Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.
Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.
“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.
“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sumsum tulang. Setiap lekuk tubuhnya ingin disentuh dan dimiliki olehnya. Akan tetapi, mengapa harus ada penghalang? Begitu teringat Dewi, rasa geram mencengkeram hati Renata. Kerinduan yang dalam itu seketika berubah menjadi luka menganga.
Hhh! Kamu harus tahu siapa pemilikmu, Bagastya! Renata memburu bibir Bagastya bukan hanya karena rindu, namun lebih untuk menegaskan dengan siapa seharusnya benda kenyal kemerahan itu berada. Napasnya menderu saat meraup hak milik itu dan memainkannya.
Bagastya membalas. Lidahnya menjelajah mengiringi milik Renata, seolah menegaskan, Kamu tidak boleh ke mana–mana! Kamu hanya untukku!
Renata tak mau kalah. Tangannya kini bergerak membuka kancing kemeja suaminya dengan secepat mungkin, kemudian melepasnya. Detik berikutnya kaus dalam, ikat pinggang dan seterusnya hingga tanpa sisa. Geramnya berubah menjadi nafsu penguasaan.
Aku habisi kamu tanpa sisa sebelum kabur ke perempuan lain! Sesudah itu ia mencengkeram milik Bagastya hingga pria itu mengerang keras seraya menggelepar ringan. Entah kesakitan, entah keenakan, Renata tak peduli. Organ itu pun miliknya!
Bagastya merasakan hal yang serupa. Ditariknya rok terusan Renata ke atas hingga terlepas. Kemudian ia mengurai segala yang tersisa hingga tak ada selembar benang pun. Matanya nanar menyadari betapa indah tubuh yang menggeliat di depannya.
Kamu pikir bisa semudah itu pergi lalu memberikan tubuhmu ke orang lain? Langkahi dulu mayatku!
Bagastya membenamkan mulut di dada Renata yang membusung. Kelembutan yang hangat itu diserapnya sebanyak mungkin hingga menimbulkan cupang merah di berbagai tempat.
Terima, tuh, cap dari aku!
Sekarang keduanya bagai dua ekor anak anjing. Bergulat, saling garuk dengan bernafsu. Menggigit segala tempat yang memuaskan hasrat. Bergulung ke berbagai arah untuk menyalurkan kegemasan. Hingga di satu titik, Renata menghempaskan Bagastya ke kasur, menahan dadanya agar tetap berbaring.
Bagastya berontak. Demi apa pun, ia tidak mau di bawah! Tangannya bergerak merengkuh bahu Renata hendak merebahkannya untuk menempatkan dirinya di atas. Malang nian, pinggul Renata sudah menindih pinggulnya. Kedua paha wanita itu menjepit keras hingga ia tak dapat berkutik.
Apalagi miliknya telah dibenamkan dalam tubuh Renata. Bagastya tak punya pilihan selain menuruti kemauan sang istri dengan mengimbangi gerakannya hingga menggelapar tak karuan.
Bagastya akhirnya melewati puncak dengan getaran dan erangan keras. Saat napas pelepasan terembus, ia ingin membebaskan diri, namun Renata belum selesai. Dengan segenap kekuatan ia menahan pria itu di tempatnya.
Enak saja kamu! Mau main kabur begitu aja, heh? Siapa yang kasih izin? Renata mengulang gerakan dan meminta haknya sampai habis tuntas dengan segala cara. Ia meraih tangan Bagastya.
Heh, masih mau lagi? Nih, rasain! Dasar perempuan serakah! Bagastya mengaduk dengan keras disertai rasa geram. Tak peduli Renata memekik karena sakit atau enak. Dalam benaknya hanya ada keinginan untuk memberi bekas di sana yang tak akan dilupakan Renata bahkan setelah bersama orang lain.
Renata melenguh dan mengerang beberapa kali. Dadanya naik turun seiring napas yang memburu. Sesuatu di bawah sana terus mendesak minta di puaskan. Lagi, dan lagi, semakin lama semakin keras. Hingga saat semuanya mencapai akhir, ia memekik tertahan.
Bagastya menyeringai penuh kemenangan. Puas, kamu? Puas?! Sana pergi, cari yang lain! Paling - paling balik lagi ke aku!
Malang bagi pria itu. Renata ambruk ke dadanya sambil masih merasa gemas. Bahu kokoh itu menjadi sasaran. Sederet bekas gigi membentuk dua lengkung kemerahan di kulit yang kuning bersih itu.
“Duh, duh, Renataaaa!” erang Bagastya, kali ini benar-benar karena kesakitan.
Renata terhenyak kaget, baru sadar telah meninggalkan markah di bahu kanan suaminya. Untung hanya lekukan kemerahan saja, tidak sampai merobek kulit.
