Renata tertegun menatap Bagastya. Mereka kini duduk berseberangan dipisahkan meja makan. Lelaki berusia tiga puluh tahun yang telah empat warsa menjadi suaminya itu hanya memandangi map plastik berwarna putih susu yang berisi bukti gugatan serta daftar berkas yang harus disiapkan untuk mengurus perceraian. Disentuh pun tidak, apalagi dibaca. Ia bahkan memasang mimik wajah datar seolah tengah menanggapi kabar tidak penting. Mimik wajahnya saat membaca koran bahkan lebih ‘hidup’ dari saat ini.
Renata mendorong map itu ke arah Bagastya hingga berada tepat di depan tubuh lelaki berperawakan sedang itu. “Nih, dibaca baik-baik, jangan sampai nggak paham.”
Bagastya memandang istrinya sejenak. Sorot matanya jelas-jelas menunjukkan rasa tidak terima. Ia tidak pernah menduga bahwa Renata bersungguh-sungguh dengan ancaman untuk mengajukan gugatan cerai. Pernikahan mereka memang diwarnai pertikaian tiada ujung. Ia bahkan telah memiliki kekasih untuk menghibur hati. Akan tetapi bercerai? Oh, tidak!
“Kamu kenapa, sih?” cecar Renata.
Bagastya mengerjap. Wanita di depannya sebenarnya sangat cantik. Wajahnya oval, matanya lebar, hidungnya runcing mancung, dan bibirnya tipis. Kata orang, wanita yang memiliki bibir tipis itu judes dan bawel. Ia tidak percaya. Selama setahun pacaran dengannya, sikap Renata manja-manja manis, bak kucing yang menempel pada tuannya. Ia baru tahu bibir tipis itu bisa mengeluarkan kata-kata pedas setelah pernikahan mereka menginjak tahun kedua.
“Aku lapar,” cetus Bagastya tanpa memedulikan kekesalan Renata.
“Bagas! Kita baru membahas perceraian. Jangan mengalihkan pembicaraan!”
“Aku nggak bisa mikir kalau lapar!” Ikut meninggi juga suara Bagastya. Ia pulang dari kantor sedianya berharap untuk makan. Namun bukan santapan yang terhidang di meja, melainkan gugatan cerai.
“Aku enggak masak. Mulai sekarang, kita makan sendiri-sendiri dan tinggal terpisah!”
“Loh, kita kan udah pisahkan. Mau pisah gimana lagi?”
Renata menatap tajam. “Maksudku pisah rumah, bukan pisah kamar!”
“Loh, terus aku tinggal di mana, dong?”
“Terserah!”
Bagastya melengos dengan mengembuskan napas kasar.
“Kenapa nggak ke rumah Dewi aja? Sekalian nikahan di sana?” tantang Renata.
“Aku nggak mau serumah sama Dewi.”
Renata mengerutkan kening. “Kamu udah pernah kumpul sama dia, kan? Kenapa nggak mau serumah?”
“Enggak!”
“Apa bedanya?”
“Nggak asyik. Nanti cepat bosan. Enakan di sini, kalau kangen atau kepingin … ehm … baru ke tempat dia.”
“Bagastyaaaa! Kamu mau membunuhku? Teganya ngomong begitu!” Renata memekik dengan emosi memuncak.
Sementara yang diteriaki hanya meringis tanpa merasa dosa.
“Itu gunanya istri muda, Sayangku. Istri tua untuk keamanan dan kestabilan hidup. Istri muda untuk bersenang-senang.”
Renata sudah beberapa kali mendengar alasan itu. Tetap saja, saat mendengarnya kembali, dadanya naik turun tidak karuan. Sudah setahun pernikahan mereka membara bagai neraka. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari. Penyebabnya klasik, Bagastya jatuh ke pelukan wanita lain. Padahal selama ini yang banyak membanting tulang adalah Renata. Bekerja sebagai agen di perusahaan sekuritas, Renata menghandel klien-klien bermodal tebal. Bila beruntung, ia bisa mendapatkan tip yang sangat lumayan dari klien.
