Edmund tidak mempersalahkannya, dia malah menyukai kulit Sophia yang menurutnya seksi. Hal itulah yang membuatnya lupa diri saat malam di mana dia memperkosa Sophia. Perempuan itu berteriak dengan bibirnya yang penuh malam itu hingga membuat Edmund ingin kembali mencicipinya. Apalagi dengan tubuhnya yang kecil dan pas untuk dijadikan guling.
Wajah Edmund mendekat untuk mencium bibir Sophia. Namun, sebelum hal itu terjadi, Sophia lebih dulu menggeliat dan memalingkan kepalanya ke arah lain dengan mata yang masih terpejam. Edmund terkekeh, tersadar apa yang akan ia lakukan. Dengan cepat, dia menghapus keinginan itu. Diaa menarik tubuh Sophia, menggendongnya dan menidurkannya di atas ranjang yang empuk.
"Semoga mimpi indah," ucap Edmund sambil menyelimuti tubuh Sophia. Dia mematikan lampu kemudian berjalan keluar dari kamar Sophia.
Namun, langkah Edmund harus terhenti karena suara dering ponsel pada saku celananya. Dia mengangkat panggilan itu dan kembali berjalan ke arah dapur untuk makan malam.
"Hallo, Mommy. Ada apa?" Detak jantung Edmund semakin cepat saat mengetahui siapa yang meneleponnya. Edmund menarik napasnya dalam, ia mengusap wajahnya kasar sebelum mengangkat telpon dari Rose.
Rasa takut mulai mengambil alih tubuh Edmund, ia meletakan ponselnya pada telinga. Bersiap untuk menerima amarah dari ayahnya melalui Rose. Namun, rasa takut itu mulai menghilang saat Rose berbicara dengan nada gembira tanpa amarah sedikitpun.
Desahan lega keluar dari mulut Edmund, ia tersenyum lega mendengar apa yang diucapkan Rose. Bahagia karena ayahnya menerima bayi yang ada dalam kandungan Sophia, tidak membenci dirinya karena telah memperkosa seorang gadis. Sebab Edmund tahu, ayahnya mendambakan seorang cucu.
"Terima kasih, Mom." Edmund menutup panggilan telepon dan meletakan asal ponselnya.
Dia melangkah mendekati dapur, membuka kulkas dan mengambil bahan makanan untuk dimasak. Sesaat Edmund teringat pada kekasihnya yang menghilang, biasanya Sara yang akan menyiapkan semua kebutuhannya termasuk makan. Kini wanita itu menghilang, layaknya ditelan bumi, Sara tidak ditemukan.
"Kau di mana?" Edmund bergumam dengan pandangan yang tidak jelas.
---
Ig : @alzena2108
Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya S
"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada
Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa
"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."