“Sakit, Renata!” protes Bagastya. Wajahnya berkerut seraya memegangi bahu.
“Salahmu sendiri. Siapa suruh mengaduk enggak karuan!” Renata balas menyalahkan. Namun begitu, diusapnya bekas gigitan dengan perasaan bersalah serta wajah memerah karena malu. Harus diakui, yang baru saja terjadi itu adalah pengalaman terbaik mereka dalam empat tahun berumah tangga.
Empat tahun …. Tiba-tiba ia menyadari bahwa inilah pengalaman terakhir sebelum berpisah. Seketika rasa ngilu memenuhi ulu hati, sesak sekali. Sambil masih terengah dan mata mengabur, Renata merayap ke kepala ranjang, lalu duduk bersandar. Ia diam tercenung menatap jendela yang menampakkan langit yang mulai gelap.
Bagastya pun merasakan hal yang sama. Dadanya masih naik turun dengan kencang saat menyejajari Renata. Wajah sang istri terlihat penuh beban. Ia tahu, dirinya adalah sumber beban itu. Rasa iba pun muncul. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuh polos mereka. Direngkuhnya tubuh Renata ke dalam pelukan. Wanita itu membenamkan wajah. Tangisnya pecah.
“Aku selalu sayang kamu, Renata,” bisik Bagastya.
“Bohong!” tangis Renata. Dipukulnya dada Bagastya beberapa kali. “Kalau sayang, kenapa menyakiti aku seperti ini?”
Bagastya sejenak terdiam. Mereka sudah membicarakan ini ratusan kali dan tidak menemukan titik temu. Tangis Renata sesungguhnya melukai hatinya.
“Bisa enggak kamu tetap sama aku? Please, aku mohon, Renata,” bisik Bagastya. Suaranya telah bergetar karena luapan perasaan.
“Dimadu itu sama saja membunuhku pelan-pelan. Kapan kamu bisa memahaminya?” ratap Renata, mulai sengit. Akan tetapi, ia meringkuk semakin rapat ke pelukan suaminya.
Dengan penuh sayang, Bagastya mengecup puncak kepala Renata dan menyusupkan jemari di antara helai rambut panjang yang selalu digemarinya.
“Kita akan tetap seperti ini walau nanti sudah ada Dewi.”
Renata merintih. “Kamu laki-laki, kamu enggak akan bisa memahami. Gimana akan sama kalau hatimu terbagi dua? Mana bisa sama, Bagastya?”
“Aku janji nggak akan muncul bersama Dewi di depanmu. Kamu bahkan enggak akan melihat dia di mana pun. Gimana?”
“Tapi aku tahu kamu menjadi miliknya. Tahu saja sudah menusukku!” Bahu Renata berguncang keras, semakin membuat hati Bagastya diiris-iris.
“Sssst! Jangan nangis. Aku paling sedih lihat kamu begini.”
“Kalau kamu enggak mau lihat aku begini, jangan menikah lagi!”
Angan Bagastya melayang ke Dewi. Entah mengapa, sejak pertama melihat janda satu anak itu, ia melihat masa depan. Wanita itu pintar mencari rezeki dan saat ini memiliki usaha pemotongan ayam yang cukup sukses. Ia tidak akan merepotkan Bagastya dalam hal keuangan. Dewi juga ramah dan mudah bergaul, tak kalah dari Renata. Tubuhnya pun, walau seumur dengan Bagastya, ia tak kalah menarik dari Renata.
Kekurangannya satu, tanpa riasan, wajah Dewi sesungguhnya biasa, persis seperti penilaian Bu Dian. Sedangkan Renata cantik dengan atau tanpa polesan.
Kelebihan Dewi adalah rahimnya bisa membuahkan anak. Sedangkan Renata, entah apa yang terjadi di dalam sana, bagai menanam di lahan tandus, tak kunjung bertunas, apalagi berbuah. Padahal dirinya telah lama mendambakan keturunan.
“Kita bisa mencoba lagi berobat, kan, Bagas? Ayo kita mencari klinik kesuburan. Aku punya uang, kok. Buat apa kalau tidak dipakai?”
“Kamu sudah tahu bagaimana sikap orang tuaku tentang bayi tabung. Kamu tahu sendiri, mereka menolak karena melanggar aturan agama,” sanggah Bagastya.
“Kita bisa melakukannya diam-diam.”
“Apa ada kebaikan yang dilakukan dengan membohongi orang tua?”
Renata terdiam. Bila sudah sampai di situ, hanya jalan buntu yang terlihat. Kadang, saat setan sedang bersanding, Renata bahkan berpikir sampai kapan ibunda Bagastya ini akan hidup? Bagaimana kalau ia berdoa semoga beliau cepat dipanggil saja sehingga tidak merecoki rumah tangga anaknya sedemikian rupa?
“Mama nggak punya banyak waktu. Kalau kemoterapinya gagal, berarti harapan hidupnya semakin pendek.”
Mama lagi, Mama lagi! Renata menarik diri dari pelukan lalu membelakangi Bagastya.
Bagastya tahu, pembicaraan tentang ibunya selalu memicu kemarahan Renata. Akan tetapi, ia tidak bisa menghindari. Bukankah kewajiban anak untuk membahagiakan sang ibu, terutama di saat-saat terakhirnya?
“Aku anak tunggal, Renata. Seharusnya sebelum menikah, kamu sudah tahu risikonya akan seperti ini. Kamu dituntut memberikan keturunan.”
Darah Renata memanas. Ia berbalik, duduk menghadap Bagastya dengan mata membelalak. “Ini lagi! Kenapa aku saja yang selalu dituntut? Memangnya anak bisa kubuat sendiri?”
***
Jika suka cerita ini, jangan lupa vote, tinggalkan komen, dan share ke teman kamu ya. Supaya penulis semangat melanjutkan.
Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian?"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas.Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya.""Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?""Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?""Loh, kalau kita enggak punya anak
Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.Selesailah sudah.Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Sel
Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?Lebih parah lagi, Bagastya ternyata b
Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas."Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu."Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"Renata dan Ines mengangguk bersamaan."Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?""Tiga puluh?""Tiga puluh satu?"Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal
Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.Lagi-lagi Renata kagum dengankebrangasankecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh.Ada apakah antara Ines dengan Satria?Seseorang mengetuk pintu.“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di
Renata mandi dengan lesu dan masih terisak-isak. Bagaimana tidak, setelah tadi sore menoreh luka di hati karena jalan dengan Dewi, sekarang Bagastya malah membentak-bentak seolah yang bersalah itu dirinya. Belum cukup hanya dengan tindakan yang membuat cemburu, lelaki itu mulai menggunakan kekerasan.“Renata? Kamu enggak papa di dalam situ?” Bagastya mengetuk pintu beberapa kali. Karena Renata terlalu lama di dalam, ia mulai resah.“Renata? Renata!”“Apa lagi?” Terdengar balasan yang cukup keras. Rupanya yang dipanggil merasa risih. “Kenapa panggil-panggil?”“Enggak, enggak. Aku takut kamu kenapa-napa.”Renata kontan manyun mendengar itu.Apa gunanya menanyakan itu sekarang, Bagastya? Sejak kamu memiliki Dewi, aku enggak pernah baik-baik aja.Tangis Renata pun kembali terburai. Bahkan aroma wangi sabun dan guyuran air hangat tidak mampu membuatnya merasa lebih nyaman.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, Renata keluar deng
Setelah drama semalam, Renata bangun kesiangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Ia menoleh ke sekeliling untuk memindai keberadaan Bagastya. Kamar itu hanya terisi dirinya. Aita bangkit dan mencari ke ruang tengah. Tak ada jejak lelaki itu.“Lea, Pak Bagas ke mana?” tanyanya pada asisten rumah tangga.“Tadi berangkat sewaktu masih gelap. Enggak tahu ke mana, Bu.”Rasa kesal dan kecewa segera menggelembung di hati Renata. Ia kembali ke kamar untuk mencari ponsel. Ternyata ada pesan dari Bagastya tadi pagi.Aku berangkat subuh, soalnya udah janji mengantar Nayla ke Dufan.Napas Renata sontak tersengal. Mereka sekarang tengah piknik ke Dufan! Bayangkan itu! Dibantingnya ponsel ke sembarang arah. Beruntung benda itu terempas di kasur, memantul aqqaasedikit, kemudian mendarat di bantal sehingga Renata tidak perlu kehilangan hak milik lagi.Tetap sayang? Tetap milikku? Semuanya akan baik-baik saja? Aku bahkan akan menikmatinya? Preeettt!Renata ingin menangis. Apa
Renata dan Ines kembali ke rumah dengan setengah berlari. Duda tampan di seberang itu bagai magnet bagi keduanya. Saat sampai di depan rumah Renata, pria itu tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon."Bang, sudah lama datang?" tanya Ines dengan terengah."Baru aja." Satria berdiri, kemudian menyalami keduanya."Kok enggak masuk, nunggu di rumah saya?" tanya Renata."Ah, sungkan. Saya lebih senang duduk di pinggir sungai ini sambil melihat orang olahraga di hutan kota.""Mana barangnya, Bang?" tanya Ines lagi.Satria menunjuk dua koper besar yang diletakkan di depan pintu gerbang.
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”