Suara lantai berderit terdengar ketika roda bankar menyusuri lorong rumah sakit. Bankar berisi seorang wanita paruh baya yang tak sadarkan diri itu dilarikan celat ke UGD."Mohon maaf, Mas, bisa tunggu di sini saja," tegur seorang perawat yang hendak menutup pintu UGD.Wajah pria penuh kekhawatiran itu akhirnya berhenti pasrah menatap nanar ruangan gawat darurat yang perlahan tertutup. Saat ia tengah kalut dalam kekhawatiran, tangannya menghangat merasakan seseorang menyentuhnya."Duduklah, tenang aja Tante Veda akan baik-baik saja," ucap wanita di belakangnya menatapnya lembut.Baladewa memandang jajaran kursi tunggu di seberang tempatnya berdiri. Ia akhirnya menghela napas kemudian terduduk lemas."Ini semua gara-gara Nirmala," gumam pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.Mendengar sesuatu yang menarik, Viola yang tadinya duduk berjarak kini mendekat. Menyadari sosok lain disebelahnya, Baladewa menoleh."Terima kasih, Viola. Tanpa kau sepertinya bunda tak akan bisa dibawa ke rum
Surya bergegas bangkit dari duduknya. Hal itu tentu mengundang kekhawatiran Bhaskara."Ayah, aku tak akan menerimanya jadi ... "Sorot tajam seketika diterimanya. Sang ayah menatap lamat anaknya yang ikut berdiri dengan takut. Surya memandang penuh perhitungan. "Ayah akan bicara dengan Nirmala," putusnya mencoba menggali lebih lanjut maksud Nirmala itu.Bhaskara terbelalak, ia segera menahan lengan ayahnya berniat mencegah. "Tunggu ayah, aku sudah menolaknya jadi ayah nggak perlu terlibat lebih jauh. Bhaskara bisa mengatasinya kok," sergah Bhaskara ketar-ketir."Kau tidak berpacaran dengannya, kan?!"Lelaki berkepala dua itu menelan ludahnya susah payah. "Ng—nggak loh, Yah. Di antara kami nggak ada hubungan apa-apa."Ayahnya sepertinya salah paham. Ia pikir antara anaknya dengan anak mantan atasannya menjalin hubungan. Wajar saja karena ia sebenarnya dari jauh-jauh hari mengkhawatirkan hal itu terjadi."Kalau begitu jangan halangi ayah."Surya berlalu begitu saja menyisakan Bhaskara y
"Sedang mengisi rumah, ya? Berapa banyak sih uang yang kau peroleh dari merebut warisanku itu?"Deg.Suara itu kembali terdengar setelah sekian lama tak menusuk gendang telinganya. Dengan perlahan Nirmala meletakkan mejanya dan berbalik. Dan jantungnya seketika berdegup cepat melihat sosok Baladewa lagi dengan jarak sedekat ini.Pria berambut twoblock itu menarik salah satu sudut bibirnya membentuk kurva miring. "Apakah hidupmu setenang dan sebahagia itu setelah membuat keluargaku hancur, Nirmala?" Perkataan sindiran dari pria berlidah tajam itu membuat Nirmala terpaku. Ia tak dapat membantah apalagi membela diri.Langkah Baladewa maju mendekat hingga menyisakan beberapa senti saja wajah mereka dapat bersentuhan. "Apa kau pikir aku akan membiarkanmu bahagia, Nirmala?" ancamnya dengan suara rendah yang mampu membuat bulu kuduk Nirmala seketika berdiri.Nirmala beringsut mundur ketika gejala kecemasan kembali menyerangannya. Ganesha yang sedari tadi hanya memperhatikan sang kakak den
Sensasi pening seketika menyergap begitu pandangannya mulai terbuka. Intensitas cahaya yang begitu tinggi membuat Nirmala berkedip beberapa kali menyesuaikan."Engggg," lenguhnya merasakan nyeri bagian belakang tubuhnya. Matanya seketika terbelalak begitu mendapati langit-langit kamarnya. "Apa yang terjadi?" gumamnya kebingungan. Ia lupa kejadian yang menimpanya beberapa saat lalu.Ia hendak bangkit, namun segera menyerah ketika kepalanya berdenyut hebat. "Ashhh," ringisnya memijat pelipisnya pelan. Saat sejenak menengkan diri, ia akhirnya teringat kejadian sebelum ia tersadar di kamarnya ini."Anes?!" pekiknya teringat adiknya itu sempat di dorong keras oleh mantan pacarnya hingga membentur tembok. Perasaannya khawatir tak karuan. Tanpa mengidahkan sensasi nyeri pada kepalanya, ia bergegas bangkit. Ia berjalan keluar kamar mencari keberadaan adiknya, sayangnya tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain selain dirinya di rumah."ANES! KAU DIMANA, HEY?!" "NES ... ANES!" Sekali l