Lumayan dalam hal ini bukan hanya cukup untuk membeli baju, tas, atau alat rias, akan tetapi bisa untuk membeli sepetak tanah lalu membangun rumah kecil di daerah ekslusif di Bumi Serpong Damai di Tangerang Selatan.
Gaji Bagastya yang ASN di Kota Tangerang tidak bisa menandingi penghasilan Renata. Barang kali, itulah alasan utama Bagastya mencari perempuan lain yang inferior. Di depan Renata, keluhan yang selalu diungkapkan lelaki itu adalah sang istri tidak menghargai dan mencintai dirinya lagi. Renata telah menginjak-injak martabatnya sebagai lelaki.
Sudah pasti Renata tidak terima dituduh seperti itu. Yang namanya selingkuh, tetaplah selingkuh. Bukankah mereka sudah berjanji untuk tidak menduakan pasangan? Mengapa sekarang Bagastya ingin menikah kembali? Oh, Renata tidak rela. Biar bumi berputar terbalik, ia tak sudi dimadu!
“Kamu seharusnya senang aku bilang jujur apa adanya, nggak berbelit-belit kayak orang lain. Coba kayak si Andi itu, uh, pusing sendiri berhohong sana sini. Aku kan simpel. Mau begini, ya, aku bilang begini. Mau begitu, aku akan bilang seperti itu,” lanjut Bagastya.
“Bagastya! Cukup sudah kamu menyiksa aku dengan perselingkuhan, sekarang malah ngomong seperti itu tanpa merasa bersalah! Dasar lelaki hidung belang!” Kalimat itu dilanjutkan Renata dengan menyebut segala binatang yang melata di muka bumi.
“Heh! Dengar, ya. Aku nggak salah kalau punya istri lagi. Justru kamu yang salah kalau menghalangi!”
Renata terhenyak ke sandaran kursi dengan lemas. Rasanya sudah putus asa untuk menagih bahwa janji lelaki itu sebelum menikah dulu. Lelaki, tetaplah lelaki. Tampan dan sehat, hasrat Bagastya seolah tak terpuaskan. Sedangkan dirinya adalah perempuan yang sebentar lagi melewati masa keemasan. Apa yang bisa ia berikan pada sang suami. Anak pun mereka belum diberi. Tanpa disadari, air mata Renata menggenang di pelupuk, siap untuk meluncur ke pipi.
Bagastya menatap iba. Ia masih menyukai Renata walau mulutnya lebih pedas dari tamparan sandal. Selain wajahnya cantik, tubuh Renata memiliki proporsi yang pas antara sintal dan ramping, sehingga sangat menggemaskan bila menggeliat di ranjang. Sayang sekali, mereka belum mendapat anak walau sudah mencoba berbagai jamu dan obat medis, bahkan berulang kali mendatangi ‘orang pintar’. Barangkali rahim wanita itu memang kering. Biarpun begitu, ia tidak mau melepas Renata. Oh, wanita seindah itu, jangan sampai jatuh ke tangan lelaki lain!
“Nggak usah nangis. Kamu kebanyakan tuntutan, sih, makanya sakit sendiri. Coba terima saja Dewi sebagai madu. Masalah selesai, kan?”
Renata menghapus air mata dengan kedua telapak tangan. Cukup sudah, ia tak mau mendengar kalimat menyakitkan itu lagi.
“Jangan mengajak berantem! Nih, simpan daftarnya lalu disiapkan. Minggu depan harus kamu kasih aku!” Renata menegaskan sekali lagi permintaannya.
Ia sudah mendatangi Pengadilan Agama dan melakukan gugatan cerai. Bukti gugatan itu sudah ia sertakan dalam map yang sekarang tergeletak di hadapan Bagastya.
“Beneran aku enggak dikasih makan?”
“Enggak ada makanan! Capek , deh!”
“Ya udah. Aku mau beli sate kambing. Kamu mau enggak?”
“Enggak!”
Bagastya bangkit dari duduk lalu meraih kunci mobil, dompet dan ponsel dari atas meja. Ia berbalik begitu saja.
