Ternyata mengurus perceraian ASN itu tidak semudah membalikkan tangan. Setelah Renata mengajukan gugatan cerai, tidak serta merta kasus mereka diproses. Bagastya harus mendapatkan izin dari atasannya. Itu berarti, pria itu harus membuat surat permohonan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari atasannya. Tidak hanya selembar surat itu saja yang harus diurus Bagastya di kantor, melainkan beberapa berkas seperti berita acara pemeriksaan oleh unit kerjanya.
“Bagas, mana surat rekomendasi dan berita acara pemeriksaan dari atasanmu?” pinta Renata di ruang tengah saat pria itu pulang kerja.Mereka tidak jadi pisah rumah karena Bagastya mengotot tidak mau pindah bila tidak dibereskan barang-barangnya. Renata menahan gengsi dengan tidak mau melakukan perintah suaminya. Ia sendiri malas bertengkar. Pernah terpikir untuk melempar benda-benda milik sang suami ke jalan. Setelah dipikirkan kembali, ia tidak tega merusak citra diri sebagai wanita terhormat. Masa iya, mengamuk seperti ibu - ibu dalam sinetron? Jelas sekali itu bukan dirinya.“Aneh! Kamu minta berita acara pemeriksaan? Kapan kamu datang untuk diperiksa?” tukas Bagastya mau kalah.Renata cuma berkedip saja. “Apa nggak bisa cuma lewat telepon?”“Enggak bisa, dong, Renata Sayang. Namanya saja berita acara, ya, pasti harus ada acaranya. Kalau enggak sebutannya menjadi berita khayalan.”“Ya udah, kapan mau ketemu bos kamu?”“Hmm, sebulan lagi. beliau masih cuti besar untuk umroh.” Bagastya menahan senyum saat melihat reaksi Renata. Mata wanita itu melebar dan membulat bila kesal.“Jangan bohong!” sergah istrinya. “Terserah. Mau percaya silakan, enggak juga nggak ada pengaruhnya.” Bagastya menyeringai dengan penuh kemenangan. Padahal sebelum pergi, bosnya telah menunjuk wakilnya untuk menangani urusan kantor sementara.“Aku nggak mau nyerah begitu aja. Besok kita ketemu wakilnya. Bosmu punya wakil, kan?” cecar Renata tak mau kalah. Bagastya melengos. Ternyata wanita berusia 27 tahun itu cukup cerdik dan tidak mudah dibohongi. “Oke.”“Besok, ya! Jam delapan! Jangan kabur dan banyak alasan. Aku nggak mau tahu, pokoknya waktu aku sampai di sana, kamu harus siap di tempat!”“Siap!” Hanya mulut Bagastya saja yang berbicara, hatinya tidak.“Ya, udah. Kenapa diam?”“Enggak ada apa-apa.” Setelah itu, Bagastya masuk ke kamarnya di lantai dua. Renata menatap punggung yang menjauh itu dengan curiga. Rasanya ada yang salah dengan sikap Bagastya. Ia selalu tahu bila ada yang tidak benar karena instingnya tajam. Jauh sebelum ia sadar pria itu mencintai perempuan lain, Renata telah merasakan perubahan sikapnya. Kali ini pun, ia merasakan hal serupa, seperti firasat akan terjadinya hal yang tidak menyenangkan.Benar sekali firasat Renata. Begitu sampai di kantor Bagastya, ia langsung diajak ke bagian administrasi kepegawaian. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka berdua.“Ah, Pak Bagastya, ini calon istri barunya? Cantik sekali. Pantas yang kemarin kalah bersaing,” komentar wanita yang dipanggil Bu Dian oleh Bagastya itu.Pria yang sehari-hari bertugas di bagian keuangan Kantor Walikota itu langsung membuang muka. “Saya istri yang sah, bukan calon istri!” Renata tidak menunggu untuk menyemprot. Wanita itu terkaget. “Wah, cantik - cantik begini, kenapa ditinggal buat perempuan yang … maaf, di bawahnya?”“Dia selingkuh!” cetus Bagastya. Ia sengaja membuat Renata marah. Kapan lagi melihat wajah oval dan putih itu merah padam? Pipinya menjadi semakin menggemaskan.Sontak Renata terbelalak. “Siapa selingkuh? Jangan menuduh orang lain! Dasar!”“Eeeh, jangan berkelahi di sini!” seru wanita itu. Tangannya sibuk bergerak-gerak untuk menahan Renata dan Bagastya yang telah berhadapan dan saling mendelik. “Pak Bagastya mau apa, pagi – pagi datang ke sini?”Renata langsung menyerobot. “Saya mau minta rekomendasi untuk bercerai. Apa sudah jadi suratnya?”“Oh, itu. Belum ada, Bu. Pak Bagastya harus membuat surat permohonan dulu. Apa sudah ada suratnya?”Sontak Renata melengos ke suaminya. “Bagas! Kamu nggak bikin suratnya?”Bagastya menahan senyum. Ia sengaja tidak membuat surat itu agar proses perceraian mereka tertahan. “Loh, harus bikin surat permohonan? Tidak bisa secara lisan saja, Bu Dian?”Kontan telinga Renata gatal, begitu pula hatinya. Bagastya benar-benar ingin menjegal niatnya untuk menggugat cerai. Masa iya, pemegang gelar magister setolol itu?