"Dokter, anda tidak bercanda, kan?!" pekik Nirmala histeris. "Tolong adik saya, Dok. Jangan sampai adik saja lumpuh. Kumohon sembuhkan dia, aku akan membayar berapapun asalkan dokter bisa mengembalikkan kondisi adik saya."Nirmala lepas kendali, serangan paniknya kembali kambuh. Ia menarik-narik jas dokter itu memohon dengan teramat.Bhaskara yang menyadari kondisi Nirmala tidak stabil segera menangkap tubuh wanita itu dan menjauhkan dari sang dokter."Terima kasih, Dokter. Mohon maaf. Lakukan tindakan apa saja untuk Ganesha, saya akan mengurus administrasinya," ucap Bhaskara sempat dibuat kewalahan dengan Nirmala yang terus memberontak.Usai kepergian sang dokter, tubuh Nirmala melemas. Ia merosot dan segera dibopong oleh Bhaskara untuk didudukkan di kursi tunggu.Ia menatap prihatin Nirmala yang berwajah tak karuan. Meski kondisinya telah melemah, tangis wanita itu tak kunjung juga berhenti. "Nirmala, semua belum pasti. Masih ada kemungkinan Ganesha baik-baik saja," ujar Bhaskara m
Perkataan membutuhkan validasi yang diucapkan Nirmala seketika membuat Bhaskara membeku. Ia mendadak terdiam memperhatikan wanita di depannya yang semakin diperhatikan seperti ada yang tak biasa dari tingkahnya."Oh iya kata Om Surya kamu punya banyak kenalan cowok, ya?" Bhaskara terbelalak, pertanyaan itu sungguh tak masuk akal. Rasanya wanuia di depannya ini bukanlah Nirmala yang ia kenal. Bisa-bisanya ia yang tadinya bersedih seperti ditinggal mati oleh adiknya, kini malah membahas sosok lelaki lain?'Apa wanita ini sungguh gila?' pikir Bhaskara."Heh? Kamu Nirmala, kan?" tanya Bhaskara dengan hati-hati.Yang semula Nirmala nampak sendu dan tak bersemangat, tiba-tiba ia terkekeh geli. "Iya aku Nirmala lah yakali," timpalnya menanggapi Bhaskara dengan santai.Gerak gerik Nirmala di mata Bhaskara seperti ada yang salah."Terus kenapa kalau aku punya banyak kenalan cowok? Kamu mau minta dikenalin gitu terus mau kamu suruh jadi CEO Rajya Corp?" tanya Bhaskara tanpa sadar bersungut-sun
"Om Surya? Apa dia mencari Bhaskara?"Nirmala bangkit dari duduknya kemudian mengusap wajahnya yang telah penuh air mata. Ia juga berdeham menetralkan suaranya yang parau."Halo Om Surya?""Halo Nirmala apa kamu sedang senggang?" Pertanyaan Surya itu membuat Nirmala tertegun. Jika pria paruh baya itu bertanya seperti ini biasanya ada hal penting yang hendak dikatakan."Senggang, Om. Ada apa?" Sembari menunggu penjelasan Surya, Nirmala berjalan menjauhi ruangan ICU. "Tentang pernyataan kamu di rapat perusahaan, itu tidak benar, kan?" Langkah Nirmala seketika terhenti. Sejenak terhenyak mencerna pertanyaan itu. Bagaimana ayah dari Bhaskara itu tahu? Apakah Bhaskara yang menceritakannya? 'Arghhh jika seperti ini aku tidak memiliki muka untuk bertemu Om Surya dan Tante Vani lagi,' ucap Nirmala dalam benaknya."Halo, Nirmala?"Lamun wanita itu tergugah dan segera mengambil kesadarannya kembali."Iya, Om, itu tidak benar. Saya hanya asal menceletuk saja. Maaf jika hal tersebut menggang
Ceklek ...Pintu segera terbuka begitu seorang wanita mendorongnya. Ganesha yang tadinya memejamkan mata lekas membuka kembali."Kakak kok lama sih beli eskrimnya di mana? Di mars atau dimana?" tanya Ganesha dengan asal memberondong pertanyaan humor.Tanpa merespon ucapan konyol sang adik, Nirmala mengambil sebuah cangkir kemudian membuka bungkus eskrim yang telah mencair."Kak?" panggil Anes merasa aneh dengan gerak-gerik kakaknya. Padahal sebelum pergi kakaknya terlihat baik-baik saja bahkan sudah mampu melontarkan candaan.Beberapa saat sebelum memasuki ruangan Ganesha ..."Apa yang banci itu lakukan di sini?"Dengan penasaran tingkat tinggi, Nirmala nekat mendekat tapi ketika baru dua langkah maju, matanya membeliak. "Viola?" gumamnya lantas beringsut mundur kembali ketika menyadari Viola celingukan merasa diperhatikan.Bergerak cepat, Nirmala nekat melangkah lebih dekat dan bersembunyi di cekungan tembok yang berjarak lebih dekat dengan posisi mereka berbincang."Tunggu ... apa
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “