"Kakak, Ganesha udah masak. Makan bareng yuk," ajak Genesha ketika melihat kakaknya itu baru pulang dari luar. Ini kali pertama ia berhasil memasak nasi goreng. Ia begitu antusias memperlihatkan sepiring besar nasi goreng yang dihias sedemikian menarik kepada kakaknya berharap ia akan senang. Namun sayangnya respon Nirmala jauh dari ekspektasi Anes.Nirmala justru hanya melirik dengan raut datar. "Maaf, Anes, kakak lagi nggak nafsu makan. Kamu makan sendiri dulu aja ya," jawabnya lemah.Senyuman antusias Anes luntur. Melihat raut wajah kakaknya pasti ada masalah yang sedang ia hadapi. "Ada apa, Kak? Apa ada masalah lagi?"Sang kakak yang sedang melepas kaos kaki menoleh sejenak. "Hanya masalah kecil," tanggapnya menipiskan bibirnya.Setelah itu ia memasuki kamarnya dan menguncinya. Bohong jika ia menerima kekalahan, bohong jika ia baik-baik saja. Nyatanya seikhlas bagaimanapun ia mencoba menerima, ada rasa tak rela yang bersemayam di dadanya. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku jak
"Pelan-pelan, Mala, nanti bisa tersedak!"Dugh.Segelas air putih itu langsung tandas dalam sekali angkat. Wanita itu benar-benar meminum 100ml air mineral itu dalam satu kali teguk. Sungguh impresive.Bhaskara yang melihat wajah Nirmala masih pias, masih merasa khawatir."Lagi?"Isyarat menolak segera di tujukkan oleh Nirmala. Setelah membasahi kerongkongannya yang mendadak kering, ia mengusap wajahnya yang penuh peluh dan air mata."Sebenarnya mimpi apa yang kau alami, Mala? Kenapa kau sampai histeris begitu?" tanya Bhaskara dengan beruntun. Tidak biasanya ia melhat wajah Nirmala seketakutan ini. Sebelum menjawab pertanyaan itu, Nirmala yang tadinya terbengong menatap arah lain kini menoleh pada Bhaskara dengan tatapan penuh tanya. Ia heran mengapa pria ini bisa ada di rumahnya sepagi ini. Tapi karena energi yang terkuras ia tak sedikitpun mengeluarkan pertanyaan.Bhaskara menghela napas berat. "Tadi Anes nelpon aku karena kamu tiba-tiba masuk kamar terus dikunci. Adikmu khawatir s
Bhaskara termenung di depan rumahnya menatap sekumpulan tumbuhan yang tumbuh subur. Raganya memang tengah ada di rumah, namun pikirannya sedang melang-lang buana ke segala tempat. Otaknya tak bisa berhenti berfikir mengenai apa yang dikatakan Nirmala pagi tadi."Anehnya aku melihat ayah baladewa tertawa di samping mobil ayah dan ibuku yang telah remuk dihantam truk." Seperti itulah kalimat yang terus terbayang-bayang dalam kepala Bhaskara.Usai tadi mendengar keluh kesah Nirmala persoalan mimpi. Nirmala mengaku merasa aneh karena dapat melihat jelas proses kecelakaan itu karena terlibat langsung, namun bagi Bhaskara itu tidaklah aneh. Bhaskara justru memikirkan satu hal kecil yang menarik. Mengapa ada kehadiran Maharaja dalam mimpinya."Bhaskara apa yang kau lakukan? Bukannya kamu udah berangkat ke kantor pagi buta tadi?" Lamun Bhaskara seketika buyar begitu mendengar suara bariton ayahnya yang menyapa. "Tadi bukan ke kantor, aku ke rumah Nirmala."Mendengar nama Nirmala, gerakan S
"Tu ... tunggu. Jadi maksudmu dalam mimpi Nirmala ada sosok Maharaja?" tanya Surya memastikan. Bhaskara menggigit bibirnya khawatir. "Yang artinya bisa saja dalam ibgatan kecelakaan itu memang ada sosok Naharaja di sana. Apa jangan-jangan—"Surya yang tadinya terbengong berusaha keras mencerna keadaan, segera menyela. "Jangan berspekulasi yang tidak-tidak dahulu. Kita belum bisa memastikan apa yang ada di mimpi itu benar-benar ingatannya atau bukan. Karena secara tidak sadar peristiwa itu telah bercampur baur pada alam bawah sadarnya," sergahnya mengantisipasi.Nirmala Hapsari, gadis yang saat itu berusia 10 tahun harus menjadi satu-satunya saksi hidup kejadian mengerikan yang meninpa keluarganya. Di usia yang sangat belia, ia harus dihadapkan dengan peristiwa mengerikan yang terjadi di depan matanya hingga merenggut nyawa orang tuanya. Tidak terbayang bagaimana trauma mendalam yang ia rasakan. Tak heran jika sampai harus mengalami amnesia disosiatif. Amnesia disosiatif merupakan amn