“Bagas! Kamu ini bagaimana, sih? Masa nggak tahu kalau surat resmi itu harus diminta secara tertulis, bukan lisan?” pekik Renata.“Loooh, kamu cuma menyodorkan daftar syarat dan enggak menjelaskan secara detail. Mana aku paham? Surat permohonan itu enggak ada di dalam daftar yang kamu kasih kemarin.”Darah Renata langsung mengalir ke ubun-ubun. Bila batok kepalanya berlubang, pasti darahnya sudah muncrat bak air mancur.“Kamu sengaja, iya?” sergah wanita itu.Suaminya tidak menjawab, malah berpura–pura sibuk memainkan ponsel. “Kalau Pak Bagastya tidak sempat membuat, nanti saya bantu,” ujar Bu Dian.“Jangan!” tukas Bagastya.“Bagus, Bu. Saya setuju!” potong Renata. Ia segera menyelipkan selembar uang berwarna biru di salah satu map di atas meja Bu Dian.“Ah, jangan! Saya cuma membantu saja.” Tangan Bu Dian segera menahan tangan Renata.“Loh, tidak apa–apa, Bu. Saya ikhlas.” Renata mengambilkan uang itu ke balik map kembali.Bu Dian tersipu malu. “Oh, terima kasih, Bu. Saya jadi tidak enak.”Dalam hati Renata merutuk. Mana ada orang menolak rezeki? “Kapan bisa jadi, Bu?”“Hari ini juga bisa. Pak Bagastya tinggal tanda tangan saja.”Renata kembali mendapat firasat buruk. Jangan sampai surat itu ditinggalkan bersama Bagastya. Pasti akan disabotase kembali.“Oh, bisakah dibuat sekarang, Bu?”“Enggak bisa, Bu Dian sibuk!” tukas Bagastya dengan cepat.“Enggak, kok, Pak. Tunggu sebentar, ya.”Renata tersenyum penuh kemenangan. Dengan punggung tegak dan dagu terangkat, ia duduk di hadapan Bu Dian. Dengan cara ini, suaminya tidak akan berkelit lagi. “Aku mau kerja!” ujar Bagastya seraya bergerak ke arah pintu.“Awas! Jangan kabur!” ancam Renata.Pria itu mengembuskan napas kasar sebelum menghilang di balik pintu. Dengan cara itu, Renata berhasil mendapatkan selembar surat sebagai syarat untuk satu persyaratan perceraian. Itu baru satu syarat. Masih ada sederet lagi daftar dokumen yang harus disiapkan. Saat melangkah keluar dari kantor Pemkot, tubuh Renata telah lunglai. Serasa energinya tersedot habis. Kata - kata Bagastya kembali terngiang. Lebih baik pasrah dimadu daripada menggugat cerai. Seketika rasa geram memenuhi dada.Bagastya! Aku punya teori yang lebih bagus! Lebih baik tidak menikah sama sekali daripada hidup bersama lelaki hidung belang seperti kamu! Hari itu juga, setelah meminta cuti satu hari, Renata mengepak barang – barang di rumahnya dibantu asisten rumah tangga ibunya. Beberapa kardus telah diisi dan dipindahkan ke rumah sebelah. Rumah mereka berdampingan, hanya dibatasi satu petak kosong milik kakak Renata, dan terletak di kompleks yang cukup nyaman di BSD. Semua akses masuk ke kompleks menggunakan kartu dan dijaga petugas keamanan. Rumah milik mereka terletak di pinggir, langsung menghadap taman kota. Ada sebuah sungai memisahkan jalan kompleks dengan area terbuka hijau itu. suasana yang terbentuk sangat tenang dan nyaman.Dulu, ia dan Bagastya mengontrak rumah di dekat kantor Pemkot. Karena hasil kerja Renata cukup besar, uang yang dimiliki cukup untuk membeli tanah di samping milik orang tuanya dan membangun rumah mungil. Mereka pindah ke rumah itu satu tahun yang lalu.“Renata, kenapa mengangkut barang ke sini?” Mama Renata, yang bernama Hetty, keheranan. “Aku pulang, Ma,” jawab Renata. Jawaban itu terasa aneh, karena jarak rumah mereka yang hanya dua puluh meter. “Rumahku mau dikontrakkan.”“Heh? Lalu suamimu bagaimana?” Ibu yang telah berusia lebih dari setengah abad itu semakin ternganga.“Enggak tahu, Ma. Biar dia mikir sendiri.”“Loh, ada apa ini? Kalian bertengkar? Bagastya masih main-main dengan perempuan yang dulu itu?”“Bukan bertengkar lagi. Renata mau cerai!”Bu Hetty sejenak hanya bisa mengerjap. Tak lama kemudian, ia tersenyum senang. “Apa Mama bilang? Anak itu memang kelihatan kok kurang ajarnya. Mama tidak kaget kalau dia bisa mengkhianati kamu. Ya sudah, cari yang lain saja!”“Mama enggak sedih anaknya jadi janda?”“Sedih sih sedih. Tapi lebih baik begitu daripada makan hati terus seumur hidup.” Perempuan itu kemudian membantu putrinya memasukkan barang - barang.Di tengah kesibukan itu, Renata sempat termangu. Satu demi satu barang yang dikeluarkan itu membuat ingatannya melayang ke saat membelinya. Sebagian barang itu ia dapatkan saat menghabiskan waktu bersama Bagastya. Lihatlah ada blender berbentuk tabung panjang berwarna biru. Itu ia beli saat masih pengantin baru. Mereka bergandengan tangan sepanjang toko swalayan, mencari kebutuhan rumah tangga untuk mengisi rumah kontrakan.Ada pula bed cover berwarna pelangi yang cantik. Oh, ia ingat mengapa membelinya. Apa lagi kalau bukan untuk menikmati malam dengan saling menyatukan hasrat? Melihat bed cover itu, ia seperti melihat tayangan ulang adegan mereka di ranjang ketika semuanya masih baik – baik saja. Bagastya seorang yang ekspresif, begitu pula dalam hal bercinta. Pria itu tidak segan untuk mencoba hal – hal baru yang membuat malam semakin panas. Renata segera menepis bayangan masa lalu itu saat sebutir air mata gugur dari pelupuk.***Mau lanjut g? Komen dan share cerita ini, ya. Biar saya semangat lanjutKotak berbagai ukuran masih terus keluar dari rumah Renata menuju rumah sebelah. Beruntung jalan di depan kediaman mereka itu adalah pembatas kompleks yang langsung berhadapan dengan sungai dan hutan kota sehingga aktivitas pindahan itu tidak perlu disaksikan oleh penghuni lain. Renata malas saja menjawab pertanyaan orang mengapa ia pindah.Oh, kami akan bercerai, sehingga memutuskan berpisah rumah. Renata meringis membayangkan reaksi orang-orang atas kabar tak sedap itu. Akan tetapi, itulah yang harus ia hadapi di hari - hari mendatang.Peluh membasahi wajah dan baju Renata. Napasnya terengah saat mengangkat kardus terakhir keluar rumah. Baru melangkah beberapa tapak dari pintu gerbang, sebuah mobil kecil berwarna putih menepi lalu berhenti di depannya.“Renata? Angkut - angkut apa?” Wajah manis berhidung mancung dan berambut ikal muncul dari balik kaca jendela yang diturunkan.Renata mengeluh dalam hati. Ia kenal wanita ini, janda penghuni rumah di ujung ja
Pacarku itu cuma satu, Dewi!Teganya Bagastya mengucapkan kalimat penghinaan itu padanya. Apa dia tidak sadar telah menyakiti hati istrinya, bagai menyayat dengan sembilu?"Renata! Jawab!" desak Bagastya."Jawab dulu, kamu ada hubungan apa sama Ines? Kamu pacaran juga dengan dia?""Enggak, dong! Ines belum terbukti bisa punya anak. Ngapain aku coba-coba sama dia?"Ooo, jadi semua ini masih tentang anak? batin Renata.Dewi memang memiliki satu anak. Ia telah berpisah dari suaminya dua tahun yang lalu. Entah bagaimana status pernikahan mereka. Apakah telah bercerai secara resmi atau masih menggantung, Renata tidak mau menelisik lebih lanjut.Dari mana Renata tahu perihal Dewi? Oh, Renata punya banyak kenalan dan hobi stalking. Menggali informasi adalah salah satu keunggulan yang ia miliki yang mengantarkannya mendapatkan klien - klien kelas kakap sebagai nasabah perusahaan sekuritas tempatnya bekerja."Kalau udah tahu dari In
Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sums
Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian?"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas.Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya.""Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?""Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?""Loh, kalau kita enggak punya anak
Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.Selesailah sudah.Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Sel
Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?Lebih parah lagi, Bagastya ternyata b
Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas."Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu."Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"Renata dan Ines mengangguk bersamaan."Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?""Tiga puluh?""Tiga puluh satu?"Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal
Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.Lagi-lagi Renata kagum dengankebrangasankecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh.Ada apakah antara Ines dengan Satria?Seseorang mengetuk pintu.“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”