“Hei! Berkasnya dibawa, dong!”
“Nanti saja.” Lelaki itu terus melangkah tanpa menoleh.
“Enggak ada nanti! Bawa sekarang, sekalian baju – baju dan barang – barangmu!”
Mau tak mau Bagastya membalikkan badan. Keningnya berkerut. “Aku diusir, nih, kisahnya?”
“Harusnya enggak perlu diomongkan, kamu harus tahu sendiri. Kalau sudah digugat cerai itu, ya, harus keluar dari rumah ini!”
Bagastya termangu sejenak, lalu mengangguk. Buat apa juga tinggal di sini kalau sudah tidak disiapkan makan dan tidak bisa menikmati ranjang? Lebih baik pulang ke rumah orang tua di daerah Karawaci.
“Tidak perlu diusir, aku bisa pergi sendiri,” ujar mulut berbibir tebal yang dulu membuat Renata jatuh hati. Sekarang sepasang bibir kemerahan itu justru membuatnya mual. Ia melihat dengan mata kepala sendiri benda kenyal itu mendarat di milik perempuan lain.
Cuih! Cuih! Jijik! Renata selalu ingin meludah bila mengingat adegan tak senonoh itu.
“Habis ini kamu mau ke mana?” Bagastya balik bertanya.
Renata berkedip dengan keheranan. “Maksudmu?”
“Rumah ini, kan, harta gono-gini. Kalau aku keluar, kamu juga nggak berhak tinggal di sini!”
Kontan Renata memicing. “Kamu lupa uang siapa yang dipakai untuk membeli rumah ini? Bukan uangmu, kan? Mana andilmu, coba?”
“Aku, kan, bagian mengepulkan asap dapur. Kamu sudah aku kasih jatah bulanan. Apa masih kurang? Biarpun uang kamu yang dipakai, tetap saja, harta yang dibeli saat pernikahan itu adalah harta gono-gini, enggak peduli siapa yang membeli.”
Renata membelalakkan mata. “Aturan dari mana itu? Aku nggak percaya!”
“Ya sudah. Tanya saja sama pengacara kalau enggak percaya,” jawab Bagastya santai. Sebenarnya ia hanya menggertak saja. Aturannya seperti apa, ia tidak memahami. Melihat Renata kebingungan, ia senang sekali.
“Kamu! Enak bener! Aku yang banting tulang buat membangun rumah ini. Lantas mau dibagi dua! Mau kamu ke manakan uang bagianmu? Buat perempuan itu, hah? Sembarangan! Dia enggak merasakan perjuangan, tahu- tahu mau menikmati enaknya, gitu? Enggak bakalan! Ingat ya, sertifikatnya atas namaku!”
“Terserah. Tunggu aja apa kata pengacara.” Bagastya mengangkat bahu sambil mencibir.
“Kamu! Kamu!” Renata kehabisan kosa kata karena terlalu marah.
Suaminya malah berjalan ke lemari pendingin dan memeriksa isinya. Ia mengambil piring berisi potongan buah mangga, lalu kembali duduk di kursi makan dengan santai sambil menyuap potongan buah. Renata segera mengambil piringnya.
“Ini manggaku! Ini bukan gono-gini!”
Bagastya menghela napas panjang. Matanya berkilat marah. “Ya udah. Aku pergi sekarang! Mangga saja diributkan!”
“Silakan! Siapa juga yang melarang?” sergah Renata.
“Siapkan bajuku dalam koper!”
Mata Renata langsung melebar. “Apa?”
“Siapkan bajuku, masukkan ke dalam koper merah yang ditaruh di atas lemari.” Bagastya mengulang perintah dengan lebih pelan agar dimengerti oleh istrinya.
“Aaaa-paaaaaa? Kamu sudah gila? Mana ada orang mau pindah ke rumah selingkuhan minta disiapin baju dalam koper?”