Brakk!"Lho masih jam segini kok udah pulang, Ja?"Sesampainya ia di dalam rumah, ia segera disambut pertanyaan oleh sang ibu. Pikirannya yang memang sedang kacau terlihat dari kemeja yang ia kenakan kusut tak beraturan.Karena emosinya belum stabil, ia berlalu begitu saja tak menjawab pertanyaan ibunya. Hal itu tentu membuat Helena tersinggung."Kenapa kau ini malah mengabaikan ibumu sendiri!"Langkah Raja terhenti kemudian berbalik. "Maaf, Bu, Raja sedang tidak ingin diganggu," jawab Raja sekenanya.Padahal jika dilihat dari raut wajahnya, Helena semestinya paham jika anaknya itu sedang tak ingin diganggu. Tapi wanita itu tetap tak peduli dan mengganggu ketenangan Raja."Dasar pasti karena pengaruh istrimu itu kau jadi kurang ajar seperti ini," celetuknya tanpa pikir panjang.Ucapan serampangan Helena itu sukses membuat amarah Raja menggebu. Ia tak mengerti mengapa ibunya begitu tak suka dengan Veda. Padahal istrinya itu telah merawatnya dengan telaten kala ia mengalami stroke beber
—Agustus 2010Sebuah boneka karakter wanita yang dikepang segera dipeluk erat oleh gadis pakaian pink. Wajahnya begitu sumringah sesekali menatap boneka barunya itu."Nirmala, apa yang kau lakukan. Ayo turun, Nak. Ayahmu mau berangkat kerja," pinta Rina membuka pintu mobil untuk meminta anaknya turun.Sayangnya gadis kecil itu pura-pura tak mendengar. "Ayo ibu kita sesekali ikut ayah kerja. Mala pingin jalan-jalan bareng Teresa."Kening Rina mengkerut. "Teresa?"Nirmal kecil segera menunjukkan boneka barunya itu. "Namanya Teresa, Ibu. Mainan baru ini aku namain Teresa," celotehnya memperkenalkan sosok 'keluarga' barunya.Rina tersenyum lebar melihat anaknya yang begitu bahagia mendapatkan boneka baru. Meskipun ia membelinya di toko loak, tapi Nirmala begitu menyukainya. Setelah 10 tahun akhirnya anaknya bisa memiliki sebuah boneka."Udahlah, Bu. Nggak papa kita jalan-jalan sebentar keliling daerah sini aja dulu yuk."Sesosok pria berambut cepak segera mendekat. Rina membalikkan badan
"Jadi maksudnya tadi Baladewa sendiri yang menghubungi Nirmala?"Bhaskara mengangguk cepat. "Entah sepertinya Paman Rajendra sengaja membantu dari atas sana, tapi aku bersyukur banget, Yah. Andai saja Nirmala tidak melemparkan ponselnya pasti telepon itu tidak akan bisa aku dengar. Lebih parahnya jika yang mengangkatnya adalah Nirmala, bisa saja ia langsung terpengaruh," jelasnya dengan penuh antusias. "Woaaa ini benar-benar mukjizat!" serunya dengan kekaguman yang semakin membara.Sementara Surya terlihat terhenyak sejenak. "Jangan gembira dulu, Bhaskara. Justru bagian tersulitnya baru saja kita mulai," interupsi sang ayah membuat Bhaskara mengerucutkan bibir. "Entah bagaimana caranya, kita harus mendapatkan bukti yang kongkrit," lanjutnya menjelaskan fakta secara gamblang."Kalau dari CCTV, Yah?" celetuk Bhaskara mulai ikut berfikir.Surya menggeleng ragu. "CCTV saat itu tidak terlalu jelas mengingat teknologi belum sepesat sekarang."Benar juga, kejadian itu telah terjadi 14 tahun
Pagi itu tak seperti biasanya sinar mentari malu-malu memancarkan sinarnya. Udara yang berhembus pun lebih dingin dari biasanya. Meski begitu tak menyurutkan rencana Awal Bhaskara."Kamu mau berangkat sekarang?" Bhaskara yang tadinya tengah sibuk mengenakan sepatu, teralihkan. "Oh iya, Ma. Takut Ganesha keburu berangkat sekolah," jawab pria itu bangkit menghentak-hentakkan sepatunya.Tangan Vani saling bertaut gelisah.Bhaskara yang hendak beranjak pun menyadarinya."Ada apa, Ma? Kalau mau ada yang diomongin, bilang aja.""Mama boleh ikut? Mama ingin ikut hadir di samping mereka saat seperti ini," kata Vani melirih.Bhaskara membuang napasnya pelan. Hal itu membuat Vani berpikir macam-macam karena takut mengganggu. Sspertinya Bhaskara menilai belum saatnya ia ikut campur.Namun di luar dugaan, Bhaskara menyunggingkan cengiran. "Tentu aja boleh, Ma. Aku kurang ngerti cara nenangin orang, mama pasti bisa menangani Nirmala nanti," jawab anak lelakinya tersenyum meyakinkan.***"Eh Kak