Bagastya kembali mengulang gaya andalannya, mengangkat bahu. “Kalau kamu menyuruh aku keluar dari rumah ini, siapkan bajuku. Kalau enggak, ya, aku malas mengurusnya. Yang kepingin aku pergi itu kamu, kan?”
“Orang gilaaaaa!” Pekikan Renata membahana di seluruh rumah.
***
Bersambung... Ada yang mau baca lanjutannya nggak?
Ternyata mengurus perceraian ASN itu tidak semudah membalikkan tangan. Setelah Renata mengajukan gugatan cerai, tidak serta merta kasus mereka diproses. Bagastya harus mendapatkan izin dari atasannya. Itu berarti, pria itu harus membuat surat permohonan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari atasannya. Tidak hanya selembar surat itu saja yang harus diurus Bagastya di kantor, melainkan beberapa berkas seperti berita acara pemeriksaan oleh unit kerjanya.“Bagas, mana surat rekomendasi dan berita acara pemeriksaan dari atasanmu?” pinta Renata di ruang tengah saat pria itu pulang kerja.Mereka tidak jadi pisah rumah karena Bagastya mengotot tidak mau pindah bila tidak dibereskan barang-barangnya. Renata menahan gengsi dengan tidak mau melakukan perintah suaminya. Ia sendiri malas bertengkar. Pernah terpikir untuk melempar benda-benda milik sang suami ke jalan. Setelah dipikirkan kembali, ia tidak tega merusak citra diri sebagai wanita terhormat. Masa iya, mengamuk seperti
Kotak berbagai ukuran masih terus keluar dari rumah Renata menuju rumah sebelah. Beruntung jalan di depan kediaman mereka itu adalah pembatas kompleks yang langsung berhadapan dengan sungai dan hutan kota sehingga aktivitas pindahan itu tidak perlu disaksikan oleh penghuni lain. Renata malas saja menjawab pertanyaan orang mengapa ia pindah.Oh, kami akan bercerai, sehingga memutuskan berpisah rumah. Renata meringis membayangkan reaksi orang-orang atas kabar tak sedap itu. Akan tetapi, itulah yang harus ia hadapi di hari - hari mendatang.Peluh membasahi wajah dan baju Renata. Napasnya terengah saat mengangkat kardus terakhir keluar rumah. Baru melangkah beberapa tapak dari pintu gerbang, sebuah mobil kecil berwarna putih menepi lalu berhenti di depannya.“Renata? Angkut - angkut apa?” Wajah manis berhidung mancung dan berambut ikal muncul dari balik kaca jendela yang diturunkan.Renata mengeluh dalam hati. Ia kenal wanita ini, janda penghuni rumah di ujung ja
Pacarku itu cuma satu, Dewi!Teganya Bagastya mengucapkan kalimat penghinaan itu padanya. Apa dia tidak sadar telah menyakiti hati istrinya, bagai menyayat dengan sembilu?"Renata! Jawab!" desak Bagastya."Jawab dulu, kamu ada hubungan apa sama Ines? Kamu pacaran juga dengan dia?""Enggak, dong! Ines belum terbukti bisa punya anak. Ngapain aku coba-coba sama dia?"Ooo, jadi semua ini masih tentang anak? batin Renata.Dewi memang memiliki satu anak. Ia telah berpisah dari suaminya dua tahun yang lalu. Entah bagaimana status pernikahan mereka. Apakah telah bercerai secara resmi atau masih menggantung, Renata tidak mau menelisik lebih lanjut.Dari mana Renata tahu perihal Dewi? Oh, Renata punya banyak kenalan dan hobi stalking. Menggali informasi adalah salah satu keunggulan yang ia miliki yang mengantarkannya mendapatkan klien - klien kelas kakap sebagai nasabah perusahaan sekuritas tempatnya bekerja."Kalau udah tahu dari In
Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sums
Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian?"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas.Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya.""Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?""Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?""Loh, kalau kita enggak punya anak
Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.Selesailah sudah.Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Sel
Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?Lebih parah lagi, Bagastya ternyata b
Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas."Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu."Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"Renata dan Ines mengangguk bersamaan."Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?""Tiga puluh?""Tiga puluh satu?"Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”